Selasa, April 30, 2013

Ekonomi Politik Media Menjelang Pemilu

Media Massa di Indonesia mulai menggeliat lagi menjelang Pemilu. Itu tak lain karena peristiwa politik ikut menentukan dinamika masyarakat. Lihat saja, politik juga telah ikut membuat harga bawang naik drastis. Politik juga membuat media massa kita mempunyai motivasi untuk memberitakan, entah mendorong ke arah kemajuan atau sebaliknya. Intinya, media massa mulai bergairah lagi justru ketika politik sudah berkoalisi dengan ekonomi media massa.



Dari Ekonomi ke Politik Media

Dengan memakai kajian pendekatan ekonomi politik media, kegairahan media massa Indonesia tidak bisa dipungkiri.  Isi media sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar media. Bagaimana isi media diproduksi, bagaimana kebijakan media dijalankan atau bagaimana media massa menjalankan fungsinya ditentukan oleh kekuatan ekonomi politik tadi.

Selama ini kita mengakui bahwa  pemilik media, moda,l dan pendapatan media dianggap menentukan bagaimana isi media. Ia ikut menentukan arah media; bagaimana berita dipilih dan bagaimana tampilannya. Namun demikian, faktor politik menjelang Pemilu membuat kekuatan politik lebih menjadi faktor dominan. Ini tentu tidak mengingkari keberadaan kekuatan ekonomi media.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa media bekerja karena memang ada fakta-fakta di lapangan. Jika dilapangan ada fakta-fakta X, maka berita media massa juga fakta tersebut. Ini memang hukum pembuatan berita. Berita ada karena fakta ada.

Itulah kenapa berita-berita politik seringkali tampil di media massa karena fakta-fakta politiklah yang banyak terjadi. Ini tidak berarti bahwa media ekonomi tidak terpengaruh. Berita ekonomi tentu akan menyorot sisi ekonomi akibat peristiwa politik. Jika demikian, peristiwa politiklah yang tetap menjadi bahan utama.
Melihat kuatnya pengaruh politik atas media, media perlu lebih hati-hati untuk tak terseret arus. Sebab, semua partai politik dan elit politik sedang membangun wacana yang diharapkan bisa disebarkan melalui media.

Bagaimana bentuk campur tangan elit politik pada media? Elite politik atau katakanlah seorang kandidat bisa “membeli” media massa. Di negara yang tingkat demokrasinya belum dewasa seperti Indonesia hal demikian sangat mungkin terjadi. Di Amerika yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi pun, campur tangan para kandidat pada media massa sedemikian besarnya.

Pada tahun 1996, Kongres Amerika Serikat pernah memberikan dana sebenar 10 juta dollar kepada jaringan media massa dunia. Sementara itu, beberapa milyar dollar untuk jaringan media besar yang lain. Karena memberikan dana, pemerintah mengikatnya dengan meminta dukungan kebijakan. Lihat saja, pada tahun 2003, ada legitimasi yang memungkinkan media raksasa melakukan monopoli sebagaimana  disahkan oleh Komisi Hukum Federal Amerika Serikat.

Tidak itu saja, saat ini pasar media berada digenggaman  tujuh perusahaan multinasional diantaranya Disney, Sony, Rime Warber, Viacom, Vivendi, News Corporation dan Berstelsmann. Ketujuh perusahaan itu menguasai hampir 90 persen pasar media (buku, film, majalah, kanal televisi dunia). Bagaimana jika perusahaan-perusahaan itu digunakan secara politis dengan membeli media massa untuk keuntungan para elite politik atau kandidat? Hasilnya sudah bisa bisa diduga.

Tekanan Elit Politik
Campur tangan elit politik ke dalam media juga semakin  transparan. Meskipun tidak ada bukti konkrit, pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Anas Urbaningrum (AU) memfokuskan diri pada masalah hukum menjadi bukti. Waktu itu AU belum ditetapkan sebagai tersangka, tetapi ada kesan yang berkembang bahwa SBY mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menetapkan AU tersangka.

Jika tidak ada kesengajaan, SBY tidak perlu mengatakannya kepada media, tetapi langsung meminta KPK. Tetapi mengapa itu dilakukan? SBY minta tolong media massa untuk ikut mendesak. Buktinya, media massa sangat ampuh untuk memengaruhi keputusan KPK. Bahkan bocornya Surat Perintah Penyidikan (Spindik) bisa bocor ke media. Kasus di atas hanya salah satu contoh bagaimana tekanan elit politik terhadap kebijakan media massa.

Bahkan bisa dikatakan, partai politik yang menjadi pemenang Pemilu sebenarnya bukan karena partai itu bisa menang, tetapi kemenangan media massa. Bagaimana mungkin sebuah partai politik beserta program-programnya bisa “dipasarkan” ke publik kalau tidak ada media massa yang ikut “memasarkannya”? Hanya, tidak banyak pihak yang mengakui media punya andil besar dalam pemenangan partai politik atau seorang kandidat.  

Menjelang Pemilu, kasak kusuk elit politik sudah semakin transparan. Entah kemampuan mereka membuat opini publik yang nanti disiarkan media massa atau terang-terangan “membeli” jam tayang atau berita. Membangun opini publik misalnya dengan mengatakan “Saya tidak korupsi”, “Saya tidak terlibat”, atau “Saya berani sumpah”. Kata-kata ini sekadar membangun opini publik yang diharapkan media massa ikut menyebarkannya. Anehnya, media massa justru ikut terlibat dukung mendukung pihak-pihak tertentu yang bertikai. Lihat saja, bagaimana kecenderungan berita atau pemilihan nara sumber yang dikemukakan media massa.

Karena media massa punya kekuatan ampuh, ia tidak boleh terjebak pada skenario elit politik. Justru media harus berusaha untuk meliput sesuatu yang tidak ada di permukaan. Politik bukan sesuatu yang dikatakan, tetapi justru yang tidak dikatakan.

Maka, mengungkap “berita dibalik berita” menjadi pilihan cerdas. Soal bagaimana pengaruh berita media pada masyarakat, serahkan kepada publik. Kalau tidak, media akan terus menjadi tertuduh sebagai lembaga yang mewakili kepentingan kelompok elit politik tertentu.

by: Nurudin
          Sumber: Harian Kontan,  27 April 2013


Type rest of the post here Readmore »»

Media Massa dan Debat Cagub


Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) hampir mengalami setback (mangkah mundur). Setidaknya ketika Gubernur Jateng Bibit Waluyo (calon incumbent) mengusulkan agar tidak perlu ada debat kandidat Calon Gubernur (Cagub). Untung saja, hal itu tidak direspon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah. KPU bersikeras tetap melaksanakan debat kandidat dengan alasan itu legal diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 32/2004 tentang Pemerintah daerah dan Peraturan KPU nomor 9/2012. Sementara alasan Cabug incumbent itu karena alasan normatif, dia gubernur yang sudah punya program yang dilaksanakan, sementara kandidat lain belum punya. Dia menganggap debat itu tidak adil karena bisa jadi menguntungkan dirinya.
Readmore »»

Opini Publik Sebagai The Fifth Estate

Dalam kurun waktu lama, masyarakat kita telah dibuai dengan opini publik (public opinion). Artinya, kecenderungan perilaku, kepercayaan atas sebuah kejadian sampai “penghakiman” atas peristiwa didasarkan pada opini publik. Dengan contoh yang lebih konkrit bisa dikatakan begini, masyarakat kita percaya bahwa Anas Urbaningrum benar-benar sebagai tersangka atau tidak atas kasus Hambalang tergantung dari opini yang berkembang. Ibas ”dihakimi” diduga menerima uang 200 ribu dollar AS juga tak jauh berbeda.

Readmore »»

Literasi Media Menjelang Pemilu

Tidak bisa dipungkiri kalau media massa telah berjasa dalam memberitakan dinamika politik menjelang Pemilu. Politik menjadi hiruk pikuk bak pesta para politisi. Sementara masyarakat menontonnya dari luar ruangan. Namun demikian, tanpa disadari hiruk pikuk yang dikonstruksi media massa tersebut justru tidak mencerdaskan masyarakat.  Masyarakat (terutama penonton televisi) bisa jadi, menjadi semakin bingung mengapa tayangan politik banyak mengulas politisi  X secara positif, sementara untuk politisi Y diberitakan serba negatif.


Readmore »»

Rabu, April 24, 2013

Matikan Televisimu Jelang Pemilu

TELEVISI dan politik sama-sama dibutuhkan masyarakat. Saat ini dua instrumen itu memengaruhi segenap kehidupan masyarakat, apalagi menjelang pemilu. Politik berurusan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara atau bagaimana mengelola negara, sementara televisi menjadi daya tarik sebagai reflektor dinamika politik. Politik tanpa televisi ibarat keinginan tanpa nafsu, televisi tanpa politik ibarat makan pecel tanpa sambel. Televisi semestinya memediasi kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.


Kekuatan televisi itu kemudian justru dimanfaatkan (atau disalahgunakan) orang-orang tertentu untuk tujuan politik. Satu persoalan yang mencekam dari televisi ketika sudah ada koalisi dengan politik adalah soal isi atau kontennya. Bahasa dan tayangan yang ditampilkan televisi harus dipahami sarat kepentingan. Ini penting diketahui agar kita tidak "sakit hati" ketika menyaksikan tayangan televisi yang berat sebelah, memihak, atau memojokkan pihak-pihak tertentu.



Dalam kacamata Michael Foucault, bahasa tidak pernah netral, penuh dengan muatan-muatan tertentu. "Language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular group while excluding other" (Syahputra, 2013). Dengan kata lain, bahasa-bahasa, tayangan yang dihasilkan televisi tidak berdiri sendiri. Ada lingkup yang memengaruhi proses produksi pesan televisi. 


Readmore »»

Kudeta dan Media


Isu kudeta yang digulirkan elite politik dan disiarkan media massa ternyata mempunyai dampak yang luar biasa. Tidak saja para pejabat tinggi yang memberikan komentar menyangkal adanya kudeta itu, tetapi juga masyarakat yang harap-harap cemas.  Kecemasan masyarakat itu beralasan, harga kebutuhan sehari-hari, seperti bawang, melonjak naik, bagaimana jika terjadi kudeta? Pemikiran pragmatis memang, tetapi nyata terjadi.

Mencermati isu kudeta memang penting. Tetapi, isu itu tidak akan mempunyai harga sama sekali kalau tidak ada peran media. Dengan kata lain, menjadi penting dan berharga atau tidak isu kudeta itu sangat ditentukan bagaimana media mengemasnya. Mengapa media? Mengapa presiden perlu mengatakan bahwa ada sekelompok orang yang akan mengguncang pemerintahannya kepada media massa?

Readmore »»

Twitter

Followers

Statistik

Adakah nama Anda di sini?


 

Google Analytics