Selasa, Mei 12, 2009

Jurnalisme Masa Kini


“Anjing menggigit orang bukan berita, tetapi orang menggigit anjing itu berita”. Ungkapan klasik itu, saat ini telah banyak digugat. Bagaimana seandainya yang digigit itu seorang artis, atau pejabat setingkat menteri, sementara Bejo menggigit anjing? Jurnalisme masa kini akan memilih realitas yang pertama. Termasuk ungkapan klasik “Good news is no news, bad news is good new” juga sudah banyak yang menggugat. Apakah penemuan teknologi uang angkasa bukan berita?

Bahkan Tom Wolfe pernah menganjurkan agar koran-koran di dunia ini segera mengaplikasikan jurnalisme baru (new journalism). Tetapi, ide itu belum sepenuhnya dipraktikan di Indonesia. Media massa Indonesia masih memakai kaidah-kaidah klasik, sementara tuntutan masyarakat kian meningkat disertai dengan perkembangan teknologi internet yang kian canggih. TV kian menjadi pesaing utama media cetak. Jika tidak dilakukan revolusi, media cetak tentu akan ketinggalan zaman. Bahkan Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang. Di sinilah perlunya pemahaman tentang jurnalisme masa kini perlu ditempatkan.

Buku Jurnalisme Masa Kini ini menawarkan perkembangan jurnalisme baru yang sedang berkembang cepat di dunia ini. Berbagai perubahan, tuntutan reportase, kompetensi jurnalis ikut berubah total. Buku ini memberikan pemahaman, contoh praktis dan bagaimana menghadapi perkembangan yang dahsyat tersebut. Tak lain, agar para calon jurnalis dan peminat kajian komunikasi bisa menghadapi era komunikasi massa di masa datang.

Buku ini mencapai sasarannya pada mahasiswa jurnalistik, wartawan, dan masyarakat umum peminat kajian jurnalisme dan media massa.

Judul : Jurnalisme Masa Kini
Penulis : Nurudin
Penerbit: RajaGrafindo Persada, Jakarta
Thn Terb: 2009

Pada awalnya, manusialah yang menciptakan teknologi untuk mempermudah kerja manusia itu sendiri, termasuk mempermudah berkomunikasi komunikasi. Teknologi yang bisa memperpendek jangkauan dan mempersingkat waktu kemudian diciptakan. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang diciptakan, akhirnya manusia tergantung pada teknologi yang dibuatnya sendiri. Penemuan internet pada tahun 1990-an menjadi keniscayaan sejarah penemuan teknologi komunikasi yang pengaruhnya tidak bisa dihindari manusia.
Berkaitan dengan itu, berbagai perkembangan cara berkomunikasi mengalamai revolusi yang sangat dahsyat. Cara penyampaian berita kepada masyarakat dengan cara “manual” dianggap tidak relevan lagi. Surat kabar, televisi dan radio tidak lagi hanya mengandalkan medianya itu sendiri, tetapi sudah memakai media internet. Internet akhirnya memaksa manusia merumuskan kembali, dan mencari model tentang proses penyampaian berita. Kekuatan internet itu membuat Prof Philip Meyer pernah meramalkan jika pada tahun 2040, orang akan menyaksikan koran terakhir yang terbit dan dibaca orang.

Berkaitan dengan proses penyebaran informasi yang dahulunya dilakukan para jurnalis mainstream media (media utama) seperti jurnalis (wartawan) televisi, radio dan media cetak lain, sekarang sudah banyak yang menggugat. Penyebaran informasi bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, apa saja, dan dengan cara apa saja. Warga negara yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok konsumen media, saat sekarang bisa bertindak sebagai jurnalis. Meskipun masih menimbulkan pro dan kontra munculnya istilah citizen journalism (jurnalisme warga negara) menjadi keniscayaan adanya revolusi dalam penyebaran informasi. Dengan internet dan perantaraan blog, semua orang bisa menjadi jurnalis. Jurnalis karenanya yang berarti proses pencarian, pengolahan, penulisan, dan penyebaran informasi bisa dilakukan semua orang melalui blognya. Inilah kecenderungan jurnalisme baru di era internet ini.

Tak terkecuali, revolusi jurnalisme juga muncul berkaitan dengan bagaimana menyampaikan ide dalam wujud tulisan. Dalam kurun waktu lama, proses penulisan berita didominasi dengan pedoman klasik 5 W + 1 H (what, when, where, why, who, dan how) yang mengacu pada fakta-fakta di lapangan. Dengan jurnalisme baru, konsep klasik itu dikembangkan Roy Peter menjadi tulisan model, narrative dengan mengubah rumus 5W dan 1 H. Who menjadi karakter. What menjadi plot. When menjadi kronologi. Why menjadi motif. Dan How menjadi narasi. Hingga, pengisahan berita narrative jadi mirip kamera filem dokumenter. Ini menjadi kecenderungan jurnalisme baru.

“Good news is no news, bad news is good news”, ungkapan lama yang pernah dipercaya sebagai nilai berita. Tetapi, berita gembira saat ini juga mempunyai nilai berita. Kalau ungkapan itu diyakini kebenarannya, mengapa seorang artis yang melahirkan anak perlu diberitakan? Bukankah itu berita menggembirakan? Ungkapan di atas jelas sudah tidak relevan lagi, bukan?

Tak terkecuali ungkapan Carles A Dana , “When a dog bites a man that is no news, but a man bites a dog that is a news” juga sudah tidak cocok lagi untuk zaman sekarang. Bagaimana jika yang digigit itu seorang menteri atau presiden, sementara yang menggigit anjing tetangga kita yang tidak dikenal masyarakat luas? Menteri dikejar anjing saja sudah menjadi berita, apalagi sampai digigit.

Berita selalu dipahami sebagai sebuah peristiwa yang sudah terjadi. Bagaimana jika peristiwanya belum terjadi, tetapi justru diminati pembaca, penonton atau pemirsa? Coba Anda membuka halaman olah raga, sepak bola terutama. Ketika akan terjadi pertandingan dua klub, koran akan mengulas dan memberitakan berkaitan dengan pertandingan dua klub itu disertai dengan data-data head to head pertemuan keduanya. Bagaimana dengan kasus ini? Pertandingannya belum terjadi, tetapi berita sudah muncul. Inilah kecenderungan baru juga dalam proses pembuatan berita yang layak diketahui juga.

Itu semua menunjukkan adanya revolusi yang besar-besaran dalam jurnalisme. Sejauh litaretur buku yang saya baca, tak banyak, untuk tak menyebutnya tidak ada, buku-buku yang membahas jurnalisme baru sebagai sebuah dampak perkembangan teknologi komunikasi dan tuntutan zaman. Umumnya, buku-buku jurnalisme selama ini membahas sisi jurnalisme secara klasik. Inilah pentingnya buku ini perlu hadir.

Buku ini terdiri dari empat bagian, dan ini juga menjadi prosedur memahami dan membacanya. Sebagai pendahuluan, pembaca diarahkan untuk memahami beragam definisi jurnalisme, ruang lingkup kajian dan kajian ilmiah jurnalisme. Ini secra sederhana dimaksudkan agar pembaca mengetahui bagaimana ranah (wilayah) kajian jurnalisme. Juga agar tidak dibuat bingung mengapa dalam kajian jurnalisme dikaji pers, (media massa), jurnalis dan segala seluk beluk yang berkaitan dengannya.

Bagian pertama mendiskusikan tentang konsep-konsep penting dalam jurnalisme. Di sinilah pembaca mulai diarahkan untuk mengetahui adanya perubahan terus menerus yang terjadi dalam wilayah kajian jurnalisme. Tentang elemen-elemen jurnalisme yang pernah dikemukakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dijadikan sandarannya. 9 elemen jurnalisme yang dikemukakan mereka relatif baru dalam kajian jurnalisme di Indonesia, sebuah elemen yang melihat dari perspektif yang berbeda disertai contoh kongkrit jurnalisme di Indonesia. Tak terkecuali dengan objektivitas dan nilai berita yang dibuat agar “Indonesia banget”. Sementara itu, sejarah penting diketahui untuk melihat proses perkembangan pers dan jurnalisme yang menjadi konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi seperti yang sudah dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Sejarah juga menunjukkan pada kita, ada banyak variabel yang ikut menentukan perkembangan jurnalisme di dunia ini, baik menyangkut jurnalis, pemerintah dan teknologi.

Bagian kedua mengkaji khusus tentang jurnalis. Apakah jurnalis selama ini bisa digolongkan sebagai seorang ilmuwan atau hanya orang yang memindahkan fakta-fakta di lapangan ke dalam medianya? Pembahasan ini menantang pembaca untuk mengetahui lebih lanjut. Jurnalis karena bekerja berdasarkan profesionalisme maka ia tidak bisa lepas dari kompetensi. Dengan kompetensi inilah, kerja jurnalis akan lebih berkualitas. Mahasiswa diharapkan mengetahui dan memahami realitas ini. Agar ketika menjadi jurnalis ia bisa mempraktikkannya di dunia kerja. Untuk mencapai kompetensi, pendidikan jurnalisme menjadi penting keberadaannya. Hanya saja pendidikan jurnalisme baru menciptakan jurnalis siap latih dan belum siap pakai. Untuk itulah, dibahas pentingnya pelatihan, short course atau pendidikan dan latihan (Diklat) untuk mempersiapkannya. Tak terkecuali dengan pentingnya keberadaan lembaga-lembaga independen pemberi pelatihan seperti Antara dan Pantau.

Bagian ketiga, dikemukakan munculnya era jurnalisme baru yang menjadi tuntutan era modern. Tak terkecuali dikemukakan beberapa istilah penting yang selama ini dikenal dalam jurnalisme, tetapi belum ada yang membahas dalam buku. Disamping itu, ada juga jenis-jenis jurnalisme yang selama ini dikenal. Jenis ini meliputi genre kebijakan redaksional, proses penulisan dan proses peliputan berita.

Bagian terakhir mencaritakan kasus-kasus aktual yang melingkupi proses jurnalisme. Bagian ini penting dikemukakan agar pembaca mempunyai wawasan luas tentang kondisi mutakhir permasalahan jurnalisme di Indonesia. Kasus aktual tersebut meliputi dampak media yang sedemikian luas di masyarakat dan konflik kepentingan atas keberadaan UU Pokok Pers. Jika kita kembali ke sejarah pers dan jurnalisme seperti yang dikemukakan pada bagian awal buku ini, pembaca akan paham rentetan konflik kepentingan berkaitan dengan konflik kepentingan. Misalnya, dalam sejarah diceritakan adanya kebijakan persbreidel ordonantie yang direinkarnasi menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Konflik kepentingan juga berkait dengan keberadaan KUHP. Di sinilah pemahaman tentang konflik yang mengitari UU Pokok Pers perlu ditempatkan dan dipahami.

Tentu saja, berkaitan dengan pembahasan dalam buku yang sudah dikemukakan dalam pengantar ini sasaran utama pembacanya adalah mahasiswa komunikasi tingkat lanjut. Mengapa? Sebab, pembahasan lebih menitikberatkan pada pemahaman mendalam konseptual tentang jurnalisme. Di perguruan tinggi yang melaksanakan pendidikan komunikasi mahasiswa semester awal sudah dibekali dengan mata kuliah dasar-dasar jurnalistik, teknik penulisan dan peliputan berita. Buku ini akan melihat peluang kajian teoritis disertai contoh kongkrit dari ranah yang selama ini belum digarap mata kuliah sebelumnya. Bahkan, buku ini melihat pangsa pasar yang juga belum digarap oleh buku-buku jurnalisme yang lain.

Disamping mahasiswa pengambil mata kuliah Jurnalisme, sasaran pembacanya juga masyarakat umum, wartawan dan peminat kajian jurnalisme. Untuk itu pulalah bebagai contoh aktual disertai pembahasan yang ilmiah populer disajikan dalam buku ini. Bahkan dalam beberapa bab diungkap sebuah cerita untuk membuka pemahaman awal tentang permasalahan yang akan dikaji.

Maka, sangat beralasan jika buku ini diberi judul Jurnalisme Masa Kini. Ia bukan saja menunjuk dan memberikan sebuah perspektif baru dari mata kuliah Jurnalisme, namun disesuaikan dengan sasaran yang lain. Jurnalisme Masa Kini dipahammi sebagai kajian baru yang layak diketahui oleh pembaca berkaitan dengan proses peliputan, pengemasan, penulisan, dan penyajian berita. Masa kini juga berarti kajian yang terkini. Jadi, judul buku ini bukan sekadar gagah-gagahan, tetapi karena realitas yang dikaji memang demikian. Jurnalisme Masa Kini juga akan menjadi daya tarik tersendiri masyarakat umum untuk membacanya. Jadi, jangan sampai ada kesan buku teks kuliah an sich. Beberapa buku-buku kuliah yang pernah saya buat memberikan pemahanan, bahwa tulisan ilmiah saja tidak cukup kuat bersaing di pasaran. Ilmiah populer menjadi hal yang niscaya dilakukan. Pengalaman menulis artikel yang saya lakukan sejak tahun 1991, memberikan banyak pelajaran.


https://docs.google.com/document/d/1P8ePDLvLrGw9QX_u0gVptdhAsCo_Mpspotyj-ZGYJmU/edit?usp=sharing

Comments :

10 comments to “Jurnalisme Masa Kini”

sebelumny selamat n sukses ya pak tuk bukuny..
pak saya suka tuh kata2ny di bukuny...
palg yg kata pertamany...anjing menggigit anjing bukan berita tp klo org menggigit anjing tuh br berita....
hebat pak saya jg sebelumny blm pernah berfikir itu...
salute....di tggu buku slanjutny...pak n karya2 akan datang...

ary mengatakan...
on 

Thanks Pak..
Sudah lama buku seperti ini ditunggu jurnalis pemula buat dahaga yang berkepanjangan..
Btw, berapa harganya nich Pak..
Kebetulan mo hunting buku di TogaMas nich..He hee..

Kid mengatakan...
on 

@Ari: terima kasih Ary, atas perhatiannya.
@Kid: di Toga Mas minggu ini belum ada. munkin awal bulan, terima kasih telah sabar menunggu.
salam

Nurudin mengatakan...
on 

bagus pak artikelnya..jadi pengetahuan yang bapak ajar dikelas makin bertambah..

arka mengatakan...
on 

wah... klo materi di kls ada disini duluan kan enak pak. di kelas tinggal tanya jawab aja. hehehe...

Teguh Setiawan mengatakan...
on 

kalai AJI mempunyai laskar kekuatan jurnalis mahasiswa yang saat itu masih suci, idealis, dan berani..sayang jurnalis mahasiswa saat ini hanya menyediakan koran/majalah "biasa".. koran mereka hanya sebagai ajang publisitas pengukuhan guru besar atau peresmian gedung baru. mereka hanya berani "ngrasani" jika ada perlakuan/kebijakan kampus yang perliu dikoreksi. mereka takut dibreidel mungkin oleh kampus..atau dana penerbitannya di-stop. itu yang bisa terbit..
lain lagi dengan koran kampus yang harus terbit sekali dan puasa berbulan-bulan untuk terbit lagi..

ReZa Praditya Yudha mengatakan...
on 

sibuk ya pak? kok blognya Bapak lama nggak ada jawabannya? untuk menanggapi komen kita, maksudnya..

ReZa Praditya Yudha mengatakan...
on 

Reza,memang zaman sudah berubah. kenapa mahasiswa tidak "garang-garang" lagi karena realitas kehidupan mereka sudah berganti masa. saya merasakan nuansa kehidupan mhs dulu dengan sekarang sangat2 berbeda. wong mereka disuruh membaca buku saja susahnya minta ampun. bagaimana mereka bisa kritis? yang jelas antara pers mhs dengan pers kampus berbeda jauh. di kampus kita pers mahasiswa kayaknya sudah "mati". dulu fisip masih punya Muara, tapi katanya, uangnya "ditilep" oleh mahasiswanya sendiri yang aktivis itu. ternyata aktivis juga doyan duti ya? ha ha ha

Nurudin mengatakan...
on 

sebelumnya saya sangat kagum dan salut tentang karya-karya bapak selam ini.
saya mau nanyak pak?
ketika bapak menulis, bapak dapat inspirasi darimana saja?
dan kiat-kiat apa saja yang membuat kita bisa menulis seprti bapak?
terima kasih

Anonim mengatakan...
on 

kata bapak philip meyer dalam bukunya jurnalisme masa kini halaman ke berapa ya

Unknown mengatakan...
on