Senin, Oktober 21, 2013

Involusi Perubahan Politik

Masyarakat kita akhir-akhir ini dibuat bingung dengan merebaknya kasus-kasus politik yang muncul silih berganti. Dengan kata lain, belum selesai sebuah kasus diproses atau diputus pengadilan sudah muncul kasus lain yang susul-menyusul. Ini belum termasuk proses perubahan dinamika politik menjelang Pemilu 2014.
Untuk menyebut contoh coba kita cermati lebih serius pemberitaan di media massa (cetak dan elektronik). Belum lagi kasus Century, Kasus konflik Partai Demokrat yang melibatkan MN,  AM dan AU tertangani,  sudah muncul kasus tangkap tangan Akil Mochtar (mantan ketua Mahkamah Konstitusi). Itu belum termasuk penyelesaian kasus Korupsi Kolusi dan nepotisme (KKN) yang menimpa dinasti Ratu Atut (Gubernur Banten).
Masyarakat bisa jadi bertanya, mengapa sampai begitu? Mengapa pula kasus-kasus itu muncul silih berganti menjelang Pemilu? Apa memang data-data yang terungkap baru ditemukan? Jawaban sederhana adalah karena semua itu kasus politik, sehingga ada kepentingan politik pula yang mengitarinya.
Readmore »»

Rabu, September 18, 2013

Vicky Prasetyo itu Cermin Wajah Kita

        Di tengah kemuakan atas intrik-intrik politik perebutan kekuasaan, kasus korupsi  yang kian merajalela, kepentingan rakyat yang kian terhambat penyalurannya muncullah Vicky Prasetyo. Orang yang bernama asli  Hendrianto itu langsung mendapat  perhatian luas masyarakat. Tidak saja di media sosial dan televisi, bahkan  bahasa khas yang digunakannya ditiru oleh masyarakat.  Kata-kata pilihan khasnya “statusisasi”, “labil ekonomi” atau “konspirasi”.   Orang boleh menggungat sikap “sok intelek”-nya , namun jangan lupa wajah Vicky itu bisa jadi cermin wajah kita sendiri.

Parodi kemunafikan
Sebenarnya, Vicky Prasetyo  bisa disejajarkan dengan pelawak intelek negeri ini. Ia telah membuat banyak orang terhibur bahkan secara alamiah dan tidak dibuat-buat. Melalui keluguan gayanya ia sebenarnya telah menyentak kesadaran banyak orang. Bahwa ada banyak hal yang hasih perlu dilakukan untuk negeri ini daripada sekadar saling menyalahkan dan saling mempertontonkan kebodohan.
Readmore »»

Senin, September 16, 2013

Posisi Dilematis Jokowi


Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) sedang menduduki posisi dilematis. Bersama dengan Ahok (Basuki Tjahaja Utama) dia sangat popular dengan program-programnya yang merakyat.  Bahkan anggota DPR pun dilawannya kalau memang hanya berbeda pendapat, bukan mencari solusi bersama membangun Jakarta.  Namun demikian, popularitas dia bukan tanpa masalah. Jokowi justru dimanfaatkan tidak saja oleh pendukungnya yang mempunyai kepentingan tertentu, tetapi juga oleh lawan-lawan politiknya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi-Ahok menduduki posisi Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub) atas dukungan partai politik (Gerindra dan PDI-P). Sejak mereka menduduki jabatan barunya, mereka sebenarnya  sudah menjadi milik publik. Namun demikian, karena alasan hutang budi, Jokowi tidak akan bisa memandang sebelah mata pada partai pengusungnya. Partai memanfaatkan popularitas Jokowi untuk ikut dukung-mendukung dalam perebutan kekuasaan. 
Readmore »»

Sabtu, September 14, 2013

Catatan Lebaran yang Tersisa: Lebaran 2013 Bersama “Caleg Jalanan”

Mudik lebaran tahun 2013 sangat berbeda dengan lebaran-lebaran tahun sebelumnya. Rutinitasnya bisa jadi sama; silaturahmi, pulang kampung halaman, mengenang masa lalu, meminta doa  orang tua dan kerabat serta kegiatan kuliner. Namun demikian, ada pemandangan lain yang mengusik mereka selama mudik lebaran.

Kalau kita amati di jalanan, mulai Anda keluar dari kota domisili menuju kampung halaman banyak terlibat spanduk, baliho, dan stiker ucapan lebaran dari para Calon Legislatif (Caleg) dan kandidat kepala daerah. Informasi yang mengganggu itu tentu saja pasti dipenuhi dengan foto disertai dengan  ucapan, doa, dan pengingat nomor urut sang kandidat.  Seolah mereka itu sangat peduli dalam memberikan dukungan dan perlindungan bagi para pemudik. Pemandangan yang unik dan khas untuk mengenalkan sebuah “produk” bernama Caleg, namun cukup mengganggu kenyamanan para pemudik.
Readmore »»

Rabu, Juni 26, 2013

Artis Jadi Pejabat dan Gagalnya Kaderisasi Parpol


Saat ini, Partai Politik (parpol) mulai memilah dan memilih siapa yang akan dimasukan ke daftar Calon Anggota Legislatif (Caleg). Konflik yang melanda Partai Demokrat itu dan “tunduknya” DPD dan DPC pada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) juga tak lepas dari kepentingan tersebut.
Yang menarik adalah banyak artis yang putar haluan untuk menjadi politikus. Entah karena artis itu yang berminat atau parpol  merasa membutuhkan karena kemampuan artis menarik simpati massa.  
Readmore »»

Menyoal Kualitas Legislator

Tidak ada sorotan paling tajam yang ditujukan pada anggota dewan saat ini kecuali akibat disahkannya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dari sikap anggota dewan itu, masyarakat layak untuk menilai bagaimana kualitas anggota dewan kita. Lebih tepatnya, bagaimana kualitas calon legislator menjelang Pemilu 2014. Ini penting dilakukan agar kekecewaan masyarakat tidak mengalami eskalasi.
Artikel ini bukan soal mendukung dan tidak mendukung kenaikan harga BBM. Sebab, menolak dan mendukung kenaikan BBM sudah dipolitisi elit politik tertentu, khususnya anggota dewan denga bendera Partai Politik(Parpol)-nya. Mereka menolak atau mendukung karena ada kepentingan pragmatis dibaliknya, bukan soal membela atau tidak membela kepentingan rakyat.
Readmore »»

Senin, Juni 24, 2013

Menguatnya Pragmatisme Elite Politik


Saat ini, banyak partai politik (parpol) yang sudah sibuk untuk membuat Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif. Seperrti biasanya, banyak cara dilakukan entah dengan merekrut artis, meminang calon politisi yang mapan secara ekonomis sampai mengangkat anggota keluarganya sendiri. Itu semua dilakukan untuk memenangkan kompetisi politik lima tahunan tersebut.
Bahkan, ada juga politisi “kutu loncat” yang berpindah dari satu parpol ke parpol yang lain. Itu semua dilakukan untuk meraih kekuasaan, seperti halnya tujuan parpol itu sendiri. Karenanya, yang penting lolos atau menang menjadi tujuan utama, tak jarang berbagai macam cara pun dilakukan. Namanya saja kegiatan politik yang berorientasi pada kekuasaan.
Readmore »»

Kerusuhan Suporter Sebagai Katarsis Sosial

Ada ungkapan yang nyaris diyakini kebenarannya, “Tak ada sepakbola Indonesia tanpa kerusuhan”. Sejak dahulu hingga kini, baku hantam antar pemain, pemain dengan wasit, pemain dengan suporter atau antar suporter seolah sudah menjadi jamak. Setelah kerusuhan antara Bonex dengan Arema, beberapa waktu lalu baku hantam melanda  Derby Yogya antara suporter PSIM dengan PSS Sleman.
Ketika ada kerusuhan, biasanya yang disalahkan melulu hanya suporter, panitia pelaksana, atau kurangnya sportivitas pada diri para pemain. Lalu, komisi disiplin menjatuhkan sanksi tertentu yang tidak lepas dari subjektivitasnya. Jadilah, kerusuhan dan penyelesaiaanya hanya berkutat pada lembaga atau badan yang berkait erat dengan sepak bola tersebut.
Readmore »»

Gagalnya Kudeta dan Soal Komunikasi Politik

Isu kudeta yang bergulir cepat sebagaimana dikatakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tidak terjadi, tetapi dampak dari pernyataan presiden itu layak untuk didiskusikan lebih lanjut.  Ini penting dilakukan agar masyarakat tahu kenyataan sesungguhnya kenapa presiden  membuat pernyataan seperti itu.
Ada yang mengatakan, pernyataan presiden bahwa tanggal 25 Maret 2013 akan terjadi penggulingan dirinya berlebihan. Sementara, pernyataan itu membuat aparat keamanaan siaga satu di bebagai tempat, terutama di Jakarta. Demonstrasi besar-besaran yang diduga akan dilakukan, ternyata tidak terjadi.
Ada banyak pendapat yang bermunculan soal gagalnya kudeta tersebut. Misalnya, itu hanya  kecemasan presiden menanggapi konstelasi atau propaganda politik menjelang Pemilu.   Karena presiden itu jabatan politik, pernyataan yang diungkapkan juga  harus ditanggapi dalam bingkai komunikasi politik.
Readmore »»

Sabtu, Mei 25, 2013

Hidup Ini Terus Berubah, Segeralah Menulis

Spencer Johnson dalam bukunya Who Moved My Cheese? sungguh telah menggugah orang untuk memahami bahwa perubahan merupakan hal terpenting dalam hidup ini. Dia bahkan sempat mengatakan, “Jika Anda tidak berubah, Anda akan punah”.  Ini sama dengan pendapat pakar marketing Hermawan Karjajaya bahwa hanya ada dua hal yang bisa mendorong kita untuk maju, yakni perubahan (changing) dan perbedaan (difference).
Dalam bukunya yang termasuk best seller  tersebut, sebenarnya Johnson hanya bercerita saja. Tetapi, ceritanya sungguh punya enerji kuat yang bisa memengaruhi kehidupan seseorang. Dengan kata lain, punya enerji yang mampu merangsang dan menggerakkan orang untuk berbuat yang lain dari biasanya.
Ceritanya, ada empat tokoh yang sedang terlibat dalam pencarian cheese  (keju) di sebuah Labirin. Empat tokoh itu diperankan oleh Hem (kaku), Haw (aman), Sniff (endus) dan Scurry (lacak).  Hem dan Haw adalah dua kurcaci yang pintar dengan otaknya hampir seperti manusia saat ini. Sedangkan   Sniff dan Scurry adalah hanya dua ekor tikus. Keempat makhluk ini dengan caranya masing-masing berkompetisi mencari cheese.
Readmore »»

Saatnya Public Relations, Bukan Periklanan

Dalam bukunya yang sangat bombastis, The Fall of Advertising and the Rise of PR, Al Ries & Laura Ries mengatakan, saat ini era periklanan sudah mati. Yang muncul kemudian adalah era  PR. Anda misalnya, tidak dapat lagi meluncurkan merek baru dengan iklan semata, sebab iklan tidak punya kredibilitas. Anda hanya dapat meluncurkan produk baru dengan PR.
         Mengapa? Dengan PR, Anda bisa menyampaikan kisah kepada pihak ketiga. Selain itu, PR lebih memberikan persepsi positif daripada kampanye iklan. Tak heran, jika semakin banyak iklan, semakin muak masyarakat. Merek-merek besar saat ini pun dibangun karena kejelian dan kelihaian dalam merencanakan kampanye PR. Artinya, dalam membangun merek sebuah produk tidak cocok lagi digunakan iklan semata. Iklan membutuhkan PR. Sedangkan PR tidak harus membutuhkan iklan.

Readmore »»

Mengenal Bentuk-bentuk Tulisan


“Pada suatu malam, beberapa orang tukang becak menemukan bungkusan plastik berisi daging merah. Karena gembira mendapat rezeki nomplok, mereka bersama-sama menggoreng daging itu; setelah menaburkan garam dan sedikit bumbu. Goreng daging tercium gurih. Mungkin karena terlalu banyak lemak, goreng daging itu mengecil. Mereka heran melihat ada secuil kapas menempel. Tetapi setelah kapas dibuang, mereka bersama-sama menikmati daging itu. Dengan lahap.
Mereka tertidur lelap di emperen warung, sampai pagi hari – ketika seorang tak dikenal membangunkan mereka. Ia bertanya apakah ada di antara abang-abang becak itu yang menemukan bungkusan plastik. “Semalam, “kata orang itu, “Saya pulang dari rumah sakit. Saya singgah di warung ini sebentar. Saya membawa potongan daging. Sebenarnya bukan daging, tetapi kepingan tumor daging tumbuh. Saudara saya baru dioperasi tadi malam.

Readmore »»

Sistem Pers Indonesia

Setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri dikarenakan perbedaan dalam tujuan, fungsi dan latar belakang social politik yang menyertainya. Akibatnya berbeda dalam tujuan, fungsi dan latar belakang munculnya pers, dan tentunya pula, berbeda dalam mengaktualisasikannya. Nilai, filsafat hidup dan ideologi suatu negara juga telah berperan besar dalam mempengaruhi sebuah pers. Ini juga berarti bahwa sistem yang dikembangkan juga berbeda, termasuk di dalamnya adalah sistem persnya. Erat kaitannya dengan itu, pola hubungan segi tiga antara pemerintah, pers dan masyarakat juga berbeda. Salah satu alasan kenapa kita perlu mempelajari berbagai macam sistem pers adalah untuk mengetahui sekaligus melakukan  perbandingan antar sistem pers. Disamping itu pula agar kita menjadi lebih tahu  dimana posisi sistem pers Indonesia.
Readmore »»

Emoticon, Pesan Verbal atau Non Verbal?

Kalau kita aktivis media sosial, ada banyak simbol-simbol tulisan yang sering dibaca. Misalnya saja LOL. Ternyata ia dingkatan dari Laughing Out Loud (ketawa ngakak). Dalam kajian Ilmu Komunikasi ada dua jenis pesan, verbal (lisan dan tulisan), dan non verbal (gerak isyarat, bahasa tubuh dll). Emoticon masuk dalam pesan verbal atau non verbal? Dari pengelompokan dua jenis pesan di atas kita bisa menduganya.

Berikut contoh Emoticon yang dimaksud:

Readmore »»

Selasa, April 30, 2013

Ekonomi Politik Media Menjelang Pemilu

Media Massa di Indonesia mulai menggeliat lagi menjelang Pemilu. Itu tak lain karena peristiwa politik ikut menentukan dinamika masyarakat. Lihat saja, politik juga telah ikut membuat harga bawang naik drastis. Politik juga membuat media massa kita mempunyai motivasi untuk memberitakan, entah mendorong ke arah kemajuan atau sebaliknya. Intinya, media massa mulai bergairah lagi justru ketika politik sudah berkoalisi dengan ekonomi media massa.



Dari Ekonomi ke Politik Media

Dengan memakai kajian pendekatan ekonomi politik media, kegairahan media massa Indonesia tidak bisa dipungkiri.  Isi media sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar media. Bagaimana isi media diproduksi, bagaimana kebijakan media dijalankan atau bagaimana media massa menjalankan fungsinya ditentukan oleh kekuatan ekonomi politik tadi.

Selama ini kita mengakui bahwa  pemilik media, moda,l dan pendapatan media dianggap menentukan bagaimana isi media. Ia ikut menentukan arah media; bagaimana berita dipilih dan bagaimana tampilannya. Namun demikian, faktor politik menjelang Pemilu membuat kekuatan politik lebih menjadi faktor dominan. Ini tentu tidak mengingkari keberadaan kekuatan ekonomi media.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa media bekerja karena memang ada fakta-fakta di lapangan. Jika dilapangan ada fakta-fakta X, maka berita media massa juga fakta tersebut. Ini memang hukum pembuatan berita. Berita ada karena fakta ada.

Itulah kenapa berita-berita politik seringkali tampil di media massa karena fakta-fakta politiklah yang banyak terjadi. Ini tidak berarti bahwa media ekonomi tidak terpengaruh. Berita ekonomi tentu akan menyorot sisi ekonomi akibat peristiwa politik. Jika demikian, peristiwa politiklah yang tetap menjadi bahan utama.
Melihat kuatnya pengaruh politik atas media, media perlu lebih hati-hati untuk tak terseret arus. Sebab, semua partai politik dan elit politik sedang membangun wacana yang diharapkan bisa disebarkan melalui media.

Bagaimana bentuk campur tangan elit politik pada media? Elite politik atau katakanlah seorang kandidat bisa “membeli” media massa. Di negara yang tingkat demokrasinya belum dewasa seperti Indonesia hal demikian sangat mungkin terjadi. Di Amerika yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi pun, campur tangan para kandidat pada media massa sedemikian besarnya.

Pada tahun 1996, Kongres Amerika Serikat pernah memberikan dana sebenar 10 juta dollar kepada jaringan media massa dunia. Sementara itu, beberapa milyar dollar untuk jaringan media besar yang lain. Karena memberikan dana, pemerintah mengikatnya dengan meminta dukungan kebijakan. Lihat saja, pada tahun 2003, ada legitimasi yang memungkinkan media raksasa melakukan monopoli sebagaimana  disahkan oleh Komisi Hukum Federal Amerika Serikat.

Tidak itu saja, saat ini pasar media berada digenggaman  tujuh perusahaan multinasional diantaranya Disney, Sony, Rime Warber, Viacom, Vivendi, News Corporation dan Berstelsmann. Ketujuh perusahaan itu menguasai hampir 90 persen pasar media (buku, film, majalah, kanal televisi dunia). Bagaimana jika perusahaan-perusahaan itu digunakan secara politis dengan membeli media massa untuk keuntungan para elite politik atau kandidat? Hasilnya sudah bisa bisa diduga.

Tekanan Elit Politik
Campur tangan elit politik ke dalam media juga semakin  transparan. Meskipun tidak ada bukti konkrit, pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Anas Urbaningrum (AU) memfokuskan diri pada masalah hukum menjadi bukti. Waktu itu AU belum ditetapkan sebagai tersangka, tetapi ada kesan yang berkembang bahwa SBY mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menetapkan AU tersangka.

Jika tidak ada kesengajaan, SBY tidak perlu mengatakannya kepada media, tetapi langsung meminta KPK. Tetapi mengapa itu dilakukan? SBY minta tolong media massa untuk ikut mendesak. Buktinya, media massa sangat ampuh untuk memengaruhi keputusan KPK. Bahkan bocornya Surat Perintah Penyidikan (Spindik) bisa bocor ke media. Kasus di atas hanya salah satu contoh bagaimana tekanan elit politik terhadap kebijakan media massa.

Bahkan bisa dikatakan, partai politik yang menjadi pemenang Pemilu sebenarnya bukan karena partai itu bisa menang, tetapi kemenangan media massa. Bagaimana mungkin sebuah partai politik beserta program-programnya bisa “dipasarkan” ke publik kalau tidak ada media massa yang ikut “memasarkannya”? Hanya, tidak banyak pihak yang mengakui media punya andil besar dalam pemenangan partai politik atau seorang kandidat.  

Menjelang Pemilu, kasak kusuk elit politik sudah semakin transparan. Entah kemampuan mereka membuat opini publik yang nanti disiarkan media massa atau terang-terangan “membeli” jam tayang atau berita. Membangun opini publik misalnya dengan mengatakan “Saya tidak korupsi”, “Saya tidak terlibat”, atau “Saya berani sumpah”. Kata-kata ini sekadar membangun opini publik yang diharapkan media massa ikut menyebarkannya. Anehnya, media massa justru ikut terlibat dukung mendukung pihak-pihak tertentu yang bertikai. Lihat saja, bagaimana kecenderungan berita atau pemilihan nara sumber yang dikemukakan media massa.

Karena media massa punya kekuatan ampuh, ia tidak boleh terjebak pada skenario elit politik. Justru media harus berusaha untuk meliput sesuatu yang tidak ada di permukaan. Politik bukan sesuatu yang dikatakan, tetapi justru yang tidak dikatakan.

Maka, mengungkap “berita dibalik berita” menjadi pilihan cerdas. Soal bagaimana pengaruh berita media pada masyarakat, serahkan kepada publik. Kalau tidak, media akan terus menjadi tertuduh sebagai lembaga yang mewakili kepentingan kelompok elit politik tertentu.

by: Nurudin
          Sumber: Harian Kontan,  27 April 2013


Type rest of the post here Readmore »»

Media Massa dan Debat Cagub


Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) hampir mengalami setback (mangkah mundur). Setidaknya ketika Gubernur Jateng Bibit Waluyo (calon incumbent) mengusulkan agar tidak perlu ada debat kandidat Calon Gubernur (Cagub). Untung saja, hal itu tidak direspon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah. KPU bersikeras tetap melaksanakan debat kandidat dengan alasan itu legal diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 32/2004 tentang Pemerintah daerah dan Peraturan KPU nomor 9/2012. Sementara alasan Cabug incumbent itu karena alasan normatif, dia gubernur yang sudah punya program yang dilaksanakan, sementara kandidat lain belum punya. Dia menganggap debat itu tidak adil karena bisa jadi menguntungkan dirinya.
Readmore »»

Opini Publik Sebagai The Fifth Estate

Dalam kurun waktu lama, masyarakat kita telah dibuai dengan opini publik (public opinion). Artinya, kecenderungan perilaku, kepercayaan atas sebuah kejadian sampai “penghakiman” atas peristiwa didasarkan pada opini publik. Dengan contoh yang lebih konkrit bisa dikatakan begini, masyarakat kita percaya bahwa Anas Urbaningrum benar-benar sebagai tersangka atau tidak atas kasus Hambalang tergantung dari opini yang berkembang. Ibas ”dihakimi” diduga menerima uang 200 ribu dollar AS juga tak jauh berbeda.

Readmore »»

Literasi Media Menjelang Pemilu

Tidak bisa dipungkiri kalau media massa telah berjasa dalam memberitakan dinamika politik menjelang Pemilu. Politik menjadi hiruk pikuk bak pesta para politisi. Sementara masyarakat menontonnya dari luar ruangan. Namun demikian, tanpa disadari hiruk pikuk yang dikonstruksi media massa tersebut justru tidak mencerdaskan masyarakat.  Masyarakat (terutama penonton televisi) bisa jadi, menjadi semakin bingung mengapa tayangan politik banyak mengulas politisi  X secara positif, sementara untuk politisi Y diberitakan serba negatif.


Readmore »»

Rabu, April 24, 2013

Matikan Televisimu Jelang Pemilu

TELEVISI dan politik sama-sama dibutuhkan masyarakat. Saat ini dua instrumen itu memengaruhi segenap kehidupan masyarakat, apalagi menjelang pemilu. Politik berurusan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara atau bagaimana mengelola negara, sementara televisi menjadi daya tarik sebagai reflektor dinamika politik. Politik tanpa televisi ibarat keinginan tanpa nafsu, televisi tanpa politik ibarat makan pecel tanpa sambel. Televisi semestinya memediasi kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.


Kekuatan televisi itu kemudian justru dimanfaatkan (atau disalahgunakan) orang-orang tertentu untuk tujuan politik. Satu persoalan yang mencekam dari televisi ketika sudah ada koalisi dengan politik adalah soal isi atau kontennya. Bahasa dan tayangan yang ditampilkan televisi harus dipahami sarat kepentingan. Ini penting diketahui agar kita tidak "sakit hati" ketika menyaksikan tayangan televisi yang berat sebelah, memihak, atau memojokkan pihak-pihak tertentu.



Dalam kacamata Michael Foucault, bahasa tidak pernah netral, penuh dengan muatan-muatan tertentu. "Language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular group while excluding other" (Syahputra, 2013). Dengan kata lain, bahasa-bahasa, tayangan yang dihasilkan televisi tidak berdiri sendiri. Ada lingkup yang memengaruhi proses produksi pesan televisi. 


Readmore »»

Kudeta dan Media


Isu kudeta yang digulirkan elite politik dan disiarkan media massa ternyata mempunyai dampak yang luar biasa. Tidak saja para pejabat tinggi yang memberikan komentar menyangkal adanya kudeta itu, tetapi juga masyarakat yang harap-harap cemas.  Kecemasan masyarakat itu beralasan, harga kebutuhan sehari-hari, seperti bawang, melonjak naik, bagaimana jika terjadi kudeta? Pemikiran pragmatis memang, tetapi nyata terjadi.

Mencermati isu kudeta memang penting. Tetapi, isu itu tidak akan mempunyai harga sama sekali kalau tidak ada peran media. Dengan kata lain, menjadi penting dan berharga atau tidak isu kudeta itu sangat ditentukan bagaimana media mengemasnya. Mengapa media? Mengapa presiden perlu mengatakan bahwa ada sekelompok orang yang akan mengguncang pemerintahannya kepada media massa?

Readmore »»

Senin, Januari 14, 2013

Media Sosial Baru dan Rekayasa Komunikasi


     Political Wave, sebuah lembaga pemantau media sosial,  menemukan dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di media sosial sosial seperti Twitter, Facebook, YouTube, blog, forum dan situs-situs berita online tak kalah besar dibanding dukungan secara fisik. Lembaga itu juga mencatat  adanya gelombang yang terus meningkat yang merepresentasikan menguatnya dukungan masyarakat terhadap KPK.
Beberapa hashtag atau tagar yang pernah populer digunakan  adalah #SaveKPK, #PresidenKemana, #SaveNovel, #BersihkanPOLRI, #SavePolri dan  #TolakRUURevisiKPK.
Bahkan akun selebritis juga cukup aktif membicarakan topik itu   antara lain @addiems, @melaniesubono, @lukmansardi, @pandji dan @sudjiwotedjo. Itu berarti, banyak netizen yang mengirimkan pesan mengenai #SaveKPK lebih dari 4 kali, bahkan sampai puluhan kali, menandakan tingginya aspirasi masyarakat. Pesan mengenai #SaveKPK berpotensi menjangkau sekitar 9.433.741 netizen.

Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics