Kamis, April 30, 2009

Koalisi Menyakiti Hati Rakyat

PERUBAHAN peta koa-lisi menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) tidak lagi dihitung dengan harian, bahkan setiap jam. Setiap saat para elite politik sibuk dengan urusan bagaimana membangun koalisi yang menguntungkan. Tidak ada jalan lain kecuali melakukan koalisi. Semangat untuk melakukan koalisi adalah ”Saya mendapatkan apa, dan apa yang bisa saya manfaatkan dari orang lain”.

Koalisi adalah cara untuk membangun pemerintahan yang kuat. Ini dimungkinkan karena tak ada partai politik yang menang mutlak. Sehingga koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Koalisi juga membuat para elite politik dilatih untuk berbagi dan tidak egois karena akan terjadi tarik ulur antara ambisi, hak, dan kerelaan berbagi satu sama lain.

Menggugat Koalisi
Namun demikian, melihat proses terjadinya koalisi antar elite politik selama ini, koalisi yang dibangun sudah ”jauh panggang dari api”. Beberapa catatan yang bisa dikemukakan antara lain; pertama, koalisi masih bersifat elitis. Proses koalisi hanya melibatkan segelintir orang saja. Bahkan hanya melibatkan salah satu orang saja.

Lihat misalnya beberapa partai besar (misalnya Partai Demokrat, PDI-P) memberikan mandat kepada calonnya untuk menentukan cawapres sendiri. Seolah urusan koalisi hanya urusan pribadi. Bisa jadi sebagai sebuah penghormatan pada sang calon, tetapi itu seolah menempatkan urusan partai dan koalisi hanya pada elite parpol yang bersangkutan.

Memang, itu adalah risiko demokrasi perwakilan. Artinya, rakyat menitipkan suaranya pada para elite politik tertentu (parpol atau caleg). Dalam posisi ini, urusan rakyat dianggap sudah selesai ketika ia telah menggunakan hak pilihnya. Ini sangat berbeda dengan saat menjelang ”hari pencontrengan”. Seolah-olah para elite politik itu merasa harus dekat, dan membutuhkan (bahkan sampai mengemis) dukungan rakyat. Apa pun dilakukan, termasuk dengan politik uang.

Tetapi, setelah masyarakat penggunaan hak pilih, urusan dianggap sudah selesai. Mereka yang hiruk pikuk minta dukungan rakyat sekarang sudah tiarap. Dengan kata lain, para elite politik itu sudah tidak lagi membutuhkan suara mereka. Tak heran, jika koalisi sangat bersifat elitis sekali karena hanya dilakukan sejumlah orang dengan mengebiri hak-hak rakyat yang memilihnya.
Kedua, koalisi hanya bertujuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Yang ada dalam benak para elite politik itu adalah kekuasaan. Buntut perbedaan pendapat yang melanda sejumlah parpol (Partai Golkar, PAN, PPP) ujungnya juga pada kekuasaan tersebut.

Itu juga termasuk ketika dalam koalisi akan terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Kalau sebuah parpol ikut dalam koalisi, maka ia akan ”meminta jatah” jabatan tertentu, entah menteri atau jabatan politik lainnya.

Sementara itu, parpol kuat atau peraih paling banyak diantara peserta koalisi harus rela membagi kekuasaan dengan parpol lain. Ia tidak bisa mengangkangi kekuasaan sendiri saja. Terhadap kasus ini, rakyat tidak punya kekuasaan apa-apa. Semua sudah dilakukan elite politik, bahkan ”atas nama” rakyat.

Ketiga, koalisi menyakiti hati rakyat. Rakyat yang mempunyai republik ini harus dikebiri hak-haknya sedemikian rupa di bawah segelintir elite politik. Barangkali, saat ini rakyat belum merasakan apa-apa. Namun demikian, jika nanti para peserta koalisi itu sudah berkuasa dan tidak memikirkan kepentingan, hajat hidup, dan aspirasi rakyat, mereka baru akan merasakan ketidakberpihakan elite politik itu pada rakyatnya.

Dengan kata lain, mereka sebenarnya sudah menyakiti hari rakyatnya saat membangun koalisi, suatu saat akan diulang dengan perangkat kebijakan yang tak memihak ke rakyatnya.

Sejarah republik ini sudah menunjukkan bukti-bukti empirik ketika para elite politik sudah lupa pada rakyatnya. Mereka yang pernah meneriakkan demi rakyat, berjanji untuk kepentingan rakyat sudah hilang. Mereka, juga akan enggan untuk terjun langsung (layaknya saat kampanye) ketika sudah menduduki jabatan politik tertentu.

Mereka akan mementingkan diri dan kelompoknya, tidak peduli bagaimana susahnya rakyat. Lihat saja, bagaimana para anggota DPR periode sebelum ini meminta kenaikan gaji yang drastis sementara krisis ekonomi sedang melanda bangsa ini?
Banyak Belajar
Koalisi sebenarnya adalah sebuah proses ketika elite politik perlu belajar bagaimana merumuskan kesepakatan bersama di tengah kepentingan yang berbeda. Koalisi sebenarnya menganggap bahwa para politisi itu belum dianggap dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga, mereka diharuskan untuk saling belajar. Inilah keuntungannya jika Pemilu tidak menghasilkan pemenang mayoritas.

Zaman Orde Baru (Orba) tidak pernah mengajarkan pada elite politik bagaimana saling berbagi kekuasaan satu sama lain. Semua diputuskan secara individual dan kelompok tertentu dengan terus mengebiri kepentingan rakyat dan kemerdekaan elite politik itu sendiri dalam menentukan pilihan.

Itulah kenapa koalisi seharusnya memberikan banyak pelajaran pada elite politik. Hanya masalahnya, koalisi dianggap selesai setelah kesepakatan terjadi. Entah apakah kesepakatan itu akan dipatuhi atau tidak. Jika koalisi didasari oleh keinginan untuk benar sendiri, hasil koalisi itu tidak akan membuahkan hasil yang lebih baik, baik menyangkut kepentingan mereka yang terlibat koalisi, pemerintahan, dan apalagi rakyat.

Koalisi sering dianggap hanya sekadar kumpul-kumpul untuk bagi-bagi kue kekuasaan. Jika kue yang diperebutkan sedikit dan ada yang serakah, maka dengan mudahnya kesepakatan koalisi dilanggar.

Rakyat yang mempunyai republik ini telah dikebiri hak-haknya sedemikian rupa
di bawah segelintir elite politik.Barangkali, saat ini rakyat belum merasakan apa-apa. Namun demikian, mereka baru akan merasakan ketidakberpihakan elite politik.

Dalam koalisi sering sudah ada kesepakatan, partai ini akan mendapat jatah menteri sekian, partai lain mendapat jatah menteri juga sekian. Dalam posisi ini, koalisi dianggap hanya jatah menjatah kekuasaan, parpol mana yang mendapat jatah menteri paling banyak dan mana yang paling sedikit dan mana yang tidak mendapat. Jika ada parpol mendapatkan suara banyak sementara mendapat jatah menteri sedikit, jelas parpol itu tidak akan setuju, untuk tak mengatakan akan memberontak.

Maka, koalisi harus dikembalikan pada makna sebenarnya. Ia adalah sebuah kesepatan politik (entah untuk bagi-bagi kekuasaan, wewenang, ucapan terima kasih atau apapun istilahnya) yang tujuan utamanya tetap pada kemaslahatan rakyat. Artinya, kepentingan rakyat adalah nomor satu. Sering kali, ide ini hanya ada dalam wacana, seminar-seminar dan materi kuliah. Dalam praktiknya sulit dilaksanakan. Tetapi ini tidak berarti bahwa ide untuk mengingatkan agar koalisi dikembalikan pada posisi sebenarnya harus berhenti kerena tidak sesuai dengan praktik nyata. Sekecil apa pun suara untuk mengembalikan pada posisi sebenarnya tetap penting. Ia ibarat oase di tengah padang pasir yang tandus.

Koalisi memang kepentingan, tetapi kepentingan yang harus diletakkan pada kepentingan rakyat. Jika tidak, maka rakyat yang pada dasarnya sudah ”dikebiri” kepentingannya saat koalisi terjadi, akan semakin menjadi sakit hati. Untuk itulah mereka tidak boleh menyakitinya untuk yang kedua kalinya setelah koalisi terbentuk. Dengan kata lain, pemerintahan hasil koalisi harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

Hanya pemerintahan seperti itulah yang akan mendapatkan mandat tulus dari rakyatnya. Semoga para elite politik yang terlibat koalisi dan berpeluang menduduki jabatan politik seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Prabowo, dan Wiranto masih berkhidmat pada kepentingan rakyat dan bangsa ini. (80)
sumber: harian Suara Merdeka, 30 April 2009.
Readmore »»

Kamis, April 23, 2009

Partai Golkar Sebagai Oposisi?

Setelah Pemilihan legislatif usai, salah satu partai politik (parpol) yang mengalami kebimbangan adalah Partai Golkar (PG). Sebab, inilah pemilihan legislatif yang memberikan dampak di luar prediksi sebelumnya. Golkar pada Pemilu 2004 mampu meraih 21,6 persen suara. Sementara itu dalam penghitungan sementara Pemilu 2009 perolehan suara PG belum melebihi 15 persen, bahkan sulit menembus 20-an persen lagi. Pada posisi yang berbeda Partai Demokrat yang pada Pemilu 2004 hanya memperoleh suara 7,5 persen, sekarang melonjak menjadi 20 persen.

Untuk itu, PG dihinggapi kebimbangan. Target sebelumnya, PG berkeinginan mendudukkan wakilnya sebagai calon presiden (capres) dengan mencari calon wakil presiden (cawapres) dari partai lain. Bayangannya, akan mencapai 20 persen seperti 5 tahun lalu. Tetapi saat ini PG harus realistis dengan tidak terlalu ngotot menempatkan wakilnya sebagai capres, tetapi cawapres.


Dua Pilihan
Maka, ada dua pilihan yang akan dihadapi PG; pertama, menempatkan wakilnya sebagai cawapres. Kedua, menjadi partai oposisi. Dua pilihan itu akan menjadi wacana aktual peta perpolitikan PG dalam waktu dekat.

Jika alternatif pertama yang dipilih, maka PG kemungkinan akan ikut mengelola negara ini kembali. Ia akan menjadi partai pemerintah. Tetapi, melihat perolehan suara yang didapat, maka ia sangat mungkin menjadi “ban serep” partai lain yang lebih besar dalam perolehan suaranya.

Keuntungan pilihan pertama ini, PG masih bisa ikut mengelola negara. Wakil PG yang kebetulan menjadi cawapres misalnya, akan mudah mendapatkan popularitas sebagai pejabat publik. Lima tahun berikutnya, PG akan bisa menentukan calonnya sebagai presiden. Tentu dengan syarat memperoleh suara yang signifikan. Ini tentu peluang besar. Sebab, tidak mungkin SBY akan menjadi calon untuk ketiga kalinya (jika seandainya ia terpilih kembali pada tahun ini).

Jika PG ikut dalam pemerintahan, maka perolehan suara lima tahun mendatang bisa jadi mengalami penurunan. Mengapa? Positioning PG sebagai partai pemerintah dan pernah berkuasan di zaman orde baru (Orba) dengan segala “kejahatannya” masih melekat di benak masyarakat. Era Orba, PG (waktu itu masih bernama Golkar) punya mesin kuat yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar sendiri (ABG). Golkar selalu mengklaim sebagai satau-satunya partai yang membangun bangsa ini. Nyatanya, memang bangsa ini waktu itu sedang membangun, sementara Golkar sedang berkuasa.

Tetapi untuk saat sekarang, apa yang akan “dijual” oleh PG? Masyarakat tidak akan percaya begitu saja jika partai itu melakukan pengklaiman sepihak atas keberhasilan pembangunan seperti zaman Orba. Apalagi perolehan suaranya tidak sebanyak pada era itu. Sementara itu, partai-partai lain sudah punya klaim masing-masing, baik menyangkut partai wong cilik, partai Islam, nasionalis, pluralis dan lain-lain. Dalam posisi inilah PG akan kehilangan isu yang akan digarap. Ini pulalah yang dirasakan PG selama ini.

Oposisi
Pilihan yang kedua adalah menjadi partai oposisi. Keuntungan menjadi partai oposisi antara lain; pertama, menunjukkan pada masyarakat sebagai partai yang kritis untuk meraih simpati rakyat. Jika PG menjadi partai oposisi, ia akan sibuk untuk menjadi partner pemerintah di luar pemerintahan. Ia akan menjadi penyeimbang, mengkritik, dan meluruskan yang bengkok terhadap kebijakan pemerintah. Jika pemerintah melakukan tindakan yang merugikan pemerintah, ia harus tampil di muka.

Namun kelemahannya, PG akan dianggap sebagai “partai barisan sakit hati” karena gagal terlibat dalam pemerintahan. Sehingga, bisanya “menganggu” pemerintah saja. Namun demikian, oposisi di sini harus dilakukan dengan cerdas, bukan sekadar hantam kromo saja. Masyarakat sudah semakin maju tingkat pendidikannya dan tahu mana yang sekadar mengkritik dengan kebencian, mana yang mengkritik untuk membangun.

Dari pilihan ini, diharapkan simpati masyarakat kian meningkat pula. Tentu saja dengan terus memperlebar jaringan, mengokohkan akar di grass root, dan memunculkan isu-isu yang cerdas menyangkut masyarakat. Sebab jika tidak hati-hati, justru masyarakat akan semakin muak karena ia menjadi partai oposisi yang asal beda, mengkritik saja, dan mencari-cari kesalahan pemerintah disebabkan “sakit hati”. Padahal partai itu kalah dalam kompetisi politik dalam Pemilu 2009.

Kedua, menghilangkan beban masa lalu. Tidak bisa dipungkiri masyarakat masih menyimpan trauma atas keberadaan PG. Ia adalah partai penguasa Orba dengan segala “keserakahannya”. Kalau PG mendapatkan suara banyak selama ini karena jaringan “mesin” politiknya saja. Ia telah dikenal masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Sementara partai-partai baru belum dikenalnya.

Dengan menjadi oposisi, maka beban masa lalu PG akan sedikit hilang dalam ingatan masyarakat. Sebab, bangsa ini terkenal dengan bangsa pelupa. Hal ini pernah disindir Milan Kundera. Dalam bukunya The Books of Laughter and Forgetting, ia pernah mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa ini sering dituduh sebagai bangsa yang gampang melupakan dosa-dosa masa lalu, kekerasan masa lalu, kejahatan masa lalu dan penyimpangan lain di masa lalu.

Agaknya, sindiran Kundera itu begitu mengena pada diri bangsa Indonesia. Ada banyak peristiwa yang dilupakan atau sengaja dilupakan hanya karena kita ingin disebut sebagai bangsa baik hati atau karena terlalu picik. Bagaimana kelanjutan proses kasus KKN yang melibatkan pemimpin era Orba?
Untuk itulah, kenyataan ini bisa dimanfaatkan PG dengan sebaik-baiknya. Bukan berarti kita setuju untuk “mengubur” kebobrokan” masa lalu. Tetapi, bangsa ini memang menjadi bangsa pelupa. PG bisa menjadikan momentum ini untuk mundur terlebih dulu, kemudian maju selangkah demi selangkah untuk meraih kemenangan. Tentu, ia membutuhkan proses yang tidak singkat.

Masalahnya, menjadi oposisi jelas akan ditentang oleh fungsionaris PG yang punya ambisi jabatan atau ingin ikut berkuasa. Orang-orang ini jelas akan mendukung PG sebagai partai yang terus ikut memerintah. Alasannya, mereka bisa menjadi menteri atau pejabat tinggi lain. Kalau sudah begini, kemunduran PG di masa datang tinggal menunggu waktu saja. Ia akan menjadi partai pemerintah yang akan terus disorot publik dengan segala keburukannya.
Sumber: Harian Joglosemar, 23 April 2009
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics