Rabu, November 11, 2009

Opini publik sebagai hukuman sosial


(Tulisan ini salah satu bahasan dalam buku "Opini Publik Sebagai The Fifth Estate)

Kasus “Cicak vs Buaya” menjadi semakin ruwet. Keruwetan ini muncul setelah menyeret banyak pihak yang terkait. Kasus itu semakin mendapat perhatian masyarakat luas setelah dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kapolri beberapa waktu lalu.

Terungkap, Kapolri membela dan ingin mengembalikan kewibawaan institusi Polri, Susno Duadji (mantan Kabareskrim) merasa tidak terlibat dalam kasus itu, bahkan sampai bersumpah sekalipun. Sementara dalam rekaman yang diungkap di Mahkamah Konstitusi (MK), nama dia justru sering disebut. Pertanyaannya adalah apakah Anggodo sedang melakukan “dramatisasi” sebuah perkara? Sementara itu, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah juga mengatakan tidak pernah menerima suap. Lalu, siapa yang bersalah dan siapa yang benar?

Peran media massa
Berbagai rentetan peristiwa di atas kemudian diberitakan oleh media massa (cetak dan elektronik). Rentetan peristiwa itu kemudian diikuti oleh opini-opini yang dibangun di atas fakta-fakta yang berasal dari opini narasumber. Jadi, media massa memberitakan fakta-fakta yang berasal dari pendapat para narasumber tertentu atas fakta perseteruan antara “Cicak vs Buaya”.

Jika opini-opini itu diberitakan oleh media massa, pengaruhnya juga sampai ke pembaca, penonton atau pendengarnya – sebut saja audiens. Jika audiens tersebut terpengaruh oleh pemberitaan dari media massa itu, jadilah yang disebut dengan public opinion (opini publik).

Opini publik adalah opini yang berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa, meskipun ada juga opini publik yang bisa dibangun bukan dari media massa. Masalahnya, media massa mempunyai kekuatan untuk memperkuat dan mempercepat tersebarnya sebuah opini.

Publik hanya mereaksi dari apa yang diakses audiens lewat media massa. Dalam posisi ini, opini bisa berkembang dengan baik atau tidak sangat tergantung dari pemberitaan apa yang disiarkan media massa itu.

Tak heran, jika opini publik bisa disebabkan oleh dua hal, direncanakan (planned opinion) dan tidak direncanakan (unplanned opinion). Opini publik yang direncanakan dikemukakan karena memang ada sebuah rencana tertentu yang disebarkan media massa agar menjadi opini publik. Ia mempunyai organisasi, kinerja dan target yang jelas. Misalnya, opini yang sengaja dibuat oleh elite politik tertentu bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Ide ini dikemukakan di media massa secara gencar dengan perencanaan matang.

Lain halnya dengan opini publik yang tidak direncanakan. Ia muncul dengan sendirinya tanpa rekayasa. Media hanya sekadar memuat sebuah peristiwa yang terjadi, kemudian diperbincangkan di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, media massa hanya mengagendakan sebuah peristiwa dan memberitakannya, hanya itu. Ia kemudian menjadi pembicaraan publik karena publik menganggap isu itu penting untuk diperbincangkan. Karena menjadi pembicaraan di masyarakat, media massa kemudian memberi penekanan tertentu atas sebuah isu. Akhirnya, ia menjadi opini publik juga.

Tahapan opini publik
Untuk menjadi opini publik, kemunculannya melalui berbagai proses yang tidak gampang dan singkat. Ferdinand Tonnies (Nurudin, 2001:56-57) dalam bukunya Die Offentlichen Meinung pernah mengungkapkan bahwa opini publik terbentuk melalui tiga tahapan; pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini publik masih semrawut seperti angin ribut. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan, kepentingan, pengalaman dan faktor lain untuk mendukung opini yang diciptakannya.

Kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik sudah menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa dianggap bahwa pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu secara jelas. Artinya, sudah mengarah, mana opini mayoritas yang akan mendominasi dan mana opini minoritas yang akan tenggelam.
Ketiga, die festigen position. Pada tahap ketiga ini, opini publik telah menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap dan suatu pendapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain, siap untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang tajam sebelumnya.

Menunggu ending
Perseteruan antara KPK dengan Polri jelas akan berdampak luar biasa bagi masyarakat. Tidak saja karena melibatkan dua institusi yang seharusnya memberikan contoh penegakan hukum, tetapi sudah mengarah pada gengsi antar lembaga. Polisi gengsi dan harus membela diri karena (merasa) dipojokkan, sementara itu KPK bisa menjadi besar kepala karena merasa didukung semua elemen masyarakat (demonstrasi, Facebook dan dukungan lain).

Namun, perseteruan ini menyisakan persoalan karena semakin membuat ruwet opini yang berkembang di masyarakat. Pihak kepolisian membela diri, sementara KPK juga tidak jauh berbeda. Masyarakat yang tidak kritis tentu akan menelan mentah-mentah berita-berita yang berasal dari media massa. Jika begini, media massa harus punya agenda mendasar untuk memberikan perspektif cerdas berkaitan dengan persoalan itu. Misalnya, media massa tentu tidak pada tempatnya ikut-ikutan membela kepolisian gara-gara kebanyakan anggota Komisi III beberapa waktu lalu cenderung membela Polri. Perhelatan dengar pendapat bak sebuah dagelan politik.

Semakin ruwet persoalan tersebut di atas, jika dikaitkan dengan pembentukan opini publik, bisa masuk dalam tahapan pertama yakni opini publik masih semrawut sebab masing-masing pihak yang bertikai saling merasa benar sendiri dan cenderung menyalahkan pihak lain. Yang jelas, kepentingan masing-masing pihak sangat transparan.

Soal bagaimana ending (akhir) “drama politik” terbesar tahun ini, biarlah isu itu terus bergulir. Biarlah nanti opini publik melalui tahapan selanjutnya. Biarlah media massa punya agenda tersendiri tanpa campur tangan kepentingan pihak-pihak lain. Dan akhirnya, biarlah masyarakat menilai mana pihak yang benar, mana pihak yang salah. Opini publik seperti itu akan memberikan pelajaran berharga, betapa setiap kejahatan saat ini akan menjadi sorotan masyarakat karena semua kejadian bisa diekspos media massa.

Barangkali, dukungan masyarakat atas KPK dan cenderung memojokkan Polri menjadi puncak gunung es kekecewaan perilaku masyarakat atas anggota Polri selama ini – lepas dari siapa nantinya yang bersalah. Dari sini, semua pihak tentu harus berpikir jernih dan cerdas. Mereka boleh melakukan apa saja, tetapi opini publik masyarakat tidak bisa direkayasa, apalagi mereka dibohongi. Biarlah opini publik menjadi hukuman sosial (social punishment) atas keserakahan mereka. - Oleh : Nurudin Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Jurnalisme Masa Kini
(artikel ini pengembangan dari tulisan saya di Solo Pos, 11 November 2009)
Readmore »»

Minggu, November 08, 2009

Mengungkap jurnalisme masa lalu dan masa kini

Oleh : Pardoyo, Penulis buku, editor, staf Litbang SOLOPOS
(Solo Pos, Minggu, 08 November 2009 , Hal.IV.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit : Rajawali Pers Jakarta
Edisi : I, 2009
Tebal : xvi + 350 Halaman

Seiring perkembangan teknologi komunikasi, di bidang jurnalisme terus mengalami perkembangan. Lebih-lebih setelah muncul internet, definisi mengenai jurnalisme pun mengalami perubahan.

Pengertian jurnalisme yang pada awalnya melekat pada orang yang bekerja di media cetak, saat ini telah berubah berkaitan dengan munculnya citizen journalism (jurnalisme warga). Pasalnya, kini, masyarakat yang tidak mempunyai penerbitan pun bisa menjadi wartawan atas dirinya sendiri, yakni dengan memakai website atau blog. Meskipun hal itu masih menjadi perdebatan, tapi realitas di lapangan demikian.

Bahkan, berbagai media massa pun telah membuka peluang bagi masyarakat untuk menulis tentang peristiwa atau sesuatu yang terjadi di lingkungannya untuk dikirimkan ke media tersebut. Misalnya, di Harian SOLOPOS dibuka subrubrik Ruang Publik. Melalui subrubrik ini siapa pun boleh mengirimkan tulisannya atau informasi untuk dimuat di koran ini.

Kalau subrubrik Ruang Publik lebih khusus bagi warga Solo dan sekitarnya, untuk mereka yang jauh dari Solo, bahkan yang berada di luar negeri pun bisa berinteraksi dengan pembaca koran ini, melalui subrubrik Buku Tamu di setiap edisi Minggu.

Revolusi
Memang, penemuan internet pada 1990-an telah menjadi keniscayaan sejarah dalam teknologi komunikasi yang pengaruhnya luar biasa. Pengaruh ini tak bisa kita hindari. Oleh karena itu, cara berkomunikasi pun telah mengalami revolusi. Cara penyampaian berita yang semula hanya dilakukan dengan cara manual, sekarang cukup dengan email. Surat kabar, televisi, dan radio tidak hanya mengandalkan medianya sendiri, melainkan sudah memakai internet.

Dengan begitu, penyebaran informasi, kini, bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dengan cara apa saja. Warga negara yang selama ini dipersepsikan hanya sebagai konsumen media, sekarang bisa bertindak sebagai ”jurnalis”.

Seperti diketahui, pengertian jurnalis berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa diartikan wartawan, yakni orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita dalam surat kabar, dsb. Sedangkan jurnalisme, masih menurut KBBI, merupakan pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar, dsb.

Dalam proses penulisan berita, menurut penulis buku ini, dulu didominasi dengan pedoman klasik 5W+1H (what, when, where, why, who, dan how) yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan, kini dengan jurnalisme baru, konsep klasik itu telah dikembangkan.

Konsep itu dikembangkan menjadi tulisan model naratif dengan mengubah rumus 5W dan 1H. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif, dan how menjadi narasi. Sehingga, pengisahan berita naratif menjadi mirip kamera film dokumenter. ”Ini menjadi kecenderungan jurnalisme baru,” tutur Nurudin yang selain aktif menulis di media massa juga dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang ini.

Dalam sejarah perkembangannya, jurnalisme mengalami kemajuan yang berarti. Ini sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi massa. Karenanya, kajian jurnalisme membawa banyak konsekuensi di bidang jurnalisme pula. Yang awalnya dimonopoli media cetak, sudah bertambah dengan media elektronik seperti televisi dan radio. Bahkan, sekarang sudah mewabah internet yang mau tidak mau menyeret pembahasan jurnalisme ke bentuk media baru itu (Halaman 13).

Di Indonesia, media cetak tak lagi cukup disajikan dengan media yang tercetak. Demikian juga media elektronik. Sekarang masing-masing mempunyai wujud dua, selain medianya sendiri, juga media internet. Harian SOLOPOS bukan hanya dalam bentuk media yang tercetak, tapi juga memiliki solopos.com. Harian Kompas memiliki kompas.com. Harian Jawa Pos juga memiliki jawapos.co.id. Demikian pula beberapa televisi seperti RCTI, SCTV, MetroTV, dll, semua itu juga menyajikan dalam media internet.

Oleh karena itu, dalam buku ini, selain disajikan asal-usul jurnalisme, definisi dan ruang lingkup jurnalisme, juga mengungkap konsep-konsep jurnalisme, kualifikasi jurnalis, prinsip-prinsip jurnalisme masa kini, dan topik-topik jurnalisme.
Dalam pembahasan tentang konsep-konsep jurnalisme, dijelaskan sejarah pers dan jurnalisme. Demikian pula dalam pembahasan tentang prinsip-prinsip jurnalisme masa kini, di dalamnya diungkap konsep-konsep baru dalam jurnalisme dan jenis-jenisnya. Misalnya jurnalisme warga negara, jurnalisme presisi, jurnalisme kuning, dsb. Dan, sebelum sampai pada kesimpulan, buku ini juga mengungkap KUHP vs UU Pokok Pers. q -


https://docs.google.com/document/d/1P8ePDLvLrGw9QX_u0gVptdhAsCo_Mpspotyj-ZGYJmU/edit?usp=sharing Readmore »»

Minggu, November 01, 2009

Syarat-Syarat Pembuatan Tugas UTS

Setelah Anda memilih anggota dan tema teori komunikasi massa yang dipilih saat perkuliahan, berikut saya sajikan syarat-syarat pembuatan tugas UTS:

Buatlah paper dengan syarat sebagai berikut:
1.Uraikan tema yang sudah dipilih kelompok Anda dengan isi:
a. Sejarah dan latar belakang kemunculan teori.
b. Inti teori dipaparkan secara jelas.
c. Bagaimana konteks aplikasi teori itu dalam kehidupan masyarakat sekarang, sertakan contohnya.
d. Apa kelebihan dan kekurangan teori itu.
e. Apa kesimpulan yang bisa didapatkan dari uraian makalah yang dibuat.
2.Sistematika penulisan bebas, yang penting bisa membahas permasalahan dalam poin 1
3.Diketik di atas kertas kuarto atau A4 spasi ganda (2), times new roman 12
4.Panjang tulisan antara 5-7 halaman.
5.Jangan lupa cover paper dengan mencantumkan nama, Nim, kelas, judul tema yang dipilih, nama mata kuliah (ketidaklengkapan syarat dalam cover ini mengakibatkan tugas tidak diperiksa).
6.Sertakan daftar pustaka buku minimal 5 buku (tidak termasuk literatur dari media massa)
7.Dikumpulkan saat Ujian Tengah Semester (UTS) sesuai jadwal dari fakultas. Jangan lupa tanda tangan presensi saat mengumpulkan tugas itu. Keterlambatan pengumpulan tugas mengakibatkan tugas itu akan ditolak.
8.No plagiarism.
9.Tidak melayani pengumpulan tugas lewat e-mail, FB dll.

Selamat belajar, semoga sukses.
Readmore »»

Jumat, Oktober 23, 2009

Televisi, Merenggut Fungsi Mendidik Guru

Pendidikan dan Realitas TV Indonesia
Munculnya televisi adalah sebuah keniscayaan sejarah yang tak gampang untuk ditolak kehadirannya. Kemunculan “kotak ajaib” itu merupakan konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi massa yang diakui atau tidak telah membawa perubahan-perubahan yang berarti di masyarakat. Akibat munculnya televisi, masyarakat mengalami percepatan kemajuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Begitu dahsyatnya perubahan yang diakibatkan oleh televisi, ada banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan percepatan perkembangan teknologi komunikasi massa itu. Untuk sekadar menyebut contoh, kita saat ini telah memasuki era yang disebut “Revolusi Komunikasi” (Daniel Lerner), “Masyarakat Pasca Industri” atau the post industrial society (Daniel Bell), “Abad Komunikasi” atau “Gelombang Ketiga” atau the third wave (Alvin Toffler), “Global Village” (Marshall McLuhan), dan “Ledakan Komunikasi Massa” (Collin Cherry).

Tentu saja, perkembangan tersebut membawa dampak perubahan format masyarakat. Bahkan masyarakat saat ini tidak lagi mengandalkan komunikasinya melalui face to face communication, tetapi telah melalui media massa (cetak dan elektronik). Disamping itu, pola pikir dan perilaku kita sangat dipengaruhi oleh media massa pula. Coba kita pertanyakan, adakah barang yang kita miliki di rumah kebanyakan bermerek yang dikenalkan media massa? Adalah kita punya kemampuan untuk tidak memanfaatkan media massa dalam satu hari saja?

Dampak yang terjadi di masyarakat seperti yang dikemukakan di atas, tak terkecuali berdampak pada perkembangan anak-anak sebagai “pasar” televisi. Televisi memang membawa pengetahuan baru bagi anak-anak. Pengaruh yang sedemikian dahsyat akan pengaruh televisi pernah dikatakan Davis dan Abelman, “Although the family has been regarded as the primary agent in the socialization process (Gecas, 1992; Grusec & Goodnow, 1994; Maccoby, 1992), there is some evidence that television has the potential to transform the socialization process and displace the family from its traditional place in socialization” (Davis & Abelman, 1983) (Alexis Tan et.tal, 2000).

Banyak cerita memang, setelah menonton layar kaca tersebut anak-anak jadi semangat mempelajari Fisika atau IPA (bagi yang masih SD) ketika ditayangkan "Indosat Galileo". Melalui "Keluarga Cemara", anak-anak juga mendapat pelajaran tentang nilai keluarga dan bagaimana cara keluarga sederhana itu mengatasi kesulitan hidup mereka sehari-hari. Namun demikian, meskipun punya dampak positif, televisi juga bermuatan negatif. Bahkan muatan negatifnya jauh lebih besar pada diri anak-anak. Akan ampuhnya dampak televisi, pernah dikatakan oleh Huston, Zillman, & Bryant (1994), “Television is one of the most powerful socializing agents of children for several reasons. One is that children’s exposure to television begins in infancy and conservative estimate s are that it is watched three or more hours per day. Further, children’s access to television requires no special skills such as the ability to read” (Mary Strom Larson, 2002).

Pendapat itu jika ditarik ke dalam permasalahan yang lebih kongkrit adalah semakin banyak anak menonton televisi semakin kuat dampak negatif yang ditimbulkannya. Dengan kata lain, semakin seringnya anak menonton televisi semakin sedikit minat membacanya. Di sinilah persoalannya bahwa televisi juga telah menumpulkan kecerdasan seseorang.

Dampak lain keberadaan televisi bisa dilihat dari kasus yang pernah menimpa Nyoya Rani (40 tahun). Suatu saat, ia sangat kaget ketika anak sulungnya yang berusia 11 tahun dan baru duduk di kelas 5 SD menanyakan apa artinya kondom. Dengan sedikit terbata-bata ibu yang juga karyawati sebuah perusahaan swasta itu menjawab pertanyaan sang anak dan berusaha disesuaikan dengan kemampuan nalarnya. Ketika diajak ngobrol, akhirnya si sulung mengemukakan istilah itu didapatnya dari tayangan televisi (Pikiran Rakyat, 22 Mei 2005).

Mengapa ini semua terjadi? Menurut sebuah penelitian, dari 15 judul sinetron ditemukan unsur yang kental sensualitas. Berpakaian seronok menempati aspek tertinggi (49 persen dari 169 pemunculan), lalu merayu (14 persen), merangkul (11 persen), dan menatap penuh hasrat lawan jenis (11 persen). Unsur seksualitas itu dikhawatirkan berujung pada pembentukan sikap permisif yaitu, cuek bebek pada terjadinya pelanggaran norma agama, sosial, bahkan hukum dalam kehidupan nyata (Republika, 30 Desember 2005).

Nyatalah bahwa televisi mempunyai dampak yang hebat pada sikap dan perilaku anak-anak. Anak-anak pun tak jarang menghabiskan waktunya di depan televisi. Dari sinilah kemudian problem muncul. Anak-anak terpengaruh oleh apa yang disajikan televisi. Televisi, dalam posisi ini sudah diposisikan sebagai seorang guru. “Sang guru” itu berceramah, bercerita, memberikan informasi, memberikan persuasi pada anak-anak tersebut, sementara anak-anak tanpa sengaja menurut dengan apa yang disajikan dari televisi itu. Televisi telah dianggap sebagai guru lantaran apa yang disajikannya bisa menghibur, sementara pelajaran di sekolah dianggapnya membebani, meskipun berguna bagi masa depan mereka.

Dari deskripsi latar belakang tersebut di atas permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah 1) sejauhmana dampak negatif televisi bagi anak-anak dan 2) bagaimana televisi telah mencabut fungsi mendidik seorang guru?

Baca lebih lanjut dalam: Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, Rajawali Pers, 2009.
Readmore »»

Sabtu, Oktober 03, 2009

Facebook, Tuhan Baru Masyarakat Modern?

“Pemkot Surabaya mulai gerah atas banyaknya pegawai negeri sipil yang online di Facebook dan Yahoo! Messenger (YM). ''Candu'' dua sarana perkawanan dunia maya itu dirasa begitu kuat, sehingga menurunkan kinerja aparat. Yang paling nyata, traffic internet di lingkungan pemkot ''disedot'' habis-habisan oleh dua situs tersebut” (Jawa Pos, 5/9/09).

Kalau Anda punya Facebook (FB) dengan jaringan pertemanan yang luas, akan menemukan kasus memukau pada bulan Ramadhan ini. Coba sekali-kali amati tulisan di status teman-teman Anda. Dalam status mereka, tak jarang ada doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. Salah satu contohnya begini, “Mohon ampunanMU, aku masih berniat memperbaiki semua, bantu aku menjalani semua proses ini ya Allah”. Intinya, FB dijadikan sarana untuk memanjatkan doa. Itu belum termasuk kata-kata singkat, “habis sholat malam”, “mau tadarusan” , “Hari kelima puasa baru dapet 6 juz. Alhamdulillah, tapi masih kurang banyakkkkkk......” dan lain-lain.

Apa yang dilakukan pada FB-er (sebutan untuk para pengguna FB) seolah menjadikan FB sebagai Tuhan. Mengapa itu bisa terjadi?

Realitas Tuhan
Tuhan (dalam arti monoteisme) adalah tempat bergantung manusia. Dialah sesembahan dan tujuan akhir manusia untuk mencari tujuan hidup. Tuhan didudukkan sebagai sesuatu yang paling tinggi diantara semua hal. Intinya adalah Tuhan adalah tempat bergantung manusia.

Tentu saja, tidak semua manusia percaya adanya Tuhan. Meskipun begitu, Tuhan tetap memberikan kasih sayangnya pada mereka yang tak bertuhan sekalipun. Kasih sayang tak terbatas pada hanya pada mereka yang percaya Tuhan saja.

Bagi mereka yang percaya Tuhan, akan menjadikan Tuhan sebagai sebab utama. Dialah yang menjadikan dan dialah yang mengakhirkan. Manusia mungkin sudah berusaha, tetapi semua akan diserahkan pada Tuhan. Bahkan pada Tuhanlah mereka memohon petunjuk, berdoa, dan mengeluhkan segala persoalan hidup karena usaha manusia yang memang serba terbatas.

Tuhan memang tidak satu. Tuhan itu banyak dalam artian tempat bergantung manusia. Sementara Tuhan dalam ajaran monoteisme tetap satu, yakni sang Causa Prima (sebab awal). Sebagai tempat bergantung manusia, ada manusia yang menjadikan nafsu sebagai Tuhannya. Dalam perilakunya sehari-hari manusia ini selalu menuruti hawa nafsunya. Semua diabdikan untuk menyalurkan nafsu tersebut. Dalam posisi ini, manusia tersebut menjadikan nafsu sebagai Tuhan. Ada juga manusia yang menjadikan uang sebagai Tuhan. Jika ada manusia yang selalu mengukur sesuatu berdasarkan uang, orientasi hidup hanya untuk mencari uang, maka nyata ia telah menjadikan uang sebagai Tuhannya.

Realitas FB
Tidak sedikit diantara pada FBer sangat tergantung kehidupannya pada FB. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Bahkan ada yang terbangun dini hari membuka FB. Apalagi sekarang “berFBria” sangat mudah dinikmati dengan Hand Phone (HP). Macam-macam yang mereka dilakukan, dari soal mengubah status (ini yang sering), mengisi kuis, mengomentari status teman-temannya, sampai iseng-iseng mengetag (menandai) foto dirinya agar diketahui semua teman-temannya.

FB adalah tipe situs jaringan yang membuat aktif penggunanya. Ini sangat berbeda dengan Friendster (FS) yang muncul sebelumnya. Dalam FS, setiap komentar yang ditanggapi oleh teman-teman kita tidak diberitahukana oleh situs tersebut. Sementara dalam FB semua yang dilakukannya diberitahukan kepada pengguna. Jadi kalau kita mengomentari status teman, maka komentar teman yang punya status atau orang lain yang juga mengomentasi status teman kita itu bisa diketahui. Antar pengguna bisa berkomunikasi secara interaktif. Inilah kelebihan FB. Dalam FB juga bisa melakukan chatting layaknya Yahoo Messenger (YM).

Tak heran, jika para user sangat tergila-gila dengan FB. Bahkan di manapun menggunakan FB; di dalam kendaraan, di kampus, di tempat tidur, bahkan di dalam WC. Tak heran karena menariknya situs ini banyak perusahaan dan lembaga pemerintah melarang karyawannya menggunakan FB seperti yang terjadi pada Pemkot Surabaya. Alasannya, FB mengurangi produktivitas. Para karyawan tidak mau bekerja, tetapi justru “berFBria”. Bahkan itu juga terjadi pada anggota legislatif saat rapat atau aktivitas lain di gedung dewan.

Ketika para user itu putus cinta, misalnya, mereka tumpahkan dengan menulis status dalam FB. Mereka yang sedang gembira juga tidak berbeda. Bahkan sekadar hanya meminta saran tentang persoalan yang dihadapi, mereka memanfaatkan FB sebagai alatnya. Pokoknya, FB adalah alat yang bisa menyelesaikan semua persoalan hidup.
Di sinilah para user itu sangat tergantung sekali pada FB. Coba tanyakan pada mereka yang sudah kecanduan FB, apakah mereka kuat menahan tidak membuka FB dalam satu hari? FB sudah mempengaruhi hidup mereka. Apa pun akan dilakukan agar bisa FB-an. Sungguh, sebuah fenomena baru dalam masyarakat modern. Sangat mungkin dalam pikirannya, file-file tentang FB melebihi file persoalan yang lain.

Tuhan Baru
Apa yang dilakukan pada FBer sama persis dengan ajaran agama. Agama mengajarkan, agar manusia selalu mengingat Tuhannya, dimanapun dan kapan pun. Jika pikiran manusia terus menerus pada FB, tak heran mereka (seolah) sudah menjadikan FB sebagai “Tuhan Baru” dalam hidupnya. Alasannya, FB telah menjadi tempat bergantung manusia agar tidak terombang-ambing hidupnya, sama dengan agama bukan?

Kalau manusia sudah menggantungkan dirinya pada hal lain yang sama dengan Tuhan, bisa jadi dalam tubuh manusia itu telah bersemi "Tuhan Baru” di luar keyakinan pada Tuhannya. Mungkin manusia itu tak merasa, mereka telah menjadikan FB sebagai "Tuhan Baru''. Baginya, bisa jadi Tuhanya tetap Allah swt, misalnya, namun tingkah lakunya sehari-hari atau ketergantungan pada FB telah mengikis kepercayaan pada Tuhan.
Melalui agama yang diturunkan Tuhan, manusia diarahkan, dituntut, bahkan "diharuskan'' untuk melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu yang lain.

Intinya, manusia menjadikan referensi utamanya pada agama dalam kehidupan sehari-hari. Ketergantungan yang demikian besar manusia pada agama merupakan ciri pokok manusia religius. Bagaimana jika manusia telah menjadikan FB sebagai Tuhannya?
Masalahnya, Tuhan baru yang dijadikan referensi hidup itu akan mengikis nilai-nilai ruhani manusia. Nilai-nilai transendental yang selama ini diajarkan oleh agama Tuhan, akan mengalami degradasi. Sebab, manusia sudah menggantungkan hidupnya pada FB.

Mereka berdoa tidak lagi pada Tuhan, tetapi lewat FB. Mengapa berdoa saja harus diketahui orang lain? Memang benar-benar berdoa atau hanya sekadar riya’? Bisa jadi, harapannya, dia menulis doa pada status FB agar diamini oleh para user. Tapi itu sama saja dengan seseorang berdoa dengan suara keras di tengah alun-alun agar orang yang melihatnya mengamini. Tapi jangan-jangan hanya cacian saja yang didapatkan karena dianggap memutarbalikkan hakikat doa? Jadi, jika aktivitas FBer seperti yang digambarkan di atas, mereka sedang membuka peluang tumbuhnya “Tuhan baru” dalam dirinya. Wallahu A’lam.
Readmore »»

Selasa, Juni 30, 2009

Lomba Menulis Resensi Buku "Jurnalisme Masa Kini"

Panitia lomba resensi buku Jurnalisme Masa Kini karya Nurudin, Rajawali Pers, Jakarta, 2009 mengundang masyarakat umum untuk mengikuti lomba:
Syarat-syarat:
1.Terbuka untuk umum.
2.Naskah yang dilombakan harus pernah dimuat di media cetak Indonesia antara bulan Juli-September 2009.
3.Akan dipilih 3 pemenang oleh dewan Juri.
4.Keputusan dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat berkaitan dengan lomba.
5.Pengumuman pemenang akan diumumkan sekitar bulan Oktober-Nopember 2009.
Hadiah? baca lebih lengkap:

Pemenang akan mendapatkan:
1.a. Juara I mendapatkan honorarium Rp. 300.000,-
b. Juara II mendapat honorarium Rp. 200.000,-
c. Juara III mendapat honorarium Rp. 100.000,-
2.Juara juga akan mendapatkan piagam penghargaan.
3.Hak cipta tulisan resensi ada pada penulis masing-masing.
4.Hadiah akan dikirim ke alamat pemenang.

Kirimkan karya Anda ke:
Panitia Penulisan Resensi Buku:
Jalan Ulil Abshar no. 47, Mulyoagung, Dau, Malang 65151
Dengan melampirkan:
1.Bukti naskah resensi asli yang sudah dimuat di media cetak.
2.Menyertakan alamat lengkap, nomor telepon, e-mail dan nomor rekening.

Selamat meresensi!!!!!!!!!


Terima kasih

a.n Panitia
Readmore »»

Minggu, Juni 28, 2009

Facebook, Artis Paling Seksi 2009

Seorang teman pernah berseloroh kepada saya, “Mengapa para kiai mengharamkan FB (facebook)?”.

“Karena para kiai itu tidak menggunakan FB, dan tidak tahu kepentingan FB, “jawab saya sekenanya.

“Bukan itu, para kiai itu mengharamkan FB karena mereka biasa membaca kitab dalam bahasa Arab. Karena bahasa Arab itu dibaca dari kanan, maka FB dibaca BF (Blue Film)”.

Tentu saja, pertanyaan dan jawaban teman saya tadi dalam konteks tidak serius. Yang menjadi masalah kemudian adalah, mengapa beberapa pihak mengatakan FB itu haram? Alas an yang dikemukakan, FB haram jika digunakan untuk mencari jodoh, dan kegiatan yang tidak bermanfaat lainnya. Dalam posisi ini kita bisa memahami fatwa tersebut. Masalahnya tidak sedikit masyarakat kita yang menggeneralisasi bahwa FB memang haram. Kalau Tuhan memberikan jalan seorang untuk mendapatkan jodoh lewat FB apakah pernikahan yang dilakukannya itu haram juga? Inilah persoalannya.

Ini sama dengan ungkapan, “politik itu kotor”. Sebenarnya bukan politiknya yang kotor, tetapi orang-orang yang menggunakan politik untuk kepentingan yang tidak baiklah yang kotor. Dengan kata lain, politiknya itu baik-baik saja. Ia akan tergantung dari siapa yang memanfaatkannya. Tak terkecuali dengan pisau. Ia akan berguna jika dipakai ibu-ibu untuk memasak, misalnya. Tetapi ia akan berbahaya jika ada di tangan penjahat. Apakah dengan demikian kita dengan mudah mengatakan bahwa pisau itu berbahaya? Juga, apakah kita serta merta gampang mengatakan kalau politik itu kotor? Mengapa mereka tidak mengharamkan hotel-hotel yang digunakan untuk transaksi “kelamin”? Mengapa pula tidak gencar mengharamkan korupsi yang kian merajalela di negeri ini?

Sama dengan pisau, FB adalah sebuah alat komunikasi. Ia adalah keniscayaan sejarah. Artinya, ia muncul karena perkembangan sejarah teknologi komunikasi. Pada awalnya memang manusia yang menciptakan teknologi. Namun perkembangannya kemudian teknologi yang memengaruhi kehidupan manusia itu sendiri. Jadilah manusia dikuasai teknologi.
Mengapa FB populer dan diminati? FB yang ditemukan oleh Mark Elliot Zuckerberg sebenarnya sama dengan situs internet lainnya. Hanya perbedaannya, situs internet umumnya menyajikan informasi dan para penjelajahnya hanya menerima apa adanya. Dengan FB, para penjelajah bisa berpartisipasi sebagai pengisi situs. Facebook memenuhi hasrat itu.

Llebih dari 100 juta orang secara aktif menggunakan aplikasi bergerak pada Facebook. iPhone Facebook saja telah memiliki 5 juta pengguna aktif bulanan dan Blackberry untuk Facebook memiliki 3,25 juta pengguna aktif bulanan. Presiden AS Barack Hussein Obama bahkan memanfaatkan situs ini sebagai salah satu cara untuk meraih dukungan dalam Pemilihan Presiden AS tahun lalu.

Situs Mashable (The Social Media Guide) menyatakan, desain Facebook lebih enak dilihat dan dijelajahi serta menawarkan hal-hal yang lebih riil. Sebagai contoh, Facebook menawarkan orang lain yang kira-kira Anda kenal untuk di-add (ditambahkan) jadi teman. My Space juga menyodori Anda beberapa teman, tetapi termasuk menyodori orang-orang dari negeri antah berantah menjadi teman.

FB memang fenomena aktual dan jejaring sosial paling diminati oleh para netter. Menurut catatan pusat operasional FB di California, Amerika, sebanyak 813 ribu dari 235 juta penduduk Indonesia menggunakan FB.

Jadi, manfaat dan tidak manfaat FB sangat tergantung pada penggunanya. Itu juga berarti meskipun pisau itu bisa berbahaya tidak lantas pisau itu dienyahkah, bukan? FB sendiri adalah alat untuk silaturahmi. FBer (untuk menyebut aktivis FB) bisa bertemu dengan teman-teman sesama sekolahnya dahulu. Teman yang sudah tidak pernah bertemu bisa ketemu kembali dengan jejaring FB. Bahkan muncul kesepakatan untuk mengadakan reuni, dan saling mengabarkan satu sama lain. Ini silaturahmi di era digital. Jadi silaturahmi tidak hanya dipahami bertemu dan bertatap muka saja.

Hanya memang tidak bisa dipungkiri, FB juga punya dampak negatif jika tidak digunakan sebagaimana mestinya. Misalnya munculnya perselingkuhan. Bisa jadi, FBer akan menemukan kembali pacar lamanya. Namun demikian, perkara dia akan kembali ke pacar lamanya tentu bukan salah FB. Barangkali karena dia punya jiwa petualang cinta. Dampak negatif lainnya, bisa saja FBer gampang melupakan aktivitas produktif lainnya.
Dari posisi inilah faktor individu pengguna FB sangatlah memegang peranan penting. Memvonis FB haram adalah tindakan yang tergesa-gesa, namun menjadikan diri kita didholimi oleh FB juga tindakan yang kurang bijaksana.
M
asalahnya, kita menjadi semakin heran. Mengapa sesuatu yang muncul dan menjadi keniscayaan sejarah langsung divonis haram? Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang. Bagaimana antisipasi yang dilakukan tanpa harus mengenyahkan sesuatu yang telanjut muncul. Jangan-jangan nanti ada fatwa lain bahwa FB itu “bid’ah”?
Yang jelas, FB adalah artis paling seksi di tahun 2009. Namanya artis, penuh dengan pro dan konta. Tak terkecuali, lekat dengan dampak baik dan buruk. Mendiskusikan bahwa FB itu haram, berdampak baik atau buruk semakin menjadi bukti bahwa FB sangat popular dan menjadi makhluk seksi melebihi wanita. (Sumber:Tera/Tajuk koran Bestari,no. 251/Th.XXII/Juni/2009)
Readmore »»

Selasa, Juni 09, 2009

Kontrak Politik Capres

Oleh Nurudin (Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Pasangan Capres dan Cawapres yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan komitmen jika mereka terpilih. Berkaitan dengan bidang ekonomi, pasangan SBY-Boediono memilih bekerja keras untuk rakyat, tidak menyerahkan ekonomi pada pasar bebas. Pasangan JK-Win melindungi ekonomi rakyat, menyejahterakan rakyat dengan adil dan makmur. Sementara pasangan Mega-Pro mengusung keberpihakan pada wong cilik dan menjalankan kemandirian di bidang ekonomi.

Tentu saja, apa yang dikatakan tersebut masih sebatas wacana. Dan tak mungkin hanya sekadar wacana untuk meraih simpati rakyat. Ada beberapa catatan, pertama, wacana tersebut harus dirinci lebih detail dan lebih operasional. Kedua, tidak boleh sekadar wacana, tetapi harus ada komitmen dengan membuat kontrak politik yang jelas.

Hukum Positif
Mengapa kontrak politik penting dilakukan oleh para kandidat Capres dan Cawapres? Pertama, kontrak politik bermakna tanggung jawab tinggi. Artinya, kandidat yang berani mengadakan kontrak politik, akan dianggap berani pula menerima risiko politik di masa datang. Sebab, program yang dikeluarkan bisa jadi populer di masyarakat, namun siapa yang bisa menjamin kalau program yang pernah dikemukakannya itu akan dilaksanakan secara baik dan benar? Dengan demikian, kontrak politik akan menepis keraguan masyarakat untuk memilih pasangan kandidat.

Oleh karena itu, kontrak politik karenanya punya sanksi yang tegas dan nyata. Sebab, dalam kontrak akan bisa diketahui apa bentuk sanksi yang diterima jika kandidat melanggar kontrak yang sudah disepakati tersebut.

Karenanya pula, sanksi dalam kontrak politik bukan pada diri masing-masing orang seperti yang ada dalam kode etik. Dengan kata lain, kontrak politik bukan sebuah kode etik. Jika seorang wartawan menerima amplop, padahal dilarang, pertanggungjawabannya pada hati nurani sang wartawan itu. Ini jelas sanksi yang tidak tegas dan nyata. Kontrak politik dengan sanksi seperti kode etik tidak cocok untuk para kandidat. Maka, kontrak politik harus berada dalam ranah hukum positif (punya sanksi tegas dan nyata).

Kedua, masyarakat sekarang adalah masyarakat dengan tingkat melek politik yang sudah tinggi. Karenanya, ada banyak perubahan kecenderungan memilih yang sulit diduga sejak awal. Perhitungan di atas kertas tidak lagi bisa menjadi jaminan seorang kandidat bisa memenangkan sebuah “kompetisi politik”. Seringkali rasionalitas masyarakat sangat berbeda dengan rasionalitas para pengamat, tim sukses dan politisi itu sendiri.

Bukti sudah banyak berbicara. Lepas dari ada faktor lain yang ikut menentukan kita bisa melihat pada kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ambil contoh terpilihnya pasangan Heryawan-Dede Yusuf (Hade) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Kedua pasangan itu membalikkan prediksi-presiksi politik awal.

Orang tidak menyangka kalau pasangan yang hanya didukung oleh PKS dan PAN itu bisa menang. Kurang apa pasangan Agum dan Nu’man yang didukung oleh PDI-P, PKB, PPP, PKPB, PDS, dan PBR sampai kalah dengan pasangan Hade? Tak terkecuali, kurang apa Danny-Iwan yang didukung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mempunyai suara besar akhirnya juga kalah? Inilah prediksi-presikdsi politik yang tidak bisa ditebak. Politik adalah dunia yang penuh misteri.

Ketiga, meyakinkan masyarakat untuk menyoblos pasangan calon akan lebih kuat manakala dilakukan dengan kontrak politik. Heterogenitas yang ada pada masyarakat membuat peta politik di Indonesia ini sangat sukar ditebak. Jika masing-masing kandidat hanya mengandalkan slogan, dan program-program menarik lainnya, belum menjadi jaminan akan dipilih. Bukankah semua program masing-masing kandidat baik semua?

Memang benar bahwa faktor psikologis kandidat dengan konstituen ikut menentukan perolehan suara. Tetapi, faktor ini bukan jaminan. Kurang apa pasangan Mega-Hasyim pada Pemilu 2004 yang punya pendukung riil dan loyal akhirnya kalah dengan pasangan SBY-JK?

Memang benar pula bahwa iklan juga bisa ikut menentukan suara pasangan calon, tetapi ini juga bukan jaminan utama. Kurang apa partai Gerindra yang gencar memasang iklan, tetapi hanya mendapatkan suara 5,36 persen dengan 30 kursi di legislatif?

Terobosan Cerdas
Mengandalkan iklan, hubungan psikologis, loyalitas konstuen sudah dilakukan, tetapi hasilnya tidaklah signifikan. Yang belum dilakukan adalah mengadakan kontrak politik dalam Pilpres. Kontrak politik ini juga akan membuka pemahaman masyarakat bahwa pasangan kandidat bukan orang yang takut akan risiko politik.

Janji-janji dalam iklan yang terkesan basa-basi sudah sering diteriakkan para politisi, tetapi menguap begitu saja ketika mereka sudah menjabat. Sementara itu, kontrak politik yang dampaknya luar biasa belum dilakukan oleh para kandidat. Barangkali mereka takut mengambil risiko dan tanggung jawab ketika mereka terpilih. Politisi di negeri ini memang pandai bersilat lidah tetapi hanya berhenti di mulut saja.

Maka, keberanian para kandidat mengadakan kontrak politik akan menjadi terobosan baru dan cerdas di tengah keragu-raguan dan kegamangan masyarakat akan Pemilu. Kontrak politik juga akan mendidik masyarakat apakah mereka berani mempermasalahkan kandidat yang sudah terpilih seandainya pasangan calon itu tidak mematuhi kontrak politik yang sudah dilakukan? Jadi, para kandidat dan masyarakat dengan sendirinya akan terdidik untuk melek dan cerdas dalam berpolitik. Ini tentu keuntungan bagi bangsa ini di masa datang.

Kontrak politik memang sebuah “pembohongan publik” yang dibungkus dengan “akal sehat”. Tetapi, kontrak politik setidaknya membuka peluang pemberlakuan hukum positif yang tegas dan nyata. Jika itu sudah dilakukan, biarlah rakyat yang nanti akan menilai.

(Sumber: Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Readmore »»

Sabtu, Mei 30, 2009

Flu Babi Muncul, Pemerintah Sibuk Sendiri

Media massa di Tanah Air memberitakan bahwa flu babi sudah menjalar di Asia Tenggara. Pemerintah Malaysia sudah melakukan antisipasi pencegahan dengan penempatan tim media ke seluruh negeri jiran itu. Bahkan, beberapa peternakan babi sudah berada dalam pengawasan pemerintah. Kamboja juga siaga. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen malah mengusulkan diadakan KTT ASEAN darurat berkaitan dengan wabah itu.

Begitu menghebohkannya virus itu, sampai-sampai WHO harus mengganti istilah flu babi menjadi H1N1. Sebab, flu itu telah disalahartikan. Di Mesir terjadi pembantaian sekitar 300 ribu ekor babi.

Virus flu babi memang berawal dari babi, namun virus flu yang mewabah kali ini merupakan virus strain baru yang memiliki gen dari virus manusia, burung, dan babi. Para ilmuwan tidak mengetahui bagaimana sebenarnya virus ini berpindah ke manusia. Ditegaskan WHO, dalam wabah yang melanda saat ini, virus itu disebarkan dari manusia ke manusia, bukan dari kontak dengan babi.

Kita tidak akan mendiskusikan mengenai flu itu, apa pun istilahnya. Yang jelas, virus itu telah menakutkan masyarakat dunia. Pertanyaannya adalah tindakan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Bukankah wabah itu lebih hebat dampaknya daripada flu burung yang juga pernah menghebohkan dunia, khususnya Indonesia?

Saat ini tak ada kegiatan yang sangat menyibukkan para elite politik kita (pemerintah dari tingkat presiden, wapres, menteri) kecuali mengurusi politik. Mereka sedang disibukkan untuk menyongsong pemilihan presiden (pilpres) atau sesuatu yang orientasinya kekuasaan. Urusan politik telah menyita mereka untuk tidak mengurusi masalah lain, termasuk masalah flu babi.

Lihat misalnya, dari presiden hingga menteri disibukkan dengan urusan politik. Bagi menteri yang memimpin sebuah partai politik, ia tidak peduli lagi dengan urusan-urusan kenegaraan. Ia sangat sibuk dengan orientasi kekuasaan. Bagi menteri yang tidak berada dalam lingkup parpol, mereka seolah kena pengaruh juga. Mereka terkena virus untuk tak berbuat apa-apa. Barangkali mereka berpikir, biarlah nanti urusan kenegaraan diurusi oleh menteri periode selanjutnya.

Yang tidak kalah pentingnya, ada menteri yang menjelang pilpres tampil habis-habisan di media televisi dengan membuat iklan layanan masyarakat. Lihat apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM). Kedua menteri ini seolah memanfaatkan momen politik sebagai salah satu cara untuk mendongkrak popularitas diri. Jika tidak seperti itu, mengapa iklannya baru muncul sekarang? Orang akan berpikir, ada apa dengan iklan tersebut?

Kalaupun peduli dengan kepentingan masyarakat akan pentingnya koperasi dan pelayanan pendidikan gratis, bukankah akan sia-sia karena menteri terpilih nanti belum tentu akan meneruskan programnya? Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa "jika ganti menteri, berarti ganti kebijakan". Jadi, kepentingan popularitas dan orientasi pada kekuasaan sangat transparan sekali.

Mereka ini tidak pernah berpikir apakah yang dilakukannya itu (urusan politik) merugikan rakyat atau tidak. Ada dua saja orientasinya, yakni mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan.

Tak terkecuali, kebiasaan pemerintah kita baru akan bertindak setelah ada korban atau sesuatunya terjadi. Lihat misalnya, pemberantasan flu burung baru gencar dilakukan setelah banyak korban. Bangsa kita belum terbiasa untuk mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Pembagian bantuan langsung tunai (BLT)-terlepas dari masalah pro-kontranya-baru dikeluarkan setelah banyak masyarakat miskin meninggal akibat ketertekanan ekonomi.

Kita juga baru sadar akan kepemilikannya ketika Pulau Sipadan-Ligitan akhirnya jatuh ke Malaysia berdasarkan sidang Mahkamah Internasional (MI) pada tanggal 18 Desember 2002. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan efektivitas. Yakni, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata di Malaysia selama 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.

Bahkan, "keserakahan" Malaysia tidak berhenti sampai di situ. Negara jiran itu juga pernah mengklaim bahwa reog (yang selama ini dikenal dari Ponorogo) adalah miliknya. Ini belum termasuk bagaimana para tenaga kerja wanita (TKW) di Indonesia diperlakukan "tidak bijak" di negara itu.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa pemerintah kita begitu terlambat dalam menanggapi berbagai kasus. Kita sering kali baru sadar ketika peristiwa sudah terjadi dan meminta korban. Itu saja belum tentu menyelesaikan masalah.

Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika masalah flu babi tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam keadaan "normal" saja pemerintah terlambat menangani, apalagi saat ini disibukkan dengan Pilpres 2009.

Memang, elite politik boleh sibuk, tetapi bukankah mereka masih resmi sebagai pejabat pemerintah? Mengapa para menterinya juga sibuk sendiri-sendiri?

Sementara itu, kenyataan ini menjadi santapan empuk pihak-pihak yang menjadi seteru politik pemerintah. Lihat PDIP sudah nyaris kehilangan isu kecuali dengan hanya terus mengkritik kebijakan pemerintah. Memang boleh, tetapi ada kecenderungan asal beda dan hanya mencari-cari kesalahan pemerintah. Ini tidak bermaksud membela pemerintah, tetapi kenyataan itu sangat jelas terjadi saat ini.

Sibuk mengurusi politik memang tidak salah, tetapi membiarkan korban akan berjatuhan akibat wabah flu babi, janganlah.***

Penulis adalah staf pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Sumber: Harian Suara Karya, 29 Mei 2009.

Readmore »»

Selasa, Mei 26, 2009

Pers, Penekan Penghancuran Moral

Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa Pemilu telah menghancurkan sistem nilai dan moral yang ada di masyarakat. Di Papua dan Sumatra Utara, kerukunan hidup antarmarga dan antarsuku tergerus oleh perbedaan politik akibat Pemilu.

Tentu saja, penghancuran sistem nilai dan moral dalam masyarakat itu juga tidak hanya secara langsung dipengaruhi oleh Pemilu. Bisa jadi, jurang semakin menganga karena berbagai informasi yang didapat masyarakat kurang lengkap. Dalam hal ini, pers sebagai lembaga, tak jarang dituduh sebagai biang kerok.

Memang, pers seringkali diklaim sebagai lembaga yang bisa ikut mengipas-ngipasi sebuah perbedaan dalam masyarakat yang akhirnya menjadi konflik. Dalam kurun waktu lama pula, pers disebut sebagai narcotizing dysfunction (racun pembius). Tetapi, mengingkari pers sebagai penekan dan penentu utama kemajuan masyarakat juga sangat naif.

Dalam kompetisi politik, pers sekadar mengungkap berbagai fakta-fakta yang tersaji dalam setiap peristiwa. Pers memberitakan, menginterpretasikan pesan kemudian menyodorkan pada masyarakat apa yang perlu dilakukannya. Efeknya, kembali pada kualitas individu dalam menyikapi setiap peristiwa yang disajikannya. Dalam hal ini, pers adalah faktor antara dari semua sebab yang terjadi.

Pertanyaannya adalah bagaimana jika di dalam masyarakat telah terjadi penghancuran moral bangsa akibat berita-berita yang disajikan oleh pers itu sendiri? Sebagai media penyampai informasi, pers punya tugas mulia untuk memulihkannya.

Pertama, meskipun diklaim sebagai narcotizing dysfunction, pers punya tugas sebagai contributing to social cohesion. Karenanya, pers sebenarnya punya potensi besar dalam menciptakan kesatuan dan integrasi dalam masyarakat. Dalam melihat sebuah konflik misalnya, pers yang berusaha untuk selalu melihat dan tidak terlibat dalam konflik menjadi potensi untuk menciptakan integrasi sosial di masyarakat. Ini juga berarti, wartawan yang meliput kejadian juga berada di luarnya.

Ini dimungkinkan terjadi, jika pers memang tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa. Masalahnya adalah apakah pers benar-benar tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa? Katakanlah pers tidak punya kepentingan, bagaimana dengan wartawannya?

Independen
Dalam pandangan Kovach dan Rosenstiel (Nurudin, 2009), wartawan harus independen dari yang mereka liput. Independensi yang dimaksud di sini adalah independensi pikiran, dari kelas atau status ekonomi, dan independen dari ras, etnis, agama dan gender. Ini berarti wartawan dalam menulis berita melepaskan semua yang ada pada dirinya. Ia bertugas melaporkan dan menunjukkan fakta apa adanya, tanpa takut kepada sebuah kelompok.

Kedua, memberikan upah layak pada wartawan. Ini memang relatif. Meskipun juga tidak ada jaminan dengan gaji layak, mereka bisa layak dalam melakukan peliputan. Tetapi, gaji layak akan bisa menekan mereka mencari ”objekan” di luar gaji, entah amplop, perjalanan dinas dan entah fasilitas lain dari narasumber. Ini memang ideal dan tak mudah dilaksanakan. Tetapi tanpa ada usaha ke arah itu, semua hanya omong kosong. Niat wartawan untuk tak menerima fasilitas narasumber akan sia-sia manakala media juga mendiamkan saja.

Dengan gaji layak, mereka tidak akan tergantung pada nara sumber. Selama ini, berbagai konflik di masyarakat akibat pemberitaan pers yang berat sebelah karena wartawan sudah ”dibeli” oleh narasumber. Bisa dikatakan penghancuran sistem nilai dan moral bangsa akarnya juga dari sini pula.

Ketiga, media harus selektif dalam memilih kata-kata dalam medianya. Kata-kata itu bukan kata-kata yang bisa memicu konflik. Beberapa contoh kata-kata yang justru ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat pernah dilakukan media di Kalimantan berkaitan dengan konflik Sampit. Dua media massa di sana pernah menulis berita sebagai berikut, ”Malam itu, setelah dua hari etnis Madura ”menjajah” Sampit, Panglima Dayak merangsek masuk kota”. Lihat juga, ”Aparat siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura di sana” (Eriyanto, 2004).

Tak terkecuali yang pernah ditulis media dalam konflik Ambon (2000) sebagai berikut, ”Kepulauan Maluku bagai ladang penjagalan. Nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai. Satu per satu terbunuh dengan sia-sia....Wajah Kepulauan Maluku porak-poranda, karut-marut tak terbentuk lagi. Agaknya ini pula yang menggugah nurani umat Islam untuk memberikan bantuan kepada saudaranya di Maluku.”

Contoh di atas adalah perilaku pers dengan kata-kata yang ditulis dan bisa menimbulkan keresahan, pemicu konflik, sampai ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat. Pers ikut menentukan arah, ke mana masyarakat dan bangsa ini akan dibawa di masa datang. Hal demikian perlu diperhatikan pers sebelum kambing hitam selalu ditimpakan kepadanya
Oleh : Nurudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Jurnalisme Masa Kini
Sumber: Solo Pos, Selasa, 26 Mei 2009
Readmore »»

Selasa, Mei 12, 2009

Kiat Meresensi Buku di Media Cetak


Selama ini, kita jarang yang tahu untuk apa membaca. Membaca dianggap tidak punya keuntungan pragmatis dan saat itu juga. Tetapi dengan buku ini Anda akan ditunjukkan bahwa meresensi buku juga bisa untuk keuntungan pragmatis misalnya mendapatkan penghasilan. Buku ini akan memberikan petunjuk praktis dan kreatif bagaimana cara mudah meresensi dan diterima di media cetak. Bahkan buku ini pun tidak saja memberikan petunjuk bagaimana meresensi buku bagi penulis pemula, tetapi juga bagi mereka yang sudah mencoba berulang kali, tetapi tidak pernah dimuat. Dengan membaca buku ini, Anda akan dibuka cakrawala tentang keluasan dan kemanfaatan membaca dan menulis resensi buku. Bahkan meresensi buku bisa menjadi jembatan menjadi penulis artikel terkenal

Buku karya praktisi meresensi buku ini memuat: Perbedaan Membaca Biasa dan Membaca untuk Meresensi, Mengapa Harus Meresensi Buku? Langkah-Langkah Persiapan dalam Meresensi, Persiapan Penting Sebelum Menulis, Apa yang Harus Ada dalam Naskah Resensi?, Anatomi Resensi Buku, Apa yang Harus Dikerjakan Setelah Meresensi Buku, Beberapa Hal Yang Harus Dihindari dalam Meresensi Buku, dan Bagaimana Menyiasati Media Cetak.

Judul : Kiat Meresensi Buku di Media Cetak
Penulis : Nurudin
Penerbit: Murai Kencana, Jakarta
Thn Ter : 2009

Type rest of the post here
Readmore »»

Jurnalisme Masa Kini


“Anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing itu berita”. Ungkapan klasik itu, saat ini telah banyak digugat. Bagaimana seandainya yang digigit itu seorang artis, atau pejabat setingkat menteri, sementara Bejo menggigit anjing? Jurnalisme masa kini akan memilih realitas yang pertama. Termasuk ungkapan klasik “Good news is no news, bad news is good new” juga sudah banyak yang menggugat. Apakah penemuan teknologi uang angkasa bukan berita?

Bahkan Tom Wolfe pernah menganjurkan agar koran-koran di dunia ini segera mengaplikasikan jurnalisme baru (new journalism). Tetapi, ide itu belum sepenuhnya dipraktikan di Indonesia. Media massa Indonesia masih memakai kaidah-kaidah klasik, sementara tuntutan masyarakat kian meningkat disertai dengan perkembangan teknologi internet yang kian canggih. TV kian menjadi pesaing utama media cetak. Jika tidak dilakukan revolusi, media cetak tentu akan ketinggalan zaman. Bahkan Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang. Di sinilah perlunya pemahaman tentang jurnalisme masa kini perlu ditempatkan.

Buku Jurnalisme Masa Kini ini menawarkan perkembangan jurnalisme baru yang sedang berkembang cepat di dunia ini. Berbagai perubahan, tuntutan reportase, kompetensi jurnalis ikut berubah total. Buku ini memberikan pemahaman, contoh praktis dan bagaimana menghadapi perkembangan yang dahsyat tersebut. Tak lain, agar para calon jurnalis dan peminat kajian komunikasi bisa menghadapi era komunikasi massa di masa datang.

Buku ini mencapai sasarannya pada mahasiswa jurnalistik, wartawan, dan masyarakat umum peminat kajian jurnalisme dan media massa.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit: RajaGrafindo Persada, Jakarta
Thn Terb: 2009

Pada awalnya, manusialah yang menciptakan teknologi untuk mempermudah kerja manusia itu sendiri, termasuk mempermudah berkomunikasi komunikasi. Teknologi yang bisa memperpendek jangkauan dan mempersingkat waktu kemudian diciptakan. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang diciptakan, akhirnya manusia tergantung pada teknologi yang dibuatnya sendiri. Penemuan internet pada tahun 1990-an menjadi keniscayaan sejarah penemuan teknologi komunikasi yang pengaruhnya tidak bisa dihindari manusia.
Berkaitan dengan itu, berbagai perkembangan cara berkomunikasi mengalamai revolusi yang sangat dahsyat. Cara penyampaian berita kepada masyarakat dengan cara “manual” dianggap tidak relevan lagi. Surat kabar, televisi dan radio tidak lagi hanya mengandalkan medianya itu sendiri, tetapi sudah memakai media internet. Internet akhirnya memaksa manusia merumuskan kembali, dan mencari model tentang proses penyampaian berita. Kekuatan internet itu membuat Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang.

Berkaitan dengan proses penyebaran informasi yang dahulunya dilakukan para jurnalis mainstream media (media utama) seperti jurnalis (wartawan) televisi, radio dan media cetak lain, sekarang sudah banyak yang menggugat. Penyebaran informasi bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, apa saja, dan dengan cara apa saja. Warga negara yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok konsumen media, saat sekarang bisa bertindak sebagai jurnalis. Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra munculnya istilah citizen journalism (jurnalisme warga negara) menjadi keniscayaan adanya revolusi dalam penyebaran informasi. Dengan internet dan perantaraan blog, semua orang bisa menjadi jurnalis. Jurnalis karenanya yang berarti proses pencarian, pengolahan, penulisan, dan penyebaran informasi bisa dilakukan semua orang melalui blognya. Inilah kecenderungan jurnalisme baru di era internet ini.

Tak terkecuali, revolusi jurnalisme juga muncul berkaitan dengan bagaimana menyampaikan ide dalam wujud tulisan. Dalam kurun waktu lama, proses penulisan berita didominasi dengan pedoman klasik 5 W + 1 H (what, when, where, why, who, dan how) yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan. Dengan jurnalisme baru, konsep klasik itu dikembangkan Roy Peter menjadi tulisan model, narrative dengan mengubah rumus 5W dan 1 H. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif. Dan How menjadi narasi. Hingga, pengisahan berita narrative jadi mirip kamera filem dokumenter. Ini menjadi kecenderungan jurnalisme baru.

“Good news is no news, bad news is good news”, ungkapan lama yang pernah dipercaya sebagai nilai berita. Tetapi, berita gembira saat ini juga mempunyai nilai berita. Kalau ungkapan itu diyakini kebenarannya, mengapa seorang artis yang melahirkan anak perlu diberitakan? Bukankah itu berita menggembirakan? Ungkapan di atas jelas sudah tidak relevan lagi, bukan?

Tak terkecuali ungkapan Carles A Dana , “When a dog bites a man that is no news, but a man bites a dog that is a news” juga sudah tidak cocok lagi untuk zaman sekarang. Bagaimana jika yang digigit itu seorang menteri atau presiden, sementara yang menggigit anjing tetangga kita yang tidak dikenal masyarakat luas? Menteri dikejar anjing saja sudah menjadi berita, apalagi sampai digigit.

Berita selalu dipahami sebagai sebuah peristiwa yang sudah terjadi. Bagaimana jika peristiwanya belum terjadi, tetapi justru diminati pembaca, penonton atau pemirsa? Coba Anda membuka halaman olah raga, sepak bola terutama. Ketika akan terjadi pertandingan dua klub, koran akan mengulas dan memberitakan berkaitan dengan pertandingan dua klub itu disertai dengan data-data head to head pertemuan keduanya. Bagaimana dengan kasus ini? Pertandingannya belum terjadi, tetapi berita sudah muncul. Inilah kecenderungan baru juga dalam proses pembuatan berita yang layak diketahui juga.

Itu semua menunjukkan adanya revolusi yang besar-besaran dalam jurnalisme. Sejauh litaretur buku yang saya baca, tak banyak, untuk tak menyebutnya tidak ada, buku-buku yang membahas jurnalisme baru sebagai sebuah dampak perkembangan teknologi komunikasi dan tuntutan zaman. Umumnya, buku-buku jurnalisme selama ini membahas sisi jurnalisme secara klasik. Inilah pentingnya buku ini perlu hadir.

Buku ini terdiri dari empat bagian, dan ini juga menjadi prosedur memahami dan membacanya. Sebagai pendahuluan, pembaca diarahkan untuk memahami beragam definisi jurnalisme, ruang lingkup kajian dan kajian ilmiah jurnalisme. Ini secra sederhana dimaksudkan agar pembaca mengetahui bagaimana ranah (wilayah) kajian jurnalisme. Juga agar tidak dibuat bingung mengapa dalam kajian jurnalisme dikaji pers, (media massa), jurnalis dan segala seluk beluk yang berkaitan dengannya.

Bagian pertama mendiskusikan tentang konsep-konsep penting dalam jurnalisme. Di sinilah pembaca mulai diarahkan untuk mengetahui adanya perubahan terus menerus yang terjadi dalam wilayah kajian jurnalisme. Tentang elemen-elemen jurnalisme yang pernah dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dijadikan sandarannya. 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan mereka relatif baru dalam kajian jurnalisme di Indonesia, sebuah elemen yang melihat dari perspektif yang berbeda disertai contoh kongkrit jurnalisme di Indonesia. Tak terkecuali dengan objektivitas dan nilai berita yang dibuat agar “Indonesia banget”. Sementara itu, sejarah penting diketahui untuk melihat proses perkembangan pers dan jurnalisme yang menjadi konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Sejarah juga menunjukkan pada kita, ada banyak variabel yang ikut menentukan perkembangan jurnalisme di dunia ini, baik menyangkut jurnalis, pemerintah dan teknologi.

Bagian kedua mengkaji khusus tentang jurnalis. Apakah jurnalis selama ini bisa digolongkan sebagai seorang ilmuwan atau hanya orang yang memindahkan fakta-fakta di lapangan ke dalam medianya? Pembahasan ini menantang pembaca untuk mengetahui lebih lanjut. Jurnalis karena bekerja berdasarkan profesionalisme maka ia tidak bisa lepas dari kompetensi. Dengan kompetensi inilah, kerja jurnalis akan lebih berkualitas. Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami realitas ini. Agar ketika menjadi jurnalis ia bisa mempraktikkannya di dunia kerja. Untuk mencapai kompetensi, pendidikan jurnalisme menjadi penting keberadaannya. Hanya saja pendidikan jurnalisme baru menciptakan jurnalis siap latih dan belum siap pakai. Untuk itulah, dibahas pentingnya pelatihan, short course atau pendidikan dan latihan (Diklat) untuk mempersiapkannya. Tak terkecuali dengan pentingnya keberadaan lembaga-lembaga independen pemberi pelatihan seperti Antara dan Pantau.

Bagian ketiga, dikemukakan munculnya era jurnalisme baru yang menjadi tuntutan era modern. Tak terkecuali dikemukakan beberapa istilah penting yang selama ini dikenal dalam jurnalisme, tetapi belum ada yang membahas dalam buku. Disamping itu, ada juga jenis-jenis jurnalisme yang selama ini dikenal. Jenis ini meliputi genre kebijakan redaksional, proses penulisan dan proses peliputan berita.

Bagian terakhir mencaritakan kasus-kasus aktual yang melingkupi proses jurnalisme. Bagian ini penting dikemukakan agar pembaca mempunyai wawasan luas tentang kondisi mutakhir permasalahan jurnalisme di Indonesia. Kasus aktual tersebut meliputi dampak media yang sedemikian luas di masyarakat dan konflik kepentingan atas keberadaan UU Pokok Pers. Jika kita kembali ke sejarah pers dan jurnalisme seperti yang dikemukakan pada bagian awal buku ini, pembaca akan paham rentetan konflik kepentingan berkaitan dengan konflik kepentingan. Misalnya, dalam sejarah diceritakan adanya kebijakan persbreidel ordonantie yang direinkarnasi menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Konflik kepentingan juga berkait dengan keberadaan KUHP. Di sinilah pemahaman tentang konflik yang mengitari UU Pokok Pers perlu ditempatkan dan dipahami.

Tentu saja, berkaitan dengan pembahasan dalam buku yang sudah dikemukakan dalam pengantar ini sasaran utama pembacanya adalah mahasiswa komunikasi tingkat lanjut. Mengapa? Sebab, pembahasan lebih menitikberatkan pada pemahaman mendalam konseptual tentang jurnalisme. Di perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan komunikasi mahasiswa semester awal sudah dibekali dengan mata kuliah dasar-dasar jurnalistik, teknik penulisan dan peliputan berita. Buku ini akan melihat peluang kajian teoritis disertai contoh kongkrit dari ranah yang selama ini belum digarap mata kuliah sebelumnya. Bahkan, buku ini melihat pangsa pasar yang juga belum digarap oleh buku-buku jurnalisme yang lain.

Disamping mahasiswa pengambil mata kuliah Jurnalisme, sasaran pembacanya juga masyarakat umum, wartawan dan peminat kajian jurnalisme. Untuk itu pulalah bebagai contoh aktual disertai pembahasan yang ilmiah populer disajikan dalam buku ini. Bahkan dalam beberapa bab diungkap sebuah cerita untuk membuka pemahaman awal tentang permasalahan yang akan dikaji.

Maka, sangat beralasan jika buku ini diberi judul Jurnalisme Masa Kini. Ia bukan saja menunjuk dan memberikan sebuah perspektif baru dari mata kuliah Jurnalisme, namun disesuaikan dengan sasaran yang lain. Jurnalisme Masa Kini dipahammi sebagai kajian baru yang layak diketahui oleh pembaca berkaitan dengan proses peliputan, pengemasan, penulisan, dan penyajian berita. Masa kini juga berarti kajian yang terkini. Jadi, judul buku ini bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi karena realitas yang dikaji memang demikian. Jurnalisme Masa Kini juga akan menjadi daya tarik tersendiri masyarakat umum untuk membacanya. Jadi, jangan sampai ada kesan buku teks kuliah an sich. Beberapa buku-buku kuliah yang pernah saya buat memberikan pemahanan, bahwa tulisan ilmiah saja tidak cukup kuat bersaing di pasaran. Ilmiah populer menjadi hal yang niscaya dilakukan. Pengalaman menulis artikel yang saya lakukan sejak tahun 1991, memberikan banyak pelajaran.


https://docs.google.com/document/d/1P8ePDLvLrGw9QX_u0gVptdhAsCo_Mpspotyj-ZGYJmU/edit?usp=sharing Readmore »»

Jumat, Mei 08, 2009

Kembalikan Fitrah Kiai Kepada Kami

Oleh Nurudin
Sumber: Harian Kompas, 8 Mei 2009
Tidak ada pihak yang paling bersedih pasca Pemilu legislatif 2009, kecuali kiai. Mereka yang sebelum pemilihan ikut hiruk pikuk mendukung salah satu calon atau partai politik, saat ini seperti hilang ditelan bumi. Wajah-wajah mereka yang beberapa waktu lalu menghiasi baliho, spanduk atau media massa sudah tidak ada lagi. Para legislatif yang sudah jadi berkat dukungannya juga mulai memalingkan mata. Apalagi, jika partai yang didukungnya tidak mendapat suara yang signifikan. Para elite politik juga jalan sendiri, tanpa mau minta nasihat, untuk tak mengatakan menghiraukan suara kiai.

Sudah banyak ulasan, kritikan atas peran atau keikutsertaan mereka dalam politik. Tetapi, para kiai itu memang punya pertimbangan sendiri dalam dukung mendukung kekuasaan politik. Karena politik, siapa yang menang akan mendapat sanjungan, tetapi kalau kalah akan dikritik habis-habisan. Kiai ikut mendukung politik bisa karena memang ingin meluruskan sesuatu yang dianggap bengkok, atau merasa masih punya kekuasaan/kharisma dalam memengaruhi pemilih. Kebanyakan, yang kedua inilah yan dijadikan dasar untuk terlibat dalam politik.

Secara kewibawaan, kiai yang terlibat dalam politik jelas rugi. Sebab, ia sudah dianggap “berpelepotan lumpur” politik. Petuahnya tidak lagi mempan, paling tidak dimata mereka yang tidak didukung oleh para kiai itu. Sebagai panutan, jelas ia semakin kehilangan jamaah, hanya karena perbedaan politik.
Keterlibatan kiai dalam politik memang faktor sejarah. Dalam kerajaan Islam di Jawa tidak secara tegas dipisahkan antara urusan negara (sultan) dengan urusan agama (kiai). Pemisahan itu justru memperkokoh posisi kiai, karena banyak masalah sosial kemasyarakatan yang merupakan bagian dari kebaragamaan seseorang harus ditangani kiai. Dalam sejarah perjuangan bangsa, kiai dipahami sebagai pusat kekuatan sosial politik yang perannya tidak bisa diabaikan sebagai “pahlawan nasional” (Suprayogo, 2007).

Masalahnya, keterlibatan mereka dalam politik tujuannya jelas, yakni mengusir penjajahan. Mereka akan ditokohkan karena masyarakat akan mendukung sepenuhnya. Mereka akan menjadi pahlawan, menang atau kalah dalam “pertempuran”. Tetapi, untuk keterlibatan politik dalam Pemilu, itu soal lain. Ia berurusan dengan heterogenitas kepentingan di masyarakat dengan berbagai ambisi dan keinginan. Dukungan mereka terhadap seseorang atau kelompok justru akan menyakiti pihak lain yang tak didukungnya. Akibatnya, dampak dari fatwanya tidak akan lagi bisa menyentuh seluruh lapisan masayarakat, karena kecurigaan kiai itu telah berpihak. Lihat bagaimana popularitas KH Zainuddin MZ pasca ikut dukung mendukung dalam politik praktis?

Kesalahan Sejarah
Kiai, sebenarnya punya beberapa peran, yakni sebagai pemuka agama, pelayan sosial, dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (sholat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan. Sebagai palayan sosial ia dijadikan tempat bertanya pengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan dan sebagai orang yang dituakan. Dalam politik, ia akan memainkan peran yang terkait kepentingan umum ke berbagai saluran politik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keterlibatan kiai dalam politik bisa jadi “kesalahan sejarah”. Kiai adalah atribut yang diberikan masyarakat atas peran dan kemampuannya dalam bidang keagamaan. Itulah mengapa, para politisi tidak bisa disebut dengan kiai karena mereka tidak punya legitimasi berbicara tentang keagamaan. Keterlibatan kiai dalam politik adalah darurat. Yakni ikut mengubah nasib bangsa ini, khususnya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Jika politik dalam keadaan tidak darurat, kiai tidak perlu berperan banyak. Ia justru punya tugas berat mendidik, mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai kaidah agama. Sebab, agama adalah sumber moral paling penting bagi kehidupan umat manusia.

Tetapi, kenyataan ini tidak gampang diwujudkan. Ada banyak syahwat kiai untuk terlibat dalam politik. Dari alasan meluruskan yang kurang pas, sampai ikut-ikutan saja. Sementara itu, keluguan politik kiai justru menjerumuskan dirinya untuk terperosok ke dalam politik praktis yang penuh kepentingan. Politik adalah dunia yang penuh dengan manipulasi, trik, menghalalkan segala cara, dan berorientasi pada tujuan. Sementara itu, dunia kiai bukan dunia yang seperti itu.
Kalaupun ia ingin mengubah, bukan kebaikan yang diterimanya, tetapi justru ikut belepotan keburukan yang selama ini ada dalam dunia politik. Ia akhirnya akan membentur batu karang yang tak mudah untuk dipecahkan. Makanya, siapapun kiai yang terlibat di dalam politik ia harus siap menanggung “dosa-dosa” politik. Kalaupun tetap punya jamaah, sangat mungkin akan berkurang.

Kembalikan sang "Pamomong"
Apa yang harus dilakukan? Pertama, biarlah urusan politik diurusi oleh para politisi. Sebagai sosok yang ditokohkan bahkan pewaris ajaran nabi, kiai harus mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Para kiai seyogyanya menjadi inspirasi dan sosok panutan seluruh umat manusia. Bahkan yang berbeda agama sekalipun. Jika ia terlibat politik, posisi sebagai rahmat bagi seluruh alam akan berubah menjadi rahmat bagi kelompok tertentu.

Kedua, kiai tidak boleh percaya begitu saja pada omongan para politisi. Berapa banyak kiai yang dirugikan dengan omongan para politisi? Berapa banyak para kiai yang awalnya mendukung PKB akhirnya berubah haluan mendukung PKNU? Bukankah itu karena alasan kekecewaan pada elite politik dalam partai yang berlogo bumi dan tali jagat itu?

Ketiga, masyarakat sekarang sudah semakin jenuh dengan politik. Peningkatan angka Golput menjadi bukti keengganan mereka untuk ikut hiruk pikuk dalam politik. Masyarakat membutuhkan sosok yang teduh, ngayomi dan bisa dijadikan suri teladan untuk kemaslahatan umat. Sosok seperti itu ada pada kiai. Tetapi, kiai di sini tentu saja kiai yang tidak banyak terlibat dalam politik praktis.

Kiai adalah sumber inspirasi rakyat yang tiada habisnya. Kiai adalah sosok yang terus dan selalu hadir ketika rakyat mengalami kebingungan, tiadanya haluan, dan kehilangan sosok panutan. Maka, “Kembalikan fitrah kiai kepada kami”.


Nurudin, staf Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Sumber: Harian Kompas Jatim, 8 Mei 2009
Readmore »»

Kamis, April 30, 2009

Koalisi Menyakiti Hati Rakyat

PERUBAHAN peta koa-lisi menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak lagi dihitung dengan harian, bahkan setiap jam. Setiap saat para elite politik sibuk dengan urusan bagaimana membangun koalisi yang menguntungkan. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan koalisi. Semangat untuk melakukan koalisi adalah ”Saya mendapatkan apa, dan apa yang bisa saya manfaatkan dari orang lain”.

Koalisi adalah cara untuk membangun pemerintahan yang kuat. Ini dimungkinkan karena tak ada partai politik yang menang mutlak. Sehingga koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Koalisi juga membuat para elite politik dilatih untuk berbagi dan tidak egois karena akan terjadi tarik ulur antara ambisi, hak, dan kerelaan berbagi satu sama lain.

Menggugat Koalisi
Namun demikian, melihat proses terjadinya koalisi antar elite politik selama ini, koalisi yang dibangun sudah ”jauh panggang dari api”. Beberapa catatan yang bisa dikemukakan antara lain; pertama, koalisi masih bersifat elitis. Proses koalisi hanya melibatkan segelintir orang saja. Bahkan hanya melibatkan salah satu orang saja.

Lihat misalnya beberapa partai besar (misalnya Partai Demokrat, PDI-P) memberikan mandat kepada calonnya untuk menentukan cawapres sendiri. Seolah urusan koalisi hanya urusan pribadi. Bisa jadi sebagai sebuah penghormatan pada sang calon, tetapi itu seolah menempatkan urusan partai dan koalisi hanya pada elite parpol yang bersangkutan.

Memang, itu adalah risiko demokrasi perwakilan. Artinya, rakyat menitipkan suaranya pada para elite politik tertentu (parpol atau caleg). Dalam posisi ini, urusan rakyat dianggap sudah selesai ketika ia telah menggunakan hak pilihnya. Ini sangat berbeda dengan saat menjelang ”hari pencontrengan”. Seolah-olah para elite politik itu merasa harus dekat, dan membutuhkan (bahkan sampai mengemis) dukungan rakyat. Apa pun dilakukan, termasuk dengan politik uang.

Tetapi, setelah masyarakat penggunaan hak pilih, urusan dianggap sudah selesai. Mereka yang hiruk pikuk minta dukungan rakyat sekarang sudah tiarap. Dengan kata lain, para elite politik itu sudah tidak lagi membutuhkan suara mereka. Tak heran, jika koalisi sangat bersifat elitis sekali karena hanya dilakukan sejumlah orang dengan mengebiri hak-hak rakyat yang memilihnya.
Kedua, koalisi hanya bertujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Yang ada dalam benak para elite politik itu adalah kekuasaan. Buntut perbedaan pendapat yang melanda sejumlah parpol (Partai Golkar, PAN, PPP) ujungnya juga pada kekuasaan tersebut.

Itu juga termasuk ketika dalam koalisi akan terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Kalau sebuah parpol ikut dalam koalisi, maka ia akan ”meminta jatah” jabatan tertentu, entah menteri atau jabatan politik lainnya.

Sementara itu, parpol kuat atau peraih paling banyak diantara peserta koalisi harus rela membagi kekuasaan dengan parpol lain. Ia tidak bisa mengangkangi kekuasaan sendiri saja. Terhadap kasus ini, rakyat tidak punya kekuasaan apa-apa. Semua sudah dilakukan elite politik, bahkan ”atas nama” rakyat.

Ketiga, koalisi menyakiti hati rakyat. Rakyat yang mempunyai republik ini harus dikebiri hak-haknya sedemikian rupa di bawah segelintir elite politik. Barangkali, saat ini rakyat belum merasakan apa-apa. Namun demikian, jika nanti para peserta koalisi itu sudah berkuasa dan tidak memikirkan kepentingan, hajat hidup, dan aspirasi rakyat, mereka baru akan merasakan ketidakberpihakan elite politik itu pada rakyatnya.

Dengan kata lain, mereka sebenarnya sudah menyakiti hari rakyatnya saat membangun koalisi, suatu saat akan diulang dengan perangkat kebijakan yang tak memihak ke rakyatnya.

Sejarah republik ini sudah menunjukkan bukti-bukti empirik ketika para elite politik sudah lupa pada rakyatnya. Mereka yang pernah meneriakkan demi rakyat, berjanji untuk kepentingan rakyat sudah hilang. Mereka, juga akan enggan untuk terjun langsung (layaknya saat kampanye) ketika sudah menduduki jabatan politik tertentu.

Mereka akan mementingkan diri dan kelompoknya, tidak peduli bagaimana susahnya rakyat. Lihat saja, bagaimana para anggota DPR periode sebelum ini meminta kenaikan gaji yang drastis sementara krisis ekonomi sedang melanda bangsa ini?
Banyak Belajar
Koalisi sebenarnya adalah sebuah proses ketika elite politik perlu belajar bagaimana merumuskan kesepakatan bersama di tengah kepentingan yang berbeda. Koalisi sebenarnya menganggap bahwa para politisi itu belum dianggap dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga, mereka diharuskan untuk saling belajar. Inilah keuntungannya jika Pemilu tidak menghasilkan pemenang mayoritas.

Zaman Orde Baru (Orba) tidak pernah mengajarkan pada elite politik bagaimana saling berbagi kekuasaan satu sama lain. Semua diputuskan secara individual dan kelompok tertentu dengan terus mengebiri kepentingan rakyat dan kemerdekaan elite politik itu sendiri dalam menentukan pilihan.

Itulah kenapa koalisi seharusnya memberikan banyak pelajaran pada elite politik. Hanya masalahnya, koalisi dianggap selesai setelah kesepakatan terjadi. Entah apakah kesepakatan itu akan dipatuhi atau tidak. Jika koalisi didasari oleh keinginan untuk benar sendiri, hasil koalisi itu tidak akan membuahkan hasil yang lebih baik, baik menyangkut kepentingan mereka yang terlibat koalisi, pemerintahan, dan apalagi rakyat.

Koalisi sering dianggap hanya sekadar kumpul-kumpul untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Jika kue yang diperebutkan sedikit dan ada yang serakah, maka dengan mudahnya kesepakatan koalisi dilanggar.

Rakyat yang mempunyai republik ini telah dikebiri hak-haknya sedemikian rupa
di bawah segelintir elite politik.Barangkali, saat ini rakyat belum merasakan apa-apa. Namun demikian, mereka baru akan merasakan ketidakberpihakan elite politik.

Dalam koalisi sering sudah ada kesepakatan, partai ini akan mendapat jatah menteri sekian, partai lain mendapat jatah menteri juga sekian. Dalam posisi ini, koalisi dianggap hanya jatah menjatah kekuasaan, parpol mana yang mendapat jatah menteri paling banyak dan mana yang paling sedikit dan mana yang tidak mendapat. Jika ada parpol mendapatkan suara banyak sementara mendapat jatah menteri sedikit, jelas parpol itu tidak akan setuju, untuk tak mengatakan akan memberontak.

Maka, koalisi harus dikembalikan pada makna sebenarnya. Ia adalah sebuah kesepatan politik (entah untuk bagi-bagi kekuasaan, wewenang, ucapan terima kasih atau apapun istilahnya) yang tujuan utamanya tetap pada kemaslahatan rakyat. Artinya, kepentingan rakyat adalah nomor satu. Sering kali, ide ini hanya ada dalam wacana, seminar-seminar dan materi kuliah. Dalam praktiknya sulit dilaksanakan. Tetapi ini tidak berarti bahwa ide untuk mengingatkan agar koalisi dikembalikan pada posisi sebenarnya harus berhenti kerena tidak sesuai dengan praktik nyata. Sekecil apa pun suara untuk mengembalikan pada posisi sebenarnya tetap penting. Ia ibarat oase di tengah padang pasir yang tandus.

Koalisi memang kepentingan, tetapi kepentingan yang harus diletakkan pada kepentingan rakyat. Jika tidak, maka rakyat yang pada dasarnya sudah ”dikebiri” kepentingannya saat koalisi terjadi, akan semakin menjadi sakit hati. Untuk itulah mereka tidak boleh menyakitinya untuk yang kedua kalinya setelah koalisi terbentuk. Dengan kata lain, pemerintahan hasil koalisi harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

Hanya pemerintahan seperti itulah yang akan mendapatkan mandat tulus dari rakyatnya. Semoga para elite politik yang terlibat koalisi dan berpeluang menduduki jabatan politik seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Prabowo, dan Wiranto masih berkhidmat pada kepentingan rakyat dan bangsa ini. (80)
sumber: harian Suara Merdeka, 30 April 2009.
Readmore »»

Kamis, April 23, 2009

Partai Golkar Sebagai Oposisi?

Setelah Pemilihan legislatif usai, salah satu partai politik (parpol) yang mengalami kebimbangan adalah Partai Golkar (PG). Sebab, inilah pemilihan legislatif yang memberikan dampak di luar prediksi sebelumnya. Golkar pada Pemilu 2004 mampu meraih 21,6 persen suara. Sementara itu dalam penghitungan sementara Pemilu 2009 perolehan suara PG belum melebihi 15 persen, bahkan sulit menembus 20-an persen lagi. Pada posisi yang berbeda Partai Demokrat yang pada Pemilu 2004 hanya memperoleh suara 7,5 persen, sekarang melonjak menjadi 20 persen.

Untuk itu, PG dihinggapi kebimbangan. Target sebelumnya, PG berkeinginan mendudukkan wakilnya sebagai calon presiden (capres) dengan mencari calon wakil presiden (cawapres) dari partai lain. Bayangannya, akan mencapai 20 persen seperti 5 tahun lalu. Tetapi saat ini PG harus realistis dengan tidak terlalu ngotot menempatkan wakilnya sebagai capres, tetapi cawapres.


Dua Pilihan
Maka, ada dua pilihan yang akan dihadapi PG; pertama, menempatkan wakilnya sebagai cawapres. Kedua, menjadi partai oposisi. Dua pilihan itu akan menjadi wacana aktual peta perpolitikan PG dalam waktu dekat.

Jika alternatif pertama yang dipilih, maka PG kemungkinan akan ikut mengelola negara ini kembali. Ia akan menjadi partai pemerintah. Tetapi, melihat perolehan suara yang didapat, maka ia sangat mungkin menjadi “ban serep” partai lain yang lebih besar dalam perolehan suaranya.

Keuntungan pilihan pertama ini, PG masih bisa ikut mengelola negara. Wakil PG yang kebetulan menjadi cawapres misalnya, akan mudah mendapatkan popularitas sebagai pejabat publik. Lima tahun berikutnya, PG akan bisa menentukan calonnya sebagai presiden. Tentu dengan syarat memperoleh suara yang signifikan. Ini tentu peluang besar. Sebab, tidak mungkin SBY akan menjadi calon untuk ketiga kalinya (jika seandainya ia terpilih kembali pada tahun ini).

Jika PG ikut dalam pemerintahan, maka perolehan suara lima tahun mendatang bisa jadi mengalami penurunan. Mengapa? Positioning PG sebagai partai pemerintah dan pernah berkuasan di zaman orde baru (Orba) dengan segala “kejahatannya” masih melekat di benak masyarakat. Era Orba, PG (waktu itu masih bernama Golkar) punya mesin kuat yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar sendiri (ABG). Golkar selalu mengklaim sebagai satau-satunya partai yang membangun bangsa ini. Nyatanya, memang bangsa ini waktu itu sedang membangun, sementara Golkar sedang berkuasa.

Tetapi untuk saat sekarang, apa yang akan “dijual” oleh PG? Masyarakat tidak akan percaya begitu saja jika partai itu melakukan pengklaiman sepihak atas keberhasilan pembangunan seperti zaman Orba. Apalagi perolehan suaranya tidak sebanyak pada era itu. Sementara itu, partai-partai lain sudah punya klaim masing-masing, baik menyangkut partai wong cilik, partai Islam, nasionalis, pluralis dan lain-lain. Dalam posisi inilah PG akan kehilangan isu yang akan digarap. Ini pulalah yang dirasakan PG selama ini.

Oposisi
Pilihan yang kedua adalah menjadi partai oposisi. Keuntungan menjadi partai oposisi antara lain; pertama, menunjukkan pada masyarakat sebagai partai yang kritis untuk meraih simpati rakyat. Jika PG menjadi partai oposisi, ia akan sibuk untuk menjadi partner pemerintah di luar pemerintahan. Ia akan menjadi penyeimbang, mengkritik, dan meluruskan yang bengkok terhadap kebijakan pemerintah. Jika pemerintah melakukan tindakan yang merugikan pemerintah, ia harus tampil di muka.

Namun kelemahannya, PG akan dianggap sebagai “partai barisan sakit hati” karena gagal terlibat dalam pemerintahan. Sehingga, bisanya “menganggu” pemerintah saja. Namun demikian, oposisi di sini harus dilakukan dengan cerdas, bukan sekadar hantam kromo saja. Masyarakat sudah semakin maju tingkat pendidikannya dan tahu mana yang sekadar mengkritik dengan kebencian, mana yang mengkritik untuk membangun.

Dari pilihan ini, diharapkan simpati masyarakat kian meningkat pula. Tentu saja dengan terus memperlebar jaringan, mengokohkan akar di grass root, dan memunculkan isu-isu yang cerdas menyangkut masyarakat. Sebab jika tidak hati-hati, justru masyarakat akan semakin muak karena ia menjadi partai oposisi yang asal beda, mengkritik saja, dan mencari-cari kesalahan pemerintah disebabkan “sakit hati”. Padahal partai itu kalah dalam kompetisi politik dalam Pemilu 2009.

Kedua, menghilangkan beban masa lalu. Tidak bisa dipungkiri masyarakat masih menyimpan trauma atas keberadaan PG. Ia adalah partai penguasa Orba dengan segala “keserakahannya”. Kalau PG mendapatkan suara banyak selama ini karena jaringan “mesin” politiknya saja. Ia telah dikenal masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Sementara partai-partai baru belum dikenalnya.

Dengan menjadi oposisi, maka beban masa lalu PG akan sedikit hilang dalam ingatan masyarakat. Sebab, bangsa ini terkenal dengan bangsa pelupa. Hal ini pernah disindir Milan Kundera. Dalam bukunya The Books of Laughter and Forgetting, ia pernah mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa ini sering dituduh sebagai bangsa yang gampang melupakan dosa-dosa masa lalu, kekerasan masa lalu, kejahatan masa lalu dan penyimpangan lain di masa lalu.

Agaknya, sindiran Kundera itu begitu mengena pada diri bangsa Indonesia. Ada banyak peristiwa yang dilupakan atau sengaja dilupakan hanya karena kita ingin disebut sebagai bangsa baik hati atau karena terlalu picik. Bagaimana kelanjutan proses kasus KKN yang melibatkan pemimpin era Orba?
Untuk itulah, kenyataan ini bisa dimanfaatkan PG dengan sebaik-baiknya. Bukan berarti kita setuju untuk “mengubur” kebobrokan” masa lalu. Tetapi, bangsa ini memang menjadi bangsa pelupa. PG bisa menjadikan momentum ini untuk mundur terlebih dulu, kemudian maju selangkah demi selangkah untuk meraih kemenangan. Tentu, ia membutuhkan proses yang tidak singkat.

Masalahnya, menjadi oposisi jelas akan ditentang oleh fungsionaris PG yang punya ambisi jabatan atau ingin ikut berkuasa. Orang-orang ini jelas akan mendukung PG sebagai partai yang terus ikut memerintah. Alasannya, mereka bisa menjadi menteri atau pejabat tinggi lain. Kalau sudah begini, kemunduran PG di masa datang tinggal menunggu waktu saja. Ia akan menjadi partai pemerintah yang akan terus disorot publik dengan segala keburukannya.
Sumber: Harian Joglosemar, 23 April 2009
Readmore »»

Minggu, Maret 29, 2009

Diskusi Sebagai Sumber Gagasan Menulis

Siang itu jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Saya ada di laboratorium komputer kampus Fisip UNS. Saya dan teman di laboratorium itu sedang mengerjakan tugas. Saya sedang mengetik naskah untuk persiapan penerbitan majalah Visi Fisip UNS. Mendadak ada seorang teman memecah kesunyian.

“Eh, aku cabut dulu, ya?”, kata Upik.

“Kemana?”, tanya saya lebih lanjut.

“Mau lihat tivi”.

“Emangnya ada acara apa Pik?”

“Kassandra”

“Alah....” gerutu teman-teman saya agak berbarengan.

Setelah saya pulang ke kos-kosan saya jadi berpikir, mengapa teman-teman mahasiswi itu sangat menyukai telenovela? Bahkan ibu-ibu rumah tangga saat Maria Mercedes diputar jam 5 sore, sibuk memelototi pesawat televisi. Seolah tidak ingin ketinggalan ceritanya. Mengapa pula banyak televisi swasta memutar telenovela? Per
tanyaan saya tersebut di atas semakin mendesak untuk dicarikan jawabannya.

Rasa penasaran itu memuncak ketika saya ingin mengeluarkan uneg-uneg tersebut dalam sebuah artikel. Tetapi, saya tidak punya banyak referensi untuk membahas masalah telenovela. Acara itu digemari para ibu-ibu dan remaja putri saya tahu, tetapi berbagai macam data berkaitan dengannya saya sangat kurang.

Maka, saya memutuskan untuk main ke teman kos yang saat itu suka telenovela. Setelah sampai di kosnya, saya terlibat diskusi dengan dia.

“Telenovela itu kan membodohi penonton, apa alasannya sampai kamu tergila-gila?” tanya saya sok tahu.

“Kata siapa? Telenovela itu kan hiburan, kita harus tempatkan acara seperti itu sebagai hiburan juga,” jawabnya agak sewot.

“Bisa juga sih, tapi coba lihat dampaknya?”

“Karena hiburan, maka porsi menghiburkan juga besar. Kita harus tahu itu. Perkara ada yang kecanduan, itu soal lain. Kalau saya kan tidak”

“Lalu?”

“Kenapa banyak yang menonton, itu kan cermin masyarakat kita yang memang masih seperti itu. Artinya, masyarakat menempatkan TV sebagai barang tontotan untuk mencari hiburan, lainnya tidak. Apalagi, pengelola TV juga berlomba-lomba membuat acara seperti itu. Lihat berapa banyak telenovela diputar di stasiun televisi swasta kita. Banyak kan? Padahal sebelumnya hanya coba-coba”

“Baik, tapi begini. Telenovela telah berdampak negatif pada ibu-ibu rumah tangga. Setiap jam lima sore mereka nongkrong di pesawat televisi untuk menonton telenovela. Mereka mengorbankan kegiatan keluarga juga, “ tanya saya sok tahu.

“Ya itulah yang saya katakan tadi, cermin masyarakat kita yang masih seperti itu. Yang terjadi di telenovela seolah melekat dan menjadi impian para remaja putri dan ibu-ibu rumah tangga. Lihat telenovela Kassandra yang disiarkan SCTV itu. Si gadis Gypsi (Corraima Tores) aslinya kan anak orang kaya. Ia hanya dibuang sama tantenya sendiri gara-gara si tante ingin warisan Kassandra jatuh ke anaknya (Osvaldo Rios). Tapi namanya juga nasib, Kassandra balik lagi ke lingkungan keluarganya sendiri, tanpa dia tahu kalau Kassandra adalah pewaris tunggal harta orang tuanya. Siapa tahu penonton ingin punya nasib baik seperti Kassandra. Masyarakat kan jadi punya mimpi-mimpi, sementara pemerintah tidak bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka? Jadi, jangan hanya salahkan masyarakat, coba salahkan pemerintah dan juga pengelola televisi yang hanya mau untungnya saja”.

Setelah selesai berdiskusi, saya memutuskan untuk meninggalkan kos Upik. Saya baru saja mendapatkan pencerahan tentang telenovela yang sedang digandrungi mahasiswi dan ibu rumah tangga akhir-akhir ini. Tetapi, saya masih bingung. Bukankah tulisan yang saya dasarkan dari diskusi dengan Upik tersebut terkesan berat sebelah? Mungkin. Sebab, Upik adalah pembela tayangan telenovela.

Agar tulisan saya lebih berimbang saya harus pergi ke teman lain yang tidak suka telenovela. Kebetulan saya punya teman yang aktivis. Saya akan mencari keterangan tentang telenovela dari teman saya itu, sebut saja namanya Dini.

“Kenapa kamu tidak suka telenovela layaknya para perempuan saat ini?” tanya saya.

“Ah, enggak. Untuk apa?. Wong telenovela hanya menjual mimpi-mimpi saja kok,” jawab dia agak ketus.

“Ah masak?” saya pura-pura tidak tahu.

“Coba lihat. Apakah yang diceritakan dalam telenovela itu sesuai kenyataan dalam masyarakat. Kan tidak? Perhatikan lagi, ceritanya menjual mimpi saja. Ceritanya sudah bisa ditebak, mesti ada perempuan yang hidupnya sengsara. Dieksploitasi kesengsaraannya itu, dibumbui dengan konflik cinta dengan anak orang kaya. Perempuan tadi harus menerima perlakukan kasar dari calon pasangan anak orang kaya tadi. Kemudian, ada konflik masalah harta. Itu saja”.

“Lho bukankah hal demikian juga terjadi pada masyarakat kita?”

“Begini. Alur cerita telenovela itu hampir seragam dan cenderung dibuat-buat. Kalau tidak menyangkut percintaan, konflik orang tua dengan anak, masalah harta, selingkuh, hamil di luar nikah. Apakah itu budaya kita saat ini? Itu kan sama saja menjual mimpi? Atau jangan-jangan masyarakat kita terobsesi dengan bintang-bintangnya yang cantik atau ganteng?”

“Terus?”

“Ya, intinya menjual mimpi lah.”

“Tapi kan semua televisi swasta kita menanyangkan telenovela tersebut. Televisi kan cermin masyarakat?”

“Ya itu. Televisi kita sangat kapitalis, mementingkan modal tanpa melihat dampak tayangan. Bukankah seperti itu? Jika ada tayangan yang laku, mesti akan diikuti oleh TV-TV lain. Lihatlah dan buktikan. Kayak telenovela akhir-akhir ini, bukan?”

“Ya jangan sewot gitu ah,”

“Gak sewot gimana. Memang acara televisi kita umumnya cenderung membodohi penonton kok. Mau dikatakan bagaimana?”

Setelah berdiskusi agak lama, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Bahan untuk membuat tulisan tentang telenovela juga sudah cukup dari dua pihak.

Setelah sampai di kos. Saya kemudian membuka komputer. Lalu saya menulis apa yang yang sudah saya dapatkan dari diskusi dengan dua teman di atas. Menulis terasa cair, lancar dan tanpa hambatan.

Yang ingin saya tekankan adalah bahwa untuk menulis, diskusi dengan orang lain akan menjadi sumber gagasan yang penting. Ini penting dilakukan saat kita dalam keadaan bingung apa yang akan ditulis sementara sudah punya keinginan kuat untuk menulis. Diskusi juga akan membuat beragam perspektif ada dalam pikiran kita. Paling tidak, pikiran kita sendiri, dan apa yang didapat dari diskusi tersebut.

Masalahnya, tidak semua orang senang dengan diskusi. Sebab, untuk bisa berdiskusi kita harus punya kemampuan mendengar dan bukan kemampuan berbicara saja. Untuk ikut diskusi, kita tidak harus menguasai persoalan. Memang lebih bagus bisa menguasai persoalan, tetapi jangan hanya gara-gara tidak menguasai persoalan kita tidak mau ikut diskusi.

Diskusi juga bisa disengaja dengan melibatkan orang untuk diajak diskusi atau menjadi pendengar pasif. Yang penting, ikut dalam atmosfir diskusi, itu saja. Anggap saja kita sedang memasukkan sumber-sumber gagasan dalam pikiran. Dengan demikian, diskusi tidak harus diikuti ketika kita sedang mau menulis. Maka, banyaklah ikut diskusi, seminar, lokakarya dan semacamnya. Ada banyak sumber-sumber gagasan dalam acara-acara tersebut.

Apakah yang saya lakukan di atas bukan plagiat pikiran orang lain? Sebenarnya, apa yang ditulis oleh para penulis terkenal itu juga awalnya hanya meniru apa yang pernah dia baca, lihat, dengar dan alami sendiri. Kemudian sejalan dengan peningkatan skills menulis dan pengatahuan dia mempunyai “ramuan” sendiri, dan gaya sendiri dalam menulis. Kegiatan ini hampir sama seperti seorang bayi. Saat belajar jalan, ia akan meniru apa yang dilihatnya. Apakah ini tidak boleh? Dalam menulis, tidak jauh berbeda. Tapi, kita harus selalu berusaha melepasan bayang-bayang orang yang kita tiru itu secepat mungkin. Suatu saat, kita akan mempunyai gaya penulisan sendiri. Sekarang pilih mana, meniru gaya penulisan orang yang membuat kita belajar, dengan tidak pernah meniru tetapi kita tidak pernah bisa menulis?

Agar ide yang berasal dari orang lain tersebut tidak dikatakan plagiat, kita perlu mengolahnya dengan kata-kata dan kalimat kita sendiri. Karenanya, meniru suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, tetapi tetap berusaha untuk lepas dari kungkungan yang kita tiru tersebut.

Sebagai ucapan terima kasih pada teman yang kita ajak diskusi tersebut minimal berikan ucapan terima kasih karena telah membantu menulis. Atau traktir mereka makan juga tidak masalah. Ini lebih dari cukup. Bukankah kita bisa menulis juga karena peran mereka? Mengeluarkan uang untuk alokasi dan ke orang lain jangan dianggap pemborosan. Pahami pula bahwa itu sebuah investasi yang kita akan memetiknya di masa datang dalam jumlah yang lebih besar. Biarkan orang lain juga ikut menikmati rejeki yang kita dapatkan.
Readmore »»

Kamis, Maret 26, 2009

Dari Mana Sumber Gagasan Menulis Muncul?


Pada bulan April 2008, saya menjadi pembicara dalam acara teknik menulis di Averroes Malang. Di awal acara, saya membagikan kertas kepada para peserta. Setelah mereka saya pastikan mendapatkan kertas, dan juga menyiapkan pulpen, kemudian saya memberi instruksi.

“Semua sudah mendapat kertas?” kata saya menegaskan.

“Sudah, “jawab mereka serentak.

“Sekarang, silakan kalian membuat sebuah tulisan singkat. Cukup satu alenia saja. Tulisan itu harus menjawab pertanyaan bagaimana cara mengaspal jalan!”

“Ah, yang benar saja pak?” tanya mereka lebih lanjut.

“Benar, jangan banyak omong segera menulis. Waktu kalian Cuma 15 menit saja”.

Dengan agak menggeruti, bahkan ada yang nggerundel mereka toh akhirnya menulis juga. Tapi ada juga yang masih bengong, apa yang akan ditulis.

“Ayo, segera ditulis, “perintah saya.

Setelah 15 menit kemudian.

“Sekarang kumpulkan ke saya”

“Wah, pak belum selesai nih?”

“Pokoknya kumpulkan saja, selesai dan tidak selesai”.

Akhirnya, tulisan dikumpulkan. Setelah saya baca memang terkesan lucu-lucu. Ada yang bercerita tentang mengaspal jalan yang dimulai dengan membersihkan jalan. Ada juga yang menceritakan mengaspal jalan tidaklah mudah. Ada lagi yang cerita justru kesan terhadap jalan yang aan diaspal. Setelah saya baca sekilas, saya bertanya?

“Sekarang saya akan bertanya, apa yang kalian pikirkan ketika saya menugaskan untuk membuat tulisan bagaimana cara mengaspal jalan?”

“Wah, tema itu terlalu dipaksakan, “ jawab seseorang.

“Saya tidak bisa menulis secara baik karena saya tidak pernah mengetahui bagaimana mengaspal jalan, “jawab yang lain.

“Bagaimana mungkin kita bisa mengaspal jalan? Wong kita bukan para buruh yang biasa mengaspal jalan itu, kok,”imbuh seseorang.

Setelah saya melihat bagaimana kesulitan mereka menulis dari apa yang saya tugaskan, kemudian saya menerangkan apa yang harus dilakukan oleh seorang penulis.

Seseorang tidak akan pernah bisa menulis kalo ia tidak punya gagasan-gagasan apa yang akan ditulis. Gagasan-gagasan inilah yang akan diolah dan dibuat sebuah tulisan. Jika tidak punya gagasan yang akan dituangkan, bagaimana seseorang akan bisa menulis? Dari situ saya memahami mengapa peserta pelatihan menulis itu mengalami kesulitan ketika saya suruh menulis bagaimana cara mengaspal jalan. Ini hampir sama dengan seseorang yang disuruh menulis tentang teknologi ruang angkasa? Apa yang akan ditulis? Dari mana informasi yang bisa dijadikan untuk menulis? Di sinilah diperlukan sumber-sumber gagasan.

Bagi peserta pelatihan, ia tidak akan pernah mengalami kesulitan manakala ia pernah punya pengalaman mengaspal jalan. Seseorang yang pernah punya pengalaman mengaspal jalan, ia mempunyai sumber gagasan yakni pengalaman. Seseorang, tentu akan mudah menulis jika ia menulis tentang pengalamannya, bukan?

Coba, Anda sekarang menulis tentang bagaimana cara mengaspal jalan dengan menulis pengalaman masa kecil. Lebih mudah mana? Saya yakin, Anda akan lebih mudah menulis pengalaman masa kecil itu daripada disuruh menulis bagaimana cara mengaspal jalan.

Barangkali Anda pernah membaca buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Katanya, ia tidak pernah membayangkan bisa menulis novel. Buku yang ditulisnya itu hanya untuk dihadiahkan kepada gurunya, yakni bu Muslimah. Tetapi, ia dengan gampangnya menulis karena yang ditulis itu hanya pengalaman-pengalamannya saat sekolah. Untungnya, saat ia sekolah mempunyai sejarah yang unik, susah, penuh harapan dan cita-cita, dikelilingi oleh ketidakadilan dan semangat yang menggebu-gebu dari gurunya. Ini tentu akan sama dengan pengalaman-pengalaman Anda di sekolah dasar. Hanya pengalaman Anda tidak setragis Andrea Hirata. Tragis, hampir putus asa yang menjadi sumber gagasannya untuk menulis.

Sumber gagasan yang lain adalah dengan membaca. Anda akan dengan mudah menulis bagaimana cara mengaspal jalan jika pernah membaca buku yang berkaitan dengannya. Anda yang dari jurusan ilmu komunikasi misalnya, akan dengan mudah menulis masalah komunikasi lisan karena pernah membaca buku tentang itu, bukan? Bagaimana dengan mereka yang tidak pernah membaca buku komunikasi lisan? Jelas, ia akan mengalami kesulitan yang luar biasa.

Masalahnya, apa yang harus kita baca? Pengalaman saya mengatakan, membaca apa saja akan berguna. Cuma, kita sering punya penyakit. Membaca hanya yang bisa menguntungkan sesaat saja. Mahasiswa yang tergolong aktivis senang membaca buku-buku yang bisa dipaki untuk aktualisasi diri dalam diskusi. Ini tidak salah. Hanya, kita tidak boleh terkungkung dengan membaca dari satu permasalahan saja. Membacalah banyak hal. Calon penulis harus yakin, bahwa apa yang kita baca akan berguna di masa datang. Cepat atau lambat.

Suatu saat, saya mengajar mata kuliah Dasar-dasar Penulisan. Saya memerintahkan mahasiswa untuk membuat sebuah tulisan, setelah saya bagikan kertas.

“Coba, silakan Anda menulis apa yang bisa Anda amati atas kehidupan malam mahasiswa.”

“Itu gampang pak, daripada disuruh menulis tentang Gender,” kata seorang mahasiswa antusias.

Sebagai catatan, minggu sebelumnya saya menugaskan mereka untuk menulis masalah gender. Kesulitan luar biasa menghantui mahasiswa semester dua itu.

Setelah mereka menulis dengan batas waktu yang saya tentukan, ternyata mereka lebih mudah menuliskan tentang pengamatan kehidupan malam mahasiswa dari pada disuruh menulis masalah gender.

Tentu saja, macam-macam hasil yang dia bisa amati. Ada mahasiswa yang sering pulang malam, bahkan dinihari karena dia kerja di diskotik. Ada juga yang jarang pulang, karena menjadi “ayam kampus” dan diajak pergi jalan-jalan. Ada juga mahasiswa yanag sedang dibooking oleh dosennya sendiri. Ada yang berjam-jam nongkrong di warung kopi, diskusi, dan lain sebagainya.

Lepas dari apa hasil pengamatannya, yang jelas, pengamatan menjadi sumber gagasan untuk menulis. Maka, mengamati dengan seksama kejadian-kejadian di sekitar kita adalah hal yang dianjurkan bagi calon penulis. Akan lebih baik jika hasil pengamatan itu ditulis dalam buku harian atau diketik dalam komputer. Pengalaman, sumber gagasan.

Apakah Anda mengenal Raditya Dika? Penulis buku Kambing Jantan itu juga tak pernah membayangkan kalau catatan harian yang ditulisnya di blog bisa diterbitkan menjadi buku, bahkan sudah puluhan kali cetak ulang. Bahasanya memang kacau karena “catatan harian”. Barangkali kalau diteliti oleh ahli bahasa, ia tidak lulus mata pelajaran itu. Tapi, kita tetap salut, ia cerdas menulis pengamatan (termasuk pengalaman) sehari-harinya dalam blog, tanpa tahu tulisan-tulisannya akan diterbitkan menjadi buku atau tidak. Yang penting, dia tetap menulis. Mungkin hanya untuk menyalurkan uneg-uneg. Bahkan, bukunya Kambing Jantan itu diangkat menjadi sebuah film. Luar biasa bukan?

Nah, calon penulis perlu meniru apa yang dilakukan Raditya Dika tersebut. Maka, perkaya sumber-sumber gagasan Anda. Tak ada cara lain. Titik.
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics