Senin, Desember 15, 2008

Menyoal Situs Porno, Gambar Telanjang dan lain-lain

"Jangan bugil didepan kamera", demikian judul sebuah buku yang diterbitkan sebuah LSM dari hasil penelitian terhadap fenomena merebaknya Gambar-Gambar Telanjang di internet.

Di sekitar tahun 80-an, peredaran gambar-gambar telanjang hanya menggunakan media kertas sebagai perantara misalnya majalah porno seperti Playboy, kartu wayang, dan lembaran kertas yang dijual di terminal-terminal kota.

Kini dengan semakin canggihnya media elektronik membuat peredaran gambar-gambar tersebut beralih dari media kertas ke media elektronik. Sebuah gambar tidak lagi berwujud di atas kertas tetapi sudah menjadi bit-bit file yang tersimpan dengan aman di dalam folder-folder komputer. Maraknya handphone berkamera dan fasilitas transfer data antara handphone membuat gambar-gambar telanjang tersebut bisa dengan mudahnya masuk ke dalam setiap rumah tangga.

Coba Anda tulis di situs pencara kata-kata "porno", "seks", "telanjang", "bugil", "nude" dan semacamnya. Niscaya Anda akan dibawa ke situs yang menyediakan layanan pornografi. Atau ketik saja nama salah satu model Indonesia, misalnya "Cynthiara Alona Bugil", "Wiwid Gunawan Seksi", "Julia Peres Telanjang" dan semacamnya yang tidak jauh berbeda. Atau juga kata-kata "Tante Girang", "Gadis Bispak", "Mahasiswa Bugil" dan lain-lain. Situs yang disertai gambar-gambar yang membuka aurat. Bahkan, karena banyaknya orang yang mencari ketika Anda mengklik "Telanjang" (misalnya) yang terbuka bukan gambar atau situs telanjang tetapi situs yang menawarkan sebuah produk yang dijual. Lepas dari itu, yang jelas kata-kata tersebut memang banyak dicari user.

Merebaknya gambar-gambar seronok secara bebas dimulai ketika internet memasuki gaya hidup orang-orang kota. Media tanpa batas ini turut memberi andil yang sangat besar atas begitu mudahnya gambar dan foto telanjang cewek-cewek Indonesia menyebar ke seluruh dunia.

Setiap saat selalu saja ada korban foto bugil. Terakhir di kota Makassar-Maros, seorang istri melaporkan suaminya ke polisi setelah menemukan sebuah video 3gp di komputer suaminya. Selain itu ada juga kasus Artis yang menjadi korban foto telanjang di kamar mandi, kasus foto palsu Bunga Citra Lestari, cewek SPG Mall di Kota Cilegon yang cukup menggegerkan warga sana, gambar-gambar seksi Chika dari bandung, bahkan salah seorang korban asal Mojokerto telah melaporkan pembuat gambar dirinya ke pihak yang berwajib.
Di internet, penyebaran gambar telanjang biasanya menggunakan media Mailing List dari Yahoo. Di mailing list tersebut terkadang terjadi ajang tukar-menukar gambar.

Jika si A hari ini memposting gambar seksi, maka besoknya si B akan memberi balasan berupa gambar telanjang lainnya. Dari Mailing List, sebuah gambar biasanya akan berpindah ke website spesialis porno. Dan dari web-web seperti itu, semua orang bisa mengakses atau mendownloadnya secara bebas.

Beberapa tahun lalu, untuk melihat foto cewek telanjang, seseorang harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi, lirik kiri-kanan atau membawa gambar ke tempat yang sunyi kemudian di nikmati diam-diam. Kini, gambar dan foto-foto itu bisa dilihat hanya dengan berkunjung ke warnet. Di beberapa warnet bahkan menyediakan folder tertentu di komputernya yang berisi foto-foto cewek telanjang.

Tetapi kini, melihat-lihat gambar perempuan telanjang bukan lagi hal tabu. Dimana-mana, di sekolah, di kantor, di kampus gambar-gambar porno itu beredar luas. Oleh mahasiswa, pegawai kantor, siswa, pria maupun wanita. Gambar telanjang tidak lagi menjadi fenomena luar biasa.

Sebuah foto atau gambar biasanya beredar karena ulah usil dari sang pria tetapi tidak sedikit kejadian karena kekhilafan dari si wanita sendiri. Karena ingin melihat foto diri sendiri, seorang cewek terkadang membuat gambar dirinya dalam keadaan telanjang. Di beberapa kasus, foto-foto tersebut malah beredar setelah handphonenya hilang atau ketika di bawa ke counter handphone.

Peredaran foto seksi banyak juga melalui Media Pertemanan seperti Friendster dan Facebook. Lihat, foto-foto bugil, dan video telanjang Maria Ozawa bisa diakses gratis oleh siapa saja. Situs-situs online ini memiliki fasilitas upload foto dan video. Walau melarang menyimpan foto telanjang dan bugil ada saja foto-foto yang lolos sensor. Yang paling parah adalah jika foto tersebut di copy oleh orang tidak bertanggung jawab dan kemudian disebarluaskan melalui situs situs porno.
sumber : http://www.konseling.net/info_hot/gambar_telanjang.htm
Readmore »»

Kamis, Desember 11, 2008

Artis jadi Pejabat dan Gagalnya Kaderisasi Parpol

Setelah Rano Karno (Wakil Bupati Kabupaten Tangerang) dan Dede Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Barat) menjadi pejabat, Saipul Jamil (penyanyi dangdut dan presenter) dan Wanda Hamidah berencana mengikuti mereka. Saipul Jamil akan diusung PPP sebagai kandidat Wakil Walikota Serang, sementara Wanda Hamidah siap maju sebagai calon Wakil Walikota Tangerang.

Yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa banyak artis yang tertarik menjadi pejabat dan kenapa pula Parpol merasa berkepentingan terhadap posisi seorang artis?

Realitas media

McGinniss (1969) dalam The Selling of The President 1968 pernah menyebutkan adanya kekuatan penting yang diperankan oleh media massa dalam pemilihan. Media massa mampu menentukan pilihan seseorang setelah ikut membentuk, manipulasi citra yang dilakukan seorang kandidat. Terbukti, ada peningkatan jumlah pemilih secara drastis terhadap seorang kandidat setelah dipublikasikan media massa.

Itu berarti, media mampu membentuk dan memopulerkan seorang artis. Citra artis sebagai orang yang ganteng, cantik bisa masuk kriteria masyarakat untuk memilihnya, lepas dari apakah artis ini mempunyai track record (rekam jejak) yang baik atau tidak. Apalagi, masyarakat semakin lama semakin “muak” dengan perilaku elite politik bukan artis. Mereka disibukkan dengan mengurusi kepentingan diri dan kelompoknya.

Apalagi kemudian beredar isu banyaknya anggota legislatif yang notabene berlatar belakang Parpol terlibat persoalan korupsi. Kenyataan ini sungguh membuka mata banyak pihak akan sosok negatif elite politik.

Termasuk juga ”keengganan” kalangan DPR untuk digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi KPK) menjadi perilaku yang jelas tidak simpatik di mata masyarakat. Peristiwa semacam ini juga semakin memperburuk citra anggota legislatif kita.

Di sisi lain ada artis yang tiba-tiba muncul dan sudah dikenal oleh masyarakat lewat ekspos media massa. Dengan keluguan dan mengandalkan popularitas, mereka kemudian tampil ke gelanggang politik. Artis menjadi alternatif pilihan mereka. Seolah ada kesepakatan di masyarakat, yang penting bukan elite politik yang selama ini dikenal dan didukung oleh partai politik.

Sering kali perhitungan di atas kertas bertolak belakang dengan perhitungan riil di masyarakat. Kurang apa pasangan Agum-Nu’man yang didukung oleh PDIP, PKB, PPP, PKPB, PDS dan PBR sampai kalah dengan pasangan Heryawan-Dede Yusuf yang hanya didukung PKS dan PAN? Juga kurang apa Danny-Iwan yang didukung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mempunyai suara besar pula, juga kalah?

Realitas parpol

Sebenarnya, dukungan riil masyarakat pada pasangan calon yang ada artisnya menjadi pukulan telak Parpol. Di mata masyarakat, citra Parpol sudah sedemikian buruknya. Tetapi, Parpol sering kali tidak menyadarinya. Mereka baru sadar setelah calon mereka kalah dalam sebuah kompetisi politik. Sementara itu, dalam pemulihan citra, wajah Parpol tercoreng oleh perilaku individu-individu dalam Parpol itu sendiri. Kurang apa partai besar seperti PKB? Dua kubu (Ali Masykur yang didukung Gus Dur vs Muhaimin Iskandar) harus saling berhadap-hadapan merasa sebagai pemangku paling sah kursi pengurus Parpol.

Konflik kepentingan yang terus mengemuka dalam diri Parpol dibarengi dengan tidak bersihnya para pejabat tinggi partai (termasuk yang menjadi anggota legislatif) semakin memperburuk citra mereka. Dan kenyataan ini diketahui masyarakat lewat pemberitaan di media massa.

Dalam hal ini, Parpol sering putar haluan dengan memakai jasa seorang artis dalam mengejar ambisi merebut posisi kepala daerah. Sebenarnya, Parpol harus merasa malu karena ketidakpercayaan masyarakat kian pudar. Meskipun Parpol bisa jadi tidak peduli dengan hal ini. Sudah bukan saatnya lagi masyarakat ”dicekoki” berbagai program yang muluk-muluk, janji-janji kosong yang tidak masuk akal dilaksanakan. Masyarakat kita sudah sangat cerdas untuk menilai apakah janji yang dikemukakan saat kampanye itu janji kosong atau bukan.

Parpol harus segera memutar haluan. Pertama, mengembalikan jati dirinya sebagai alat penyalur aspirasi rakyat dalam arti sebenar-benarnya. Selama ini, hanya menjadi penyalur, untuk tak menyebut ambisi, individu dan kelompok. Bukan menyebar janji kosong saat kampanye tetapi pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa.

Kedua, jika Parpol tidak memutar haluan, maka para artis yang sebenarnya tidak mempunyai pengalaman politik kenegaraan akan merebut popularitas mereka. Mereka besar bukan karena politik, tetapi karena peran media massa. Ini tidak berarti memandang sebelah mata kemampuan artis. Hanya jangan sampai masyarakat menjadikan pilihan pada artis sebagai pelarian karena ketidaksukaan pada calon dari kalangan politisi atau mantan pejabat. Jika ini terjadi, suatu saat masyarakat akan menuai kekecewaannya.

Banyaknya artis yang terjun ke dunia politik menjadi bukti kegagalan Parpol sebagai tempat sosialisasi dan kaderisasi politik.
(Sumber: Solo Pos, 12 Mei 2008)
Readmore »»

Bias Berita Media Soal Wafatnya Soeharto

Mengamati pemberitaan media massa (cetak dan elektronik) kita sebelum dan sesudah meninggalnya mantan Presiden Soeharto, saya ikut merinding. Secara kuantitas, hampir semua media massa sudah kehilangan daya kritisnya.

Semua pemberitaan nyaris seragam, memberitakan hal yang positif tentang mantan pengusa Orde Baru (Orba) tersebut. Itu tak bermaksud, media massa harus memberitakan sisi negatif saja. Hanya yang agak aneh, keberpihakan media sangat terasa. Tak kalah anehnya adalah pemberitaan seputar pemakaman Soeharto.Apakah itu hanya terjadi pada media massa dalam negeri? Tidak. Media massa luar negeri justru lebih ngeri karena hanya memberitakan sisi buruk Soeharto tanpa melihat sisi positif yang selama ini sudah diberikan kepada bangsa dan negara ini.

Washington Post menurunkan tulisan dengan judul In Indonesia’s Ex-Dictator Soeharto. Sementara itu, ada pula judul-judul yang dibuat; Buried, Soldier, Savior, Strongman, Crook (Newsweek), Suharto, Tyran of Indonesia, Dies Without Facing Justice (The Independent), President Soeharto, 86; Indonsian Ruler Left Mixed Legacy of Prosperity and Untold Deaths (LA Times), Suharto, Former President of Indonesia and Brutal Rules, Dies (Timesonline), dan lain-lain. Yang jelas, gambaran judul beberapa media asing itu terkesan negatif dan memojokkan mantan presiden ke-2 RI tersebut.

Melihat perbedaan yang mencolok pemberitaan media massa dalam dan luar negeri tersebut, kita merenung bagaimana media massa sampai terbawa arus untuk memihak salah satu kecenderungan saja? Di sinilah kita perlu mendiskusikan tentang objektivitas media.

Objektivitas

Berbicara tentang objektivitas media massa, kita bisa memakai perspektif yang pernah diajukan Westerstahl (McQuail, 2000). Dia pernah mengatakan, objektif itu harus mengandung faktualitas dan imparsialitas. Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat) dan mengaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi).

Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu. Objektivitas selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional.Apa yang dikemukakan Westerstahl tersebut tidak mudah untuk diwujudkan.

Media massa tidak lepas dari subjektivitas atau subjektivitas yang objektif. Subjektivitas dilakukan jika media massa memberitakan suatu kejadian yang tidak pernah terjadi. Subjektivitas yang objektif terjadi ketika media massa secara terang-terangan atau tidak cenderung membela salah satu pihak yang sedang diberitakan.

Pemberitaannya berdasar fakta-fakta yang terjadi (objektif), tetapi penulisannya secara subjektif. Jika kita memakai kriteria tersebut, media massa yang memberitakan kasus Soeharto nyata tidak objektif lagi. Ada nuansa bias yang mengiringi penulisan beritanya. Itu sangat terlihat ketika televisi-televisi Indonesia mulai Minggu (27/1) siang sampai Senin (28/1) menyoroti Pak Harto.

Hampir semua televisi hanya memberitakan sisi positif Pak Harto. Bahkan, beberapa stasiun televisi kita memilih narasumber yang mengulas kematiannya kebanyakan berasal dari orang yang pernah punya hubungan dekat dengan mantan penguasa Orba itu. Artinya, kita hampir tak pernah disuguhi pemberitaan bagaimana tanggapan masyarakat Kedungombo (misalnya) ketika harus terusir dari tanah kelahirannya tentang kematian Pak Harto.

Bagaimana pula, komentar keluarga yang menjadi korban "Tragedi Trisakti 1998". Seolah semua sudah di-setting hanya memberitakan seputar permukaan dan tidak banyak menggali hal-hal yang bernuansa kritis. Bisa jadi, itu disebabkan kelemahan televisi untuk memunculkan fakta atau data yang melengkapi beritanya. Tetapi, sebenarnya televisi bisa menugaskan reporter untuk menginvestigasi ke lapangan di luar "acara resmi" pemakaman Pak Harto.

Kenyataannya, bukankah acara televisi tentang berita kematian Soeharto nyaris seragam?IdealnyaPamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam bukunya Mediating The Message (1996) pernah melihat mengapa media massa bisa mempunyai perbedaan dan persamaan dalam liputannya.

Ada beberapa tahap yang memengaruhinya; (1) individual level, (2) media routine level, (3) organizational level, (4) extramedia level, dan (5) ideological level. Jadi, betapa media massa bukan sebuah lembaga yang independen jika dilihat dari pemberitaannya. Semua berita akan terpengaruh oleh banyak hal di dalam dan luar media massa itu sendiri. Apalagi jika ditambah dengan level lain, yakni kemalasan reporter untuk melakukan investigasi ke lapangan.

Reporter hanya senang dengan berita-berita berdasar realitas psikologis (sumber-sumber resmi) yang memunculkan jurnalisme kutipan saja dan tidak berdasar realitas psikologis (melakukan investigasi langsung dan melihat serta menceritakan fakta-fakta di lapangan). Lepas dari kenyataan tersebut, ada beberapa catatan yang layak untuk terus disodorkan kepada media massa kita.

Pertama, dalam situasi apa pun, media massa harus tetap memegang teguh peliputan cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang). Bukan menjadi all sides.

Kedua, media massa sebaiknya memosisikan dirinya sebagai (meminjam istilah Jakob Oetama, 2003) the search dan the production of meaning. Media massa dituntut untuk tak sekadar memberitakan fakta apa adanya secara linear, tetapi fakta yang mencakup. Dengan kata lain, fakta perlu dilengkapi dengan latar belakang, proses, dan riwayatnya serta tali temali yang berkaitan dengan fakta tersebut.

Ketiga, media massa harus menjadi penentu arah perubahan masyarakat dan bukan sekadar memberitakan fakta telanjang. Tentu saja, arah perubahan yang positif di masa datang. Ketika memberitakan kasus wafatnya Pak Harto, media massa tidak harus terjebak pada berita-berita seremonial, tetapi juga mampu mengarahkan, mempertanyakan, menggelitik pembaca bagaimana penyelesaian "kesalahan" Pak Harto di masa lalu.

Itu tak berarti tidak ikut berduka cita, hanya media massa tetap punya tugas mulia seperti itu.

(Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=323781">jawa pos Jawa Pos, 30 Januari 2008).
Readmore »»

Pentingnya Menegakkan Jurnalisme Kemanusiaan

Abstract:
This writing discuss about humanism journalism in Indonesia. Humanism journalism is the most important thing must be application by mass media, because it is journalism based on humankind dignity as main orientation on media writing. Without it, journalism in Indonesia will be dehumanization, but media interest, political will of government as a few obstacles to keep up it.
Kata Kunci: Jurnalisme kemanusiaan, media massa.

Pendahuluan
Pers kita menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang multi etnis dengan beragam heterogenitas. Tetapi, tidak semua media massa kita mampu untuk menyadari betapa heterogenitas itu tanpa dilandasi dengan semangat jurnalisme kemanusiaan hanya akan memperkeruh suasana yang buntutnya perseteruan yang tak kunjung usai. Akibatnya, persoalan bangsa ini semakin jauh dari penyelesaian.

Tulisan ini akan membahas pentingnya perjuangan menegakkan jurnalisme kemanusiaan dengan melihat sejarah kemunculan kemanusiaan, kaitan antara manusia dan kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan, peta jurnalisme kemanusiaan dan non kemanusiaan, jurnalisme kemanusiaan di Indonesia dan kendalannya.

Kaitan antara manusia dan kemanusiaan sedemikian erat. Banyak buku-buku dan penelitian yang membahas kaitan keduanya. Ini disebabkan karena kemanusiaan adalah hal dasar yang dipunyai oleh manusia, meskipun masing-masing orang berbeda menumbuhkembangkan kemanusiaan di dalam dirinya. Namun demikian, eratnya hubungan antara manusia dan kemanusiaan beserta kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia menyebabkan kemanusiaan tersebut mengalami perkembangan yang berbeda satu sama lain. Agar tidak mengalami bias makna dan esensi dasar kemanusiaan itu melebar, banyak buku-buku yang telah memberikan penjelasan lebih lanjut.

A. Mangunhardjana (1997:94) dalam bukunya Isme-Isme dari A Sampai Z menjelaskan asal-usul kata kemanusiaan. Kemanusiaan berasal dari kata humanisme (Inggris). Jika dilihat dari akar katanya, humanisme berasal dari bahasa Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti “manusia”. Humanus berarti “bersifat manusiawi”, atau “sesuai dengan kodrat manusia”. Kata humanisme sebenarnya mempunyai banyak arti karena masing-masing orang yang mengemukakannya memberikan kriteria berdasar tipe-tipe humanisme tertentu. Misalnya, ada Literary Humanism, Renaissance Humanism, Cultural Humanism, Philosphical Humanism, Christian Humanism, Modern Humanism, Secular Humanism, dan Religious Humanism. Meskipun humanisme mempunyai banyak arti karena atribut yang menyertainya, tetapi esensi dasarnya tetap satu yakni bersesuaian dengan sifat-sifat dasar ideal manusia, bersifat manusiawi, atau usaha memanusiakan manusia. Dengan demikian, istilah humanisme dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan kata kemanusiaan. Kemanusiaan itu sendiri berasal dari kata manusia yang berarti bersifat manusiawi (Poerwodarminto, 1976: 532)

Sementara itu, di awal kemunculannya, humanisme itu merupakan sebuah gerakan yang tujuannya adalah mempromosikan harkat, martabat, dan nilai manusia. Humanisme menekankan harkat, peranan, dan tanggung jawab manusia. Menurut humanisme, manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan istimewa dan berkemampuan lebih dari makhluk-makhluk lain di dunia karena bersifat rohani. Ini berarti bahwa, dalam diri manusia itu tersimpan potensi luhur untuk mengarahkan manusia menjadi manusia itu sendiri. Masalahnya, dalam praktiknya ada orang yang wujudnya manusia, tetapi perilakunya bukan seperti manusia antara lain seperti binatang. Dalam dunia binatang dikenal dengan istilah yang oleh Darwinian disebut sebagai survival of the fittest (siapa yang kuat akan menang). Itu berarti jika ada manusia yang kejam, membunuh tanpa mempertimbangkan kemanusiaan seseorang, sama artinya dia manusia secara wujud. tetapi roh dan hatinya adalah binatang. Yang dimaksud dengan manusia yang mempunyai nilai kemanusiaan tidak mendasarkan perilakunya pada survival of the fittest. Dalam setiap sikap dan perilakunya pertimbangan apakah yang dilakukannya mengancam dan merugikan manusia lain akan dijadikan prioritas utama.

Sama seperti istilah-istilah lain, konsep humanisme mempunyai multitafsir dan sangat tergantung pada konteks sejarah kemunculannya, siapa yang terlibat memunculkan, siapa sasaran yang dituju dan untuk tujuan apa dikemukakan definisi tersebut. Tetapi, diantara berbagai macam definisi tersebut ada beberapa fokus utama yang bisa dijadikan dasar arti humanisme itu sendiri. Beberapa definisi yang bisa dikemukakan dan bisa memberi kerangka berpikir yang sama adalah bahwa humanism is (1) the doctrine that people's duty is to promote human welfare, (2) the doctrine emphasizing a person's capacity for self-realization through reason; rejects religion and the supernatural, dan (3) the cultural movement of the Renaissance; based on classical studies cultural movement -- a group of people working together to advance certain cultural goals. (http://www.thefreedictionary.com/humanism)

Jika diuraikan secara ringkas, humanisme adalah doktrin yang membicarakan tentang kewajiban manusia untuk mempromosikan kesejahtaraan manusia, doktrin yang juga menekankan pada kemampuan seseorang untuk merealisasikan dirinya sendiri lepas dari pengaruh lain melalui sejumlah alasan tertentu (karenanya ia menolak hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kekuatan supranatural), gerakan budaya renaissans yang didasarkan pada studi klasik gerakan budaya.

Sementara itu, Lorens Bagus memberikan definisi humanisme (humanism) antara lain; a) menganggap individu rasional sebagai paling tinggi, b) menganggap individu sebagai sumber nilai-nilai terakhir, c) mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep adikodrati (Bagus, 1996:295).

Pendapat John C. Luik bisa juga dijadikan pegangan untuk memperjelas tentang masalah humanisme. Bagi Luik, humanisme secara minimal bisa berkaitan dengan; a) program pendidikan yang ditemukan pada pengarang klasik dan yang memusatkan perhatiannya pada pelajaran tentang tata bahasa, retorika, sejarah, puisi, dan filsafat moral, b) sebuah komitmen bagi sudut pandang, kepentingan individu manusia, c) kepercayaan yang beralasan dan otonom sebagai dasar aspek eksistensi manusia, d) kepercayaan, keragu-raguan dan metode ilmu pengetahuan adalah hanya alat-alat yang terbatas untuk mencari kebenaran dan struktur komunitas manusia, e) kepercayaan sebagai dasar etika, dan masyarakat adalah ditemukan dalam otonomi dan kesamaan moral (Luik, 1998).
Secara lebih tegas, Herlianto menegaskan bahwa humanisme itu mengembalikan manusia kepada rasa peri kemanusiaan, tetapi berbeda dengan peri kemanusiaan yang ada dalam agama, dalam humanisme, peri kemanusiaan itu adalah usaha mencari nilai-nilai yang ditempuh dengan cara-cara dan potensi manusia itu sendiri. Nilai-nilai peri kemanusiaan adalah hasil dari kebebasan dan usaha baik dari manusia itu sendiri (Herlianto, 1990: 25)

Dari berbagai sejarah awal kemunculan dan arti dari humanisme di atas nyata bahwa humanisme sangat menjunjung tinggi dan berjuang bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Ini tak lain karena manusia adalah makhluk yang paling mulia dan sempurna. Manusia tidak hanya dianugerahi Yang Maha Kuasa dengan nafsu tetapi juga pikiran dan emosi. Itu membawa konsekuensi bahwa perilaku manusia itu seharusnya berorientasi pada usaha-usaha menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, dimanapun dan kapanpun dia berada. Ini karena manusia punya potensi untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Dengan demikian, kaitan antara manusia dengan kemanusiaan sedemikian erat.

Sementara itu, konsep-konsep kemanusiaan juga tersebar di berbagai literatur dengan beragam versi arti yang dikemukakannya. Humanisme (baca: kemanusiaan) memang awalnya sebuah konsep untuk mengembalikan jati diri manusia pada esensi dasarnya. Tetapi untuk mengembalikan jati diri tersebut, tidak hanya bisa dilakukan dalam tataran ide semata. Oleh karena itu, perkembangannya kemudian adalah humanisme juga tumbuh menjadi sebuah gerakan. Tentu saja gerakan untuk mengembalikan harkat dan martabat manusia yang sudah banyak dilanggar justru oleh manusia itu sendiri. Artinya, dalam tataran ideal manusia memang punya potensi mampu menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi karena manusia itu juga punya nafsu, ambisi, kepentingan dan kekuasaan potensi tersebut bisa hilang dari dirinya. Ia kemudian tumbuh menjadi manusia yang hanya menuruti kehendak nafsunya. Dalam posisi inilah, gerakan-gerakan humanisme untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan manusia tumbuh dan berkembang, baik dalam tataran ide dan juga gerakan.

Semakin jelas bahwa, manusia disamping punya potensi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, ia juga berpotensi melanggarnya. Gereja dalam abad kegelapan berpotensi untuk melakukan pelanggaran tersebut. Ini karena pada waktu itu otoritas gereja berkoalisi dengan kekuasaan pemerintahan. Pemerintahan yang otoriter dilegitimasi kebijakannya oleh Gereja. Era ini muncul pada abad 15-16. Sebutan untuk era ini bermacam-macam 1) divine selection, divine right, doctrine of divine right (kekuasaan pemimpin itu mutlak, bahkan menjadi wakil raja), 2) authoritarian traditional of roman church (kekuasaan Gereja yang absolut), 3) political philosophy consept (para penguasa berhak menentukan hukum tanpa menghiraukan hal itu salah atau benar dengan orientasi the end justifies the means=tujuan harus ditempuh atau dicapai dengan cara apa pun).

Itulah mengapa di awal perkembangannya, nilai-nilai kemanusiaan yang berarti juga bebas dari (freedom from) sangat kental mewarnai gerakan-gerakan pada abad kegelapan. Gerakan ini kemudian memunculkan abad pencerahan (aufklarung) dengan kehendak bebas tanpa kungkungan yang membelenggu.

Meskipun kebebasan merupakan thema penting dari humanisme, tetapi kebebasan yang diperjuangkan bukan kekebasan absolut, atau kebebasan sebagai antitesis dari determinisme abad pertengahan. Kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang berkarakter manusiawi; kebebasan manusia dalam batas-batas alam, sejarah dan masyarakat (Abidin, 2003: 27). Manusia memang punya kehendak bebas, tetapi bebas yang dimaksud adalah bebas yang bertanggung jawab. Artinya, kebebasan yang diwujudkan harus dapat pula dipertanggungjawabkan kepada manusia lain. Dengan kata lain, kebebasan boleh diwujudkan sejauh tidak mengancam hak-hak orang lain. Kalau kebebasan sudah mengancam dan melanggar hak-hak orang lain, ini bukan kebebasan yang dimaksud dalam humanisme. Bahkan dalam humanisme religius, kebebasan harus pula dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, tidak hanya oleh manusia. Jadi, paham humanisme menunjuk kepada proyek membangun kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal budi. Frans Magnis-Suseno bependapat bahwa manusia dibedakan dari binatang karena ia berakal budi dan berkebebasan, karena ia bertanggungjawab atas perbuatannya dan karena ia disapa serta dipanggil secara pribadi oleh Yang Takterhingga (Suseno, 1992:97)

Lebih lanjut dalam bukunya Berfilsafat Dari Konteks, Frans Magnis-Seseno berpandangan bahwa nilai-nilai kemanusiaan (universal) berakar dalam martabat manusia. “Martabat” berarti ”derajat” atau “pangkat”. Jadi martabat manusia adalah derajat atau pangkat manusia sebagai manusia. Dengan kata lain martabat manusia mengungkapkan apa yang merupakan keluhuran manusia yang membedakan diri dari makhluk-makhluk lain di bumi ini (Suseno: 1992:95). Jadi, humanisme yang dimaksud di sini adalah humanisme secara umum yang tidak tersekat oleh atribut lain (misalnya Literary Humanism, Renaissance Humanism, Cultural Humanism, Philosphical Humanism, Christian Humanism, Modern Humanism, Secular Humanism, atau Religious Humanism).

Melihat uraian di atas semakin jelas bahwa nilai-nilai kemanusiaan atau humanisme itu meliputi kebebasan, keadilan, hak asasi manusia, anti penindasan, anti alienasi, tanggung jawab, toleransi, demokratisasi, penegekan hukum untuk menjamin martabat manusia, pentingnya etika dan moral dalam pergaulan. Semua atribut di atas tujuannya adalah menempatkan manusia sebagai manusia. Kata-kata tersebut juga punya esensi dasar meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai manusia. Dengan kata lain nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, nilai moral, nilai estetik, keseimbangan, keadilan, kesejahteraan, demokratisasi, penegakan hukum menjadi dasar perjuangan kemanusiaan yang mengarah pada penegakan nilai-nilai kemanusiaan.

Tentang kebebasan misalnya, ada yang menganggap (misalnya Marx) bahwa kebebasan itu ilusi karena setiap kebebasan yang dipilihnya sebenarnya terikat. Bahkan ketika kita berbicara “saya bebas” sebenarnya kita tidak benar-benar bebas. Kita sedikitnya terikat oleh ruang dan waktu. Sementara itu, Sartre menganggap bahwa kebebasan itu nyata. Baginya, kebebasan adalah kondisi metafisika dimana pilihan manusia bukan hasil dari peristiwa masa lalu, tetapi muncul secara spontan di dalam kesadaran manusia. Ini berarti (karena dilakukan secara sadar) manusia yang memiliki kebebasan itu punya tanggung jawab terhadap apa yang dipilih dan dikerjakannya (Wine, 1988:141)

Tetapi kebebasan di sini adalah kebebasan positif yang berarti membawa kemaslahatan manusia. Sebab ada juga kebebasan negatif. Mereka yang memilih atas nama kebebasan dengan mengkonsumsi narkoba, mabuk-mabukan, mengkonsumsi sabu-sabu masuk dalam kelompok kebebasan negatif. Jadi kebebasan memang punya dampak positif atau negatif. Maka, berbicara kebebasan tak lepas dari kejujuran, bukan berdasar kepentingan pribadi. Di sinilah kebebasan dalam kacamata kemanusiaan dibutuhkan.

Kebebasan disamping menjadi nilai kemanusiaan juga menjadi hak dasar manusia yang paling dalam. Dengan kata lain, kebebasan adalah hak asasi manusia. Bahkan kebebasan pers juga menjadi hak asasi manusia yang paling dalam. Kebebasan juga membutuhkan kejujuran sebagai nilai moral yang tak bisa dipandang sebelah mata. Seperti yang sudah diuraikan di bagian atas, kebebasan tanpa kejujuran hanya akan memunculkan kepentingan sepihak antara lain munculnya kebebasan negatif. Sementara itu, kejujuran juga membutuhkan keterbukaan. Orang bisa dikatakan jujur kalau ia terbuka pada orang lain, pendapat berbeda dan terhadap kemajemukan di sekitarnya. Keterbukaan yang menjadi syarat kejujuran yang akhirnya memunculkan kebebasan yang bertanggung jawab sama-sama menjadi nilai kemanusiaan.

Dalam masyarakat yang plural sangat mungkin muncul berbagai perbedaan pendapat karena perbedaan kepentingan. Misalnya dalam demokrasi saja ada perbedaan antara demokrasi absolut dan demokrasi liberal. Demokrasi absolut menciptakan tirani mayoritas, sementara demokrasi liberal menahan kekuasaan mayoritas dan melindungi atau mempertahankan kekuasaan individu untuk membuat pilihan yang mereka inginkan.

Yang perlu ditekankan di sini adalah perlunya keseimbangan antara yang absolut dengan yang liberal atau antara bebas dengan terikat. Itu semua juga untuk kepentingan umat manusia seperti “ajaran” kemanusiaan. Orang boleh liberal tetapi tetap mengacu pada aturan yang berlaku atau orang boleh bebas tetapi terikat oleh hukum. Maka, penghormatan pada penegakan hukum menjadi syarat mutlak dalam pergaulan umat manusia di zaman modern. Usaha menegakkan hukum sekecil apa pun, atau dengan berbagai macam konsekuensinya menjadi esensi nilai-nilai kemanusiaan pula.

Berkomunikasi boleh bebas, tetapi aturan hukum tetap perlu ditegakkan. Sebab, aturan hukum akan membuat manusia terhindar dari penindasan atas manusia lainnya. Itu semua ditujukan untuk mencapai keseimbangan, kesejahteraan dan keadilan pada diri umat manusia. Usaha mencapai ini lebih lapang jika ditegakkannya nilai-nilai kemanusiaan dalam segala bentuknya.

Jurnalisme Kemanusiaan dan Non Kemanusiaan
Dalam berbagai literatur tentang jurnalisme di Indonesia ditemukan banyak istilah yang melekat pada kata jurnalisme. Beberapa diantaranya antara lain jurnalisme kuning, jurnalisme literatur, jurnalisme sastrawi, jurnalisme lingkungan, jurnalisme empati, jurnalisme kepiting, jurnalisme investigasi dan sebagainya. Tetapi yang jelas, jurnalisme itu sendiri mengandung maknanya sendiri.

Secara ringkas jurnalisme bisa diartikan sebagai sebuah aktivitas mengoleksi, memferifikasi, melaporkan dan menganalisis informasi yang didapatkan dari peristiwa aktual baik menyangkut kecenderungan isu atau orang-orang yang dijadikan subjek berita. Ia juga mencakup profesi yang bertugas melaporkan atau mengedit berita pada salah satu media. Jurnalisme adalah proses mengumpulan, menyiapkan, menyebarkan berita melalui media massa. Kata jurnalisme sendiri awalnya digunakan untuk laporan yang dimuat dalam media cetak berkembang kemudian ke media lain.

Dengan demikian, jurnalisme adalah sebuah istilah yang menunjuk pada seseorang yang bertugas menyiapkan, mengedit atau yang berkaitan dengan kebijakan kewartawanan. Ia juga menunjuk orang-orang yang terlibat di dalam proses tersebut. Maka, jurnalisme adalah ilmu tentang yang berkaitan dengan media massa. Yang berkaitan dengan media massa ini menyangkut kegiatan orang-orangnya, dan kebijakan yang dikemukakannya.
Meskipun tidak menyebut apa definisi jurnalisme, Luwi Ishwara dalam bukunya Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar memberikan makna bahwa jurnalisme itu lebih berkaitan dengan praktik kewartawanan. Ia tidak hanya dikatakan, tetapi ia dikerjakan dan dipraktikkan. Pendapatnya tentang ciri jurnalisme seperti skeptis (baca: tidak cepat puas), bertindak, berubah (pendorong perubahan), seni dan profesi (bukan mesin) memperkuat asumsi di atas (Ishwara, 2005).

Dalam mempraktikkan jurnalisme, seorang wartawan harus berpegangan pada elemen-elemen jurnalisme. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pernah memberikan 9 kriteria elemen jurnalisme antara lain; a) kewajiban pertama jurnalis adalah pada kebenaran, b) loyalitas pertama jurnalis kepada warga, c) intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi, d) menjaga independensi dari sumber berita, e) jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan, f) jurnalism harus menyediakan forum publik untuk kritik atau dukungan warga, g) jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan, h) jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional, dan i) para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka (Kovach dan Rosenstiel, 2004).

Oleh karena itu, jurnalisme humanis (baca: jurnalisme kemanusiaan) adalah jurnalisme yang didasarkan pada esensi dasar humanisme. Kegiatan jurnalistik yang merendahkan martabat manusia seperti pemberitaan kekejaman perang yang berakibat semakin jauhnya dari perdamaian bukan jurnalisme humanisme. Tetapi, peliputan pemberitaan yang menyeimbangkan dari dua pihak yang bertikai dan secara adil masuk dalam kriteria jurnalisme kemanusiaan. Sementara itu, jurnalisme non kemanusiaan adalah bertolak belakang dengan jurnalisme kemanusiaan itu sendiri.

Jurnalisme kemanusiaan karenanya adalah humanisme yang secara terus menerus menyuarakan kesemestaan penegakan pers yang mengarah untuk membangun harkat dan martabat manusia. Ini berarti, jurnalisme kemanusiaan adalah sebuah penegakan keadilan, kebebasan yang bertanggung jawab, toleransi dan atribut lain yang membangun kesemestaan di dunia ini.

Media massa yang fokus utamanya adalah pada kekerasan sebagai sebuah penyebab dan enggan untuk menggali asal-usul struktural sebuah konflik secara mendalam bukan termasuk jurnalisme kemanusiaan. Johan Galtung mengistilahlah kasus ini dengan jurnalisme perang (Hae, Marpaung dan Setiawan, 2000:61). Sementara itu, jurnalisme damai masuk dalam kriteria jurnalisme kemanusiaan. Jurnalisme perdamaian mempunyai tugas utama yaitu memetakan konflik, mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka, dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus mereka (McGoldrick dan Lynch, 2001:20-21). Sebab, jurnalisme damai fokus utamanya menempatkan manusia sebagai manusia. Media yang bertugas untuk memberikan solusi atas konflik, meliput secara adil mereka yang bertikai, memberikan ruang agar tarjadi dialog yang mengarah para kerukunan masuk dalam jurnalisme kemanusiaan. Sementara itu, orang yang ikut menyuarakan pentingnya jurnalisme damai, orang tersebut masuk dalam kriteria seorang humanis karena ia mendorong tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, orang tersebut juga seorang yang punya pandangan tentang jurnalisme kemanusiaan.

Jurnalisme kepiting diperkenalkan oleh Rosihan Anwar. Seseorang yang menganut paham jurnalisme kepiting akan mementingkan keselamatan sendiri terlebih dahulu daripada mengambil risiko-risiko yang besar. Ibaratnya, seseorang pergi ke sungai, ketika melangkahkan kakinya, dan kebetulan dia digigit kepiting ia akan mengangkat kakinya terlebih dahulu, baru kemudian ketika sudah tidak ada kepiting dia akan berjalan lagi. Analogi mengangkat kaki adalah perilaku mencari selamat (St Sularto 2001:39).
Jurnalisme ini bisa jadi sangat mementingkan sisi-sisi kemanusiaan. Artinya mendasarkan jurnalismenya pada kepentingan manusia, tetapi kepentingan tersebut sangat tergantung pada kekuasaan politik. Jika peliputannya tidak mengancam kekuasaan, jurnalisme tersebut akan memposisikan diri di tengah masyarakat, tetapi manakala dianggap mengancam kekuasaan ia akan cenderung membela kekuasaan politik yang sedang berkuasa. Nilai-nilai yang dibangun dalam hal ini adalah nilai-nilai kemanusiaan atas kepentingan politik.

Sementara itu jurnalisme perang atau konflik adalah sebuah proses peliputan yang tidak memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dalam peliputan fakta-fakta di lapangan. Ini bisa dengan cara pemilihan kata-kata (lebeling) yang bisa mengarah pada konflik. Misalnya, “pembunuh”, “begal”, “drakula” “perang salib kedua”, “jihad” dan sebagainya yang memberikan label pada sekelompok tertentu. Mereka yang bertikai sendiri ingin diposisikan sebagai pihak yang tidak bersalah oleh media. Akan diperparah lagi manakala wartawan/media tertentu ikut terlibat atau ada hubungan emosional dengan salah satu pihak yang bertikai. Media yang tidak memberikan prosentasi secara adil bagi mereka yang terlibat juga ikut mendorong munculnya konflik atau perang.

Bagi Algooth Putranto jurnalisme perang cenderung fokus pada peristiwa kekerasan sebagai penyebab konflik, tidak berupaya menyelami struktur asal muasal konflik, cenderung memusatkan pada akibat langsung yang bisa dilihat-terbunuh, terluka, dan kerugian material-bukannya kerugian psikologis, struktur dan kultur masyarakat. Ia juga cenderung mereduksi kompleksitas persoalan menjadi siapa kawan, lawan, pemenang, dan pecundang (Kompas, 9 Februari 2004).

Dalam jurnalisme konflik atau perang sangat besar dampaknya jika ada keterlibatan kekuasaan. Perang yang melibatkan dua negara (seperti Irak dan AS) jelas tidak akan lepas dari kepentingan kekuasaan. Dan jurnalisme seperti ini karena menyulut perang atau konflik bisa digolongkan sebagai jurnalisme yang non kemanusiaan (non humanisme) atau bahkan melakukan dehumanisasi.

Di sisi lain kita juga dikenalkan istilah jurnalisme kuning (yellow journalim) sebuah jurnalisme yang lebih mementingakn “selera” masyarakat. Yang dipentingkan adalah bagaimana masyarakat menyukai dan mendatangkan keuntungan materi yang banyak. Media tidak berpikiran apakah yang diberitakan itu melanggar hak orang lain atau tidak, menyalahi etika atau tidak, melanggar moral atau tidak. Semua akan dilakukan yang penting mendatangkan keuntungan. Berita-berita yang mengarah pada eksploitasi perempuan semata, masuk dalam kriteria ini. Nilai-nilai yang dibangun dalam jurnalisme kuning adalah nilai-nilai yang dibangun atas dasar kepentingan ekonomis.
Sementara itu, jurnalisme yang mendasarkan pada sisi kemanusiaan ada jurnalisme kemanusiaan itu sendiri, jurnalisme damai dan jurnalisme empati. Dalam The Peace Journalism Option (1998), jurnalisme damai mengadopsi agenda perdamaian sebagai alternatif agenda perang, mencoba memetakan konflik prakekerasan, mengidentifikasi berbagai penyebab, sehingga membuka jalan bagi dialog perdamaian. Jurnalisme ini memanusiawikan seluruh sisi konflik dan berupaya merekam berbagai kepalsuan maupun derita akibat perang. Merancang cara memberdayakan non-elite dengan cara melacak pengaruh hubungan antaragenda mereka dan akibat sebenarnya, membangun kerangka kerja alternatif untuk memahami proses perubahan (Kompas, 9 Februrai 2004).

Sementara itu, jurnalisme empati adalah keberpihakan pada subyek yang lemah (powerless) dalam suatu situasi sosial. Jurnalisme ini ingin mengajak orang untuk memberi perhatian pada setting social yang tidak setara atau tidak adil kemudian menetapkan pihak yang lemah (powerless) sebagai subjek. Lewat dunia subyektif pihak yang lemah inilah kita mengajak wartawan untuk bercerita (Newsletter LP3Y/no 49 Mei 2002).

Melihat kenyataan itu, jurnalisme damai dan jurnalisme empati karenanya bisa dimasukkan dalam jurnalisme kemanusiaan. Dasar utama jurnalisme kamanusiaan adalah peliputan yang menekankan diri pada sisi-sisi kemanusiaan. Jurnalisme ini mementingkan masyarakat dengan mengambil sisi humanisme. Jadi jurnalisme kemanusiaan akan cenderung membela masyarakat karena nilai-nilai kemanusiaan dan tidak begitu saja tuntuk pada keinginan pemerintahnya. Seseorang yang berusaha mempraktikkan jurnalisme kemanusiaan dalam praktik kewartawanan masuk dalam kriteria jurnalis kemanusiaan. Begitu juga orang yang menyuarakan akan pentingnya penegakan jurnalisme kemanusiaan dalam setiap kesempatan, juga termasuk orang yang konsisten dengan jurnalisme kemanusiaan.

Jurnalisme kemanusiaan dibangun atas dasar nilai-nilai kemanusiaan antara lain kejujuran, demokrasi, hak asasi, penegakan hukum, etika dan moral atau segala hal yang tujuan akhirnya adalah mengangkat derajat manusia. Jurnalisme jenis ini akan menemukan bentuknya manakala tidak ada campur tangan pihak lain, terutama pemerintah. Sebab, bisa jadi jurnalisme kemanusiaan itu akan menemui hambatan karena sudah berhubungan dengan kekuasaan politik. Dengan kata lain, jurnalisme kemanusiaan adalah perjuangan berdasar nilai-nilai kemanusiaan lepas dari kepentingan politik tertentu, semua ditujukan untuk kesejahteraan manusia atau menjadikan manusia sebagai manusia.

Jurnalisme Kemanusiaan di Indonesia
Ketika penulis melakukan pelacakan pustaka, secara eksplisit jurnalisme kemanusiaan memang tidak pernah menjadi perbincangan serius di Indonesia. Ini dikarenakan, jurnalisme kemanusiaan sebuah paham baru yang belum semua media merasa membutuhkan dikarenakan tuntutan masing-masing. Misalnya, era Orde Baru (Orba), pers kita lebih disibukkan dengan usaha menjamin eksistensi diri di tengah tekanan pemerintah yang otoriter. Akibatnya, pers yang mempraktikkan jurnalisme kemanusiaan meskipun ideal tetapi mengancam kepentingan pemerintah, ia cenderung tidak melakukannya. Tetapi, secara sporadis praktik jurnalisme kemanusiaan jelas tumbuh dan berkembang di tengah konstelasi politik yang sangat kuat. Berbagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan pers menjadi contoh kongkrit bagaimana media sedang mempraktikkan jurnalisme kemanusiaan. Misalnya ketika pemerintah secara semena-mena membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), pers sebelumnya (yang melatarbelakangi pembatalan SIUPP tersebut) tengah melakukan perlawanan akan hegemoni pemerintah tersebut.

Berbagai pembatalan SIUPP dilatarbelakangi oleh ketakutan pemerintah dan keinginan pers memberitakan apa adanya di masyarakat (Nurudin, 2003). Ketidakadilan, tuntutan kebebasan pers adalah praktik nyata jurnalisme kemanusiaan di Indonesia. Termasuk ketika pers melakukan perlawanan atas pembatalan SIUPP, saat itu pers juga sedang ingin menegakkan jurnalisme kemanusiaan.

Ketika kekuasaan otoriter tumbang, bekembanglah jurnalisme yang lebih mementingkan kebebasan pers dengan melupakan tanggung jawabnya. Jadilah pers kita yang berusaha mempraktikkan jurnalisme kemanusiaan sebelumnya, waktu itu mengancamnya sendiri. Jadilah banyak kritikan terhadap praktik jurnalisme kamanusiaan di Indonesia karena persnya yang ingin bebas dengan melupakan tanggungjawabnya. Otoritarianisme yang sebelumnya dilakukan oleh negara merembet ke pers dan bahkan kemudian ke masyarakat juga dengan munculnya otoritarianisme massa. Jadilah pers kita mempraktikkan kekerasan ke masyarakat (khususnya adalah kekerasan kultural dan struktural).

Kekerasan yang tergolong kultural antara lain adalah tulisan yang menuturkan kebencian, xenophobia/kebencian terhadap orang asing, kompleks penyiksaan/ persecution complex, mitos dan legenda, pahlawan perang, agama sebagai pembenaran untuk berperang dan perasaan sebagai “kelompok terpilih”. Sedangkan kekerasan struktural meliputi kemiskinan, sistem yang berdasar, eksploitasi, kesenjangan pemilikan materi secara mencolok, aphartheid, kolonialisme, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), pengasingan dan represi politik, serta situasi yang membuat orang terpisah walaupun mereka ingin tetap berkumpul.

Beberapa indikator bahasa yang digunakan media massa yang mengancam jurnalisme kemanusiaan antara lain bisa dilihat dari kasus konflik Maluku seperti yang dimuat dalam Aksi (2000) sebagai berikut, “Kepulauan Maluku bagai ladang penjagalan. Nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai. Satu per satu terbunuh dengan sia-sia….Wajah kepulauan Maluku porak-poranda, carut marut tak terbentuk lagi. Agaknya ini pula yang menggugah nurani umat Islam untuk memberikan bantuan kepada saudaranya di Maluku Begitu pula dengan kata-kata seperti yang diberitakan sebuah majalah “MD” (Media Dakwah), “Korban pembantaian terhadap umat Islam di Tobelo. Setelah dibunuh jantungnya diambil”, “Korban pembantaian terhadap umat Islam di Tobelo, dibunuh dengan anak panah”, “Korban pembantaian terhadap umat Islam dibakar hidup-hidup di dalam masjid Al Ikhlas di desa Togoliao Kecamatan Tobelo”, “Muslimah pun jadi korban kesadisan Kristen Tobelo” (Sudibyo, Hamad dan Qodari 2001:151).

Hal demikian tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Eriyanto dan kawan-kawan tentang kasus Sampit. Di Kalimantan Tengah Kalteng Pos dan Dayak Pos yang mula-mula netral akhirnya tidak bisa mengambil jarak dengan pihak yang bertikai (terutama warga Dayak). Kata-kata seperti koran Kalteng Pos “Malam itu, setelah dua hari etnis Madura “menjajah” Sampit, Panglima dayak merengsek masuk kota”. Atau “Aparat siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura di sana”. Jelas keberpihakan ini sebuah kesengajaan dan bukan tak sengaja (Eriyanto, 2004: 105-107). Bisa dimaklumi karena Kalteng Pos adalah koran di wilayah suku etnis Dayak. Namun demikian, terlalu membela salah satu pihak dengan memberi sebutan buruk pada kelompok tertentu bukan teknik jurnalisme yang baik. Dari sinilah usaha merebut sesuatu kebutuhan atau kepentingan dirinya nyata terlihat.

Hal demikian bisa dikatakan, jika media milik kelompok (atau mayoritas pengelolanya) agama “A”, ia akan cenderung membela agama “A” dan sebaliknya. Sama-sama meliput daerah konflik, media yang berafiliasi pada Islam dengan media independen atau media non Islam jelas akan berbeda nuansa pemberitaannya. Penelitian yang dilakukan Agus Sudibyo, dkk. (2001) terhadap empat media cetak nasional yakni Kompas, Suara Pembaruan, Media Dakwah dan Republika pada kasus Konflik di Maluku, Bentrok di Katapang, Kerusuhan Kupang dan Pengeboman masjid Istiqlal menunjukkan perbedaan atas kebijakan media itu. Konflik di Maluku, misalnya, yang melibatkan orang Islam dan Kristen akan disikapi berlainan oleh masing-masing media cetak tersebut. Meskipun berbeda dalam aktualisasi di media masing-masing, penelitian itu mengatakan ada persamaan nuansa dalam peliputannya. Yakni munculnya prasangka (prejudice) yang berlebihan dari media massa terhadap kasus konflik tersebut. Koran Islam akan cenderung mengungkapkan korban yang berada di pihak kaum Muslimin dan menganggap kalangan non Islam menjadi pihak yang bertanggung jawab, tanpa mau tahu berapa pula jumlah korban yang diakibatkan oleh umat Islam sendiri. Dengan meneliti Medan Wacana (Apa yang Terjadi), Penyampaian Wacana (Siapa yang Berbicara), Mode Wacana (Peran Bahasa yang Digunakan), terungkap adanya prasangka itu. Sehubungan dengan Mode Wacana yang dikembangkan oleh masing-masing media penuh dengan pilihan kata yang sangat tendensius, sebagai contoh, caption photo yang digunakan sebagai berikut; "Korban pembantaian terhadap umat Islam di Tobelo. Setelah Jantungnya Diambil"; "Korban Pembantaian Terhadap Umat Islam Dibakar Hidup-hidup di dalam Masjid Al Ikhlas di Desa Togolia Kecamatan Tobelo"; "Muslimah pun Jadi Korban Kesadisan Kristen Tobelo".

Bahkan dalam penelitian Eriyanto yang lain ditemukan bahwa kelompok Jawa Pos pernah memecah sebuah surat kabar Ambon (Suara Maluku) menjadi dua harian. Satu untuk wartawan Kristen (Suara Maluku), satunya lagi untuk wartawan Islam (Ambon Ekspres). Kekurangan dana, wartawan yang tidak profesional, sentimen agama, suasana masyarakat yang dalam keadaan konflik mendorong dua media itu mengobarkan sentimen keagamaan. Dengan kata lain mengorbarkan kebencian antar pemeluk agama. Jelas ini perilaku pers yang tidak menjunjungt tinggi jurnalisme kemanusiaan (Harsono dan Setiyono, 2005:237-269).

Tak terkecuali sebutan-sebutan yang mengarah pada penjerumusan jati diri kemanusiaan seseorang. Lihat misalnya pilihan kata yang disiarkan televisi, antara lain "Kau aja Don, makan tu sop. Biar badan lu kaya' Kingkong", "Kemarin kambing saya melahirkan. Anaknya mirip dia!" Simak juga pilihan judul yang dilakukan oleh sebuah harian di Jakarta, "Dia juga Presiden Provokator", “Alvin Lie itu Mickey Mouse", "Lopa Mabuk Jabatan", "Maklumat = Maklum Sudah Mau Tamat", dan lain-lain.
Itu sekadar wacana teoritis dan contoh kasus di lapangan yang memperdebatkan praktik jurnalisme kemanusiaan. Yang jelas, jurnalisme kemanusiaan di Indonesia mengalami pasang surut, tidak saja disebabkan oleh pemerintah, tetapi juga oleh media massa dan masyarakat sendiri. Jurnalisme kemanusiaan adalah jurnalisme baru yang menjadi wacana hangat karena ada niat luhur dengan mementingkan aspek moral kemanusiaan sebagai dasar peliputan pers Indonesia, meskipun dengan berbagai operasionalisasinya masing-masing.

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas kita bisa menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.Jurnalisme kemanusiaan penting ditegakkan mengingat Indonesia adalah negara yang multietnis dengan beragam kepentingan dan potensi konflik yang menyertainya.
2.Jurnalisme kemanusiaan adalah jurnalisme menusiawi karena dibangun atas dasar nilai-nilai kemanusiaan. Jurnalisme kemanusiaan karenanya adalah humanisme yang secara terus menerus menyuarakan kesemestaan penegakan pers yang mengarah untuk membangun harkat dan martabat manusia. Ini berarti, jurnalisme kemanusiaan adalah sebuah usaha penegakan nilai-nilai kemanusiaan (keadilan, kebebasan yang bertanggung jawab, toleransi, nilai moral, nilai estetik, keseimbangan, keadilan, kesejahteraan, demokratisasi, penegakan hukum).
3. Jurnalisme kemanusiaan juga tidak kalah pentingnya mengingat media massa punya potensi besar menciptakan perbedaan tajam, konflik antar golongan di tengah masyarakat. Media massa tanpa dikelola dengan semangat menegakkan jurnalisme kamanusiaan akan berubah menjadi agen utama dalam menciptakan dehumanisasi di sekitar kita.
4. Penegakan jurnalisme kemanusiaan tentu saja juga punya kendala yang tidak gampang dipecahkan di Indonesia;
a. Pers kita telah dan sedang tumbuh menjadi media perusahaan. Artinya, pers akan mementingkan kepentingan perusahaan (termasuk kelangsungan hidupnya) daripada menempuh jalan heroik dan ideal tetapi akhirnya “mati”. Safety first masih sering menjadi pertimbangan utama dalam melakukan proses pembuatan berita. Bagaimana bagian pemberitaan dengan bagian periklanan selalu “bertarung” dalam mengambil kebijakan. Biasanya bagian periklananlah yang umumnya menang. Pers kita menjadi institusi perusahaan yang dikelola layaknya perusahaan.
b. Kepentingan pers terhadap berita di lapangan sangatlah tinggi. Fakta akan ditulis berdasar kepentingan apa yang melingkupi media itu dan apa kepentingan wartawan di balik berita tersebut pula. Apalagi jika pers berkoalisi dengan kepentingan politik. Berapa banyak uang dihabiskan oleh para elite politik untuk “membeli” kapling media demi kepentingannya sendiri. Di Amerika (yang dianggap sebagai penganut jurnalisme modern), menurut penelitian Jerry D. Gray (2006) , seorang mantan US Air Force dan Wartawan Metro TV & CNBC Asia, medianya banyak melakukan pembohongan. Ia menemukan bahwa banyak media Amerika yang hanya menuruti kepentingan kekuasaan politik. Media korporat Amerika telah mengalami pergeseran dari sarana melaporkan berita aktual menjadi mesin propaganda yang setia mendukung presiden dan pemerintah AS.
c. Masyarakat kita adalah masyarakat generasi instan yang lebih senang dengan berita-berita bombastis daripada kritis terhadap apa yang sudah dilakukan media. Dalam hal ini masyarakat sering tidak peduli apakah yang diberitakan media itu bohong apa tidak, mengancam derajat kemanusian atau tidak.

Itu sekadar wacana teoritis dan contoh kasus di lapangan yang memperdebatkan praktik jurnalisme kemanusiaan. Yang jelas, jurnalisme kemanusiaan di Indonesia mengalami pasang surut, tidak saja disebabkan oleh pemerintah, tetapi juga oleh media massa dan masyarakat sendiri. Jurnalisme kemanusiaan adalah jurnalisme baru yang sebenarnya menjadi semangat utama pers karena ada niat luhur dengan mementingkan aspek moral kemanusiaan sebagai dasarnya. Tak ada pilihan lain, kita harus berusaha mengarah ke sana.

Daftar Pustaka
Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Muhammad Qodari. 2001. Kabar-Kabar Kebencian, Prasangka Agama di Media Massa. Jakarta: ISAI.

Algooth Putranto “Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang” (artikel), Kompas, 9 Februari 2004

Andreas Harsono dan Budi Setiyono (peny.). 2005. Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: Penerbit Pantau.

Eriyanto. 2004. Media dan Konflik Etnis, Bagaimana Surat Kabar Di Kalimantan Meliput dan Memberitakan Konflik Sampit Tahun 2001. Jakarta: ISAI dan Media Development Loan Fund.

Frans Magnis Suseno. 1992. Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gray, Jerry D. 2006. Dosa-dosa Media Amerika, Mnegungkap Fakta Tersembunyi Kejahatan Media Barat. Jakarta: Ufuk Press.

Herlianto. 1990. Humanisme dan Gerakan Zaman Baru. Bandung: Kalam Hidup.

Kovack, Bill dan Tom Rosenstiel. 2004. “The Elements of Juornalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expert”. Yusi A Pareanom (penerj.) Elemen-Elemen Jurnalisme, Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik, Jakarta: ISAI.

Lorens Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.

Luik, John C. 1998. “Humanism”, dalam Edward Craig (general editor). Routledge Encyclopedia of Philosophy. London dan New York: Routledge.

Luwi Ishwara. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar, Jakarta: Kompas.

Mangunhardjana, A. 1997. Isme-Isme dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius

McGoldrick, Annabel dan Jake Lynch. 2001. “Peace Journalism; How To Do It?”, Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya? (Ign Haryanto penerj.),Lembaga Studi Pers Pembangunan (LSPP) dan The British Council.

Nurudin. 2003. Pers dalam Lipatan Kekuasaan, Tragedi Pers Tiga Zaman., Malang: UMM Press.

Nur Zain Hae, Rusdi Marpaung dan Hawe Setiawan. 2000. Konflik Multikultur Panduan Meliput Bagi Jurnalis, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) bekerjasama dengan The Asia Foundation dan USAID.

Poerwodarminto. W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia cet. ke-V , Jakarta: Balai Pustaka.

Sularto, St. (ed). 2001. Humanisme dan Kebebasan Pers menyambut 70 Tahun Jakob Oetama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Wine, Sherwin T., “Humanism and Freedom”, Rethinking Humanism: History, Philosophy, Science, dalam Humanism Today, vo. 4/1988

Zainal Abidin. 2003. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Newsletter LP3Y, edisi 49 Mei 2002
http://www.thefreedictionary.com/humanism

Sumber: Jurnal Ilmu Komunikasi UPN Yogyakarta (volume 4, nomor 3 September-Desember 2006) Readmore »»

Kepentingan Dibalik Revisi UU Pokok Pers

"Seandainya saya harus memilih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya—tidak ragu-ragu lagi–akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah” (Thomas Jefferson, mantan Presiden AS)

Ketika saya menjadi peserta dalam acara Konferensi dan Lokakarya Nasional Pendidikan Jurnalisme di Indonesia: Tantangan dan Kompetensi, di Yogyakarta beberapa waktu lalu, terungkap imbauan agar peserta ikut menolak revisi Undang-undang Pokok Pers No 40/1999 yang diusulkan pemerintah. Sementara itu, dalam kunjungan kerja di harian Kompas beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Mohammad Nuh, mengatakan revisi itu sifatnya penyempurnaan. Ia kemudian menegaskan, dalam konsep rancangannya tak ada pasal yang menyebut pemberedelan. Bahkan dikatakan lebih lanjut, freedom of the press menjadi kata kunci, tetapi dilengkapi tanggung jawab.

Alasan pemerintah
Mengapa pemerintah ngotot melakukan revisi UU Pokok Pers? Pertama, media massa saat ini dianggap membahayakan pemerintah dan juga DPR. Dengan adanya jaminan kebebasan, pers dinilai terlalu membahayakan posisi mereka. Pers dianggap liar sehingga harus dikendalikan. Lihat saja, bagaimana pers “menguliti” para anggota DPR yang kinerjanya buruk dan terlibat korupsi. Sementara, pemerintah juga gerah karena program yang selama ini dijalankannya, di mata pers tidak ada yang benar.

Kedua, masalah pornografi. Pemerintah juga risau dengan masalah pornografi. Bukan lantaran risau atas pornografi itu, tetapi dampak dari pornografi tersebut. Akibat pornografi, masyarakat yang tidak suka pornografi akan bertindak di luar batas. Ini jelas akan mengancam stabilitas dan kedamaian di tengah masyarakat. Masyarakat akan selalu terbuka peluang untuk terus konflik yang jelas tidak kondusif bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah. Alasan persSementara itu, kalangan pers menolak revisi UU Pokok Pers dengan alasan: Pertama, revisi UU Pokok Pers hanya akan membuka peluang pemerintah ikut campur tangan lagi dalam kebijakan media massa di Indonesia.

Karena berangkat dari ketidaksukaan pemerintah atas pemberitaan pers, bukan tidak mungkin ada “kepentingan tersembunyi” di balik usulan revisi UU Pokok Pers tersebut. Bukan mustahil juga kalau pemberedelan gaya baru akan muncul lagi. Yang tak kalah pentingnya, neo-Orde Baru (Orba) dikhawatirkan juga akan muncul lagi setelah revisi dilakukan.
Dalam buku saya Pers dalam Lipatan Kekuasaan, Tragedi Pers Tiga Zaman (2003) terungkap bukti bahwa pemerintah selalu akan berusaha untuk mengekang kebebasan pers. Ketika ada usulan revisi UU Pokok Pers (UU Pokok Pers No 11/1966 jo UU No 4/1967 dan jo UU No 21/1982) yang mengatur Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) berdasar Peraturan Menteri Penerangan No 01/Per/Menpen/1984, harapan ideal atas aturan pers sangat tinggi, terutama dari kalangan pers.

SIUPP akan bisa menyejahterakan wartawan dan karyawan serta melindungi media dari kekangan pemerintah. Namun, setelah revisi dilakukan dan SIUPP dimunculkan, kebebasan pers justru makin terkekang. SIUPP yang posisinya berada di bawah UU Pokok Pers justru dalam praktiknya berada di atasnya. Misalnya, UU Pokok Pers waktu itu mengatur kebebasan pers, tetapi SIUPP memperbolehkan pemberedelan. Faktanya, pers banyak yang diberedel dengan alasan sepihak dari pemerintah dan tak ada jaminan kepastian.

Kedua, alasan mengukuhkan kekuasaan. Di mana pun, siapa pun dan kapan pun kekuasaan akan terus dilanggengkan. Penguasa akan selalu berusaha agar ia bisa berkuasa tanpa ada gangguan. Bahkan, meminjam istilah Lord Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Artinya, ada semangat agar pers tidak terlalu “merongrong” kekuasaan.

Di mata kalangan pers, hal demikian jelas tidak bisa dibenarkan. Kekuasaan harus terus dikawal. Pers bertugas untuk membongkar semua kebobrokan yang dilakulan pemerintah dan anggota Dewan. Kalau tidak dengan “suara” mereka, lalu siapa lagi? Media jelas punya kekuatan dalam penyebaran dan pengaruh ke masyarakat.

Maka, mereka sepakat menolak revisi UU Pokok Pers.Melihat sejarahSelama pemerintahan Orba, pers kita mempunyai banyak suri teladan dalam memahami dan memaknai kebebasan pers. Pers Indonesia dalam era itu menganut faham kebebasan pers yang bertanggung jawab seperti akan diusulkan Menkominfo dalam revisi UU Pokok Pers No 40/1999 dewasa ini.

Artinya, kebebasan pers di Indonesia sangat dijamin, tentu saja harus disertai dengan tanggung jawab. Tidak asal bebas sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan itu harus disertai dengan tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.Namun, itu semua hanya ada dalam wacana. Dalam praktiknya tidak gampang untuk diwujudkan. Kebebasan yang bertanggung jawab seringkali dimaknai kebebasan sebagai hak dan tanggung jawab sebagai kewajiban.

Jadi, pers diharuskan melaksanakan kewajiban (tanggung jawab), baru boleh melaksanakan hak (kebebasan). Sementara itu, tanggung jawab sendiri interpretasinya berada di tangan pemerintah. Akibatnya, pers tidak pernah bisa bebas, tetapi selalu dituntut tanggung jawab seperti yang diinginkan pemerintah secara sepihak. Contoh, ketika majalah Tempo (edisi 4, 11 dan 18 Juni 1994) memuat perbedaan pendapat sekitar pembelian kapal perang bekas, eks angkatan laut Jerman Timur antara Departemen Keuangan (Mar’ie Muhammad) dengan Departemen Riset dan Teknologi Habibie).

Perbedaan pendapat yang sudah ditulis Tempo secara cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang) masih merisaukan pemerintah. Tempo dianggap tidak ikut bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah. Padahal, majalah dengan motto “Enak dibaca dan perlu” tersebut hanya memberitakan perbedaan pendapat dua menteri Orba itu, dan menunjukkan fakta-fakta tentang keadaan kapal perang tersebut. Dalam hal ini, meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang saja sangat susah, apalagi mempraktikkan kebebasan pers. Jadi, atribut yang melekat pada kebebasan seringkali disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan.Ini juga sama kasusnya dengan istilah pers Pancasila. Pemerintah waktu itu ngotot bahwa Indonesia tidak menganut pers dari negara mana pun, tetapi kita punya ciri khusus yakni pers Pancasila.

Dalam praktiknya, bukan berarti Pancasila tidak baik, tetapi interpretasinya berada dalam “ketiak” penguasa waktu itu. Pancasila digunakan secara membabi buta untuk kepentingan kekuasaan politik juga. Interpretasi bahwa pers melanggar nilai-nilai Pancasila juga berada di tangan pemerintah. Sungguh, sebuah pilihan yang sangat sulit. Tak heran jika pers berada dalam posisi “hidup enggan, mati tak mau”.

Mengancam pers

Kebebasan pers tidak bisa diberikan atribut lain yang akhirnya mengancam kebebasan pers itu sendiri. Biarlah kebebasan berjalan sebagaimana mestinya. Semua itu akan tergantung pada kedewasaan berpikir masyarakat. Meskipun saat ini sudah ada kebebasan, pro-kontra pelaksanaan kasus pers juga terus berlangsung.

Kasus yang melibatkan Tommy Winata vs majalah Tempo diselesaikan dengan KUHP, sementara kasus FPI vs majalah Play Boy diselesaikan dengan UU Pokok Pers. Kasus tersebut jelas masih menimbulkan dualisme tentang aturan hukum yang menyangkut pers. Masalah kita saat ini adalah tiadanya jaminan kepastian hukum dari pemerintah. Sementara itu, pers yang berusaha membongkar kasus di lingkar pemerintahan justru terancam secara hukum.

Kita berhadapan dengan dua pilihan. Pers membongkar kasus di pemerintahan dan sangat berguna bagi masyarakat, tetapi membuat marah pemerintah; atau pers tidak membongkar kebobrokan pemerintah yang tidak berguna bagi masyarakat tetapi menyenangkan pemerintah. Pilihan yang kedua, tentu pilihan yang lebih ideal. Revisi UU Pokok Pers memang boleh, tetapi jika itu dibarengi dengan semangat menghambat kebebasan pers dengan alasan ideal adalah jangan, apa pun alasannya (Sumber: Solo Pos, 25 Juli 2007)
Readmore »»

Media Massa dan Tantangan Objektivitas

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta agar media massa menjaga akurasi, keseimbangan dan melakukan self cencorship (sensor diri). Dengan cara seperti itu, diharapkan kesalahpahaman antara pemerintah, masyarakat dan dengan media massa bisa diatasi. Hal demikian disampaikan presiden dalam acara pertemuan dengan pimpinan media massa di Istana Negara beberapa waktu lalu. Tulisan ini akan melihat dari sisi apa yang telah dilakukan media massa dan pemerintah dan apa yang harus dilakukan.

Objektivitas
Yang sering dikhawatirkan pemerintah adalah bahwa media massa sudah kehilangan objektivitas pemberitaannya. Harapan presiden agar media massa melakukan self cencorhsip sebenarnya tarungkap harapan sekaligus sindiran selama ini media lemah dalam melakukan itu.

Berbicara tentang objektivitas media massa kita tidak akan bisa melepaskan diri dari bahasan fakta dan opini/fiksi. Westerstahl (McQuail, 2000), pernah meyodorkan bahwa yang dinamakan objektif setidaknya mengandung faktualitas dan imparsialitas.

Faktualitas berarti kebenaran yang di dalamnya memuat akurasi (tepat dan cermat), dan mengkaitkan sesuatu yang relevan untuk diberitakan (relevansi). Sementara itu, imparsialitas mensyaratkan adanya keseimbangan (balance) dan kenetralan dalam mengungkap sesuatu.

Dengan demikian, informasi yang objektif selalu mengandung kejujuran, kecukupan data, benar dan memisahkan diri dari fiksi dan opini. Ia juga perlu untuk menghindarkan diri dari sesuatu yang hanya mengejar sensasional semata.

Apa yang dikemukakan oleh Westerstahl tersebut di atas dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan. Media massa tidak lepas dari subjektivitas atau subjektivitas yang objektif. Subjektivitas dilakukan jika media massa memberitakan suatu kejadian yang tidak pernah terjadi. Sementara itu, subjektivitas yang objektif terjadi ketika media massa secara terang-terangan atau tidak cenderung membela salah satu pihak yang sedang diberitakan. Pemberitaannya berdasarkan fakta-fakta yang terjadi (objektif) tetapi penulisannya secara subjektif.

Kecenderungan ini mewarnai setiap kebijakan media massa. Bahkan koran sebesar New York Times (NYT) yang sudah berusia 100 tahun dan mengawal 20 presiden AS tidak lepas dari kepentingan itu. Noam Chomsky pernah menulis bahwa cara pandang koran itu sangatlah elitis dan sangat menekankan kepentingan AS dalam melihat negara dunia ketiga. Dalam masalah Timor Timur misalnya sangat sedikit ditulis sementara di Vietnam (AS punya kepentingan di sana) begitu gencarnya. Padahal pada tahun 70-an itu, di Timor Timur terjadi banyak pelanggaran HAM yang membutuhkan perhatian serius bagi koran sebenar NYT (Haryanto, 2006).

Apalagi media massa di Indonesia yang usianya belum setengah abad, jelas sangat tidak mudah melakukan objektivitas penulisan. Ini bukan bermaksud membela media massa, tetapi kita juga perlu melihat sisi lain yang mengitari media massa. Paling tidak dibandingkan dengan era Orba, media massa Indonesia jauh lebih baik.

Yang tidak kalah menariknya adalah objektivitas yang terjadi pada media televisi kita Dalam beberapa kasus, televisi jauh lebih besar dalam melanggar objektivitas tayangan. Ini bisa kita lihat dari tayangan infotainmet yang sedang marak di televisi kita. Tayangan itu sering mencampuradukkan antara fakta dan opini.

Pernyataan yang dibacakan oleh narator atau pembawa acara seringkali “menuduh” pihak tertentu dan mengarahkan penonton untuk setuju dan tidak setuju terhadap realitas yang disajikannya. Meskipun, mereka merasa hanya sekadar memberikan ilustrasi dari apa yang disajikan. Kata-kata seperti “sungguh tragis”, “sayangnya”, “tidak disangka” dan sebagainya menjadi contoh kongkrit keberpihakan tersebut.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena orang-orang yang terlibat dalam acara infotainment itu tidak banyak yang berlatarbelakang jurnalistik. Dampaknya, mereka memproduksi acara yang penting penonton. Yang berlatarbelakng jurnalistik saja belum tentu bisa mempengaruhi bahwa berita seharusnya menampilkan fakta-fakta detail yang disajikan tanpa bermaksud menggiring pembacanya. Dalam hal ini kekuasaan produser sedemikian kuatnya.

Dalam kasus poligami yang dilakukan Aa Gym media massa telah berhasil memojokkan kiai itu dan mempengaruhi opini masyarakat untuk memprotesnya. Tidak salah memang, tetapi haruskah sepihak dalam memberitakan? Ini lepas dari setuju dan tidak setujunya terhadap poligami.

Akibat pemberitaan yang tidak proporsional itu pula, ketidakadilan di masyarakat terjadi. Misalnya, mengapa masyarakat sangat memprotes Aa Gym yang nikah secara sah, disetujui istrinya dan memakai dananya sendiri? Bagaimana enerji kita begitu terkuras hanya mengurusi masalah poligami sementara korupsi yang menimpa anggota DPR dan jajaran pemerintah sering luput dari pengamatan kita? Bagaimana pula dengan DPRD meminta gaji yang selangit dan berkilah atas dasar PP no. 37/2006?

Watch Dog

Kekhawatiran pemerintah atas tayangan media massa selama ini seperti yang dikemukakan SBY sebenarnya terlalu dibesar-besarnya. Bagaimanapun juga media massa punya tugas sebagai pengawas atau seperti anjing penjaga (watch dog). Jika di pemerintahan terjadi ketidakadilan, pemerintah cenderung diam sementara permasalahan di masyarakat semakin akut, media punya tanggungjawab “menggongongnya”.Kalau tidak media massa, lalu siapa lagi? Apakah pemerintah juga berani untuk tidak menaikkan gaji DPRD di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan ini? Di tangan media massalah kasus itu diserahkan agar diketahui oleh publik.

Media massa sebagai pengawas mempunyai tugas untuk memunculkan berita, dan memberikan fakta-fakta yang ada agar diketahui masyarakat. Dengan cara seperti itu diharapkan masyarakat mengkritisi apa yang sudah diberitakan media massa tersebut. Perkara nanti mau diproses biarlah hukum yang akan memutuskannya.

Ini penting untuk dilakukan karena sistem pemerintahan di Indonesia tidak berjalan dengan baik manakala tidak disorot media terus menerus. Kasus korupsi yang menimpa mantan elite politik sangat jauh dari penyelesaiaan jika media massa tidak terus-menerus mendorong untuk dilakukan pengusutannya. Di sinilah peran penting media massa perlu didudukkan.

Tentu saja, bagi media massa yang partisan hal demikian sangat susah untuk diwujudkan. Sebab, mereka berada di bawah kepentingan tertentu. Tetapi yang jelas antara memilih membela pemerintah dengan mengkritik pemerintah media massa harus memilih yang kedua. Sebab dimana, kapan dan siapa pun yang berkuasa cenderung tidak mau dikritik, ingin kemapanan dan tidak ada gejolak. Padahal pelanggaran justru semakin subur dalam kondisi seperti itu. Barangkali kita perlu ingat kata-kata klasik Lord Acton, power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutely. (Sumber: Solo Pos, 17 januari 2007).
Readmore »»

Selasa, Desember 02, 2008

Saatnya Humas atau Public Relations, Bukan Iklan

Dalam bukunya yang sangat bombastis, The Fall of Advertising and the Rise of PR, Al Ries & Laura Ries mengatakan, saat ini era periklanan sudah mati. Yang muncul kemudian adalah era PR. Anda misalnya, tidak dapat lagi meluncurkan merek baru dengan iklan semata, sebab iklan tidak punya kredibilitas. Anda hanya dapat meluncurkan produk baru dengan PR.

Mengapa? Dengan PR, Anda bisa menyampaikan kisah kepada pihak ketiga. Selain itu, PR lebih memberikan persepsi positif daripada kampanye iklan. Tak heran, jika semakin banyak iklan, semakin muak masyarakat. Merek-merek besar saat ini pun dibangun karena kejelian dan kelihaian dalam merencanakan kampanye PR. Artinya, dalam membangun merek sebuah produk tidak cocok lagi digunakan iklan semata. Iklan membutuhkan PR. Sedangkan PR tidak harus membutuhkan iklan.

Pernyataan Al dan Laura Ries di atas tentu tidak mengada-ada. Bukti di lapangan sudah banyak terjadi. Bahkan, ada satu persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa iklan itu setengahnya adalah bohong. Misalnya, bagaimana mungkin sebuah iklan obat sakit kepala bisa menghilangkan sakit kepala hanya dalam satu menit? Meski anehnya, tidak sedikit masyarakat yang percaya. Namun, sejalan dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan masyarakat, iklan produk yang hanya dikenalkan lewat iklan tentu akan dianggap informasi bohong. Apakah Anda mengenal Yahoo, Harry Potter dan Microsoft? Semua merek itu dibangun melalui PR dan bukan iklan.

Memang diakui, bahwa PR masuk ke benak masyarakat secara perlahan-lahan, tetapi pasti. Sementara iklan masuk ke benak masyarakat secara cepat tetapi tidak selalu pasti. Misalnya, masyarakat menggunakan barang yang diiklankan. Namun, setelah terbukti tidak sesuai dengan yang diiklankan, masyarakat bisa jadi akan meninggalkannya.

Beda lain antara iklan dengan PR adalah jika periklanan itu memelihara merek sedangkan PR membangun merek. Awalnya, sebuah merek harus dibangun dengan PR agar positioning-nya jelas. Setelah itu baru kita membutuhkan iklan untuk mempertahankan posisinya.

Manakah diantara merek dibawah ini yang sering Anda dengar? Cardinal Halth, Delphi Automotive, Ingram Micro, Lehman Brother Holdings, McKesson HBOC, Liant Energy Southern , Tosco, TIA CREF, Utilicorp United atau Microsoft? Tidak perlu diragukan lagi, bahwa nama Microsorf lebih akrab di telinga kita. Padahal sepuluh perusahaan selain Microsoft di atas jauh lebih besar. Tetapi, kesepuluh perusahaan tersebut tidak satupun yang membangun merek sebanding dengan Microsoft. Padahal, TIA-CREF beberapa tahun lalu pernah mempunyai pemasukan sebesar $38 milyar, sedangkan Microsoft hanya $23 milyar. Tetapi Microsoft adalah sebuah merek.

Bukan tidak mustahil merek yang sudah dibangun tersebut akan mendatangkan keuntungan yang semakin banyak di masa datang. Jadi, bukankah membangun merek itu sangat penting untuk kelangsungan hidup perusahaan di masa datang? Bisa dikatakan PR membangun brand image produk dalam jangka waktu lama, sementara periklanan dalam jangka pendek.
Ada sebuah survei yang diadakan oleh American Advertising Federation (AAF) tentang 1.800 eksekutif bisnis. Para eksekutif tadi ditanya pada departemen mana yang paling penting bagi keberhasilan perusahaan mereka. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa PR lebih dihormati daripada periklanan.

Lebih rinci hasil survei yang dilakukan AAF adalah sebagai berikut:

Pengembangan produk (29 persen)
Perencanaan strategis (27 persen)
Public relations (16 persen)
Periklanan (10 persen)
Penelitian dan pengembangan (Litbang) (4 persen)
Strategi keuangan (4 persen)
Hukum (3 persen)

Jadi apa yang dilakukan AAF tersebut semakin menjadi bukti kuat bahwa PR menjadi kegiatan yang sangat penting saat ini. Iklan punya kredibilitas kecil, sedangkan PR punya kredibilitas besar.

Mengapa pula, perusahaan yang sedang menghadapi masalah lebih membutuhkan PR daripada periklanan? Inilah poin penting yang semakin mengukuhkan munculnya era PR. Ini tidak berarti bahwa perusahaan tidak membutuhkan iklan, tetapi iklan tanpa didukung oleh kampanye PR yang cerdas justru akan mengantarkan produk kita menjadi bahan olok-olokan masyarakat.

Dalam konsep marketing kuno, kita dikenalkan dengan 4P (product, price, place dan promotion). Tapi sekarang, 4P itu sudah banyak ditinggalkan orang. Kita menyadari, 4P tidak begitu ampuh lagi untuk mendongkrak omzet penjualan. Maka, saat ini kita dikenalkan dengan 6P. Dua P yang lain adalah power dan public relations. Power sering diartikan dengan network (jaringan) yang dimiliki untuk mencapai pemasaran produk. Sedang kekuatan public relations merupakan bagian penting yang sering dilupakan orang. Begitu diyakininya, kekuatan public relations menyebabkan perusahaan-perusahaan kelas dunia merasa perlu untuk memanfatkan bidang ini.

Baca Lebih lengkap dalam: Nurudin, Hubungan Media, Konsep dan Aplikasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics