Sabtu, Mei 30, 2009

Flu Babi Muncul, Pemerintah Sibuk Sendiri

Media massa di Tanah Air memberitakan bahwa flu babi sudah menjalar di Asia Tenggara. Pemerintah Malaysia sudah melakukan antisipasi pencegahan dengan penempatan tim media ke seluruh negeri jiran itu. Bahkan, beberapa peternakan babi sudah berada dalam pengawasan pemerintah. Kamboja juga siaga. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen malah mengusulkan diadakan KTT ASEAN darurat berkaitan dengan wabah itu.

Begitu menghebohkannya virus itu, sampai-sampai WHO harus mengganti istilah flu babi menjadi H1N1. Sebab, flu itu telah disalahartikan. Di Mesir terjadi pembantaian sekitar 300 ribu ekor babi.

Virus flu babi memang berawal dari babi, namun virus flu yang mewabah kali ini merupakan virus strain baru yang memiliki gen dari virus manusia, burung, dan babi. Para ilmuwan tidak mengetahui bagaimana sebenarnya virus ini berpindah ke manusia. Ditegaskan WHO, dalam wabah yang melanda saat ini, virus itu disebarkan dari manusia ke manusia, bukan dari kontak dengan babi.

Kita tidak akan mendiskusikan mengenai flu itu, apa pun istilahnya. Yang jelas, virus itu telah menakutkan masyarakat dunia. Pertanyaannya adalah tindakan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Bukankah wabah itu lebih hebat dampaknya daripada flu burung yang juga pernah menghebohkan dunia, khususnya Indonesia?

Saat ini tak ada kegiatan yang sangat menyibukkan para elite politik kita (pemerintah dari tingkat presiden, wapres, menteri) kecuali mengurusi politik. Mereka sedang disibukkan untuk menyongsong pemilihan presiden (pilpres) atau sesuatu yang orientasinya kekuasaan. Urusan politik telah menyita mereka untuk tidak mengurusi masalah lain, termasuk masalah flu babi.

Lihat misalnya, dari presiden hingga menteri disibukkan dengan urusan politik. Bagi menteri yang memimpin sebuah partai politik, ia tidak peduli lagi dengan urusan-urusan kenegaraan. Ia sangat sibuk dengan orientasi kekuasaan. Bagi menteri yang tidak berada dalam lingkup parpol, mereka seolah kena pengaruh juga. Mereka terkena virus untuk tak berbuat apa-apa. Barangkali mereka berpikir, biarlah nanti urusan kenegaraan diurusi oleh menteri periode selanjutnya.

Yang tidak kalah pentingnya, ada menteri yang menjelang pilpres tampil habis-habisan di media televisi dengan membuat iklan layanan masyarakat. Lihat apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM). Kedua menteri ini seolah memanfaatkan momen politik sebagai salah satu cara untuk mendongkrak popularitas diri. Jika tidak seperti itu, mengapa iklannya baru muncul sekarang? Orang akan berpikir, ada apa dengan iklan tersebut?

Kalaupun peduli dengan kepentingan masyarakat akan pentingnya koperasi dan pelayanan pendidikan gratis, bukankah akan sia-sia karena menteri terpilih nanti belum tentu akan meneruskan programnya? Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa "jika ganti menteri, berarti ganti kebijakan". Jadi, kepentingan popularitas dan orientasi pada kekuasaan sangat transparan sekali.

Mereka ini tidak pernah berpikir apakah yang dilakukannya itu (urusan politik) merugikan rakyat atau tidak. Ada dua saja orientasinya, yakni mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan.

Tak terkecuali, kebiasaan pemerintah kita baru akan bertindak setelah ada korban atau sesuatunya terjadi. Lihat misalnya, pemberantasan flu burung baru gencar dilakukan setelah banyak korban. Bangsa kita belum terbiasa untuk mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Pembagian bantuan langsung tunai (BLT)-terlepas dari masalah pro-kontranya-baru dikeluarkan setelah banyak masyarakat miskin meninggal akibat ketertekanan ekonomi.

Kita juga baru sadar akan kepemilikannya ketika Pulau Sipadan-Ligitan akhirnya jatuh ke Malaysia berdasarkan sidang Mahkamah Internasional (MI) pada tanggal 18 Desember 2002. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan efektivitas. Yakni, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata di Malaysia selama 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.

Bahkan, "keserakahan" Malaysia tidak berhenti sampai di situ. Negara jiran itu juga pernah mengklaim bahwa reog (yang selama ini dikenal dari Ponorogo) adalah miliknya. Ini belum termasuk bagaimana para tenaga kerja wanita (TKW) di Indonesia diperlakukan "tidak bijak" di negara itu.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa pemerintah kita begitu terlambat dalam menanggapi berbagai kasus. Kita sering kali baru sadar ketika peristiwa sudah terjadi dan meminta korban. Itu saja belum tentu menyelesaikan masalah.

Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika masalah flu babi tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam keadaan "normal" saja pemerintah terlambat menangani, apalagi saat ini disibukkan dengan Pilpres 2009.

Memang, elite politik boleh sibuk, tetapi bukankah mereka masih resmi sebagai pejabat pemerintah? Mengapa para menterinya juga sibuk sendiri-sendiri?

Sementara itu, kenyataan ini menjadi santapan empuk pihak-pihak yang menjadi seteru politik pemerintah. Lihat PDIP sudah nyaris kehilangan isu kecuali dengan hanya terus mengkritik kebijakan pemerintah. Memang boleh, tetapi ada kecenderungan asal beda dan hanya mencari-cari kesalahan pemerintah. Ini tidak bermaksud membela pemerintah, tetapi kenyataan itu sangat jelas terjadi saat ini.

Sibuk mengurusi politik memang tidak salah, tetapi membiarkan korban akan berjatuhan akibat wabah flu babi, janganlah.***

Penulis adalah staf pengajar pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Sumber: Harian Suara Karya, 29 Mei 2009.

Readmore »»

Selasa, Mei 26, 2009

Pers, Penekan Penghancuran Moral

Ketua Umum PB NU, Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa Pemilu telah menghancurkan sistem nilai dan moral yang ada di masyarakat. Di Papua dan Sumatra Utara, kerukunan hidup antarmarga dan antarsuku tergerus oleh perbedaan politik akibat Pemilu.

Tentu saja, penghancuran sistem nilai dan moral dalam masyarakat itu juga tidak hanya secara langsung dipengaruhi oleh Pemilu. Bisa jadi, jurang semakin menganga karena berbagai informasi yang didapat masyarakat kurang lengkap. Dalam hal ini, pers sebagai lembaga, tak jarang dituduh sebagai biang kerok.

Memang, pers seringkali diklaim sebagai lembaga yang bisa ikut mengipas-ngipasi sebuah perbedaan dalam masyarakat yang akhirnya menjadi konflik. Dalam kurun waktu lama pula, pers disebut sebagai narcotizing dysfunction (racun pembius). Tetapi, mengingkari pers sebagai penekan dan penentu utama kemajuan masyarakat juga sangat naif.

Dalam kompetisi politik, pers sekadar mengungkap berbagai fakta-fakta yang tersaji dalam setiap peristiwa. Pers memberitakan, menginterpretasikan pesan kemudian menyodorkan pada masyarakat apa yang perlu dilakukannya. Efeknya, kembali pada kualitas individu dalam menyikapi setiap peristiwa yang disajikannya. Dalam hal ini, pers adalah faktor antara dari semua sebab yang terjadi.

Pertanyaannya adalah bagaimana jika di dalam masyarakat telah terjadi penghancuran moral bangsa akibat berita-berita yang disajikan oleh pers itu sendiri? Sebagai media penyampai informasi, pers punya tugas mulia untuk memulihkannya.

Pertama, meskipun diklaim sebagai narcotizing dysfunction, pers punya tugas sebagai contributing to social cohesion. Karenanya, pers sebenarnya punya potensi besar dalam menciptakan kesatuan dan integrasi dalam masyarakat. Dalam melihat sebuah konflik misalnya, pers yang berusaha untuk selalu melihat dan tidak terlibat dalam konflik menjadi potensi untuk menciptakan integrasi sosial di masyarakat. Ini juga berarti, wartawan yang meliput kejadian juga berada di luarnya.

Ini dimungkinkan terjadi, jika pers memang tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa. Masalahnya adalah apakah pers benar-benar tidak punya kepentingan atas sebuah peristiwa? Katakanlah pers tidak punya kepentingan, bagaimana dengan wartawannya?

Independen
Dalam pandangan Kovach dan Rosenstiel (Nurudin, 2009), wartawan harus independen dari yang mereka liput. Independensi yang dimaksud di sini adalah independensi pikiran, dari kelas atau status ekonomi, dan independen dari ras, etnis, agama dan gender. Ini berarti wartawan dalam menulis berita melepaskan semua yang ada pada dirinya. Ia bertugas melaporkan dan menunjukkan fakta apa adanya, tanpa takut kepada sebuah kelompok.

Kedua, memberikan upah layak pada wartawan. Ini memang relatif. Meskipun juga tidak ada jaminan dengan gaji layak, mereka bisa layak dalam melakukan peliputan. Tetapi, gaji layak akan bisa menekan mereka mencari ”objekan” di luar gaji, entah amplop, perjalanan dinas dan entah fasilitas lain dari narasumber. Ini memang ideal dan tak mudah dilaksanakan. Tetapi tanpa ada usaha ke arah itu, semua hanya omong kosong. Niat wartawan untuk tak menerima fasilitas narasumber akan sia-sia manakala media juga mendiamkan saja.

Dengan gaji layak, mereka tidak akan tergantung pada nara sumber. Selama ini, berbagai konflik di masyarakat akibat pemberitaan pers yang berat sebelah karena wartawan sudah ”dibeli” oleh narasumber. Bisa dikatakan penghancuran sistem nilai dan moral bangsa akarnya juga dari sini pula.

Ketiga, media harus selektif dalam memilih kata-kata dalam medianya. Kata-kata itu bukan kata-kata yang bisa memicu konflik. Beberapa contoh kata-kata yang justru ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat pernah dilakukan media di Kalimantan berkaitan dengan konflik Sampit. Dua media massa di sana pernah menulis berita sebagai berikut, ”Malam itu, setelah dua hari etnis Madura ”menjajah” Sampit, Panglima Dayak merangsek masuk kota”. Lihat juga, ”Aparat siaga dan berlapis-lapis menjaga sarang kaum begal bergundal etnis Madura di sana” (Eriyanto, 2004).

Tak terkecuali yang pernah ditulis media dalam konflik Ambon (2000) sebagai berikut, ”Kepulauan Maluku bagai ladang penjagalan. Nyawa manusia tidak lagi memiliki nilai. Satu per satu terbunuh dengan sia-sia....Wajah Kepulauan Maluku porak-poranda, karut-marut tak terbentuk lagi. Agaknya ini pula yang menggugah nurani umat Islam untuk memberikan bantuan kepada saudaranya di Maluku.”

Contoh di atas adalah perilaku pers dengan kata-kata yang ditulis dan bisa menimbulkan keresahan, pemicu konflik, sampai ikut menghancurkan sistem nilai dan moral masyarakat. Pers ikut menentukan arah, ke mana masyarakat dan bangsa ini akan dibawa di masa datang. Hal demikian perlu diperhatikan pers sebelum kambing hitam selalu ditimpakan kepadanya
Oleh : Nurudin, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku Jurnalisme Masa Kini
Sumber: Solo Pos, Selasa, 26 Mei 2009
Readmore »»

Selasa, Mei 12, 2009

Kiat Meresensi Buku di Media Cetak


Selama ini, kita jarang yang tahu untuk apa membaca. Membaca dianggap tidak punya keuntungan pragmatis dan saat itu juga. Tetapi dengan buku ini Anda akan ditunjukkan bahwa meresensi buku juga bisa untuk keuntungan pragmatis misalnya mendapatkan penghasilan. Buku ini akan memberikan petunjuk praktis dan kreatif bagaimana cara mudah meresensi dan diterima di media cetak. Bahkan buku ini pun tidak saja memberikan petunjuk bagaimana meresensi buku bagi penulis pemula, tetapi juga bagi mereka yang sudah mencoba berulang kali, tetapi tidak pernah dimuat. Dengan membaca buku ini, Anda akan dibuka cakrawala tentang keluasan dan kemanfaatan membaca dan menulis resensi buku. Bahkan meresensi buku bisa menjadi jembatan menjadi penulis artikel terkenal

Buku karya praktisi meresensi buku ini memuat: Perbedaan Membaca Biasa dan Membaca untuk Meresensi, Mengapa Harus Meresensi Buku? Langkah-Langkah Persiapan dalam Meresensi, Persiapan Penting Sebelum Menulis, Apa yang Harus Ada dalam Naskah Resensi?, Anatomi Resensi Buku, Apa yang Harus Dikerjakan Setelah Meresensi Buku, Beberapa Hal Yang Harus Dihindari dalam Meresensi Buku, dan Bagaimana Menyiasati Media Cetak.

Judul : Kiat Meresensi Buku di Media Cetak
Penulis : Nurudin
Penerbit: Murai Kencana, Jakarta
Thn Ter : 2009

Type rest of the post here
Readmore »»

Jurnalisme Masa Kini


“Anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing itu berita”. Ungkapan klasik itu, saat ini telah banyak digugat. Bagaimana seandainya yang digigit itu seorang artis, atau pejabat setingkat menteri, sementara Bejo menggigit anjing? Jurnalisme masa kini akan memilih realitas yang pertama. Termasuk ungkapan klasik “Good news is no news, bad news is good new” juga sudah banyak yang menggugat. Apakah penemuan teknologi uang angkasa bukan berita?

Bahkan Tom Wolfe pernah menganjurkan agar koran-koran di dunia ini segera mengaplikasikan jurnalisme baru (new journalism). Tetapi, ide itu belum sepenuhnya dipraktikan di Indonesia. Media massa Indonesia masih memakai kaidah-kaidah klasik, sementara tuntutan masyarakat kian meningkat disertai dengan perkembangan teknologi internet yang kian canggih. TV kian menjadi pesaing utama media cetak. Jika tidak dilakukan revolusi, media cetak tentu akan ketinggalan zaman. Bahkan Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang. Di sinilah perlunya pemahaman tentang jurnalisme masa kini perlu ditempatkan.

Buku Jurnalisme Masa Kini ini menawarkan perkembangan jurnalisme baru yang sedang berkembang cepat di dunia ini. Berbagai perubahan, tuntutan reportase, kompetensi jurnalis ikut berubah total. Buku ini memberikan pemahaman, contoh praktis dan bagaimana menghadapi perkembangan yang dahsyat tersebut. Tak lain, agar para calon jurnalis dan peminat kajian komunikasi bisa menghadapi era komunikasi massa di masa datang.

Buku ini mencapai sasarannya pada mahasiswa jurnalistik, wartawan, dan masyarakat umum peminat kajian jurnalisme dan media massa.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit: RajaGrafindo Persada, Jakarta
Thn Terb: 2009

Pada awalnya, manusialah yang menciptakan teknologi untuk mempermudah kerja manusia itu sendiri, termasuk mempermudah berkomunikasi komunikasi. Teknologi yang bisa memperpendek jangkauan dan mempersingkat waktu kemudian diciptakan. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang diciptakan, akhirnya manusia tergantung pada teknologi yang dibuatnya sendiri. Penemuan internet pada tahun 1990-an menjadi keniscayaan sejarah penemuan teknologi komunikasi yang pengaruhnya tidak bisa dihindari manusia.
Berkaitan dengan itu, berbagai perkembangan cara berkomunikasi mengalamai revolusi yang sangat dahsyat. Cara penyampaian berita kepada masyarakat dengan cara “manual” dianggap tidak relevan lagi. Surat kabar, televisi dan radio tidak lagi hanya mengandalkan medianya itu sendiri, tetapi sudah memakai media internet. Internet akhirnya memaksa manusia merumuskan kembali, dan mencari model tentang proses penyampaian berita. Kekuatan internet itu membuat Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang.

Berkaitan dengan proses penyebaran informasi yang dahulunya dilakukan para jurnalis mainstream media (media utama) seperti jurnalis (wartawan) televisi, radio dan media cetak lain, sekarang sudah banyak yang menggugat. Penyebaran informasi bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, apa saja, dan dengan cara apa saja. Warga negara yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok konsumen media, saat sekarang bisa bertindak sebagai jurnalis. Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra munculnya istilah citizen journalism (jurnalisme warga negara) menjadi keniscayaan adanya revolusi dalam penyebaran informasi. Dengan internet dan perantaraan blog, semua orang bisa menjadi jurnalis. Jurnalis karenanya yang berarti proses pencarian, pengolahan, penulisan, dan penyebaran informasi bisa dilakukan semua orang melalui blognya. Inilah kecenderungan jurnalisme baru di era internet ini.

Tak terkecuali, revolusi jurnalisme juga muncul berkaitan dengan bagaimana menyampaikan ide dalam wujud tulisan. Dalam kurun waktu lama, proses penulisan berita didominasi dengan pedoman klasik 5 W + 1 H (what, when, where, why, who, dan how) yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan. Dengan jurnalisme baru, konsep klasik itu dikembangkan Roy Peter menjadi tulisan model, narrative dengan mengubah rumus 5W dan 1 H. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif. Dan How menjadi narasi. Hingga, pengisahan berita narrative jadi mirip kamera filem dokumenter. Ini menjadi kecenderungan jurnalisme baru.

“Good news is no news, bad news is good news”, ungkapan lama yang pernah dipercaya sebagai nilai berita. Tetapi, berita gembira saat ini juga mempunyai nilai berita. Kalau ungkapan itu diyakini kebenarannya, mengapa seorang artis yang melahirkan anak perlu diberitakan? Bukankah itu berita menggembirakan? Ungkapan di atas jelas sudah tidak relevan lagi, bukan?

Tak terkecuali ungkapan Carles A Dana , “When a dog bites a man that is no news, but a man bites a dog that is a news” juga sudah tidak cocok lagi untuk zaman sekarang. Bagaimana jika yang digigit itu seorang menteri atau presiden, sementara yang menggigit anjing tetangga kita yang tidak dikenal masyarakat luas? Menteri dikejar anjing saja sudah menjadi berita, apalagi sampai digigit.

Berita selalu dipahami sebagai sebuah peristiwa yang sudah terjadi. Bagaimana jika peristiwanya belum terjadi, tetapi justru diminati pembaca, penonton atau pemirsa? Coba Anda membuka halaman olah raga, sepak bola terutama. Ketika akan terjadi pertandingan dua klub, koran akan mengulas dan memberitakan berkaitan dengan pertandingan dua klub itu disertai dengan data-data head to head pertemuan keduanya. Bagaimana dengan kasus ini? Pertandingannya belum terjadi, tetapi berita sudah muncul. Inilah kecenderungan baru juga dalam proses pembuatan berita yang layak diketahui juga.

Itu semua menunjukkan adanya revolusi yang besar-besaran dalam jurnalisme. Sejauh litaretur buku yang saya baca, tak banyak, untuk tak menyebutnya tidak ada, buku-buku yang membahas jurnalisme baru sebagai sebuah dampak perkembangan teknologi komunikasi dan tuntutan zaman. Umumnya, buku-buku jurnalisme selama ini membahas sisi jurnalisme secara klasik. Inilah pentingnya buku ini perlu hadir.

Buku ini terdiri dari empat bagian, dan ini juga menjadi prosedur memahami dan membacanya. Sebagai pendahuluan, pembaca diarahkan untuk memahami beragam definisi jurnalisme, ruang lingkup kajian dan kajian ilmiah jurnalisme. Ini secra sederhana dimaksudkan agar pembaca mengetahui bagaimana ranah (wilayah) kajian jurnalisme. Juga agar tidak dibuat bingung mengapa dalam kajian jurnalisme dikaji pers, (media massa), jurnalis dan segala seluk beluk yang berkaitan dengannya.

Bagian pertama mendiskusikan tentang konsep-konsep penting dalam jurnalisme. Di sinilah pembaca mulai diarahkan untuk mengetahui adanya perubahan terus menerus yang terjadi dalam wilayah kajian jurnalisme. Tentang elemen-elemen jurnalisme yang pernah dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dijadikan sandarannya. 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan mereka relatif baru dalam kajian jurnalisme di Indonesia, sebuah elemen yang melihat dari perspektif yang berbeda disertai contoh kongkrit jurnalisme di Indonesia. Tak terkecuali dengan objektivitas dan nilai berita yang dibuat agar “Indonesia banget”. Sementara itu, sejarah penting diketahui untuk melihat proses perkembangan pers dan jurnalisme yang menjadi konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Sejarah juga menunjukkan pada kita, ada banyak variabel yang ikut menentukan perkembangan jurnalisme di dunia ini, baik menyangkut jurnalis, pemerintah dan teknologi.

Bagian kedua mengkaji khusus tentang jurnalis. Apakah jurnalis selama ini bisa digolongkan sebagai seorang ilmuwan atau hanya orang yang memindahkan fakta-fakta di lapangan ke dalam medianya? Pembahasan ini menantang pembaca untuk mengetahui lebih lanjut. Jurnalis karena bekerja berdasarkan profesionalisme maka ia tidak bisa lepas dari kompetensi. Dengan kompetensi inilah, kerja jurnalis akan lebih berkualitas. Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami realitas ini. Agar ketika menjadi jurnalis ia bisa mempraktikkannya di dunia kerja. Untuk mencapai kompetensi, pendidikan jurnalisme menjadi penting keberadaannya. Hanya saja pendidikan jurnalisme baru menciptakan jurnalis siap latih dan belum siap pakai. Untuk itulah, dibahas pentingnya pelatihan, short course atau pendidikan dan latihan (Diklat) untuk mempersiapkannya. Tak terkecuali dengan pentingnya keberadaan lembaga-lembaga independen pemberi pelatihan seperti Antara dan Pantau.

Bagian ketiga, dikemukakan munculnya era jurnalisme baru yang menjadi tuntutan era modern. Tak terkecuali dikemukakan beberapa istilah penting yang selama ini dikenal dalam jurnalisme, tetapi belum ada yang membahas dalam buku. Disamping itu, ada juga jenis-jenis jurnalisme yang selama ini dikenal. Jenis ini meliputi genre kebijakan redaksional, proses penulisan dan proses peliputan berita.

Bagian terakhir mencaritakan kasus-kasus aktual yang melingkupi proses jurnalisme. Bagian ini penting dikemukakan agar pembaca mempunyai wawasan luas tentang kondisi mutakhir permasalahan jurnalisme di Indonesia. Kasus aktual tersebut meliputi dampak media yang sedemikian luas di masyarakat dan konflik kepentingan atas keberadaan UU Pokok Pers. Jika kita kembali ke sejarah pers dan jurnalisme seperti yang dikemukakan pada bagian awal buku ini, pembaca akan paham rentetan konflik kepentingan berkaitan dengan konflik kepentingan. Misalnya, dalam sejarah diceritakan adanya kebijakan persbreidel ordonantie yang direinkarnasi menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Konflik kepentingan juga berkait dengan keberadaan KUHP. Di sinilah pemahaman tentang konflik yang mengitari UU Pokok Pers perlu ditempatkan dan dipahami.

Tentu saja, berkaitan dengan pembahasan dalam buku yang sudah dikemukakan dalam pengantar ini sasaran utama pembacanya adalah mahasiswa komunikasi tingkat lanjut. Mengapa? Sebab, pembahasan lebih menitikberatkan pada pemahaman mendalam konseptual tentang jurnalisme. Di perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan komunikasi mahasiswa semester awal sudah dibekali dengan mata kuliah dasar-dasar jurnalistik, teknik penulisan dan peliputan berita. Buku ini akan melihat peluang kajian teoritis disertai contoh kongkrit dari ranah yang selama ini belum digarap mata kuliah sebelumnya. Bahkan, buku ini melihat pangsa pasar yang juga belum digarap oleh buku-buku jurnalisme yang lain.

Disamping mahasiswa pengambil mata kuliah Jurnalisme, sasaran pembacanya juga masyarakat umum, wartawan dan peminat kajian jurnalisme. Untuk itu pulalah bebagai contoh aktual disertai pembahasan yang ilmiah populer disajikan dalam buku ini. Bahkan dalam beberapa bab diungkap sebuah cerita untuk membuka pemahaman awal tentang permasalahan yang akan dikaji.

Maka, sangat beralasan jika buku ini diberi judul Jurnalisme Masa Kini. Ia bukan saja menunjuk dan memberikan sebuah perspektif baru dari mata kuliah Jurnalisme, namun disesuaikan dengan sasaran yang lain. Jurnalisme Masa Kini dipahammi sebagai kajian baru yang layak diketahui oleh pembaca berkaitan dengan proses peliputan, pengemasan, penulisan, dan penyajian berita. Masa kini juga berarti kajian yang terkini. Jadi, judul buku ini bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi karena realitas yang dikaji memang demikian. Jurnalisme Masa Kini juga akan menjadi daya tarik tersendiri masyarakat umum untuk membacanya. Jadi, jangan sampai ada kesan buku teks kuliah an sich. Beberapa buku-buku kuliah yang pernah saya buat memberikan pemahanan, bahwa tulisan ilmiah saja tidak cukup kuat bersaing di pasaran. Ilmiah populer menjadi hal yang niscaya dilakukan. Pengalaman menulis artikel yang saya lakukan sejak tahun 1991, memberikan banyak pelajaran.


https://docs.google.com/document/d/1P8ePDLvLrGw9QX_u0gVptdhAsCo_Mpspotyj-ZGYJmU/edit?usp=sharing Readmore »»

Jumat, Mei 08, 2009

Kembalikan Fitrah Kiai Kepada Kami

Oleh Nurudin
Sumber: Harian Kompas, 8 Mei 2009
Tidak ada pihak yang paling bersedih pasca Pemilu legislatif 2009, kecuali kiai. Mereka yang sebelum pemilihan ikut hiruk pikuk mendukung salah satu calon atau partai politik, saat ini seperti hilang ditelan bumi. Wajah-wajah mereka yang beberapa waktu lalu menghiasi baliho, spanduk atau media massa sudah tidak ada lagi. Para legislatif yang sudah jadi berkat dukungannya juga mulai memalingkan mata. Apalagi, jika partai yang didukungnya tidak mendapat suara yang signifikan. Para elite politik juga jalan sendiri, tanpa mau minta nasihat, untuk tak mengatakan menghiraukan suara kiai.

Sudah banyak ulasan, kritikan atas peran atau keikutsertaan mereka dalam politik. Tetapi, para kiai itu memang punya pertimbangan sendiri dalam dukung mendukung kekuasaan politik. Karena politik, siapa yang menang akan mendapat sanjungan, tetapi kalau kalah akan dikritik habis-habisan. Kiai ikut mendukung politik bisa karena memang ingin meluruskan sesuatu yang dianggap bengkok, atau merasa masih punya kekuasaan/kharisma dalam memengaruhi pemilih. Kebanyakan, yang kedua inilah yan dijadikan dasar untuk terlibat dalam politik.

Secara kewibawaan, kiai yang terlibat dalam politik jelas rugi. Sebab, ia sudah dianggap “berpelepotan lumpur” politik. Petuahnya tidak lagi mempan, paling tidak dimata mereka yang tidak didukung oleh para kiai itu. Sebagai panutan, jelas ia semakin kehilangan jamaah, hanya karena perbedaan politik.
Keterlibatan kiai dalam politik memang faktor sejarah. Dalam kerajaan Islam di Jawa tidak secara tegas dipisahkan antara urusan negara (sultan) dengan urusan agama (kiai). Pemisahan itu justru memperkokoh posisi kiai, karena banyak masalah sosial kemasyarakatan yang merupakan bagian dari kebaragamaan seseorang harus ditangani kiai. Dalam sejarah perjuangan bangsa, kiai dipahami sebagai pusat kekuatan sosial politik yang perannya tidak bisa diabaikan sebagai “pahlawan nasional” (Suprayogo, 2007).

Masalahnya, keterlibatan mereka dalam politik tujuannya jelas, yakni mengusir penjajahan. Mereka akan ditokohkan karena masyarakat akan mendukung sepenuhnya. Mereka akan menjadi pahlawan, menang atau kalah dalam “pertempuran”. Tetapi, untuk keterlibatan politik dalam Pemilu, itu soal lain. Ia berurusan dengan heterogenitas kepentingan di masyarakat dengan berbagai ambisi dan keinginan. Dukungan mereka terhadap seseorang atau kelompok justru akan menyakiti pihak lain yang tak didukungnya. Akibatnya, dampak dari fatwanya tidak akan lagi bisa menyentuh seluruh lapisan masayarakat, karena kecurigaan kiai itu telah berpihak. Lihat bagaimana popularitas KH Zainuddin MZ pasca ikut dukung mendukung dalam politik praktis?

Kesalahan Sejarah
Kiai, sebenarnya punya beberapa peran, yakni sebagai pemuka agama, pelayan sosial, dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (sholat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan. Sebagai palayan sosial ia dijadikan tempat bertanya pengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan dan sebagai orang yang dituakan. Dalam politik, ia akan memainkan peran yang terkait kepentingan umum ke berbagai saluran politik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keterlibatan kiai dalam politik bisa jadi “kesalahan sejarah”. Kiai adalah atribut yang diberikan masyarakat atas peran dan kemampuannya dalam bidang keagamaan. Itulah mengapa, para politisi tidak bisa disebut dengan kiai karena mereka tidak punya legitimasi berbicara tentang keagamaan. Keterlibatan kiai dalam politik adalah darurat. Yakni ikut mengubah nasib bangsa ini, khususnya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Jika politik dalam keadaan tidak darurat, kiai tidak perlu berperan banyak. Ia justru punya tugas berat mendidik, mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai kaidah agama. Sebab, agama adalah sumber moral paling penting bagi kehidupan umat manusia.

Tetapi, kenyataan ini tidak gampang diwujudkan. Ada banyak syahwat kiai untuk terlibat dalam politik. Dari alasan meluruskan yang kurang pas, sampai ikut-ikutan saja. Sementara itu, keluguan politik kiai justru menjerumuskan dirinya untuk terperosok ke dalam politik praktis yang penuh kepentingan. Politik adalah dunia yang penuh dengan manipulasi, trik, menghalalkan segala cara, dan berorientasi pada tujuan. Sementara itu, dunia kiai bukan dunia yang seperti itu.
Kalaupun ia ingin mengubah, bukan kebaikan yang diterimanya, tetapi justru ikut belepotan keburukan yang selama ini ada dalam dunia politik. Ia akhirnya akan membentur batu karang yang tak mudah untuk dipecahkan. Makanya, siapapun kiai yang terlibat di dalam politik ia harus siap menanggung “dosa-dosa” politik. Kalaupun tetap punya jamaah, sangat mungkin akan berkurang.

Kembalikan sang "Pamomong"
Apa yang harus dilakukan? Pertama, biarlah urusan politik diurusi oleh para politisi. Sebagai sosok yang ditokohkan bahkan pewaris ajaran nabi, kiai harus mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Para kiai seyogyanya menjadi inspirasi dan sosok panutan seluruh umat manusia. Bahkan yang berbeda agama sekalipun. Jika ia terlibat politik, posisi sebagai rahmat bagi seluruh alam akan berubah menjadi rahmat bagi kelompok tertentu.

Kedua, kiai tidak boleh percaya begitu saja pada omongan para politisi. Berapa banyak kiai yang dirugikan dengan omongan para politisi? Berapa banyak para kiai yang awalnya mendukung PKB akhirnya berubah haluan mendukung PKNU? Bukankah itu karena alasan kekecewaan pada elite politik dalam partai yang berlogo bumi dan tali jagat itu?

Ketiga, masyarakat sekarang sudah semakin jenuh dengan politik. Peningkatan angka Golput menjadi bukti keengganan mereka untuk ikut hiruk pikuk dalam politik. Masyarakat membutuhkan sosok yang teduh, ngayomi dan bisa dijadikan suri teladan untuk kemaslahatan umat. Sosok seperti itu ada pada kiai. Tetapi, kiai di sini tentu saja kiai yang tidak banyak terlibat dalam politik praktis.

Kiai adalah sumber inspirasi rakyat yang tiada habisnya. Kiai adalah sosok yang terus dan selalu hadir ketika rakyat mengalami kebingungan, tiadanya haluan, dan kehilangan sosok panutan. Maka, “Kembalikan fitrah kiai kepada kami”.


Nurudin, staf Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Sumber: Harian Kompas Jatim, 8 Mei 2009
Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics