Rabu, Januari 14, 2009

Pro Kontra Tayangan Infotainment: Menggugat Liputan Cover Both Sides

Penonton televisi Indonesia, akhir-akhir ini disuguhi berita “serial” tentang kasus Marcella Zalianty Vs Agung Setiawan. Marcella dituduh melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Marcella tidak sendiri. Ia juga menyeret Ananda Mikola (pembalap nasional). Berita tentang kasus itu semakin “panas” setelah banyak orang ikut berkomentar soal tersebut.

Kasus pun kian melebar. Kasus yang awalnya memberitakan penganiayaan seksual atas diri Agung dan menjadikan Marcella terdakwa kasus itu berubah drastis. Acara-acara infotainment yang awalnya menyelidiki kasus itu justru berbalik arah untuk mengupas dan menyudutkan Agus. Tak berhenti di situ saja, latar belakang hubungan Ananda Mikola dengan Mercella juga dikupas habis.

Yang lebih mengejutkan, Agus yang awalnya sebagai orang yang dianiaya, berubah menjadi orang pesakitan. Infotainment kemudian menginvestigasi latar balakang Agus sebagai orang yang pernah berbuat jahat dan punya kelainan seksual. Bahkan ada acara infotainment yang harus mendatangi rumah orang tua Agus di Bantul, Yogyakarta. Berita bahwa Agus juga pernah menghuni LP Wirogunan juga tak kalah dahsyatnya.

Berimbang Saja?

Mengapa acara infotainment yang awalnya mengupas tindak kekerasan Marcella, kemudian menjadikan Agung sebagai terduduh juga dalam kasus tersebut? Alasan klasik yang seringkali kita dengar adalah televisi ingin menyajikan laporan berimbang. Artinya, ia tidak ingin dituduh masyarakat sebagai pihak yang terlalu membela Agus dan menyudutkan Marcella. Alasan inilah yang kemudian dijadikan pembenar untuk melakukan investigasi dua pihak yang berbeda secara seimbang (cover both sides). Namun demikian, permasalahan cover both sides ternyata tidak berhenti ketika media massa telah melakukan laporan berimbang.

Setidak-tidaknya, beberapa problem baru yang muncul antara lain. Pertama, infotainment tidak sadar jika pemberitaannya justru memperlebar permasalahan dari konteks sebenarnya. Permasalahan Marcella dan Agung adalah soal pelecehan seksual dan tindak kekerasan. Di sini, Marcella dan Ananda sebagai tertuduh, sementara Agung sebagai korban. Sudah jelas persoalan itu sebenarnya, tinggal dicari bukti-bukti di lapangan.

Tetapi, persoalan semakin ruwet ketika infotainment mengupas latar belakang kedua orang itu (Marcella dan Agung), menyangkut kehidupan pribadinya. Baik menyangkut percintaan atau masalah seks dan lain-lainya. Masalah pelecehan seksual dan kekerasan yang menjadi fokus utamanya, akhirnya menjadi kabur. Pihak Marcella tentu akan membela habis-habisan terdakwa itu, bagaimanapun caranya.

Kedua, peliputan berita yang hanya mengandalkan cover both sides kadang juga kurang bisa dipertanggungjawabkan. Kasus Marcella di atas bisa dijadikan contoh. Pihak pengelola infotainment atau televisi yang menyiarkan acara itu bisa jadi sudah terhindar dengan mengatakan ia telah melakukan reportase berimbang. Misalnya, ia tidak hanya mengupas Marcella, tetapi juga Agung.

Peliputan yang berimbang hanya menekankan pada kuantitas saja, sementara kualitas dan orientasi permasalahan sebenarnya kurang ditekankan. Bagaimana mungkin infotainment sampai mengupas masalah pribadi kedua orang itu (Marcella dan Agung) berkaitan dengan masa lalunya? Jawaban yang membuat orang sering maklum karena infotainment memang “menjual” sensasi dan berorientasi pada kepentingan pasar saja. Infotainment sudah merasa bertanggung jawab ketika sudah menampilkan dua sisi yang berbeda, padahal tidak sesederhana itu.

Prinsip Keadilan

Bagaimana dengan prinsip keadilan? Di sinilah cover both sides sering menemukan batu sandungannya. Misalnya, terjadi konflik antara walikota dengan anggota dewan di daerah. Kalau peliputan hanya mengandalkan cover both sides, maka media massa sudah merasa cukup jika meliput dua sisi yang berbeda itu. Namun, tentu tidak adil jika walikota diwawancarai, sementara dari kalangan DPRD hanya anggota biasa, meskipun kedua belah pihak juga dikupas. Yang adil tentunya adalah pimpinan tertinggi kedua lembaga itu yang harus diwawancarai. Di sinilah peliputan yang berimbang perlu didukung oleh prinsip keadilan.

Dalam kasus Marcella, sangat terasa tiadanya prinsip keadilan yang dimaksud. Karena kasus itu menyangkut Mercella (artis terkenal), dan Agung (orang biasa), infotainment punya kecenderungan meliput mereka yang dekat dengan Marcella. Ini bisa dimaklumi karena orang yang dekat dengan Marcella mempunyai nilai berita tinggi. Orang dekat ini tentu akan membela Mercellla dalam kuantitas yang besar. Jadi, secara tidak langsung, infoteinment membela Marcella. Bisa jadi tiada kesengajaan, tetapi tanpa pertimbangan keadilan hal itu akan menjadikan infotainment sebagai tertuduh biang keladi permasalahan yang semakin memburuk.

Masalahnya, infotainment itu berita atau bukan? Jika berita, maka ia juga harus mematuhi aturan yang selama ini ada dalam proses peliputan dan pembuatan berita. Bahkan saat ini reportase juga sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa.

Barangkali kita perlu belajar dari C.P Scott (The Manchester Guardian) bahwa reportase yang berkembang saat ini adalah reportase faktual. Yakni laporan yang memisahkan antara fakta dan opini berkembang sebagai reportase interpretatif, mendalam, investigatif dan reportase yang komprehensif. Bukan sekadar fakta menurut kejadiannya dan fakta linear, tetapi fakta yang mencakup.

Infotainment seperti kasus Mercella, berada dalam ranah abu-abu. Acara itu penuh dengan opini yang menggiring penonton untuk menyetujui dan tidak menyetujui kasus yang disodorkan. Jika acara infotainment banyak mengupas seorang artis yang terkena masalah, sementara dia dan lingkingan di sekitarnya lebih mempunyai nilai berita, ada kesan membela sang artis. Maka, apa yang dikatakan C.P Scott jelas jauh dari kenyataan. Apalagi, diikuti penyajian fakta-fakta yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kasus yang sedang jadi perbincangan. Benar bahwa Marcella pernah punya masalah percintaan yang “buruk”, juga benar bahwa Agung punya sejarah yang tak kalah buruknya, tetapi tidak lantas dieksploitasi untuk menggirng penonton ke arah yang bukan substansi.

Jadi, memang meliput secara cover both sides dalam era jurnalisme infotainment tidak gampang. Infotainment adalah acara yang mendasarkan diri pada sensasional, kepentingan pasar, dan belum dilandasi dengan kecerdasan dalam peliputan berita. Maka, meliput secara cover both sides itu tidak gampang, rumit, pelik, dan penuh tanggung jawab.

Sumber: Harian Malang Post, 11 Januari 2009.
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics