Penonton televisi Indonesia, akhir-akhir ini disuguhi berita “serial” tentang kasus Marcella Zalianty Vs Agung Setiawan. Marcella dituduh melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Marcella tidak sendiri. Ia juga menyeret Ananda Mikola (pembalap nasional). Berita tentang kasus itu semakin “panas” setelah banyak orang ikut berkomentar soal tersebut.
Kasus pun kian melebar. Kasus yang awalnya memberitakan penganiayaan seksual atas diri Agung dan menjadikan Marcella terdakwa kasus itu berubah drastis. Acara-acara infotainment yang awalnya menyelidiki kasus itu justru berbalik arah untuk mengupas dan menyudutkan Agus. Tak berhenti di situ saja, latar belakang hubungan Ananda Mikola dengan Mercella juga dikupas habis.
Yang lebih mengejutkan, Agus yang awalnya sebagai orang yang dianiaya, berubah menjadi orang pesakitan. Infotainment kemudian menginvestigasi latar balakang Agus sebagai orang yang pernah berbuat jahat dan punya kelainan seksual. Bahkan ada acara infotainment yang harus mendatangi rumah orang tua Agus di Bantul, Yogyakarta. Berita bahwa Agus juga pernah menghuni LP Wirogunan juga tak kalah dahsyatnya.
Berimbang Saja?
Mengapa acara infotainment yang awalnya mengupas tindak kekerasan Marcella, kemudian menjadikan Agung sebagai terduduh juga dalam kasus tersebut? Alasan klasik yang seringkali kita dengar adalah televisi ingin menyajikan laporan berimbang. Artinya, ia tidak ingin dituduh masyarakat sebagai pihak yang terlalu membela Agus dan menyudutkan Marcella. Alasan inilah yang kemudian dijadikan pembenar untuk melakukan investigasi dua pihak yang berbeda secara seimbang (cover both sides). Namun demikian, permasalahan cover both sides ternyata tidak berhenti ketika media massa telah melakukan laporan berimbang.
Setidak-tidaknya, beberapa problem baru yang muncul antara lain. Pertama, infotainment tidak sadar jika pemberitaannya justru memperlebar permasalahan dari konteks sebenarnya. Permasalahan Marcella dan Agung adalah soal pelecehan seksual dan tindak kekerasan. Di sini, Marcella dan Ananda sebagai tertuduh, sementara Agung sebagai korban. Sudah jelas persoalan itu sebenarnya, tinggal dicari bukti-bukti di lapangan.
Tetapi, persoalan semakin ruwet ketika infotainment mengupas latar belakang kedua orang itu (Marcella dan Agung), menyangkut kehidupan pribadinya. Baik menyangkut percintaan atau masalah seks dan lain-lainya. Masalah pelecehan seksual dan kekerasan yang menjadi fokus utamanya, akhirnya menjadi kabur. Pihak Marcella tentu akan membela habis-habisan terdakwa itu, bagaimanapun caranya.
Kedua, peliputan berita yang hanya mengandalkan cover both sides kadang juga kurang bisa dipertanggungjawabkan. Kasus Marcella di atas bisa dijadikan contoh. Pihak pengelola infotainment atau televisi yang menyiarkan acara itu bisa jadi sudah terhindar dengan mengatakan ia telah melakukan reportase berimbang. Misalnya, ia tidak hanya mengupas Marcella, tetapi juga Agung.
Peliputan yang berimbang hanya menekankan pada kuantitas saja, sementara kualitas dan orientasi permasalahan sebenarnya kurang ditekankan. Bagaimana mungkin infotainment sampai mengupas masalah pribadi kedua orang itu (Marcella dan Agung) berkaitan dengan masa lalunya? Jawaban yang membuat orang sering maklum karena infotainment memang “menjual” sensasi dan berorientasi pada kepentingan pasar saja. Infotainment sudah merasa bertanggung jawab ketika sudah menampilkan dua sisi yang berbeda, padahal tidak sesederhana itu.
Prinsip Keadilan
Bagaimana dengan prinsip keadilan? Di sinilah cover both sides sering menemukan batu sandungannya. Misalnya, terjadi konflik antara walikota dengan anggota dewan di daerah. Kalau peliputan hanya mengandalkan cover both sides, maka media massa sudah merasa cukup jika meliput dua sisi yang berbeda itu. Namun, tentu tidak adil jika walikota diwawancarai, sementara dari kalangan DPRD hanya anggota biasa, meskipun kedua belah pihak juga dikupas. Yang adil tentunya adalah pimpinan tertinggi kedua lembaga itu yang harus diwawancarai. Di sinilah peliputan yang berimbang perlu didukung oleh prinsip keadilan.
Dalam kasus Marcella, sangat terasa tiadanya prinsip keadilan yang dimaksud. Karena kasus itu menyangkut Mercella (artis terkenal), dan Agung (orang biasa), infotainment punya kecenderungan meliput mereka yang dekat dengan Marcella. Ini bisa dimaklumi karena orang yang dekat dengan Marcella mempunyai nilai berita tinggi. Orang dekat ini tentu akan membela Mercellla dalam kuantitas yang besar. Jadi, secara tidak langsung, infoteinment membela Marcella. Bisa jadi tiada kesengajaan, tetapi tanpa pertimbangan keadilan hal itu akan menjadikan infotainment sebagai tertuduh biang keladi permasalahan yang semakin memburuk.
Masalahnya, infotainment itu berita atau bukan? Jika berita, maka ia juga harus mematuhi aturan yang selama ini ada dalam proses peliputan dan pembuatan berita. Bahkan saat ini reportase juga sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa.
Barangkali kita perlu belajar dari C.P Scott (The Manchester Guardian) bahwa reportase yang berkembang saat ini adalah reportase faktual. Yakni laporan yang memisahkan antara fakta dan opini berkembang sebagai reportase interpretatif, mendalam, investigatif dan reportase yang komprehensif. Bukan sekadar fakta menurut kejadiannya dan fakta linear, tetapi fakta yang mencakup.
Infotainment seperti kasus Mercella, berada dalam ranah abu-abu. Acara itu penuh dengan opini yang menggiring penonton untuk menyetujui dan tidak menyetujui kasus yang disodorkan. Jika acara infotainment banyak mengupas seorang artis yang terkena masalah, sementara dia dan lingkingan di sekitarnya lebih mempunyai nilai berita, ada kesan membela sang artis. Maka, apa yang dikatakan C.P Scott jelas jauh dari kenyataan. Apalagi, diikuti penyajian fakta-fakta yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kasus yang sedang jadi perbincangan. Benar bahwa Marcella pernah punya masalah percintaan yang “buruk”, juga benar bahwa Agung punya sejarah yang tak kalah buruknya, tetapi tidak lantas dieksploitasi untuk menggirng penonton ke arah yang bukan substansi.
Jadi, memang meliput secara cover both sides dalam era jurnalisme infotainment tidak gampang. Infotainment adalah acara yang mendasarkan diri pada sensasional, kepentingan pasar, dan belum dilandasi dengan kecerdasan dalam peliputan berita. Maka, meliput secara cover both sides itu tidak gampang, rumit, pelik, dan penuh tanggung jawab.
Sumber: Harian Malang Post, 11 Januari 2009.
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Pro Kontra Tayangan Infotainment: Menggugat Liputan Cover Both Sides
Rabu, Januari 14, 2009
Pro Kontra Tayangan Infotainment: Menggugat Liputan Cover Both Sides
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sebelum kasih komentar mo sedikit kritik nih...kok ada dua nama lawan marcella zalyanti "Agung" dan "Agus" porsi penulisannya sama lagi, so meskipun kecil tapi membingungkan pembaca, yang benar mana?.
soal pemberitaan dari infotainment kayaknya susah deh untuk berharap banyak dari media ini menjadi media pemberitaan yang "benar", yang penting sesansional n rame. kaidah jurnalisitik? woh....kan ini acara gossip so bagi penyelenggaranya sepertinya dah merasa tak perlu ada kaidah2 segala.
mmm,,gimana mau ngasih komen nya ya, orang aku jarang liat infotainmen e ya sekali - kali pernah, kalo stasiun yang lain lagi kebakaran atau lagi gak siaran, daripada ngelamun yang jelas mendingan nambah pengetahuan kontes air mata di infotainmen,,,hehehe..
tapi dari ulasan diatas dapat sedikit gambaran deh buat bikin kemon,,,eh salah komen maksudnya. sebuah cerita akan sangat menarik jika ada pihak yang teraniaya dan yang menganiaya. ini akan menciptakan kesan heroik dan dramatis, dibumbui dengan konser air mata yang memang saat ini tengah naik daun,, air mata jadi komoditas unggulan!jika acara gosip itu berdiri ditengah antara keduanya, maka cerita yang dramatis ini sulit untuk dicapai, yang nantinya bisa bikin acara itu gak laku. artinya cover both side jelas gk menguntungkan mereka, cerita jadi tidak sedramatis film titanic atau seheroik film rambo. dalam hal ini mereka menggunakan retorika demonstratif. artinya bahwa pada dasarnya media memiliki dua kemungkinan yang mutlak mereka miliki, yakni kalo bukan memperkuat sifat baik seseorang, maka mereka akan memperkuat sifat buruk seseorang. sekarang tinggal pilih, siapa yang kamu dukung?
mohon dikoreksi komen yang dangkal ini,,salam
tuh kan nambah lagi blogstatnya....:p-kabuuuuur-
sekarang infotaiment kayaknya terlalu mengusik kehidupan sehari2 seseorng sehingga kayaknya malah jadi penggangu atau malah jadi ikut campur dalam masalah seseorang gitu ya pak.. he9...!!
kan kayaknya infotaimet bukan lagi sebagai sarana pemberitaan yang baik malah bisa dipergunakan sebagai sarana adu domba....
Wah mohon maaf Bethacla, yang bener Agus neh, bukan Agung he he he. betul saya sepakat, memang itu acara gosip, hanya mereka kan sering mengatasnamakan sebagai berita, itu saja. lha ini yang perlu dikritik he he he
komentar yang inspiratif Kries. terima kasih bisa menambah wawasan kita dari sudut pandang lain.
Gembur yang baik, makanya jangan jadi artis. hidup kan tidak merdeka ha ha ha. selamat berkarya
waduh pak, kalau ngomongin soal infotemen eh infotainment sama juga kita melihat aib orang. Orang cerai, selingkuh, melakukan kekerasan, penipuan semua d eksplor. mengenai both sides ini, mungkin sama dengan pemberitaan ttg berlarutnya proses pilkada d malut dan kematian abdul aziz angkat.
oiya, saya juga masih penasaran dengan hasil "rebutan" isr di malang kemarin.. kira2 yang menang siapa ya pak?? batu tv tau space toon?? dan kenapa stasiun tv sawsta lain yang lebih "menasional" blum mendapatkan rk dr kpid jatim?? terima kasih pak
Mas Catur. itulah kenapa infotainer (infotainment) perlu dikritik, ya meski dengan cara menulis.
di malang udah bbrp waktu ini gak bisa menangka siaran Tv nasional neh. Cuman Batu TV dan Spacetoon yang siaran lagi. Jangan2 tidak ada pemenangnya? alias diselesaikan secara "adat" ha ha ha ha. sukses selalu.
masku....terima kasih utk tulisan & perhatiannya soal infotainment hehehe....
sy merasa berkepentingan krn sy adlh orang yang sudah berkiprah di infotainment sejak hampir sepuluh tahun lalu... & sy merasakan betul bagaimana kerja di lapangan sebagai reporter, sampai mjd decision maker redaksional yang memutuskan tema serta berita apa saja yg layak & tdk layak utk ditayangkan.... sy jg merasakan bgmn infotainment mjd sebuah kontroversi terutama menyangkut status jurnalisnya...hingga akhirnya PWI membuka divisi infotainment yg artinya jurnalis infotainment sdh diakui sbg wartawan.... Slm hampir sepuluh thn berkecimpung di infotainment, berkali kali sy jg merasakan apa yg saya sebut...pergolakan batin ttg dunia yg sy pilih ini....di satu sisi sy menyadari betul ada hal yg tdk cerdas & tdk edukatif dr apa yg saya (& tmn tmn sy seperjuangan) hasilkan.... (bs dilihat dr tulisan sy di blog sy www.erika-solo.blog.friendster.com ttg infotainment is my real world??)tp di sisi lain....mostly TV programme di Indonesia mengutamakan komersialisme & idealisme menjadi nomor kesekian....sehingga akhirnya meskipun infotainment bs menjadi sebuah tontonan yg cerdas (sering nonton E!channel...kan...contoh tayangan infotainment cerdas..) tp disini tayangan seperti itu sy jamin nggak akan laku!!! krn sy sdh sering kali mencoba menyodorkan konsep konsep seperti itu tp station dgn alasan kepentingan rating & ujung ujungnya kepentingan pemirsa...lebih menyukai tontonan yg berbau gosip, seperti yg anda anda saksikan selama ini.... jd lepas dari soal kasus Marcella Zalianty vs Agung, sy (tdk bermaksud membela diri jg) hanya ingin memberikan sudut pandang dr dapur redaksi infotainment bahwa tayangan ini (sebagaimana jg TV Programme pd umumnya di Indonesia) memiliki kecenderungan "latah", ikut ikutan...kalau 1 tayangan sejenis sukses dengan materi tertentu, yg lainnya dipastikan mengekor.... (sedikit buka rahasia, ketika sebuah materi mendulang rating tinggi, mis: pengakuan mantan supir KD ttg perselingkuhan KD-Tohpati, bisa dipastikan yg lain akan mengejar narasumber & berita yg sama, dengan pengembangan yg kurang lbh sama.... ) sebagai orang yg pernah menjadi otak di belakang sebuah tayangan infotainment, sy bs bilang, sy tdk bs berbuat apa apa ketika sy memutuskan tdk mengambil materi tertentu yg lg rame, yg ada sy bs ditegur atasan sy atau petinggi station sy...jd serba slh kan????lepas dr kontroversi yg digulirkan masku...sy cm bs bilang: di indonesia, melawan arus itu adalah suatu hal yg sangat sulit!!! sy mengakui msh byk hal yg menjadi kelemahan infotainment, tp sejujurnya sy srg melihat, jurnalisme yg kt kembangkan sebenarnya tdk berbeda dr yg dikembangkan oleh news murni (pemberitaan), menurut sy yg berbeda hanya objek beritanya saja....
saya setuju dengan saudara/saudari erika d solo, mungkin sekarang jurnalism infotemen,halah, infotainment,hanya dijadikan sarang kapitalisme untuk meraup pundi2 komersial dan menghilangkan etika2 yang ada,,
mantap infonya gan!!!