Selasa, Januari 01, 2008

TV, dan Capres “Virtual Reality” Kita

Tidak ada karaguan sedikitpun dimata pasangan Capres dan Cawapres selama ini bahwa kampanye lewat media massa (khususnya televisi) menjadi salah satu cara untuk mencari popularitas atau tepatnya mempengaruhi perilaku pemilih pada Pemilu 2004 ini. Itulah kenapa, pasangan-pasangan tersebut rela menghabiskan dana puluhan miliar untuk memasang iklan di media massa. Bahkan karena semangatnya, jatah yang seharusnya maksimal 15 tayangan per hari masih dilanggar.
Selama ini, setiap hari kita disuguhi berbagai jenis model iklan kampanye Capres dan Cawapres di media massa. Berbagai model iklan itu selalu menampilkan bagaimana citra seorang kandidat perlu dibingkai dan dibentuk melalui media massa. Berbagai macam cara dilakukan baik melalui pemanfaatan data statistik, janji, pihak yang selama “teraniaya”, dekat dengan kalangan bawah sampai bernyanyi bersama-sama. Semua realitas ini sengaja dibentuk untuk menyuguhkan realitas baru tentang sosok seorang calon. Entah citra itu benar atau tidak hanya mereka sendiri yantg tahu.
Yang jelas, saat ini citra seorang kandidat tidak bisa dilepaskan dari citra yang dibentuk oleh media massa. Ini tidak saja membuat media punya kekuatan dalam membentuk realitas apa yang akan dibentuk, tetapi media sudah menjadi realitas itu sendiri. Media massa menjadi window of the world yang berarti kalau ingin melihat realitas dunia lihatlah media massa. Itulah kenapa kampanye kandidat merasa perlu dilakukan di media massa.
Virtual Reality
Jadi, kita akhirnya membayangkan sosok seorang presiden bukan berdasarkan kenyataan empiris seperti apa adanya, tetapi berdasarkan kenyataan apa yang sudah dibentuk oleh media massa. Padahal media massa bisa membentuk realitas semu (pseudo reality).
Dalam dunia cyberspace seperti saat ini, kenyataan seperti di atas sering disebut dengan virtual reality (realitas virtual). Menurut Mark Slouka dalam bukunya Silicon Mirage: The Art and Science of Virtual Reality ditegaskan bahwa realitas virtual tak lain sebagai realitas sintetis. Media menghidupkan secara “sensual” realitas sebenarnya. Dengan kata lain, media massa akan menciptakan ilusi yang sulit dibedakan dengan dunia nyata.
Mengapa meskipun media massa mampu membentuk realitas yang bukan sebenarnya namun masyarakat tetap memanfaatkannya? Alasannya, media seperti itulah satu-satunya yang mampu membentuk atau memvisualisasikan realitas dunia cepat, serempak meskipun penuh dengan manipulasi data-data. Bahkan media mampu membentuk sesuatu yang “tidak masuk akal” menjadi “masuk akal” sebagai realitas.
Dalam bahasanya Yasraf Amir Piliang dikatakan bahwa dalam sifat virtualitas media seperti itulah realitas secara lebih efektif bisa dikonstruksi dan direkonstruksi (the social of social reconstruction). Virtualitas media mampu menstimuli “berbagai bentuk realitas” di dalam ruang-ruang maya media elektronik (Piliang, 2001).
Demikianlah, manusia membutuhkan ruang maya untuk mengekspresikan dunia ini. Bukan tanpa alasan, realitas virtual itu sedemikkian kuatnya sehingga manusia sulit menghindar darinya. Bahkan apa yang kita rasakan, kita nilai, kita omongkan sebenarnya bentuk dari realitas yang sudah diciptakan oleh media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, CD, kaset, buku).
Iklan Capres Sebagai Virtual Reality
Apa yang menjadi realitas iklan-iklan kampanye Capres dan Cawapres selama ini menunjukkan atau semakin memperkuat realitas di atas. Ada beberapa catatan kritis yang layak dikemukakan; pertama, Capres dan Cawapres akan berusaha keras untuk membangun citra yang baik memalui media massa, apapun caranya. Meskipun para pasangan kandidat itu mempunyai “sejarah buruk” masa lalu hal demikian bisa diatasi dengan membentuk citra lewat media massa.
Dalam hal ini, para pasangan itu sebenarnya telah melakukan pembohongan publik. Kalau selama ini pembohongan publik dilakukan dengan mengobral janji saat kampanye, tetapi pembohongan publik ini bentuknya tidak kelihatan namun damaknya bisa jadi lebih hebat. Kita cenderung protes pada janji kampanye kandidat jika tidak ditepati, tetapi jarang kita yang kritis bahwa iklan-iklan yang ditampilkan pun penuh dengan nuansa seperti itu.
Itu sama saja kita memprotes Sumanto (pria kanibal pemakan daging manusia). Kita protes keras pada Sumanto mengapa ia memakan manusia. Tetapi, Sumanto sebenarnya hanya makan daging orang yang sudah meninggal dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tetapi, apakah kita memprotes dan pengadilan berani menjebloskan ke penjara pada para pejabat yang mengkorupsi uang rakyat? Bukankah perilaku itu justru membunuh ratusan atau bahkan ribuan manusia secara perlahan-lahan tapi pasti meskipun tidak kelihatan layaknya Sumanto memakan manusia mati?
Para kandidat itu melakukan pembohongan antara lain mengklaim hanya dialah yang peduli pada petani, nelayan, perempuan, TKI atau buruh.
Kedua, masyarakat akan menganggap bahwa kesemuan media massa dianggap lebih nyata dari pada kenyataan sebenarnya. Meminjam istilah Jean Baudrillard itu yang dinamakan hyper reality (hiperrealitas). Dalam istilah George Gerbner disebut dengan istilah teori kultivasi (cultivation theory). Artinya, masyarakat akan menganggap dunia itu seperti yang ditampilkan di media massa. Orang kemudian akan lebih percaya pada televisi (Gerbner memfokuskan kajiannya pada dampak televisi) daripada kenyataan yang sebenarnya. Orang yang termasuk heavy viewers (pecandu berat) film kekerasan misalnya, punya ketakutan lebih besar terhadap lingkungannya karena frame pikirannya dibentuk oleh adegan-adegan di televisi. Ia menggambarkan dunia serba keras seperti di televisi, meskipun kenyataannya tidak separah itu.
Dalam iklan presiden di televisi, masyarakat tentu akan punya peluang mempercayai apa yang ditampilkan di media itu dari pada berusaha mencari tahu kenyataan yang sebenarnya. Dan ini pulalah yang dikehendaki oleh pembuat iklan atau bahkan kandidat yang bersangkutan. Masyarakat diwajibkan melupakan segala keburukan yang pernah melekat pada diri calon dan mempercayai sepenuhnya apa yang sudah ditampilkan di media massa. Itulah kenapa tidak ada iklan kampanye Capres dan Cawapres yang menampilkan kejujuran agar masyarakat menilai apa adanya. Semua penuh dengan rekayasa teknologi.
Masyarakat sudah diarahkan untuk memihak satu kelompok dan tidak usah memihak kelompok yang lain. Dengan kata lain, masyarakat harus percaya pada iklan seorang kandidat dan jangan percaya pada iklan kandidat yang lain. Televisi sudah menjadi variabel utama dalam menentukan sikap dan perilaku masyarakat dewasa ini.
Presiden Kita Mendatang
Meskipun kita selama ini selalu memprotes bahwa memilih presiden itu bisa (atau senagaja dipaksakan) “diwakilkan” pada DPR, saat ini secara tidak sengaja kita “mewakilkan” pilihan kita pada media massa. Benar bahwa kita memilih sendiri pasangan Capres dan Cawapres, tetapi dasar pilihan itu berdasarkan citra yang sudah dibentuk oleh media massa. Ini juga berarti bahwa presiden yang kita pilih itu benar dan dipilih sesuai hati nurani, tetapi dipilih oleh hati manusia sementara nuraninya milik media massa.
Kita nanti akan memiliki presiden realitas virtual yang dibentuk oleh media massa. Karena realitas virtual itu sebuah kenyataan yang dibentuk televisi di luar kenyataan sebenarnya (realitas semu), jangan heran jika kita nanti kaget karena apa yang kita pilih tidak seperti yang pernah kita idealkan sebelumnya. Ini tak berarti semua kandidat itu tidak baik, hanya kita perlu kritis terhadap citra yang dibangun oleh para kandidat melalui televisi. Televisi mungkin sekadar ‘korban” keserakahan “kapitalisme” atas orientasi target semata dari iklan kampanye presiden. Readmore »»

Saatnya, Melakukan Social Punisment Pada Televisi

Saat ini, acara televisi swasta kita nyaris seragam. Kalau tidak menampilkan acara-acara yang berbau mistik, muncullah acara-acara kriminal. Acara kriminal yang dimaksud antara lain Buser, Patroli, Brutal, Sergap, Derap Hukum, Fakta, Bedah Kasus dan acara lain yang sejenisnya. Ini bukan tidak beralasan. Masalahnya, acara-acara tersebut memang mempunyai rating yang tidak rendah. Artinya, sesederhana apapun acara tayangan kriminal tersebut, tetap akan mempunyai penonton setia.
Apakah acara-acara tersebut bisa berdampak positif di masyarakat? Seperti yang sering saya baca di rubrik Surat Pembaca di beberapa surat kabar, acara-acara seperti itu sebenarnya justru mengkhawatirkan masyarakat. Bukan tidak mustahil acara-acara kriminal tersebut justru menimbulkan rangsangan penonton untuk menirunya.
Ini terutama sekali jika kita melihat tayangan pemerkosaan, perampokan dan penipuan. Bukti telah menunjukkan bahwa tidak ada bukti empirik bahwa kriminalitas berkurang. Justru semakin banyak tanyangan kriminal menunjukkan hal yang sebaliknya, bahwa perilaku kriminal semakin meningkat. Acara televisi, terutama adegan kekerasan memang sangat berpengaruh terhadap benak penonton. Bahkan televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya.
Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya di sekelilingnya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
***
Fakta bahwa televisi mempunyai dampak yang luar biasa terhadap “gambaran apa” yang dibayangkan masyarakat pernah dikaji oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisannya yang yang berjudul Living with Television: The Violence Profile menjadi bukti pengaruh kuat acara-acara televisi di benak penonton.
Awalnya, ia hanya melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu.
Hasilnya, televisi terbukti menjadi agen sosalisasi penonton televisi. Mereka akhirnya lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yan mereka lihat sesungguhnya. Gerner melihat bahwa memang film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Para pecandu berat televisi (heavy viewers) umumnya menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi ini akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang dia tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena faktor cultural shock (keterkejutan budaya) dari tradisonal ke modern.
Termasuk di sini misalnya, pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10. Padahal dalam kenyataan angkanya hanya 1 berbanding 50. Ia juga mengira bahwa 20 persen dari total penduduk berdiam di Amerika, padahal senyatanya cuma 6 persen. Dengan kata lain, penilaian, persepsi, opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang sebenarnya terjadi juga begitu. Jadi, kekerasan televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
***
Jadi para penonton setia acara-acara kriminalitas di televisi akan membayangkan bahwa lingkungan di sekitarnya juga seperti apa yang disajikan televisi. Televisi akan dianggap sebagai refleksi kejadian di sekitarnya. Dengan kata lain, televisi adalah ”cerminan” seperti apa kenyataan masyarakat yang sebenarnya. Jika di televisi selalu mengumbar adegan kekerasan, yang ada di benak penonton tentang keadaan masyarakat juga seperti itu.
Yang menjadi kekhawatiran kita adalah masyarakat akan lebih percaya pada adegan di televisi dari kenyataan yang sebenarnya. Padahal, tayangan televisi adalah realitas semu yang diciptakan oleh industri kapitalis. Tayangan televisi tak ubahnya sebuah rekonstruksi ulang yang penuh dengan subyektivitas para pengelola televisi. Tak heran jika televisi sering dituduh sebagai agen kapitalisme.
Mengapa ini mengkhawatirkan? Sebab, televisi itu diciptakan untuk menghibur saja. Masyarakat menikmati acara televisi kebanyakan untuk mencari hiburan dan bukan yang lainnya. Bukti bahwa banyaknya acara-acara sinetron atau acara bertema hiburan lain yang ditempatkan pada jam prime time (7 sampai 9 malam) menjadi bukti itu semua. Bahkan Neil Postman pernah menyindir “televisi menghibur diri sampai mati”.
Sebenarnya pula, televisi tidak hanya menjadi cerminan masyarakat tentang perspsi apa yang ada di benaknya tentang lingkungan di sekitarnya. Tetapi, masyarakat sebenarnya banyak belajar dari televisi. Adegan-adegan di televisi telah memungkinkan masyarakat untuk menirunya. Lihat saja saat ini, merek dan cara berpakaian, merek sabun, shampoo, parfum yang dipakai remaja putrid sangat ditentukan oleh tayangan di televisi. Bahkan, citra seorang wanita ideal sangat mungkin ditentukan oleh apa yang sudah ditentukan oleh adegan-adegan di televisi sebelumya.
Tayangan-tanyangan kriminalitas sangat terbuka kemungkinan untuk ditiru oleh masyarakat. Merebaknya perilaku kejahatan di kota-kota besar tak menutup kemungkinan karena adegan seperti itu terus-menerus disosialisasikan ke masyarakat lewat televisi.
Fakta ini tentu tidak positif bagi perkembangan masyarakat. Kita bukan benci pada televisi, tetapi tanpa pengelolaan yang bijak, televisi justru akan semakin memperburuk keadaan masyarakat. Memang memprotes televisi yang saat ini sudah menjadi “kebutuhan dasar” masyarakat tidak pada tempatnya, tetapi membiarkannya begitu saja juga bukan tindakan yang bijak. Memprotes pengelola televisi tak ubahnya seperti informasi yang masuk ke telinga kanan, keluar di telinga kiri. Sementara, memperotes pemerintah agar bertindak tegas sering dituduh melanggar kebebasan pers. Pemerintah sering berlindung di balik kebebasan pers untuk mengelak dari tuduhan tak peduli dengan keluhan masyarakat itu.
Lalu apa tindakan yang harus dilakukan karena televisi kenyataannya sudah seperti itu? Tindakan yang lebih konkrit adalah melakukan social punishment (hukuman sosial). Hukuman sosial ini memang menekankan pada kekuatan individu dalam mewujudkannya. Artinya, tanpa inisiatif pribadi, hukuman sosial itu tidak ada gunanya.
Misalnya, kalau kita tidak suka dengan acara kriminalitas karena dikhawatirkan akan menimbulkan dampak buruk di masyarakat kita tidak perlu menontonnya. Atau, matikan saja televisi. Melakukan hukuman sosial juga perlu kejujuran. Misalnya, bukan perilaku jujur jika kita sering memprotes acara kriminalitas, tetapi justru kita sendiri menontonnya. Ini artinya, kita tidak jujur.
Cara seperti itu juga untuk mendidik masyarakat untuk bersikap dewasa, bijak, konsisten dan kritis terhadap acara-acara televisi. Artinya, jika kita tidak suka terhadap suatu acara, kita tak perlu menotntonnya. Atau sudah sanggupkan kita melakukan boikot pada acara-acara televisi? Readmore »»

Sinetron Remaja dan Menurunnya Wibawa Guru

Jika Anda penonton setia televisi, terutama sinetron, cobalah amati lebih jeli sinetron sebagai berikut; Guruku Cantik Sekali, Guruku Tampan Sekali, Jika Pacar Payah Banget. Atau sinetron remaja yang lain seperti Amanda, Opera SMU, Cinta SMU dan lain-lain.
Mengapa sinetron itu perlu dicermati? Sebab, meskipun sinetron jenis itu bisa menghibur, termasuk karena memotret pergaulan muda-muda masa kini, tetapi sinetron itu dianggap telah mempertontonkan perilaku yang kurang baik bagi anak didik dan persepsi tentang seorang guru. Paling tidak, ini jika kita amati beberapa adegan yang muncul sepanjang senietron tersebut, khususnya hubungan antara guru dengan murid.
Dilihat dari realitas penampilan sesungguhnya seorang guru kebanyakan, apa yang ditampilkan dalam sinetron itu ada kejanggalan. Misalnya, guru harus tampil cantik layaknya orang yang mau pergi ke pesta. Belum lagi dengan pakaian yang “lebih vulgar” dandanan yang menor dilengkapi dengan olesan alat kecantikan yang lengkap. Sungguh, dari segi penampilannya, guru disosokkan sebagai orang yang kaya, dilihat dari dandanan maupun atribut lain yang melekat. Padahal realitasnya jelas belum tentu seperti itu.
Contoh lain adalah dalam soal penyelesaian kasus antara yang melibatkan seorang. Dalam sebuah sinetron remaja pernah dipertontonkan kasus ketika ada seorang murid yang terlambat hadir di kelas. Apakah guru itu bertanya secara baik-baik lalu mempersilakan murid itu duduk? Ternyata tidak. Guru itu membentak-membentak, marah-marah lalu mengusir murid yang terlambat itu. Mengapa tidak bertanya bertanya kenapa mereka terlambat? Misalnya jalanan macet, bangun kesiangan atau ada masalah lain di keluarganya sehingga ia harus terlambat.
Itu belum seberapa kalau menyangkut cinta moyet diantara para murid. Ketika ada adegan ciuman antara murid perempuan dengan laki-laki sang guru marah-marah dan “mengadilinya” secara judes. Mengapa tidak ditanyakan baik-baik? Atau jangan-jangan perilaku itu justru dipertontonkan oleh gurunya yang cantik, dandanan menor dan banyak guru lain atau orang lain yang menaruh hati.
Belum lagi bagaimana seorang murid dengan sangat berani mengatakan cintanya pada sang guru. Dengan kata lain, murid itu mengatakan kalau dia jatuh cinta pada guru. Bagaimana mungkin seorang murid berani bertindak kurang ajar seperti ini? Jelas ada kejanggalan-kejanggalan dalam sinetron remaja kita. Meskipun, hal demikian memang terjadi dipergaulan mereka, tetapi tidak bis digeneralisasi.
Terancamnya Wibawa Guru
Beberapa adegan yang dipertontonkan dalam sinetron remaja kita, khususnya yang menyangkut hubungan anatara murid dengan guru, bisa ditarik benang merah sebagai berikut; pertama, merosotnya wibawa guru. Guru yang harus ditempatkan murid sebagai suri teladan sudah kehilangan wibawa. Bagaimana seorang Amanda (diperankan Agnes Monica) dengan seenaknya berbicara pada guru sambil mengunyah permen? Atau bagaimana logikanya seorang murid yang dimarahi gurunya justru tidak ditanggapi dengan sikap menunduk dan merasa beralah akibat kesalahan, tetapi seolah malah menantang dengan memelototkan matanya?
Wibawa guru memang sedang dipertaruhkan dalam sinetron itu. Bisa jadi itu dicontohkan oleh gurunya. Misalnya, guru seharusnya bisa membawa diri, berperilaku baik. Tetapi dalam adegan sinetron justru sang guru memperlihatkan contoh yang menurut mereka tidak baik. Sang guru itu mempunyai dua istri, bisa jadi istri simpanan. Dan kasus ini diketahui oleh murid-muridnya. Ketika murid dimarahi, gurunya itu malah ditantang akan dibeberkan kasus gurunya yang punya dua istri terebut.
Kedua, Proses Belajar Mengajar (PBM) mengalami degradasi sedemikian rupa. Seorang guru selalu dilekati sifat sabar dalam menghadapi anak didiknya. Dari kasus kecil hingga besar, sang guru harus bisa memberikan nasihat sebaca baik-baik, baru kalau memang sudah dianggap keterlaluan diberikan sanksi. Tentunya sanksi ini pun sifatnya harus mendidik. Bukan pada tempatnya ketika seorang murid terlambat sekolah, dimarahi lalu diusir ke luar ruang kelas seperti yang diperlihatkan dalam sinetron remaja kita. Bukankah akan lebih baik ditanya mengapa dia terlambat, lalu diberikan sanksi tertentu kalau perlu.
Termasuk di sini, ketika seorang anak didik nakal bukan lantas dikeluarkan dari sekolah. Para orang tua sengaja menyekolahkan anak-anaknya agar bisa menjadi anak yang lebih baik. Jika kemudian diusir, terkesan tak ada tanggung jawab guru pada muridnya. Meskipun bisa juga kasus kenakalan itu disebabkan oleh lingkungan dirinya atau keluarganya.
Serba sulit memang. Sebab, biasanya orang tua cenderung cuci tangan dalam kasus ini, meksipun kenakalan murid itu lebih disebabkan oleh perilaku orang tuanya. Guru sering dijadikan “kambing hitam”, tetapi bukan lantas guru ikut cuci tangan juga.
Jelas apa yang dipertontonkan perilaku guru-murid dalam sinetron remaja kita sudah sedemikian mengkhawatirkan. Jangan-jangan nanti banyak anak didik yang meniru perilaku murid yang ada dalam sinetron tersebut. Atau jangan-jangan guru yang semula berpakaian sopan, bedakan tidak terlalu menor berubah menjadi “selebritis” lokal. Kalau begini keadaaannya, bisa jadi rumah tangga guru juga dalam keadaan terancam. Tidak saja membingungkan suami dan anak-anaknya, tetapi juga kehidupan ekonomi keluarga. Sebab, gaji guru di Indonesia masih di bawah batas standar. Jangan-jangan pula, guru akan lebih mementingkan penampilan daripada funssi dirinya sebagai pendidik dan seorang ilmuwan.
Terus Bagaimana?
Apa yang terjadi dalam sinetron remaja kita jelas membutuhkan penyelesaian segera. Alasannya, agar nanti TV tidak dituduh sebagai pihak yang merusak harmonisasi masyarakat. Paling tidak, sebelum sinetron dibuat (terutama menyangkut kehidupan guru-murid) perlu dilakukan riset tentang kehidupan guru dan murid-murid itu sendiri. Penulis scenario sudah seharusnya mengadakan observasi di lapangan secara detail sebelum menulis naskahnya. Alasannya, agar nanti tidak terjadi kejanggalan dan sebab lain yang merusak di masyarakat.
Anehnya, tidak banyak para pembuat skenario itu yang mau berpayah-payah melakukan riset. Mereka sudah banyak yang tergiur dengan komersialisasi sinetron. Apakah tidak boleh? Sebenarnya tidak masalah. Yang jadi masalah adalah mengubah citra guru seenaknya saja hanya untuk menuruti selera pasar semata.Jadi, pembuat skenario memang menduduki posisi “bisa salah” dalam hal ini. Bintang film sekedar melakonkan apa yang sudah digariskan dalam skenarionya. Mereka tinggal melakoni, terkenal dan dibayar. Apakah nanti sinetron itu punya dampak tidak baik di masyarakat jarang yang menjadi bahan pertimbangan mereka. Inilah cacatan buram sinetron remaja kita. Readmore »»

Republik Mimpi Vs Sofyan Djalil

Kebebasan pers bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk menciptakan masyarakat yang bebas. Cakupan dan hakikat jaminan konstitusional terhadap kebebasan pers harus dipahami dalam karangka ini (Felix Frankfurter)

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Sofyan Djalil berencana akan mensomasi acara News Dot Com di Metro TV setiap hari Minggu yang menceritakan sebuah “Republik Mimpi”. Di mata menteri, tayangan parodi model seperti itu dianggap melecehkan tokoh nasional.
Bahkan secara terang-terangan Sofyan Djalil lebih suka melhiat acara Tukul Arwana dalam acara Empat Mata di Trans7 dibanding Republik Mimpi. Alasannya, Republik Mimpi tidak memberikan pendidikan politik yang bagus ke masyarakat. Padahal acara berita yang diformat dalam parodi tersebut pernah mendapat penghargaan sebagai acara talk show terbaik di Asia ketika masih ada di Indosiar dengan nama Republik BBM.

Kegalauan Pembantu Presiden
Sebagai Menkominfo era presiden SBY, Sofyan Djalil sudah melakukan beberapa kebijakan komunikasi. Tetapi, beberapa kebijakan yang dikeluarkan terkesan “hangat-hangat tahi ayam”. Sebut saja misalnya Peraturan Menkominfo Nomor II/P/M.Kominfo/7/2005 yang mewajibkan penyelenggaran siaran di Indonesia untuk menutup siaran setiap hari mulai pukul 01.00 sampai 06.00 waktu setempat. Peraturan itu hanya berlaku beberapa saat saja.
Tak terkecuali, kebijakan tentang keharusan pendaftaran kartu pra bayar. Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) pernah mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 23/Kominfo/M/10/2005 tentang Kewajiban Registrasi Pengguna Kartu Pra Bayar dan Pasca Bayar. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, maka semua pengguna kartu harus melakukan registrasi mulai pertengahan Desember 2005 sampai 28 April 2006. Jika tidak didaftarkan, nomor itu akan dinonaktifkan. Namun kenyataannya, ketika ada nomer yang tidak didaftarkan juga tidak dikenai sanksi tegas apa-apa.
Kebijakan yang dikeluarkan Menkominfo selama ini terkesan tidak menyeluruh dan hanya untuk kepentingan sesaat. Oleh karena itu, somasi terhadap tayangan News Dot Com yang akan dilakukan pun bisa jadi tidak jauh berbeda.
Pak Menteri hanya merasa bahwa parodi yang ada dalam acara Republik Mimpi dianggap menghina tokoh nasional. Padahal tokoh-tokoh nasional yang diparodikan pun belum tentu tersinggung dengan acara tersebut. Djalil bisa jadi karena ketakukan atau kepatuhan dirinya pada SBY terlalu besar, untuk tak mengatakan “mencari muka”. Acara itu jika diteruskan akan merusak reputasi presiden, yang dampaknya Menkominfo akan kena getahnya pula. Kekhawatiran pak Menteri ini bisa jadi terlalu berlebihan.
Kita juga perlu tahu bahwa sebuah acara yang dilarang akhirnya akan menimbulkan perlawanan-perlawanan. Termasuk perlawanan dengan memunculkan acara-acara yang serupa dengan format yang berbeda. Melihat keseragaman acara di televisi selama ini, jika News Dot Com hilang, saya yakin akan muncul acara model seperti itu di lain waktu. Sebab, kenyataannya acara News Dot Com memang banyak digemari masyarakat.

Belajar dari Kasus Lain
Ada baiknya, Sofyan Djalil perlu belajar dengan legenda presiden Amerika yakni Abraham Lincoln. Lincoln adalah presiden yang tidak terlalu kaku dalam menanggapi setiap kritikan media yang dialamatkan kepadanya. Bahkan dengan caranya sendiri, media atau orang di balik media tersebut tunduk dengan sendirinya, bahkan tidak dengan jalan “melawan”.
Lincoln sangat peka terhadap para editor besar yang berpengaruh. Horace Greely dari Tribune di New York adalah wartawan yang paling kritis, dan terhadapnya Lincoln berusaha lebih sabar. Suatu ketika ada yang bertanya mengapa ia begitu sabar terhadap Greely yang tidak sabaran. Setelah menarik napas panjangn Lincoln menjawab: “Rasanya saya tidak bisa mengeluhkan hal itu. Ia berada di dekat saya paling tidak empat hari dalam seminggu” (Rivers, et.tal, 2004).
Apalagi News Dot Com dilihat dari sajian materi-materinya jelas bukan parodi yang “membodohi”. Ia parodi cerdas yang memang hanya bisa dipahami oleh orang-orang cerdas. Sebab, untuk melihat acara seperti itu dibutuhkan perangkat pengetahuan yang cukup. Dan ini tidak bisa dilakukan oleh masyarakat kebanyakan.
Jika Sofyan Djalil membandingkan dengan acara Tukul Arwana, memang acara ini banyak penggemarnya, tetapi jika kita mau jujur saja, tidak ada informasi berguna untuk pencerdasan masyarakat. Bahkan pertanyaan yang diajukan Tukul asal dikatakan. Orang yang menonton acara ini murni membutuhkan hiburan dan tidak memerlukan perangkat pengetahuan yang cukup. Yang penting bisa ikut ketawa karena keluguan Tukul dan eksploitasi terhadap bintang tamu yang diundang.
Sementara itu, acara News Dot Com berisi informasi-informasi terkini peristiwa yang selama ini terjadi. Jadi, disamping menyaksikan acara hiburan, penonton juga bisa mendapatkan informasi pengetahuan yang lain. Acara ini juga melatih masyarakat untuk cerdas karena ada gesekan-gesekan pembicaraan yang mempersuasi penonton atau pejabat yang dijadikan bahan kritikan.

Kontraproduktif
Selama ini, televisi dikritik karena hanya menyuguhkan hiburan semata. Neil Postman bahkan pernah mengatakan, televisi menghibur diri sampai mati. Ini sebuah sindiran paling dalam terhadap dunia televisi.
Apa jadinya kalau sajian acara yang ditayangkan televisi melulu hiburan? Masyarakat menjadi tidak cerdas, dan berbagai perubahan masyarakat akan berjalan linear. Tentu saja, acara televisi yang memberikan kritik pada pemerintah selalu membuat gerah pejabat yang dijadikan bahan kritikan. Tetapi, di sisi lain itu justru menjadi hiburan segar bagi masyarakat. Seseorang yang menjadi pejabat harus siap dijadikan sasaran kritik, dimanapun dan kapanpun. Itu penting dilakukan agar tidak terjadi stagnasi perubahan di masyarakat. Pejabat yang mempunyai pikiran bahwa kritikan menjadi penghambat bukan tipe pejabat yang mengabdi pada masyarakat tetapi mengabdi pada kekuasaan.
Apa yang menjadi kegalauan Menkominfo bisa dipahami. Somasi perlu disambut dengan baik karena ini memang hak warga negara. Tentu saja, sangat disayangkan jika somasi tersebut orientasinya untuk menggagalkan acara parodi berita yang paling populer itu.. Jelas, pemberangusan acara media disamping tidak simpatik untuk saat ini menjadi sinyal kuat kita tidak memahami hakikat kebebasan pers dan masih rendahnya pengetahuan kita tentang masalah-masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Readmore »»

Pornografi, dari Wilayah Privat ke Ranah Publik

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), belum diundangkan telah menimbulkan dampak pro dan kontra. Mereka yang mendukung mengatakan bahwa Pornografi dan Pornoaksi sudah selayaknya diatur agar tidak menimbulkan dampak negatif pada generasi mendatang. Termasuk di sini, agar tampilan media massa (salah satu pihak yang dituju) lebih santun sesuai adat ketimuran. Sementara itu, mereka yang menolak mengatakan bahwa RUU APP sangat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Ini tercermin dari dijadikannya perempuan sebagai objek seks (sebab pihak inilah yang umumnya dituju), dan RUU APP itu melanggar kebebasan berekspresi sebagai hak paling dasar yang dipunyai manusia.
Tanpa sadar, mereka yang mendukung atau menolak telah melibatkan wilayah private ke dalam ranah publik. Tak heran jika pro kontra itu mewakili individu atau komunitas-komunitas di masyarakat dan bukan masyarakat umum. Yang jelas kepentingan pribadi mereka yang menolak dan menerima terancam dengan ada atau tidaknya RUU APP.
Etika Privat dan Etika Publik
Kita akan melihat secara teoritis bahwa masalah pornografi melibatkan etika privat dan etika publik. Untuk membatasi istilahnya agar tidak mengalami pembiasan makna perlu kiranya dikemukakan hal yang berkaitan dengan etika.
Istilah etika berasal dari kata Latin pula Ethic, sementara dalam bahasa Gerik Ethikos (a body of moral principles or values). Dengan demikian, ethic berarti kebiasaan, habit, custom. Yang dimaksud dengan baik atau buruk dalam hal ini yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat atau tidak. Meskipun kebiasaan masyarakat itu akan berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat. Etika dengan sendirinya bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti, akhlak. (Salam, 2000).
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan penjelasan bahwa etika adalah; (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu.
Yang perlu digarisbawahi dari asal kata etika tersebut di atas beserta definisinya adalah bahwa etika itu memang multitafsir. Ia akan berkaitan erat dengan konteks masyarakat dimana etika itu hidup dan berkembang. Meskipun tidak dipungkiri, ada pula etika yang bersifat universal seperti keadilan, dan kejujuran.
Tetapi, satu hal yang tidak bisa tidak harus dijelaskan dan ini menjadi kesepakatan umum bahwa etika (termasuk dalam pelaksanaannya) berkaitan dengan manusia. Etika tidak akan bisa berjalan manakala manusia tidak menegakkannya sendiri. Tentu saja begitu, karena etika diciptakan oleh manusia dan untuk mengatur manusia kaitannya dengan manusia yang lain. Maka, jarang kita membaca ada etika yang terjadi pada makhluk lain. Kalaupun ada, tolok ukur dan indikatornya tentu saja berbeda. Tapi yang dimaksud etika dalam hal ini adalah etika yang berkaitan dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Manusia sendiri punya dua wilayah yang selama ini berkaitan atau seringkali dilibatkan dalam persoalan etika. Dua wilayah itu antara lain, wilayah privat dan wilayah publik. Etika, tolok ukurnya jelas, tetapi dalam praktiknya (yang berkaitan dengan wilayah etika di atas) seringkali berbenturan.
Misalnya, jika kita memakai definisi yang dikemukakan oleh Altschull (1990). Ia pernah mengatakan bahwa ethics is the study of the formation of moral values and of principle of right and wrong (Shoemaker dan Reese, 1991: 94). Nilai benar dan salah tersebut sebenarnya satu, tetapi sangat sulit jika dikaitkan dan diimplementasikan dalam wilayah publik. Etika benar dan salah seringkali mudah dilaksanakan dalam wilayah privat. Hal demikikian hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Louis Alvin Day, “Ethics is the branch of philosophy that deals with questions of moral behavior. The study of ethics can provide the tools for making difficult moral choice, both personal and professional (Day, 1999:19).
Di sini manusia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan moral ketika akan mengimplementasikan etika yang digunakan untuk dasar perilaku. Bahkan pilihan itu semakin sulit karena implementasi etika seringkali berkait erat dengan wilayah secara professional (menurut istilah Day) atau publik.
Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan di atas, Franz Magnis-Suseno (2001) pernah membedakan etika menjadi dua yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban moral manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia bagi individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap Yang Ilahi dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia.
Dalam masyarakat modern yang punya kecenderungan hidup individualisme ini disertai dengan kompetisi hidup yang semakin ketat menuntut masing-masing orang bertahan. Masing-masing orang harus bersaing dalam kehidupan yang semakin keras dan tajam bahkan besaing dengan pihak-pihak yang hanya mau menang sendiri. Kepentingan individu untuk bertahan ditengah persaingan yang ketat inilah yang menjadi ancaman etika. Sebab, etika itu adalah “nilai masyarakat”, sedangkan individualisme itu “nilai individu”. Jadi sudah bisa dibayangkan perbedaan dan persaingannya. Dalam posisi demikian, etika penting agar di masyarakat bisa tercipta harmoni dan manusia tahu tugas, hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam masyarakat sekarang ini dengan tiadanya etika semua orang akan mengklaim dirinya yang paling benar dan ini sangat membahayakan kehidupan masyarakat itu sendiri. Etika akan mengatasi itu semua. Etika diharapkan membimbing, mengarahkan bahwa manusia itu memang punya sifat individual yang tinggi, tetapi itu tidak berarti boleh berbuat seenaknya dengan merugikan lingkungan sosialnya. Etika akan menjadi barometer tingkah laku individu dalam masyarakat.
Baik etika professional, sosial dan publik untuk sementara kita samakan. Intinya, ada etika di luar etika pribadi. Etika seringkali bermasalah karena berkaitan dengan kepentingan orang lain. Ini khususnya menyangkut etika publik. Orang tidak bisa berbuat tidak adil pada dirinya, ini tidak menjadi persoalan penting. Orang akan menganggap bahwa itu pilihan pribadi dan hanya dirinya saja yang dikenai. Orang akan menganggap bahwa itu pilihan pribadi dan hanya dirinya saja yang dikenai perbuatan tersebut. Tetapi, berbuat tidak adil akan menemui banyak masalah jika dikaitkan dengan manusia lain. Misalnya ia seorang politikus. Ia akan dicap sebagai orang yang tidak beretika jika ia berbohong pada publik. Contohnya, ia mengatakan telah berbuat adil pada semua orang padahal kenyataannya tidak demikian.
Pornografi dan Pornoaksi
Apa yang bisa menyebabkan itu semua? Conflict of interest salah satu diantara yang bisa diajukan di sini. Conflicts (of interetst, pen) generally arise from the roles we play within society, and for hat reason, appear to involve particularistic rather than our general societal obligations (Day, 1999:193). Konflik kepentingan ini memungkinkan orang akan mengatakan “ya” pada dirinya sendiri dan akan mengatakan “tidak” pada orang lain – termasuk dalam wilayah publik.
Sebab pada dasarnya, semakin besar dan lupas cakupan kekuasaan seseorang sulit dipisahkan dirinya dari lembaga dimana ia berada. Inilah yang disebut sebagai institutionalized person (orang yang dilembagakan). Itu berarti, tidak bisa diterima masyarakat seandainya seorang pejabat politik mengatakan, “Sumbangan Sultan Brunei itu diberikan pada saya dan bukan diberikan pada masyarakat Indonesia. Maka, kalau saya menggunakannya untuk kegiatan menurut saya positif itu tidak jadi soal”. Secara de facto memang dia yang menerima, tetapi secara de jure tidaklah sesederhana itu. Masyarakat (yang dilibatkan dalam persoalan etika publik) tidak akan bisa menerimanya. Bukankah Sultan Brunei tidak akan memberikan bantuan manakala pejabat itu tidak sedang menduduki jabatan di tinggi di pemerintahan?
Apalagi, jika seseorang itu sengaja punya agenda tersembunyi (hidden agenda)atas perilaku yang akan dilakukannya, akan melakukan apa saja untuk mewujudkan ambisinya. Termasuk berbohong tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga orang lain. Secara keras Eric Hoffer bahkan pernah mengatakan, “Kita paling keras berbohong terhadap diri sendiri” (Rivers dan Mathew, 1994:150).
Itu pulalah kenapa televisi yang menyiarkan bantahan Clinton bahwa ia tidak pernah berhubungan asmara dengan Flower bisa dikategorikan telah mencermarkan etika. Rivers dan Mathew menandaskan bahwa kode televisi mengkaitkan usaha mempromosikan kebaikan publik dengan usaha mempromosikan moral publik. Berita dan analisis harus disajikan dengan mempertimbangkan moral publik. Penyiar televisi yang etis mempunyai kewajiban moral (Rivers dan Mathew, 1994:342).
Maka, agar etika publik tidak untuk terget pribadi dibutuhkan etika solidaritas dalam wilayah publik. Hannah Arendt pernah mendefinisikan bahwa etika solidaritas adalah sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan promordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua (Solo Pos, 29 Maret 2005). Readmore »»

Virus Pornoaksi di TV

Dalam acara “Clean & Clear British Film Festival 2005, Boys and Girls” di Malang, mantan video jockey MTV Nirina Zubir mengatakan bahwa saat ini tayangan TV kita banyak yang menyorot artis perempuan dari segi fisiknya saja. Itu membuat perempuan harus memenuhi kriteria tubuh tinggi, langsing, rambut hitam panjang terurai, dan kulit putih mulus.
Pernyataan Nirina ini tentu tidak mengada-ada. Coba kita lihat tayangan pada jam prime time (jam 6 sampai 9 malam). Rentang waktu itu kebayakan diisi acara-acara hiburan. Beragam acara tersebut banyak yang mengumbar eksploitasi perempuan, terutama dari sisi fisiknya. Bahkan kalau Anda melihat acara TV pada malam hari, acara-acara yang lebih “vulgar” sudah “bergentayangan”.
Contoh kasus adalah “Di Balik Lensa” di ANTV yang menampilkan (dengan alasan) sisi keindahan tubuh perempuan. Ini belum termasuk acara-acara lain yang mengungkap pengalaman seks bebas, gaya pacaran remaja kota dan perselingkuhan yang semakin dianggap wajar.
Apa yang menjadi masalah dengan berbagai tayangan tersebut di masyarakat? Tayangan model itu memang tidak bisa diingkari sebagai dampak dari perkembangan media komunikasi kita. TV bukan lagi diformat sebagai media pendidikan dan informasi, tetapi media hiburan. Artinya, fungsi hiburan ditempatkan pada posisi paling tinggi di atas fungsi lainnya.
TV juga tidak berdiri sendiri. Penonton juga melegitimasi TV agar membuat acara model itu. Buktinya, acara-acara sinetron yang di dalamnya mengeksploitasi perempuan justru yang paling digemari. Jadi gayung pun bersambut; pengelola TV ingin acaranya laku, sementara masyarakat membutuhkan hiburan dari TV. Maka, TV pun akan membuat acara-acara yang menghibur. Alasan klasik pun muncul; untuk memenuhi keinginan masyarakat.
Sinetron kita lantas punya isi seragam yang melulu bermuatan konflik orang tua-anak, masalah cinta dan hamil di luar nikah. Bahkan perempuan diposisikan sebagai tokoh yang selalu dimaki-maki, dan tidak jauh-jauh posisinya sebagai korban. Kalau tidak, ia akan dipotret dengan citra perempuan dengan karakter fisik ideal.
Dampak Nyata
Berbagai tayangan yang menjurus pada pornoaksi tersebut tentu saja punya dampak yang tidak ringan. Ada tiga hal yang bisa dilihat. Pertama, di pihak TV akan merasa punya legitimasi kuat bahwa mereka membuat acara yang berbau pornoaksi seperti itu karena masyarakat memang membutuhkan. Padahal ini hanya alasan untuk menutupi kepentingan kapitalis di balik itu semua. Pembuat acara itu juga bisa menikmati lekak-lekuk tubuh perempuan yang dijadikan sasaran.
Kedua, masyarakat akan mudah meniru sikap dan perilaku apa yang ditonton di TV. Masyarakat akan menganggap bahwa apa yang tersaji dalam TV itulah kenyataan yang sebenarnya. Bahwa mereka lebih percaya pada tayangan TV daripada kenyataan yang sebenarnya sangat beralasan.
Ketiga, bagi para perempuan yang mempunyai “kriteria ideal perempuan modern” akan menganggap tayangan pornoaksi itulah potret seharusnya juga terjadi pada dirinya saat ini. Mereka akan berlomba-lomba untuk meniru. Bagaimana tidak tertarik? TV mampu menjadikan semua menjadi instan. Ingin terkenal tidak usah berusaha keras atau berpendidikan tinggi, tetapi cukup dengan penampilan seadanya, didukung oleh bodi yang lumayan dan dibuat citra modern lalu masuk TV, jadilan ia terkenal. Tidak peduli apakah, perilakunya itu ditentang masyarakat atau tidak.
Lihat saja tahun 80-an sampai 90-an banyak artis Indonesia yang ingin terkenal secara instan dengan menerjuni film-film “panas”. Lihat saj artis seperti Eva Arnaz, Yenni Farida, Rani Soraya, Enny Beatrice, Febby Lawrence, Sally Marcellina, Inneke Koesherawaty, Malfin Shayna, Kiki Fatmala, Ayu Yohana, Fortunella, Yurike Prastica dan lain-lain. Banyak diantara mereka awalnya artis-artis figuran. Kemudian mendapat tempat utama, setelah kaya dan banyak tawaran mereka kemudian bertobat. Itu tentu saja setelah semua yang ingin dicapainya terpenuhi; kaya, dan terkenal.
Fenomena munculnya Akademi Fantasi Indosiar (AFI), Indonesian Idol, Penghuni Terakhir, Kontes Dangdut Indonesia menjadi salah satu bagian kecil bagaimana TV menciptakan generasi instan. Dan acara-acara itulah yang justru digemari dan diikuti oleh remaja yang ingin terkenal secara cepat. Jadi, pornoaksi tidak lagi dilakukan secara semunyi-sembunyi. Tetapi ia telah memperoleh pembenaran media modern. Bahwa pornoaksi adalak gaya hidup masyarakat modern yang membuat banyak orang ingin menirunya. Readmore »»

Pers dan Pendidikan Multikultur

Sudah banyak diskusi tentang pentingnya pendidikan multikultur di Indonesia. Tetapi dari diskusi yang terungkap jarang yang melihat betapa besarnya peran pers (cetak dan elektronik) dalam menciptakan terwujudnya pendidikan multikultur tersebut.
Mengapa harus pers? Harold D Laswell pernah sampai pada kesimpulan karena pers punya fungsi transmission of the social heritage from one generation to the next. Fungsi ini diimplementasikan dalam fungsi pendidikan yang dimunculkan oleh pers. Artinya, jika pers mentransmisikan nilai-nilai persatuan dan bukan konflik, maka pers sedang menjalankan fungsi menekankan pentingnya persatuan dan jangan melulu konflik. Di sinilah pentingnya pers memegang peranan penting bagi keberhasilan pendidikan multikultur.
Apa yang disajikan pers, menjadi sebuah alat ampuh untuk melakukan pendidikan multikultur. Labelling yang dilakukan pers bisa jadi akan menjadi sumbu ledak bagi usaha munculnya konflik multikultur.
Misalnya, sebuah koran yang ada di Kalimantan pernah memberikan sebutan yang bisa membakar semangat untuk terus berkonflik. Sebut saja kata-kata “menjajah” dan “sarang kaum begal bergundal etnis Madura” (Eriyanto dkk., 2004). Munculnya, atau tepatnya keberpihakan kepentingan pers, menjadi cermin gagalnya pendidikan multikultur yang dilakukan pers itu sendiri.
Meskipun dalam bangku sekolah telah diajarkan pendidikan multikultur, memandang sebelah mata peran media yang sebenarnya mendukung gerakan pendidikan multikultur adalah tindakan yang tak bijaksana. Pendidikan di bangku sekolah seringkali justru sekadar menjadi hiasan formalitas anak didik. Sementara dalam kehidupan sehari-harinya, sikap dan perilakunya tak lepas dari pengaruh pers. Alasannya, masyarakat modern saat ini menjadikan pers sebagai alat utama sumber informasi.
Apa yang Harus Dilakukan
Oleh kerenanya, akan pentingnya pers itu sudah sepantasnya ia harus ditempatkan pada posisi paling depan dalam usaha membangun pendidikan berbasis multikultur. Lalu apa yang harus dilakukan pers, terutama di daerah yang rawan konflik, bagi terwujudnya pendidikan multikultur?
Pertama, pers mau tidak mau harus berdiri diluar dari mereka yang berkonflik. Masalahnya, seringkali pers terlibat atau sengaja melibatkan dirinya pada kelompok yang berkonflik. Tentu saja ini akan mengurangi objektivitas pemberitaannya. Bahkan seringkali pers menikmati keuntungan dibalik keterlibatannya. Jika media masih memihak seperti itu, apapun alasannya usaha untuk memperkuat basis pendidikan multikultur masih gagal. Itulah kenapa pendidikan multikultur tanpa memperhatikan peran pers menjadi pekerjaan yang sangat berat.
Kedua, ketidaklibatan pers dalam konflik akan memberikan otonomi pers untuk memilih dan memilah kalimat, kata-kata secara lebih jernih sesuai untuk kepentingan semua pihak. Kata-kata “menjajah”, “begal begundal” (untuk menyebut contoh) tidak akan muncul manakala pers tak melibatkan diri dalam konflik tersebut. Itulah sebenarnya, mengelola pers yang diserahkan pada mereka yang tak punya sense of news hanya akan menjadikan pers itu sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kepentingan sepihak.
Tidak Mudah
Tentu saja, melibatkan pers dalam membangun pendidikan multikultur tidaklah mudah. Dibutuhkan kemauan pers untuk secara aktif memerankan diri di posisi depan dalam membangun pendidikan tersebut. Sebab, bisa jadi harapan, dan usulan masyarakat agar pers berperan dalam membangun pendidikan berbasis multikultur tidak surut. Tetapi, manakala pers tidak punya kemauan untuk itu semua akan sia-sia.
Pers yang memposisikan diri sebagai pendorong pendidikan multikultur tidak perlu takut dianggap sebagai “pers banci”. Misalnya, dengan kesadaran penuh melakukan peliputan cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang) atau bahkan all sides. Teknik liputan ini, bagi sementara orang dianggap banci karena tidak jelas pemihakannya. Pers dituduh hanya mendahulukan safety first dan mau gampangnya saja. Tetapi justru pers seperti itu yang secara tidak langsung sedang memerankan jurnalisme multikultur. Artinya, ia berusaha menjadi watcher (pengamat) dan tidak melibatkan diri pada kelompok yang sedang bertikai. Pers tugasnya adalah melihat, memperkaya fakta dan data kemudian melaporkannya saja. Interpretasi diserahkan pada masyarakat.
Masih jauh untuk mencapai tujuan pers berperan sebagai pelopor pendidikan multikultur. Tetapi, usaha ke arah itu tentu harus didorong dan dipupuk. Maka, berikan informasi yang benar dan berimbang, pers akan melaporkan apa adanya. Memberikan laporan yang benar dan berimbang tak lain mendorong pers memerankan diri sebagai pendorong gerakan pendidikan multikultur. Readmore »»

Menghentikan Teror TV pada Anak

Orang boleh saja mengatakan bahwa Anda cukup mematikan layar kaca,
tetapi tidak ada cara yang mudah untuk melakukannya”
(Teresa Orange dan Louise O’Flynn).

Minggu lalu, saya melihat running text di Metro TV yang menginformasikan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo berencana akan menerapkan larangan menoton televisi pada pukul 18.30-20.30 WIB. Ini dilakukan karena pada jam tersebut anak-anak sedang dan seharusnya belajar, bukan menonton televisi.
Pemerintah daerah Yogyakarta pada tahun 90-an juga pernah menggalakkan program itu dengan nama Jam Belajar Masyarakat (JBM) pada pukul 18.00-21.00 WIB. Bahkan himbauan itu disosialisasikan dengan ditulis di berbagai tempat. Setelah JBM diterapkan, ada penelitian menarik yang dilakukan oleh seorang dosen IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa JBM ternyata tidak efektif. Bahkan JBM berubah menjadi Jam Belajar Menonton Televisi (JBMT). Artinya, kebanyakan masyarakat justru menonton televisi jada jam itu, meskipun ada larangan (Nurudin, 1997:63).
Niat untuk memberikan peringatan masyarakat seperti yang dilakukan di kota Solo dan Yogyakarta tersebut memang baik. Tetapi, himbauan untuk mematikan televisi -- yang sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat -- juga tidaklah gampang dilaksanakan. Sebab ada banyak variabel yang ikut memengaruhinya.
Sebenarnya, orang tua juga tidak kalah cerewetnya untuk melarang anak-anaknya menonton televisi. Alasannya, televisi kita saat ini disesaki dengan tayangan-tayangan sinetron dan hiburan lain yang tidak mencerdaskan. Anehnya, tema tayangan seperti sinetron hampir seragam; kalau tidak urusan cinta, atau konflik orang tua dengan anak, ya persoalan hamil di luar nikah. Yang berbahaya, seolah-olah tayangan televisi itu dianggap masyarakat sebagai kejadian yang sebenarnya.

Diperlukan Diet Media
Anak-anak memang sangat rentan terhadap pengaruh media. Namun, tidak semua anak-anak bisa terpengaruh. Menurut Teresa Orange dan Louise O’Flynn dalam bukunya The Media Diet for Kids (2007), ditemukan bahwa ada beberapa tipe anak yang gampang terpengaruh media. Misalnya, tipe anak yang suka bersolek atau memperhatikan penampilan, anak yang sedang bingung, anak yang tak punya teman untuk bermain atau merasa minder. Semua jenis tipe anak tersebut sangat mudah terpengaruh media, terutama televisi.
Bahkan orang tua juga berperan serta membuka peluang anak terpengaruh televisi. Orang tua yang punya waktu sedikit untuk anak-anaknya, anak yang sedang mengalami periode tak tenang (misalnya teror, perceraian dan kematian orang tua), anak yang biasa terkurung dalam rumah, anak yang sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah, orang tua yang kecanduan media, dan anak yang terjepit diantara orang tua yang berpisah berpotensi besar terpengaruh. Dampaknya, anak-anak seperti itu akan punya peluang untuk melampiaskan diri mengonsumsi media hiburan terlalu besar.
Jika kemunculan dampak negatif tayangan televisi itu dibebankan pada orang tua ada beberapa cara yang harus dilakukan mereka. Orange dan O’Flynn (2007) memberikan kiat bahwa tak ada cara ampuh selain orang tua harus selalu mengontrol konsumsi media anak alias melakukan diet ketat media pada anak-anak.
Tak terkecuali, jangan menaruh televisi di kamar anak yang belum berusia 12 tahun. Yang lainnya, jangan biasakan waktu makan dengan menonton televisi, dan jangan biasakan anak menonton televisi sebelum dan sesudah tidur. Dan yang paling penting membuat jadwal dimana keluarga sepakat untuk tidak menonton televisi.

Bagaimana dengan Anjuran itu?
Dengan demikian, anjuran agar masyarakat mematikan televisi pada pukul 18.30-20.30 WIB tidak saja tak efektif tetapi juga akan sulit dilaksanakan. Ada beberapa alasan, pertama, ketergantungan masyarakat pada televisi selama ini sangatlah tinggi. Ini sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Mayoritas pecandu sinetron kita umumnya adalah mereka yang tingkat intelektualnya tidak begitu tinggi. Alasannya, menonton acara-acara seperti itu tidak membutuhkan perangkat kecerdasan tertentu. Asal secara inderawi sempurna. Televisi juga biasanya ditonton hanya untuk hiburan semata. Itu pulalah kenapa acara-acara sinetron dan bentuk hiburan lain ditayangkan pada jam prime time.
Kedua, terkait dengan kebaradaan anak-anak, bisa jadi anak-anak menurut saja keinginan orang tua untuk tidak menonton televisi. Ini disebabkan karena mereka umumnya takut. Coba seandainya anak-anak tidak begitu takut sama mereka atau orang tua tidak ada di rumah, tak ada yang bisa menjamin mereka tidak menonton televisi.
Ketiga, anak-anak tergantung televisi karena orang tua juga pencandu televisi. Bagaimana mungkin orang tua akan melarang anak-anaknya agar tak menonton “Cinderella (Apakah Cinta Hanyalah Mimpi?)” di SCTV, “Candy” di RCTI, yang disiarkan setiap jam prime time kalau ibunya juga kecanduan pada acara tersebut? Tentu, anak tidak mudah untuk dilarang menonton televisi, bukan?

Yang Perlu Dilakukan
Jika pemerintah kota Solo serius agar anak-anak di kota ini tidak terpengaruh tayangan negatif televisi ada beberapa pilihan yang bisa dijadikan prioritas. Pertama, melakukan kampanye anti televisi. Karena televisi punya dampak negatif yang besar, perlu dilakukan kampanye anti televisi. Langkah ini tak bermaksud melarang masyarakat tak boleh menonton televisi, tetapi bertujuan memberikan penyadaran mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan ceramah, simulasi, atau bentuk-bentuk kampanye yang lain. Tentu saja, jika memang pemeritah kota Solo serius memikirkan dampak negatif tayangan televisi pada anak-anak.
Kedua, investasikan dana untuk media literacy. Ini kegiatan yang tak kalah pentingnya. Kegiatan ini dilakukan untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang melek media. Bahwa masyarakat bisa menimbang, memilih acara atau media apa yang berguna bagi dirinya menjadi target penting.
Pasang iklan, spanduk, himbauan, membina lembaga-lembaga non pemerintah untuk teribat aktif sangat baik dilakukan. Tentu saja, ini tidak akan lepas dari dana. Pemerintah kota jelas harus punya keberanian menginvestasikan dananya untuk kegiatan tersebut. Lembaga independen seperti LSM misalnya, perlu didanai untuk melakukan riset yang bisa digunakan untuk merumuskan kebijakan apa yang baik untuk langkah antisipasi ke depan. Bukankah dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dalam era otonomi daerah ini sudah meningkat tajam?
Ketiga, memberikan social punishment pada televisi. Artinya, masyarakat harus terus dihimbau untuk memboikot televisi. Tentu saja, kegiatan ini tidak mudah dilakukan. Hanya mereka yang benar-benar sadar akan pengaruh negatif televisi pada anak-anaklah yang berani dan mampu melakukannya. Masalahnya, tidak semua masyarakat mau melakukan boikot pada televisi. Artinya juga, jangan ngomong kalau tidak suka sinetron, tetapi diam-diam menontonya.
Dari kegiatan ini televisi telah terkena hukuman sosial masyarakat. Pemkot jelas punya kepentingan atas hal ini. Program kebijakan terhadap dampak negatif televisi pada anak-anak juga harus mengarah ke situ. Hal yang tak kalah pentingnya adalah mengajak anggota DPRD untuk ikut ambil bagian dalam program tersebut. Bukankah mereka wakil rakyat yang tugasnya melindungi masyarakat (termasuk dampak negatif tayangan televisi)? Inilah beberapa catatan yang layak direnungkan. Yang jelas, jangan sampai ada anggapan masyarakat, bahwa pelarangan itu dilakukan karena Pemkot punya kepentingan teselubung dibaliknya. Readmore »»

Media Massa, Penentu Suara dalam Pilkada

Karena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan secara langsung, calon kepala daerah tidak akan bisa lepas dari strategi Public Relations (PR) modern. Ini tak lain karena kita sudah hidup dalam dunia media massa yang kian canggih. Bahkan dalam bukunya The Fall of Advertising and the Rise of PR, Al Ries & Laura Ries (2003) pernah mengatakan, saat ini era periklanan sudah mati, yang muncul adalah era PR.
Calon kepala daerah ibarat sebuah barang dan merek. Kita tidak akan bisa meluncurkan sebuah merek hanya dengan iklan saja. Iklan punya kredibilitas rendah bahkan dianggap membohongi, sementara PR punya persepsi positif.
Contoh dalam kasus pemasaran misalnya begini. Manakah diantara merek dibawah ini yang sering Anda dengar? Cardinal Halth, Delphi Automotive, Ingram Micro, Lehman Brother Holdings, McKesson HBOC, Liant Energy Southern , Tosco, TIA CREF, Utilicorp United atau Microsoft?
Tidak perlu diragukan lagi, bahwa nama Microsoft lebih akrab di telinga kita. Padahal sepuluh perusahaan selain Microsoft di atas lebih besar. Tetapi, kesepuluh perusahaan tersebut tidak satupun yang membangun merek sebanding dengan Microsoft. Padahal, TIA-CREF (misalnya) beberapa tahun lalu pernah mempunyai pemasukan sebesar $38 milyar, sedangkan Microsoft hanya $23 milyar. Tetapi Microsoft adalah sebuah merek.
Media Relations
Itu pulalah kenapa calon kepala daerah tidak hanya bisa mengandalkan iklan sebagai salah satu cara untuk mempopulerkan dirinya di tengah masyarakat. Saat ini masyarakat juga semakin rasional sehingga hubungan emosional dan psikologis bukan satu-satunya cara jitu untuk meraih simpati masyarakat. Misalnya, mentang-mentang seorang kandidat adalah pemuka keagamaan otomatis akan memudahkan dirinya menjadi kepala daerah. Itu belum merupakan garansi.
Satu strategi PR yang saat ini populer adalah media relations (hubungan media). Dalam komunikasi pemasaran, cara ini sedang digalakkan dan menjadi program cerdas perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan kecil biasanya hanya mengandalkan iklan dengan isi yang persuasif tetapi penuh dengan tipu muslihat. Yang dijadikan orientasi hanya barangnya terkenal dan laku dijual. Mereka umumnya tidak mempertahankan loyalitas konsumen dan hubungan personal.
Calon kepala daerah ibarat sebuah merek yang perlu dijajakan ke masyarakat. Oleh karena itu, karena ia sebuah produk baru ia perlu dikenalkan ke masyarakat, diungkapkan kelebihan yang dimiliki. Tentunya, “perusahaan” yang mensponsorinya tidak hanya mengenalkan “merek” itu tanpa mengetahui atau menggaransi bahwa “barangnya” memang berkualitas.
Cara modern yang sedang menjadi program perusahaan adalah media relations di atas. Calon kepala daerah mau tidak mau harus melakukan strategi PR seperti halnya perusahaan itu.
Mengapa? Saat ini kita hidup dengan media massa (cetak dan elektronik). Apa yang kita pikir, kita perbuat, kita beli, kita sosialisasikan, kita ungkapkan tak lepas dari peran media massa itu. Bahkan bisa dikatakan media telah membentuk hidup kita sehari-hari. Jika kita mau jujur apa yang kita beli, kita pakai, kita kemukakan lebih banyak berdasar dari media massa. Ini realitas dari perkembangan masyarakat modern kita.
Akan arti pentingnya media massa Marshall McLuhan dalam buknya terkenal Understanding Media, The Extension of Man (1999) pernah mengatakan bahwa media adalah the extension of man (media adalah ekstensi/perluasan) manusia. Artinya, apa yang dipikirkan, diinginkan manusia bisa diperluas perwujudannya melalui media massa. Bahkan media massa berbuat lebih dari apa yang bisa dilakukan manusia.
Jika manusia hanya bisa berpidato dihadapan ribuan orang, media massa melakukannya ke jutaan orang. Akan berbeda dampaknya seandainya apa yang dipidatokan itu kemudian disiarkan media massa, meskipun hanya dihadapan puluhan orang saja. Sama artinya, buat apa demonstrasi besar-besaran tetapi media massa tidak menyiarkannya/memberitakannya? Lebih berdampak hebat jika demonstrasi kecil-kecilan tetapi bisa disiarkan media massa.
Begitu hebatnya media massa sampai Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “Jika media dibiarkan saja, saya tidak akan bisa berkuasa lebih dari tiga bulan”. Atau simak pendapat bapak kemerdekaan Amerika, Thomas Jefferson, “Seandainya saya harus memi­lih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya -- tidak ragu-ragu lagi -- akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah". Pernyataan Bonaparte atau Jefferson itu tentu bukan bualan seorang anak kecil di siang bolong semata, tetapi dipikir secara dalam karena hebatnya pengaruh media massa bagi masyarakat.
Bagaimana Dengan Kandidat?
Calon kepala daerah bisa juga melakukan strategi media relations. Kita bisa mengambil contoh kasus kesuksesan presiden SBY dalam pemilihan presiden tahun lalu. Ia berhasil menuduki RI-1 tak lain karena kemampuannya membangun citra di media massa.
Untuk mewujudkan itu semua, para calon kepala daerah itu bisa melakukan kegiatan sebagai berikut; pertama, para calon harus menjalin hubungan dekat dengan media massa. Ini bisa dilakukan dengan kunjungan ke dapur redaksi media yang bersangkutan. Media, karena dikunjungi calon kepala daerah, ada kemungkinan besar untuk memberitakannya. Ini pulalah yang dahulu pernah dilakukan SBY dan Amien Rais untuk menyaingi kepopuleran Megawati karena kedudukannya sebagai presiden sudah menarik perhatian media massa.
Kedua, undanglah media massa dimana calon itu melakukan kegiatan politik seperti kampanye, pidato politik, kebijakan yang akan diputuskan. Bisa jadi media tanpa diundangpun ingin meliputnya, tetapi mengundang mereka bukan pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua calon.
Ini dimaksudkan agar setiap kegiatan yang dilakukan kandidat bisa diketahui masyarakat. Paling tidak, masyarakat tahu bahwa “seseorang” itu calon kepala daerah.
Ketiga, sering-seringlah membuat press release (siaran pers). Entah memang ada kebijakan atau keinginan yang ingin disampaikan ke masyarakat atau hal lain. Tetapi yang jelas, calon kepala daerah tidak boleh “menyakiti” pers. Atau membuat pernyataan yang membuat jengkel wartawan. Sebab, begitu sang kandidat membuat “kesalahan” seperti itu Anda mungkin tetap muncul di media massa tetapi dengan berita yang justru merugikan Anda sendiri. Termasuk di sini, menghindari untuk mengatakan “no comment”. Pernyataan seperti itu jelas tidak disukai oleh wartawan. Anda juga akan dicitrakan sebagai orang yang tertutup.
Tetapi ada satu hal lain yang harus dilakukan jika ia terpilih menjadi kepala daerah. Tetap menjaga hubungan baik dengan wartawan. Umumnya, para politisi kita pada awalnya berhubungan baik dengan wartawan, tetapi ketika sudah “mapan” ia lupa bahkan menghindar dari wartawan. Biasanya, politisi itu takut karena “dosanya” diketahui umum.
Maka, mengaja hubungan baik dengan media massa tidak saja akan memuluskan langkah sang calon menjadi kepala daerah tetapi juga akan menentukan “hidup matinya” pemerintahan daerah yang dipimpinnya nanti. Sudah saatnya, menempatkan media massa di depan dan bukan dipolitisir untuk tujuan yang mementingkan kepentingannya sendiri.
Media massa punya mata dan telinga. Sang kandidat akan diberitakan baik manakala ia baik, tetapi akan diberitakan jelek jika sebaliknya. Jadi, saat ini hidup matinya calon kepala daerah sangat mungkin ditentukan oleh media massa. Readmore »»

Menyoal Jurnalisme Sensasional

Ketidakpuasan atas pembebasan Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi (Pemred) majalah Play Boy atas semua tuduhan dan tuntutan jaksa tentang penyebaran tindak kesusilaan belum berhenti. Atas pembebasan tersebut, majalah yang pertama kali terbit pada 6 April 2006 itu secara hukum sah untuk diterbitkan kembali dan bahkan punya proteksi secara hukum.
Namun demikian, kelompok yang tidak suka dengan majalah lisensi Amerika tersebut akan terus melakukan perlawanan. Bahkan razia dan protes keras tinggal menunggu waktu. Dengan nada kecewa kelompok penentang ini mengucapkan, “Selamat datang di negeri porno” saat setelah putusan dibacakan.
Lepas dari perdebatan bahwa Play Boy menyebarkan pornografi atau bukan, yang layak untuk diperhatian adalah esensi semakin menguatnya jurnalisme sensasional di Indonesia. Jurnalisme ini lebih menentingkan segi yang menarik dan kurang memperhatikan sesuatu yang relevan. Mau bukti? Lihat saja televisi kita.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pernah membuat sebuah analogi menarik kaitannya dengan jurnalisme sensasional ini. Bagi penulis buku The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect itu, media sensasional diibaratkan dengan perilaku seseorang yang ingin menarik perhatian orang dengan pergi ke tempat umum, lalu melucuti semua yang dikenakaannya alias telanjang. Bisa jadi ada beberapa orang di sekitar yang ikut menikmati “tontotan” tersebut. Tetapi yang dipertanyakan oleh Kovach dan Rosenstiel adalah bagaimana orang telanjang tersebut menjaga kesetiaan penontonnya? Diperinci menjadi begini, bagaimana (apakah sanggup) media sensasional bisa menjamin kesetiaan pembacanya?
Ini tentu berbeda dengan media yang proporsional. Media yang proporsional diibaratkan sebagai seorang pemain gitar dengan hanya sedikit orang yang memperhatikannya. Tidak seperti orang yang telanjang tersebut dengan jumlah penonton yang banyak. Namun demikian, seiring dengan peningkatan kualitas dia bermain gitar, semakin lama semakin banyak orang yang memperhatikannya dan mendengarkannya. Media yang proporsional adalah media yang membangun kualitas beritanya sedikit demi sedikit, akhirnya memunculkan kesetiaan pembacanya bener-benar dibutuhkan.
Koran New York Times (NYT) adalah koran yang bisa dijadikan contoh media proporsional. Adolph Ochs pemilik NYT adalah orang yang anti terhadap sesuatu yang berbau populer dan sensasional. Populer dan sensasional ini di Amerika pernah disebut dengan koran kuning yang hanya menampilkan berbagai cerita-cerita sensasional, komik, dan juga gambar-gambar yang menuruti “selera rendah”. Ia hendak mengelola koran itu menjadi surat kabar yang serius, dan mengutamakan kepentingan publik. Tak heran karena ambisinya ia pernah menjual NTY dengan harga murah seharga 1 sen (sebelumnya koran itu dijual dengan 3 sen). Ini tentu bukan keputusan mudah. Tetapi perkembanganya sangat mengejutkan, dari sirkulasi 9000 eksemplar pada tahun 1896 menjadi 75.000 eksemplar tiga tahun kemudian (1899). Dua tahun sesudahnya (1902) oplahnya menjadi 100.000 eksemplar dan pemasukan iklannya menjadi dua kali lipat. Pada tahun 1980-an oplahnya mencapai 900.000 eksemplar dengan penghasilan 3,15 juta dollar per tahun. Inilah sejarah proporsionalitas koran yang sudah berumur 100 tahun lebih dan telah mengawal 20 presiden Amerika (Haryanto, 1996).
Ini juga pernah dilakukan oleh Eugene Meyer pada tahun 1933. Ia membeli harian The Washington Post sambil mengatakan, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat”. Keinginan kuat Meyer (sama dengan yang diyakini Ochs) ternyata benar bahwa proporsionalitas ternyata bukanlah omong kosong. Mereka menjadikan korannya prestisius sekaligus menguntungkan secara bisnis.
Masa Depan
Kenyataan yang terjadi di Amerika tersebut sangat berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Media-media di Indonesia masih mengembangkan jurnalisme sensasional yang sarat dengan hiburan dan hal-hal yang menuruti selera masyarakat “kebanyakan”. Di televisi kita penuh dengan tayangan infotainment, ada yang menyebutnya dengan gosiptainment atau idiottainment. Semua berita dibingkai secara populer.
Kemenangan Play Boy di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu semakin menguatkan bahwa jurnalisme sensasional sedang menjadi pilihan alternatif meskipun belum tentu menjamin kelangsungannya dalam jangka panjang. Play Boy akhirnya akan merasa menjadi “pemenang” dan kelompok lain yang selama ini masih takut-takut membuat media seperti itu punya legitimasi kuat dan alasan yang lebih rasional. Play Boy tentu saja akan melahirkan “anak-anak” yang meniru perilaku “orang tuanya” itu.
Ini tentu saja logis. Di Indonesia ketika sebuah media atau acara tertentu di televisi sukses akan ditiru oleh media lain. Akamedi Fantasi Indosiar (AFI) memunculkan saingan Indonesian Idol, Pildacil, KDI, dan lain-lain. Acara sinetron religius yang “berbau mistik” pertama kali di TPI, kemudian diikuti oleh stasiun televisi lain. Lihat misalnya, Astaghfirullah dan Kuasa Ilahi (SCTV), Azab Ilahi dan Padamu Ya Rabb (Lativi), Taubat dan Hidayah (Trans TV), dan Titipan Ilahi (Indosiar) dan lain-lain.
Dampak lain yang akan sangat terasa adalah semakin menguatnya eskalasi kekerasan akibat “kemenangan” Play Boy atas FPI. FPI tentu saja belum sepenuhnya menerima kenyataan itu. Seperti yang selama ini dilakukan, mereka dengan dalih agama akan terus melakukan “razia” terhadap pornografi dan pornoaksi. Kalau perlu, harus ditempuh dengan jalan kekerasan mewujudkan keyakinannya tersebut. Tentu saja ini akan menjadi problem dan pekerjaan rumah bagi aparat keamanan, penegak hukum dan pemerintah sendiri.
Sementara itu, karena Play Boy punya landasan hukum kuat dan selaku pemenang akan semakin “tinggi hati” untuk terus melawan kegiatan FPI dengan terus menyebarkan majalah-majalahnya. Yang terjadi kemudian bukan lagi rasionalitas berpikir yang dikedepankan, tetapi emosi dan ego masing-masing kelompok yang kemudian melandasi setiap perilaku mereka. Bukan tidak mustahil, sebagaimana yang pernah saya tulis di harian Solo Pos, semakin dilarang, Play Boy justru akan semakin tersebar.
Yang jelas, Play Boy akhirnya akan menjadi dasar semakin menguatnya jurnalisme sensasional di Indonesia. Tetapi, suatu saat jurnalisme ini akan kehilangan simpati dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat. Sama seperti orang telanjang di tempat keramaian. Ia akhirnya tidak lagi mendapatkan popularitas, tetapi justru caci maki, hinaan dan rasa muak orang yang melihatnya. Readmore »»

Ada Apa dengan Iklan Aa Gym?

Anda mungkin diantara penonton televisi yang pernah melihat iklan Aa Gym (KH Abdullah Gymnastiar) yang membintangi sebuah iklan tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ternyata iklan tersebut mendapat protes masyarakat luas. Paling tidak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) MPO, dan Pelajar Islam Indonesia (PII) mempermasalahkan iklan itu.
Ceritanya, ada seorang bapak mematikan televisi yang tengah ditonton bersama keluarganya. Di layar muncul gambar unjuk rasa antikenaikan harga BBM. Disela-sela demonstrasi ada teriakan histeris perempuan lanjut usia memegang jerigen minyak tanah. Sambil terjepit antri ia berujar, “Kasihan Pak, yang kecil Pak”.
Adegan selanjutnya, di depan pintu sebuah rumah keluarga tersebut muncul Aa Gym. Ia berkata, “Saudaraku, kenaikan minyak dunia menjadi cobaan luar biasa bagi bangsa, termasuk kita. Kita harus siap menghadapi kenyataan”.
“Jadi gimana nasib orang miskin?” tanya si Bapak yang punya rumah.
Kiai itu menjawab, “Kita harus siap menghadapi kenyataan. Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Yang penting kita kompak, bersatu, sabar, dan gigih mencari solusi. Kita harus dekat dengan Allah. Ingat kesabaran, pengorbanan, kalau ikhlas tidak disia-siakan Allah”.
Iklan tersebut ternyata adalah iklan yang dikeluarkan oleh Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) tentang kenaikan harga BBM lewat Peraturan Presiden nomor 55 Tahun 2005 belum lama ini.
Mengapa Diprotes?
Ada beberapa masalah mendasar mengapa iklan Aa Gym tersebut diprotes masyarakat. Pertama, Aa Gym telah menyeret wilayah profan yang bersifat keduniawian menjadi wilayah sakral yang bersifat keakhiratan. Kenaikan harga BBM adalah dampak dari kebijakan manusia, disebabkan manusia dan dilakukan oleh manusia. Dalam tataran kebijakan publik, kenaikan harga BBM adalah murni dilakukan oleh negara. Tetapi, wilayah negara ini diseret ke wilayah agama.
Iklan itu, lewat pernyataan Aa Gym, dianggap sebagai sebuah kehendak Tuhan. Kenaikan itu merupakan bagian dari rencana Illahi. Maka tak ada cara lain yang dilakukan manusia kecuali dengan menerima apa yang sudah digariskanNya dengan diimbangi oleh sikap sabar, ikhlas, dan rela berkorban.
Bahkan Aa Gym tidak lupa mengutip surat Al Baqoroh yang menyatakan bahwa “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya”. Tafsirannya adalah bahwa kekenaikan harga BBM sebagai rencana Illahi itu tidak akan membebani masyarakat. Tuhan sudah tahu bahwa kenaikan harga BBM sudah berada dalam kemampuan daya beli manusia Indonesia.
Di sinilah kemudian agama menjadi alat untuk legitimasi kepentingan politik pemerintah. Agama tidak ditempatkan sebagai ajaran kemanusiaan (terciptanya keadilan, kesejahteraan), tetapi digunakan untuk mendukung kebijakan pemerintah saja. Padahal kenaikan harga BBM itu lebih banyak karena peran pemerintah. Jika terjadi protes tidak harus mengembalikan kepada urusan Tuhan, tetapi ke pemerintah. Dalam hal ini ada pendangkalan masalah yang terjadi. Seolah urusan agama adalah urusan negara saja untuk mendukung dan tidak mendukung kekuasaan dirinya.
Kedua, protes masyarakat atas iklan Aa Gym tersebut karena iklan yang dikeluarkan Depkominfo itu telah mengerdilkan peran KH Abdullah Gymnastiar sebagai seorang kiai pengayom umat. Aa Gym cenderung membela pemerintah lewat Depkominfo dan justru tidak membela kepentingan orang banyak yang jelas merasa tersiksa dengan kenaikan harga BBM.
Dari sini ada disorientasi peran kiai. Ia yang dikenal dekat dengan rakyat, memberdayakan rakyat lewat kegiatan ekonominya justru lebih memihak pemerintah. Bukan tidak boleh, hanya akan merugikan dirinya dan masyarakat pada umumnya.
Maka, protes yang dilakukan masyarakat harus dilihat sebagai sebuah perilaku kecintaan mereka pada pemimpin pesantren Darut Tauhid tersebut. Mereka tentu tidak ingin peran kiainya menjadi kerdil hanya gara-gara membintangi iklan. Dan tentu saja, perilakunya jangan-jangan diikuti kiai-kiai yang lebih muda. Kalau begitu, jabatan kiai benar-benar sangat politis sekali.
Ketiga, iklan dalam banyak hal setengahnya adalah bohong. Sementara itu, meskipun apa yang dilakukan Aa Gym itu Iklan Layanan Masyarakat (ILM), tetap mengandung setengahnya bohong. Coba kita simak iklan-iklan di televisi yanga hanya mengejar asal laku dan tidak banyak yang memberikan informasi secara benar. Iklan mutlak bersifat persuasif. Misalnya, mana ada obat pusing yang bisa menghilangkan sakit kepala dalam waktu satu menit?
Keterlibatan kiai dalam iklan telah menurunkan citra kiai pula sebagai pemimpin umat. Kiai akan dituduh mementingkan kepentingan pribadi karena iklan lebih punya popularitas dan punya dampak keuntungan materi lebih banyak dari pada memberikan nasihat keagamaan pada masyarakat.
Tentu saja ini tak menuduh bahwa kiai model tersebut sangat materialistis. Tetapi yang jelas, kiai adalah sebutan yang diberikan masyarakat karena kelebihannya dalam pemahaman masalah keagamaan yang bisa dijadikan acuan masyarakat awam. Kalau kiai sudah memihak, maka sebutan kiai jelas sudah mulai digerogoti dari dirinya. Apalagi, Padahal, Aa Gym adalah kiai yang cukup dekat dengan rakyat dan punya pengikut yang banyak selama ini.
Sakralisasi
Dari permasalahan di atas, layak kiranya masyarakat memprotes iklan kenaikan harga BBM yang dibintangi oleh Aa Gym tersebut. Kenaikan harga BBM memang sebuah keniscayaan, tetapi keniscayaan tersebut tidak perlu menyeret persoalan agama. Agama punya wilayah tersendiri yang berbeda dengan wilayah politik. Biarlah politik diurusi oleh pemerintah, sementara kalangan agamawan tidak perlu untuk ikut-ikutan terlibat di dalamnya.
Yang menjadi kekhawatiran adalah jika politik dicampuradukkan dengan agama adalah terjadinya sakralisasi kebijakan. Bukan tidak mustahil karena dilegitimasi kiai kondang seperti Aa Gym, kenaikan harga BBM menjadi sesuatu yang harus diterima. Sesuatu yang harus diterima ini lebih berbahaya jika masyarakat menganggap kenaikan harga BBM sebagai ajaran agama karena dilegitimasi oleh seorang kiai. Ini hampir sama kasusnya dengan dukungan kiai pada salah satu partai politik (parpol) yang mensakralkan wilayah politik (parpol) karena dukungan agama (para kiai).
Kalau wilayah politik mengalami sakralisasi, berbagai perubahan akan sulit dilakukan karena kebijakan negara berlindung dibalik “jubah” agama. Memprotes kebijakan pemerintah (salah satunya kenaikan harga BBM) tidak akan dilakukan masyarakat karena dianggap memprotes ajaran agamanya pula.
Dari sinilah agama akan mengalami penurunan maknanya yang suci. Yang dikhawatirkan adalah agama mengalami materialisasi. Artinya orang akan memeluk agama bukan karena ajarannya, tetapi karena memberikan keuntungan materi. Dari sinilah protes terhadap iklan yang dibintangi Aa Gym harus ditempatkan dan dipahami secara bijak. Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics