Sabtu, September 17, 2011
Media Massa dan Determinisme Teknologi
Determinisme berarti paham yang menganggap bahwa setiap kejadian atau tindakan yang dilakukan manusia merupakan konsekuensi kejadian sebelumnya. Tindakan manusia tersebut tidak hanya menyangkut jasmani tetapi juga rohani. Bahkan apa yang dilakukan manusia sebagai konsekuensi kejadian sebelumnya itu tak jarang di luar kemauannya sendiri.
Jika arti kata determinisme itu dikaitkan dengan teknologi (determinisme teknologi) bisa diartikan bahwa setiap kejadian atau tindakan yang dilakukan manusia itu akibat pengaruh dari perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi tersebut tidak jarang membuat manusia bertindak di luar kemauan sendiri.
Analoginya bisa begini. Pada awalnya, manusialah yang membuat teknologi, tetapi lambat laun teknologilah yang justru memengaruhi setiap apa yang dilakukan manusia. Zaman dahulu belum ada Hand Phone dan internet. Tanpa ada dua perangkat komunikasi itu keadaan manusia biasa saja. Tetapi sekarang dengan ketergantungan pada dua perangkat itu manusia jadi sangat tergantung. Apa yang bisa membayangkan jika manusia yang sudah sangat tergantung dengan HP atau internet dalam sehari tidak memanfaatkannya? Adakah sesuatu yang kurang dalam hidup ini? Inilah yang dinamakan determinisme teknologi (meskipun toh teknologi yang menciptakan manusia itu sendiri).
Luhanian
Determinsime teknologi adalah istilah, sering juga disebut dengan teori, yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik.
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”.
Kita belajar, merasa, dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio menyediakan kepada manusia lewat indera pendengaran (audio), sementara televisi menyediakan tidak hanya pendengaran tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa yang diterpa dari dua media itu masuk ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Selanjutnya, kita ingin menggunakannya lagi dan terus menerus. Bahkan McLuhan sampai pada kesimpulannya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message).
Media tak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan buku itu seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita akan bisa “melihat dunia”.
Mengikuti teori ini, ada beberapa perubahan besar yang mengikuti perkembangan teknologi dalam berkomunikasi. Masing-masing periode sama-sama memperluas perasaan, dan pikiran manusia. McLuhan membaginya ke dalam empat periode. Di dalam masing-masing kasus yang menyertai perubahan itu atau pergerakan dari era satu ke era yang lain membawa bentuk baru komunikasi yang menyebabkan beberapa macam perubahan dalam masyarakat.
Pertama-tama adalah era kesukuan. Era ini kemudian diikuti oleh era tulisan, kemudian era mesin cetak dan terakhir adalah era media elektronik dimana kita berada sekarang. Bagi masyarakat primitif di era kesukuan, pendengaran adalah hal yang paling penting. Peran otak menjadi sangat penting sebagai wilayah yang mengontrol pendengaran .
Dengan pengenalan huruf lambat laun masyarakat berubah ke era tulisan. Era ini mendudukkan kekuatan penglihatan sepenting pendengaran. Dengan memasuki era tulisan terjadi perubahan yang penting dan perasaan serta pikiran manusia semakin diperluas. McLuhan menyebutkan bahwa perubahan dengan penggunaan tulisan sebagai alat berkomunikasi menjadi pendorong munculnya ilmu matematika, filsafat dan ilmu pengetahuan yang lain.
Era baru tulisan itu berakhir setelah ditemukannya mesin cetak. Mulailah kita memasuki era mesin cetak. Era mesin cetak ini telah mengantarkan manusia pada fenomena komunikasi yang tidak kecil perannya dalam mengubah masyarakat yakni ditemukannya media cetak (surat kabar). Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg menjadi titik awal munculnya “era cetak” dan berbagai aktivitas manusia tersebar lebih luas. Kemampuan yang terjadi pada mesin cetak ini turut memberi andil dalam membentuk pandangan dan opini orang-orang di seluruh dunia.
McLuhan percaya bahwa penemuan telegraf pada tahap selanjutnya, mengantarkan orang-orang memasuki era elektronik. Kemampuan yang terjadi akibat era elektronik menyebabkan perluasan yang lebih baik pikiran dan perasaan manusia. Manusia tidak saja mengandalkan pendengaran dan penglihatan,tetapi keduanya sekaligus. Dengan era elektronik dunia seolah semakin sempit. Inilah yang disebut McLuhan sebagai desa global (global village). Aktivitas manusia tidak akan lepas dari aktivitas manusia yang lain, bahkan desa global telah membentuk manusia menjadi makhluk individual.
Ketika kita memanfaatkan media elektronik seperti komputer yang dipasang peralatan internet kita bisa “mengitari dunia” ini sendirian. Kita bisa berdiskusi, chatting atau mengirim surat dengan e-mail. Dengan e-mail, kita sendiri dan teman yang dituju sajalah yang tahu isi surat itu. Kalau kita ingin mengirimkan kepada yang laini kita tinggal meneruskannya (mem-forward) ke orang yang kita tuju.
Media Massa
Keberadaan media massa (cetak dan elektonik) adalah bagian dari sejarah perkembangan teknologi komunikasi juga. Kalau media massa didudukkan layaknya manusia ia akan terpengaruh oleh perkembangan teknologi komunikasi. Lihat saja, dahulu media cetak hanya dibuat dan disebarkan dengan cara-cara yang sangat sederhana sekali. Acta Diurna (cikal bakal munculnya media cetak) pada zaman Romawi membuktikan itu.
Kemudian berkembang terus sampai yang saat saat ini kita lihat. Tak terkecuali dengan media elektronik. Hampir semua stasiun televisi sering melakukan siaran langsung. Meskipun fenomena yang wajar bagi masyarakat sekarang, kalau kita mengaca pada era sebelumnya itu sebuah lompatan yang jauh.
Perkembangan internet juga membawa konsekuensi dari media massa lain. Semua media massa saat ini memanfaatkan perkembangan internet. Televisi atau media cetak tidak cukup dengan dirinya sendiri, ia membutuhkan peran internet pula.
Jika media massa itu kita pahamai sebagai perangkat teknologinya, ia telah memengaruhi keberadaan manusia. Coba tanyakan pada seseorang apakah dalam sehari bisa menghindar dari terpaan media massa? Jawabannya pasti tidak bisa. Mulai dari bangun pagi hingga tidur malam manusia dipengaruhi media massa.
Penaruh yang sedemikian besar itu menyebabkan ketergantungan manusia pada teknologi sangatlah tinggi. Saya pernah bertanya kepada mahasiswa, “Berapa kali Anda membuka FB setiap hari?”. Jawabannya sangat menyengangkan. Mereka umumnya membuka FB puluhan kali, bahkan tidur dan di kamar mandipun bisa FB-an. Fenomena yang sangat luar biasa bukan?
Determinisme teknologi media massa karenanya memunculkan dampak. Media massa mampu membentuk seperti apa manusia. Manusia mau diarahkan pada kehidupan yang lebih baik media massa punya peran. Namun demikian, media massa juga punya andil dalam memperburuk keberadaan manusia itu sendiri.
(Naskah ini berasal dari bagian buku naskah buku "Teknologi Industri Media dan Perubahan Sosial" buku kumpulan tulisan mahasiswa pasca Sarjana UMM, 2010)
Type rest of the post here Readmore »»
Kamis, September 15, 2011
Media Barat dan Propaganda Amerika
“Bukan apa yang mereka katakan, melainkan apa yang
mereka tidak katakan” (Jerry D. Gray)
Dalam acara dialog 2 hari antar wartawan dari 44 negara di Bali (2/9/2006), presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik standar ganda yang diterapkan media Barat (baca: Amerika) dalam memberitakan kaum muslim di berbagai negara. Bagi SBY, ada berita yang sengaja ditutup-tutupi dan ada yang sengaja dibesar-besarkan oleh media Barat.
Kegalauan SBY ini sejalan dengan pendapat Jerry D. Gray (2006) yang mengungkap bahwa media Barat tidak saja menutup-nutupi suatu fakta, tetapi membuat fakta yang sebenarnya tidak terjadi. Menurut mantan US Air Force dan wartawan CNBC Asia tersebut, media Amerika telah banyak membohongi publik Amerika sendiri dan masyarakat dunia untuk meraih kepentingannya sebagai “polisi dunia”.
Contohnya kasus Saddam Hussain (penguasa Irak 25 tahun yang akhirnya dihukum gantung pada 21 Agustus 2004 setelah Negara itu diserang Amerika). Ia tidak pernah memiliki senjata pemusnah massal. Namun, dengan bantuan media korporat Amerika, Bush membohongi publik agar percaya pada informasi tersebut. Kampanye kotor yang dilakukan terhadap mantan presiden Irak itu sedemikian hebatnya, bahkan sekiranya kita bisa membersihkan Saddam dari setiap tuduhan, dunia tetap membenci dan memandangnya sebagai seorang jahat.
Bahkan apa yang pernah dicatat oleh Noam Chomsky (2001) semakin memperkuat kenyataan itu. Penentangan yang pernah dilakukan presiden Lybia Muammar Qaddafi atas Amerika pun dituduh sebagai pembangkangan atas perdamaian internasional. Bahkan Amerika (lewat medianya) menyebut Qaddafi dengan “momok bengis terorisme” dan “anjing gila”. Padahal tak tanggung-tanggung Amerika pernah menenggelamkan kapal Libya di teluk Sidra.
Bagaimana Peran Media?
Yang bisa menggambarkan kenyataan tersebut adalah karena Amerika dan media-medianya punya kepentingan terhadap dunia ini. Dalam catatan Joel Andreas (2004), Amerika sangat lihai berlindung di balik ungkapan ideal. Misalnya, hanya alasan untuk merebut kilang minyak di Timur Tengah yang merupakan dua pertiga cadangan minyak dunia, AS berdalih melindungi Timur Tengah dari ancaman komunis, terorisme, dan sebagainya.
Bukti perubahan sikap karena kepentingan bisa dilihat dari kasus Saddam Hussein dan Osama Bin Laden (Pimpinan Al Qaeda). Saddam Hussein berkuasa atas dukungan AS pada tahun 1963 setelah menggulingkan Raja Irak Abdel Karim Qasim. Tetapi, Saddam Hussein justru menasionalisasi minyaknya dan tidak ingin membaginya bersama AS. Tentu saja AS was-was dan marah. Sampai-sampai Henry Kissinger mengatakan bahwa minyak teralu penting dikelola bangsa Arab dan Timur Tengah. Akhirnya, Saddam Hussein dengan berbagai cara harus digulingkan. Setelah tahun 1991 tidak berhasil, baru tahun 2003 berhasil dengan menyisakan persoalan yang tidak kunjung usai karena AS justru semakin memperkuat kekuasaanya di Irak. Restrukturisasi yang pernah dijanjikan juga tidak pernah dilakukan.
Apa yang terjadi pada Saddam Hussein, hampir sama dengan yang dialami Osama Bin Laden. Awalnya, ia adalah sekutu Amerika ketika perang melawan Uni Soviet di Afganistan. Tetapi, setelah Uni Soviet keluar dari Afganistan, Osama Bin Laden tidak membela kepentingan AS. Bahkan berusaha memeranginya. Osama tidak suka cara-cara Amerika menguasai dunia, termasuk terlalu “menganakemaskan” Israel. Maka dia kemudian menjadi musuh nomor 1 AS. Apalagi kasus peledakan gedung World Trade Center (WTC) tahun 2001 semakin mengukuhkan AS untuk memerangi terorisme dunia. Artinya, dengan alasan memberantas teroris, AS semakin punya alasan kuat mencengkeram kekuasaannya.
Ambisi AS ini ternyata didukung juga oleh media massanya. Itu dimulai pada tahun 1954. Sebabnya tak lain karena televisi-televisi AS dikuasai oleh perusahaan besar dunia yang punya kepentingan ekspansi bisnis ke negara lain. Sebut saja misalnya NBC oleh GE, CBS oleh Viacom, ABC oleh Disney, Fox oleh Rupert Murdoch’s News Corporation, dan CNN oleh Time Warner. Bahkan dewan direktur mereka juga anggota direksi perusahaan pembuat senjata dan perusahaan lain di dunia. Semua media itu tentu saja mendukung perang AS karena punya kepentingan bisnis di dalamnya.
Jadi jika presiden SBY mengatakan media Barat mempunyai standar ganda sudah bukan menjadi rahasia lagi. Itu tak lain karena media Barat mempunyai agenda tersembunyi yang didukung oleh kebijakan pemerintahnya. Dalam cultural imperialism theory (teori imperialisme budaya) dikatakan bahwa media Barat memang sengaja ingin menyebarkan budayanya lewat berbagai tampilan, berita agar media Timur dan budaya Timur menjadi “Barat”.
Bagaimana Dampaknya?
Dampak nyata dari pemberitaan media Barat tersebut kita akhirnya menjadi “Barat”. Berbagai sikap, perilaku, atribut, tolok ukur kita memakai standar Barat. Misalnya, bagaimana kita menilai seorang perempuan cantik? Biasanya akan memakai standar langsing, kulit kuning atau putih, rambut panjang kalau perlu agak pirang (makanya banyak perempuan Indonesia ramai-ramai rambutnya dipirang), hidung mancung, tubuh semampai yang semua kriteria itu karena faktor budaya Barat yang sudah sedemikian masuk ke pemikiran dan perilaku kita.
Tidak berlebihan jika pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat pernah mengatakan bahwa kita saat ini memiliki dua dunia; dunia nyata dan dunia yang sudah dibatasi oleh kamus memori manusia dan membatasi tentang realitas, yakni newspeak. Dunia nyata adalah dunia apa adanya tanpa pengaruh kamus tertentu berdasar pengamatan kita dalam arti sebenarnya. Sedang dunia newspeak adalah dunia yang diciptakan untuk kepentingan Amerika atas penggunaan kata dan pemberian makna tertentu.
Dengan demikian, media Barat telah menjadi kamus dari apa yang ingin dilakukan oleh negara Barat atas dunia ini. Dunia newspeak telah mempengaruhi pikiran kita, menuntun, dan memberikan kategori tertentu kepada realitas yang kita hadapi sehari-hari. Dunia newspeak juga tanpa sadar telah mengarahkan kita untuk berbuat dan tidak berbuat sesuai “kamus” tersebut. Kita menjadi baik dan tidak baik juga bisa karena “kamus” itu.
Melihat kenyataan tersebut tak ada cara lain media massa kita harus melakukan rekonstruksi peristiwa yang disajikan media Barat. Artinya, tidak semua yang berasal dari Barat harus diterima dan ditelan mentah-mentah. Muatan-mutan lokal meskipun seringkali masih dipahamai sebagai “yang belum modern” lebih berguna untuk melawan hegemoni dunia newspeak tersebut. Mengirim wartawannya ke luar negeri meskipun menjadi kebanggaan media, bukan sesuatu yang hebat bagi masyarakat perkembangan Indonesia di masa datang. Sebab tak sedikit diantara mereka yang tidak melakukan investigasi ke lapangan, tetapi hanya sekadar mengutip dari koran-koran dimana dia berada. Lalu apa bedanya dengan mengutip dari kantor berita luar negeri?
Agaknya kita perlu belajar dari kode etik koran The New York Times yang sudah berumur 100 tahun lebih dan telah mengawal 20 presiden Amerika dan mempunyai reputasi baik dibanding koran Amerika yang lain, “All members of the news staff of the New York Times share a common and essensial interets in protecting the integrity of the newspaper” Integritas, kemampuan dan reputasi itulah yang penting. Artinya, kepercayaan pembaca adalah nomor satu.
Sumber: Solo Pos, 8 September 2006
Type rest of the post here Readmore »»
Minggu, Agustus 21, 2011
Kodrat Sinetron itu Menghibur
Oleh Nurudin
(Tulisan ini merupakan pengantar buku "Sinetron, Menghibur Diri Sampai Mati" kumpulan tulisan karya mahasiswa penempuh mata kuliah Komunikasi Massa, Ilmu Komunikasi UMM, 2011)
Kehadiran sinetron adalah keniscayaan sejarah. Ia hadir karena tuntutan zaman. Dengan kata lain, meskipun punya dampak yang tidak diinginkan, ia akan tetap hadir di tengah penonton televisi Indonesia. Menolak bukan tindakan yang gampang. Lebih bijak jika melakukan antisipasi dengan melihat dampak plus minusnya.
Tak bisa dipungkiri, sinetron Indonesia memang telah banyak yang mengkritik. Kritikan itu bermuara pada; alur sinetron terlalu didramatisir yang jauh dari kenyataan di kehidupan nyata, sinetron hanya menuruti selera pasar saja, kepentingan televisi dalam mencari untung sendiri sangat transparan, pemerintah tidak bisa berbuat banyak, atau tidak ada lembaga penekan yang kuat. Tapi, kritikan tetap kritikan, sinetron akan jalan terus.
Pihak pengelola televisi memang menikmati kehadiran sinetron. Bagaimana tidak, sinetron ini justru yang mempunyai rating tinggi. Rating tinggi itu sama artinya dengan pendapatan melimpah karena penonton banyak dan pemasukan dari iklan juga tinggi. Begitu ada sinetron dengan genre tertentu sukses di sebuah stasiun televisi, akan diikuti oleh stasiun yang lain. Jadi, ada saling tiru atas tayangan di televisi tanah air. Hanya beberapa stasiun televisi tertentu saja yang bertahan tidak mudah meniru tayangan stasiun televisi lain. Namun memang dari segi pendapatan tidak melimpah. Ini memang pilihan orientasi masing-masing televisi.
Itu belum berbicara tentang dampak buruk yang ditimbulkannya. Penonton sinetron kebanyakan bukan berasal dari orang yang berpendidikan tinggi (dari segi ilmu bukan sekadar gelar semata). Mereka inilah penonton yang dieksploitasi oleh tayangan. Dan mereka inilah yang memang tidak mau diajak untuk berpikir kritis. Kelompok ini bisa jadi akan beranggapan bahwa apa yang ditayangan televisi itulah kenyataan sebenarnya. Padahal bukan seperti itu, bukan?
Subjektivitas Media
Media massa (di dalamnya beragam tayangan, termasuk sinetron) itu hanya mengonstruksi realitas yang terjadi di lapangan. Namanya mengonstruksi, jadi tidak semua yang diberitakan di lapangan itu bisa dilaporkan. Media mempunyai pilihan-pilihan untuk memberitakan fakta yang dilihatnya, melalui seorang wartawan. Lalu apakah wartawan yang memberitakan sebuah kejadian itu memberitakan realitas? Ia memberitakan realitas, tetapi realitas media bukan realitas sebenarnya.
Penjelasannya begini. Apa yang disajikan media massa itu memang sebuah realitas. Sebut saja realitas pertama (first reality). Sebagai realitas pertama ia tampil apa adanya. Ketika seorang melihat sendiri aktivitas di sekitarnya (misalnya gunung meletus) berarti ia melihat realitas senyatanya atau realitas pertama. Dalam posisi ini, fakta-fakta terjadi begitu saja sesuai “hukum alam”. Dengan kata lain, realitas pertama tentang aktivitas gunung meletus seperti yang dilihat oleh masing-masing orang, termasuk para wartawan.
Kemudian, dengan kemampuan yang dimiliki para wartawan itu merekam setiap kejadian dalam otaknya melalui alat bantu, entah menulis langsung, merekam pakai kamera atau memotretnya. Apa yang dicatat dan direkam wartawan ini tentu saja sangat tergantung dari filter masing-masing wartawan. Filter dalam kajian komunikasi massa bisa berwujud kondisi psikologis, jenjang pendidikan, pandangan politik, emosi, kepentingan, budaya atau sekadar kondisi fisik. Filter-filter itu harus diakui memengaruhi apa yang wartawan catat, rekam dan tulis.
Kalau sudah begini apakah yang diberitakan oleh wartawan tersebut sebuah realitas? Wartawan memang melaporkan realitas yang direkam dan dicatatnya karena ia memberitakan fakta-fakta di lapangan. Namun demikian realitas yang sudah diberitakan itu sangat dipengaruhi dan tergantung pada filter yang dipunyai masing-masing wartawan. Jadi, wartawan itu tetap memberitakan realitas tetapi realitas yang sudah dikonstruksi. Sebut saja realitas kedua (second reality).
Dengan demikian, wartawan yang memberitakan aktivitas gunung meletus sampai menimbulkan kecemasan masyarakat itu sebuah realitas, tetapi realitas kedua yang sudah bercampur dengan banyak aspek.
Kalau sudah begitu apakah yang diberitakan media massa itu subjektif karena sangat tergantung dari sang wartawan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita mengutip pendapat Jakob Oetama. Dalam buku saya berjudul Jurnalisme Kemanusiaan, Membongkar Pemikiran Jakob Oetama tentang Pers dan Jurnalisme (2010) terungkap bahwa pemberitaan media massa itu objektivitas yang subjektif. Semua kejadian yang diberitakan media itu merupakan sesuatu yang objektif. Sedangkan bagaimana kejadian itu dipilih menjadi berita atau dilaporkan sebagai berita, jelas sesuatu yang subjektif.
Berita itu bukanlah kejadianya itu sendiri, tetapi berita ialah laporan tentang sesuatu kejadian aktual yang sudah melalui beberapa tahapan dan proses sampai menjadi sebuah berita yang muncul di media. Kejadian adalah realitas pertama (sebagaimana disebutkan di bagian awal), sementara berita adalah realitas kedua (ada yang menyebut realitas media).
Diakui atau tidak, faktor subjektivitas sering muncul dalam pembuatan sebuah berita. Ini tak lain karena dalam pembuatan berita, faktor pribadi wartawan terlibat jauh dalam pemilihan fakta-fakta di lapangan. Wartawan menulis berita apa adanya saja sudah subjektif karena ia memilih dan memilah fakta-fakta yang disajikan (bukan fakta keseluruhan). Apalagi kepentingan media ikut memengaruhinya.
Contoh kecil saja begini. Ketika memberitakan korban kecelakaan yang dialami oleh seorang perempuan umur 25 tahun, masing-masing wartawan bisa membuat profiling (pelabelan) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi seorang perempuan itu disebut dengan “perempuan karir”, “perempuan yang bertubuh bahenol”, “wanita yang punya rambut terurai panjang”, atau “wanita yang berwajah manis”. Itu semua sangat tergantung dari persepsi, latar belakang, pengalaman, tuntutan kerja wartawan dan misi-visi medianya. Apalagi jika wartawan yang menulis itu punya kepentingan pribadi di balik pembuatan sebuah berita.
Berkaitan dengan itu, Dennis McQuail (2000) pernah juga mengungkapkan tentang peran media yakni as a window on events and experience dan as a mirror of events in society. Media itu seperti sebuah jendela. Ketika seseorang membuka jendela rumah, ia bisa memandang peristiwa di luar jendela itu. Namun demikian, peristiwa yang ada hanya sebatas sudut pandang jendela tersebut dan bukan semua peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Jendela juga bisa dianalogikan sebagai sebuah jendela. Melalui “jendela itu” kita bisa membaca peristiwa tentang aktivitas gunung Bromo. Tetapi sekali lagi, bukan semua peristiwa yang terjadi, tetapi hanya sebatas sudut pandang yang bisa ditangkap media (realitas kedua).
Sementara itu, media juga bisa sebuah cermin peristiwa di masyarakat (a mirror of events in society). Cermin hanya sebuah pantulan dari kejadian, sama seperti kalau kita sedang bercermin. Apa yang tersaji dalam cermin bukan kenyataan sesungguhnya, tetapi sekadar pantulan dari fakta. Sebagai cermin, media pun hanya mampu memantulkan sebagian kecil dari kejadian yang berlangsung di masyarakat dan tak mampu memenuhi seluruh keinginan manusia.
Bagaimana Dengan Sinetron?
Sinetron jelas bukan berita. Berita saja kalau sudah masuk dalam media massa bukan kejadian atau realitas sesungguhnya. Apalagi jika dikaitkan dengan sinetron yang penuh dengan rekayasa alur cerita. Tujuannya, yang penting adalah menghibur. Ini poin penting yang bisa kita lekatkan pada sinetron Indonesia. Bahkan bisa dikatakan “kodrat sinetron itu menghihur”.
Mengapa begitu? Realitas menghibur dari sebuah sinetron itu adalah bisa dinikmati dengan tidak memakai perangkat ilmu pengetahuan. Semua orang yang normal, bisa mendengar dan melihat bisa menonton sinetron. Bahkan sambil tidur pun tak masalah. Jadi sinetron itu sangat sangat subjektif, bukan?
Karenanya, judul yang diangkat dalam buku itu adalah Sinetron, Menghibur Diri Sampai Mati. Judul itu bisa mempunyai dua arti; pertama, sinetron akan terus menghibur sampai penontonnya bosan sendiri, untuk tak mengatakan mati disebabkan menonton sinetron. Kedua, sinetron hanya bisa dibunuh fungsi menghiburnya kalau televisinya dimatikan.
Buku yang tersaji di tengan pembaca ini adalah cara mahasiswa menganalisis kehadiran sinetron. Karena mahasiswa, jelas khas yang ada pada dunia mereka dengan beberapa kelemahan yang melekat. Tapi, sebagai mahasiswa mereka tetap punya kewajiban untuk meninjau dari sudut pandang akademis. Sebagai mahasiswa tidak hanya menganalisis dari segi positif tetapi bagaimana mereka bisa melakukan pembelajaran pada pembacanya. Sebut saja dengan istilah media literacy (melek media). Jadi, apa yang tersaji dalam buku ini bagian dari media literacy yang dilakukan mahasiswa. Meskipun tidak berdampak hebat, tetapi usaha mereka tetap diacungi jempol.
Buku ini tersaji dari naskah kuliah Komunikasi Massa Semester Pendek (SP) dalam waktu 1 bulan. Sebuah langkah yang cerdas karena dalam waktu singkat bisa dihasilkan sebuah buku.
Semoga buku ini memberikan alternatif sistem pembelajaran dalam perkuliahan yang selama ini dilakukan dan menyadarkan pembaca betapa sinetron di Indonesia tidak saja membodohi tetapi juga mencemaskan bagi perkembangan generasi mendatang. Jangan sampai pembodohan itu seolah menjadi legal dengan tayangan sinetron.
Type rest of the post here Readmore »»
Mari Menekan Kebodohan yang Dilegalkan Media
(Tulisan ini merupakan pengantar buku "Media-media Pembunuh Masyarakat" kumpulan tulisan karya mahasiswa Univ. Muhammadiyah Malang, 2010)
Bisa jadi, ada pembaca yang menganggap judul buku Media-media Pembunuh Masyarakat terlalu bombastis. Pertanyaannya, apakah memang ada media yang tujuannya untuk membunuh masyarakat? Apakah media tidak diciptakan untuk mencerdaskan masyarakat?
Sebenarnya, mengatakan bahwa media semata-mata bertujuan untuk membunuh masyarakat juga kurang tepat. Tetapi, mengatakan bahwa media juga bisa membunuh masyarakat juga tidak salah. Membunuh dalam hal ini juga tidak hanya diartikan membunuh dalam arti fisik, tetapi harus diartikan dalam arti non fisik. Kalau memang begitu, bukankah media juga bisa membunuh masyarakat?
Analoginya begini, ada orang tua yang selalu menuruti keinginan anaknya, misalnya dalam soal pemilihan jajan. Orang tua itu selalu menuruti keinginan anaknya yang selalu minta jajan anak-anak yang mengandung vitsin (‘ciki-cikian”). Niat orang tua barangkali untuk menuruti keinginan anak. Dengan kata lain, yang penting anal-anaknya senang dan tidak rewel. Namun jika kita memahami lebih dalam, memanjakan anak dengan memberikan jajan “ciki-cikian” sebenarnya telah membunuh anak itu pelan-pelan. Tanpa sadar kesehatan anak sedang digerogoti jajanan seperti itu. Si anak senang-senang saja, karena mereka belum bisa berpikir kritis dan tak mengetahui dampak buruk jajan di masa datang.
Anak yang dibesarkan dengan jajan “ciki-cikian” akan rapuh kesehatannya. Bukankah jajan seperti itu telah membunuh anak secara pelan-pelan? Memang, jelas lain dengan membunuh anak dengan menikam pakai belati, tetapi bukankah esensinya sama saja yakni membunuh? Sebut saja, jajan ciki-cikian pembunuh anak-anak.
Nah media, khususnya televisi, tidak jauh berbeda dengan jajan “ciki-cikian” tersebut. Media punya potensi membunuh masyarakat secara pelan-pelan. Bagaimana perilaku membunuh yang ditunjukkan media? Media bisa dikatakan membunuh jika media tersebut tidak membuat cerdas, tidak memberikan pilihan alternatif yang lebih baik, dan membuat masyarakat semakin bodoh.
Barangkali, masyarakat tidak sadar bahwa selama ini mereka dibodohi media massa, sama dengan analogi anak kecil yang senang jajan “ciki-cikian”. Pihak televisi, misalnya, sekadar menuruti kebutuhan masyarakat saja. Dengan kata lain, ia tidak perlu memikirkan secara dalam dampak buruk televisi bagi perkembangan masyarakat di masa datang. Pokoknya, buat acara yang masyarakat membutuhkan, titik. Perkara ada dampak negatif, itu soal nanti.
Pola pikir yang ada pada media seperti tersebut di atas adalah pola pikir media-media pembunuh masyarakat. Media yang memberikan informasi sepihak, menutupi informasi yang seharusnya bisa diketahui masyarakat juga masuk dalam jenis media pembunuh. Inilah mengapa buku ini diberi judul Media-media Pembunuh Masyarakat.
Sekarang kita lihat televisi. Apakah acara infotainment (saya lebih senang menyebutnya infotainer yang berarti informasi tentang para “penghibur”) mendidik masyarakat? Acara seperti itu, jelas hanya mengumbar informasi, gosip, isu, dna informasi yang tidak mendidik. Tetapi mengapa masyarakat menyukainya? Masyarakat memang masih belum terdidik, sehingga sangat menyukai acara tersebut. Mereka tinggal menikmatinya tanpa membutuhkan perangkat pemikiran yang mendalam. Dengan kata lain, orang awampun bisa menikmatinya. Itulah realitas masyarakat kita yang memang suka dengan sesuatu yang artifisial, yang bisa dilihat dan bukan sesuatu yang susbtansial. Mereka yang dari golongan terdidik jelas tidak menyukai acara jenis itu. Apakah Anda masih ingin menontonnya?
Kita buktikan pada kasus yang lain. Buku ini menunjukkan, saat terjadi kasus lumpur Lapindo, ada media yang mencoba menutup-nutupi gejolak masyarakat. Bahkan, media yang punya hubungan dengan PT Lapindo Brantas menyebut bukan lumpur Lapindo, tetapai lumpur Sidoarjo. Ada pelabelan nama yang terkesan sengaja dibuat karena ada kepentingan di baliknya. Cara-cara pelabelan yang tidak adil ini jelas membunuh masyarakat. Mengapa? Sebab masyarakat tertutup peluang untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan adil.
Memang, mencari media yang independen sangatlah susah. Tetapi, usaha ke arah sana tentu harus menjadi tuntutan. Menutupi sebuah fakta memang tidak salah, tetapi menutupi dengan membabi buta dengan menonjolkan fakta lain secara berlebihan juga tindakan yang tidak bijaksana.
Jika media sudah seperti itu, masyarakat harus bersuara. Sekecil apapun aspirasi masyarakat perlu disuarakan. Salah satu suara yang sedang diteriakkan adalah dari kalangan mahasiswa atas ketidakadilan tayangan yang dilakukan media di sekitar kita. Meskipun kecil suara mahasiswa itu tetapi yang pasti mereka telah bertindak dan berbuat untuk mengubah keadaan di sekelilingnya.
Buku ini adalah bentuk kepedulian dan usaha berbuat yang lebih cerdas dari sekadar omongan. Sebab, buku akan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya karena akan didokumentasikan. Beda dengan omongan yang bisa hilang sejalan dengan tiadanya orang yang mengatakan itu. Buku adalah warisan berharga yang tiada duanya. Sebab, tidak semua orang mau dan mampu melakukan proses perubahan dengan buku. Bukan pada hasilnya, tetapi proses yang sudah dijalankannya. Juga bukan pada perubahan masa kini, tetapi masa datang. Dalam posisi inilah sebaiknya pandangan orang tentang buku ini perlu ditempatkan.
Saya sangat mengapresiasi secara mendalam atas terbitnya buku ini. Meskipun tidak sepopuler para artis, aktivitas menerbitkan buku di kalangan mahasiswa akan mempunyai gengsi tersendiri. Tidak saja meningkatkan rasa percaya diri penulis-penulisnya, tetapi juga menekan pembunuhan yang dilakukan media secara legal, bersama-sama dan sangat transparan. Jadi, “publikasikan atau menyingkirlah”.
Type rest of the post here Readmore »»
Beyond Technology
Oleh Nurudin
(Tulisan ini merupakan kata pengantar buku "Serpihan Trend Komunikasi", buku terbitan mahasiswa Univ. Muhammadiyah Surakarta, 2011)
Ada ungkapan yang tidak tertulis tetapi diyakini kebenarannya, yakni “Hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang.” Artinya, perubahan terus akan terjadi kearah kemajuan dan tidak sebaliknya. Tak heran, jika perubahan yang terjadi begitu cepat tanpa disadari manusia itu sendiri. Itu semua karena perantaraan teknologi komunikasi.
Kita jadi bertanya, sebenarnya yang membawa perubahan itu teknologi atau manusia? Itu semua bisa dijawab dengan teori determinisme teknologi yang pernah dikemukakan oleh Marshall McLuhan (Nurudin, 2007).
Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia. Teknologi membentuk individu bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan komunikasi elektronik.
Analoginya bisa begini. Pada awalnya, manusialah yang membuat teknologi, tetapi lambat laun teknologilah yang justru memengaruhi setiap apa yang dilakukan manusia. Zaman dahulu belum ada Hand Phone (HP) dan internet. Tanpa ada dua perangkat komunikasi itu keadaan manusia biasa saja. Tetapi sekarang dengan ketergantungan pada dua perangkat itu manusia jadi sangat tergantung. Apa yang bisa membayangkan jika manusia yang sudah sangat tergantung dengan HP atau internet dalam sehari tidak memanfaatkannya? Adakah sesuatu yang kurang dalam hidup ini? Inilah yang dinamakan determinisme teknologi (meskipun toh teknologi yang menciptakan manusia itu sendiri).
McLuhan pun berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”.
Kita belajar, merasa, dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya, teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri. Radio menyediakan kepada manusia lewat indera pendengaran (audio), sementara televisi menyediakan tidak hanya pendengaran tetapi juga penglihatan (audio visual). Apa yang diterpa dari dua media itu masuk ke dalam perasaan manusia dan mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita. Selanjutnya, kita ingin menggunakannya lagi dan terus menerus. Bahkan McLuhan sampai pada kesimpulannya bahwa media adalah pesan itu sendiri (the medium is the message).
Media tak lain adalah alat untuk memperkuat, memperkeras dan memperluas fungsi, dan perasaan manusia. Dengan kata lain, masing-masing penemuan media baru yang kita betul-betul dipertimbangkan untuk memperluas beberapa kemampuan dan kecakapan manusia. Misalnya, ambil sebuah buku. Dengan buku, seseorang bisa memperluas cakrawala, pengetahuan, termasuk kecakapan dan kemampuannya. Seperti yang sering dikatakan oleh masyarakat umum, dengan buku, kita akan bisa “melihat dunia”.
***
Ada banyak istilah yang menggambarkan fenomena perkembangan teknologi yang kian pesat itu. Ada istilah “Revolusi Komunikasi” sebagaimana dikatakan Daniel Lerner, “Masyarakat Pasca Industri” (the post industrial society) dari Daniel Bell, “Abad Komunikasi” atau “Gelombang Ketiga” (the third wave) dari Alvin Toffler, Global Village/kampung global (Marshall McLuhan).
Istilah Collin Cherry juga tidak jauh berbeda. Fenomena globalisasi sebagaimana digambarkan di atas sering diistilahkan dengan ledakan komunikasi massa. Ledakan komunikasi massa itu ternyata membawa implikasi geografis dan geometris. Implikasi geografis artinya, suatu daerah (baca: negara) pada akhirnya akan terseret arus pada jaringan komunikasi dunia. Adapun implikasi geometris adalah berlipatnya jumlah lalu lintas pesan yang dibawa dalam sistem komunikasi yang jumlahnya berlipat-lipat. Saat ini kita tidak bisa membayangkan bahwa satelit kita dilewati (menjadi perantara) banyak informasi dan pesan. Terseret dalam arus jaringan komunikasi dunia juga termasuk konsekuensi-konseuensi diantaranya ada pasar bebas, demokrasi, hak asasi manusia dan lain-lain.
Akibat tiadanya batas-batas antara negara, maka dunia ini bisa disebut dengan Global Village. Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi di sudut wilayah dunia ini secepatnya bisa diketahui warga dunia. Analoginya hampir sama dengan kehidupan di desa. Perbedaannya, kalau di pedesaan mengandalkan komunikasi tatap muka (gethok tular) sementara untuk dunia modern sekarang ini mengandalkan teknologi modern, salah satunya internet.
Dengan perantaraan internet, masyarakat dunia bisa menjelajah setiap ruang dan waktu tanpa batas, kenyataan ini sama seperti gejala globalisasi. Internet telah memberikan peran dalam penyebaran informasi, kebijakan, peristiwa yang ada di dunia ini. Negara yang mengisolasi diri dari pergaulan dunia lambat laun akan terpengaruh.
Perubahan yang terjadi sebagaimana didambarkan di atas membawa implikasi ke banyak hal. Tidak saja perubahan proses komunikasi antar manusia tetapi juga perubahan institusi, organisasi, komunitas yang akhirnya berpengaruh pada keberadaan manusia itu sendiri. Secara konkrit lihat saja perubahan yang terjadi pada televisi kita. Beragam jenis dan format acara ditayangkan. Lihat saja reality show, infotainment, pembuatan iklan, pergaulan modern, eksploitasi orang-orang miskin dalam acara di televisi dan lain-lain.
Lihat saja acara Jika Aku Menjadi (JAM). Tayangan ini khas eksploitasi orang miskin yang dilegalkan dan dipertontontan yang menjadi lumrah. Mengapa? Semua yang disajikan penuh dengan rekayasa pembuat acara. Talent selalu dipilih wanita. Sebab, wanita harus diakui gampang untuk “dipaksa” menangis, disamping juga wanita mudah untuk diekploitasi karena kecantikannya. Mengapa bukan talent laki-laki? Secara visual laki-laki tidak menarik dan tidak gampang diajak menangis. Inilah perbedaannya. Jadilah eksploitasi dengan menjual kemiskinan. Jika Anda tidak setuju dengan pendapat ini, Anda boleh punya opini lain.
Buku yang tersaji di hadapan pembaca ini mencoba mengkritisi berbagai fenomena tersebut dari berbagai sudut pandang. Tentu saja dengan berbagai kekurangan yang ada, buku ini layak diacungi jempol. Mengapa? Mereka masih menjadi mahasiswa, tetapi mencoba berbuat lebih konkrit. Apa yang dirasakan, didengar, dilihat mereka tuangkan dalam bentuk buku. Karya-karya mereka tentu akan “menohok” para dosen-dosennya yang selama ini tidak mempunyai karya dalam bentuk buku.
Di tengah budaya dengar dan lihat, membuat buku (meskipun kumpulan tulisan) bukan perkara mudah. Apalagi masyarakat kita adalah masyarakat yang mementingkan hasil dari pada proses. Membuat buku adalah sebuah proses panjang untuk masa depan mereka.
Bagi mahasiswa, membuat buku mempunyai keuntungan ganda. Mereka berlatih menulis, mengomunikasi pemikirannya pada orang lain, belajar manajemen penerbitan buku, dan belajar menjualnya. Bukan soal gagah-gagahan, tetapi keberanian untuk mengubah keadaan. Sebagaimana yang saya katakan di awal, dunia ini maju ke depan dan terus akan berubah. Hanya ada dua pilihan; siap berubah atau Anda akan diubah.
Saya jadi ingat pesan Cristoper Morley “Ketika kita menjual buku kepada seseorang, kita tidak hanya menjual sekilo kertas serta tinta dan lem. Kita menjual suatu kehidupan yang sama sekali baru” .
Buku ini mempunyai kekurangan, jadi membutuhkan masukan dan kritik untuk penyempurnaan di masa datang. Hanya saja, saya berharap Anda tidak menjadi “tukang kritik”. Alangkah lebih baik jika kritik tersebut dituangkan dalam bentuk buku.
Selamat membaca.
Type rest of the post here Readmore »»
Rabu, April 20, 2011
"Boikotlah Daku, Kau Kugigit"
Tidak banyak pejabat pemerintah yang dengan terang-terangan berani melawan media. Umumnya, karena kepentingannya, mereka cenderung melayani apa yang diinginkan media. Alasannya, media menjadi jembatan emas untuk meraih ambisi, tujuan dan orientasi pragmatis lainnya.
Tetapi, Dipo Alam (Sekretaris Kabinet) sangat berbeda. Ia berani melawan arus. Bahkan ia menginstruksikan untuk memboikot media. Tidak itu saja, ia akan melawan jika ada somasi dari media sekalipun. Pernyataan yang berani, tetapi tidak melihat dampak “psikologis” dari media. Jadi, pernyataannya bagai bara dalam sekam.
Dua Alasan
Ada beberapa hal yang bisa dikaji dari pernyataan Dipo Alam. Pertama, Dipo Alam memang risih dengan pemberitaan media massa selama ini yang dianggapnya berat sebelah. Bahkan itu terjadi pada media-media yang menjadi “musuh” pemerintah (Dipo Alam berposisi pada pihak pemerintah). Pemberitaan media selama ini dianggap cenderung memojokkan pemerintah secara membabi buta tanpa berimbang.
Kedua, sebagai pejabat pemerintah, tingkah laku Dipo Alam sengaja dibiarkan untuk “melawan” media. Dengan kata lain, dia dijadikan martil. Memang benar berita media selama ini cenderung buruk pada pemerintah, tetapi pejabat pemerintah (presiden, wakil presiden dan menteri) sangat riskan untuk berkomentar seperti Dipo Alam. Dampak politiknya sangat tinggi. Maka, ketika Dipo Alam berani melawan media, dibiarkan saja. Bagi pemerintah (yang disebutkan di atas), biarlah Dipo Alam mewakili pemerintah. Toh kalau punya dampak politik juga tidak terlalu tinggi. Bisa jadi Dipo Alam menyadari fakta ini (?). Dari kasus ini, terbukti bahwa dia adalah sosok sangat loyal pada pemerintah sampai-sampai mengorbankan diri untuk kepentingan (politik) pemerintah (mungkin juga dirinya).
Media itu Pemantau Kekuasaan
Dipo Alam boleh sewot atas pemberitaan, tetapi media mempunyai pilihan sendiri apa yang ingin disiarkan kepada publik. Sama juga dengan pemerintah, apakah akan memilih kebijakan ini dan itu, itu urusan pemerintah.
Sebenarnya, salah satu fungsi ideal media massa dalam politik adalah pemantau kekuasaan (Kovach dan Rosenstiel, 2004). Dalam kaitan ini, media seringkali diangap sebagai “watch dog” (anjing penjaga). Bahkan seorang pakar bernama Wilson Harris pernah mengatakan press is a watch dog of the the public. Artinya, media harus memfungsikan diri sebagai pengamat sosial. Pengamat sosial ini fungsinya meluruskan apa yang bengkok dan menjaga agar yang lurus tetap lurus.
Sebagai anjing penjaga, anjing itu harus bisa menjaga rumah majikanya. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, anjing harus menggongong memberitahu tuannya. Maksudnya agar tuannya waspada ada sesuatu yang harus dia pertimbangkan untuk dilakukan.
Fungsi media massa juga tak jauh berbeda dengan anjing penjaga tadi. Media harus menjadi pengawas. Media harus loyal pada majikannya. Majikan di sini idealnya adalah masyarakat. Tentu saja, majikan yang dimaksud bukan pemilik modal. Jika di masyarakat ada kejadian yang merugikan masyarakat secara umum, media harus berani “menggonggong”, kalau perlu menggigit.
Maka dari itu, jika media mencurigai ada perilaku menyimpang dari pemerintah, media harus berteriak. Tidak jadi soal apakah teriakannya itu lembek atau keras. Sebab itu semua tergantung pada karakteristik masing-masing media. Yang jelas, suara untuk menyampaikan yang kurang berjalan sebagaimana mestinya harus dikatakan. Jika ada korupsi di pemerintahan yang belum juga terselesaikan, media juga harus lantang bersuara. “Hei ada korupsi”, demikian kalau dikatakan secara verbal.
Lebih lanjut, media juga punya tugas untuk memantau kekuasaan pemerintah. Sebab, jika pemerintah tidak dipantau, kebijakannya bisa melenceng dan merugikan masyarakat. Memantau kekuasaan yang di maksud di sini adalah bertujuan untuk menegakkan demokrasi dan keadilan. Artinya, media tidak sekadar memberikan fakta-fakta telanjang saja, tetapi fakta-fakta itu benar-benar memperjelas duduk persoalannya. Misalnya, media sedang melaporkan tindak pidana korupsi seorang pejabat. Media harus bisa menunjukkan bahwa seseorang itu memang benar-benar bersalah dan orang lain tidak bersalah. Tentu saja, semangat praduga tak bersalah harus tetap dipegang teguh.
Demokrasi juga mensyaratkan bahwa media harus menyuarakan “kaum lemah”. Dengan kata lain, media harus menjadi penyambung lidah rakyat. Media bukan sebagai pelayan kekuasaan semata. Ini tak berarti bahwa media itu “menyusahkan orang yang senang”. Misalnya, jangan hanya gara-gara tidak suka dengan seorang politikus, secara membabi buta media mencari-cari kesalahan dia. Ini berarti, media semata-mata hanya menyusahkan orang yang senang.
Fungsi media di sini juga sama dengan parlemen, yakni mengawasi kinerja pemeritah. “Parliament is one lung, and the pers is the other” (parlemen itu ibarat sebuah paru-paru, yang lainya adalah media). Jadi, peran media sangatlah vital, sama dengan fungsi paru-paru dalam tubuh kita. Apa jadinya jika paru-paru seseorang sakit atau bahkan tidak berfungsi sama sekali? Di sinilah media berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat, sama seperti fungsi parlemen.
Sebagai penyambung lidah rakyat, media dituntut untuk tak hanya menampilkan pemberitaan yang berasal dari keterangan pejabat resmi. Atau, hanya berisi silang pendapat dari beragam sumber yang dia liput. Saat ini, media Indonesia banyak yang terjebak dengan jurnalisme kutipan. Mereka lebih suka dengan mengutip pernyataan seseorang, lalu selesai dan diberitakan. Lain hari, jika ada pernyataan lain diberitakan lagi. Kalau begini upaya untuk mencari esensi tidak akan pernah terlaksana.
Jadi, Dipo Alam boleh saja marah dan melakukan boikot. Tetapi media tetap akan terus bersuara. Memang tidak bisa dipungkiri media kadang menyuarakan secara sepihak yang menurutnya perlu dibela. Namun demikian, hal itu tidak harus membuat pejabat atau pihak yang dikritik media menjadi lupa diri, apalagi melakukan tindak kekerasan. Jangan sampai perilakunya menjadi kontraproduktif bagi kemajuan masyarakat di masa datang. Media itu punya tugas mulia untuk pemantau kekuasaan.
Barangkali kita perlu menyimak pendapat Thomas Jefferson, “Jika saya harus memilih antara ada media tanpa ada pemerintah, dengan ada pemerintah tapi tak ada media saya tidak ragu-ragu lagi akan memilih yang pertama”. Jadi, “Boikotlah daku, kau kugigit”
Type rest of the post here Readmore »»
Tetapi, Dipo Alam (Sekretaris Kabinet) sangat berbeda. Ia berani melawan arus. Bahkan ia menginstruksikan untuk memboikot media. Tidak itu saja, ia akan melawan jika ada somasi dari media sekalipun. Pernyataan yang berani, tetapi tidak melihat dampak “psikologis” dari media. Jadi, pernyataannya bagai bara dalam sekam.
Dua Alasan
Ada beberapa hal yang bisa dikaji dari pernyataan Dipo Alam. Pertama, Dipo Alam memang risih dengan pemberitaan media massa selama ini yang dianggapnya berat sebelah. Bahkan itu terjadi pada media-media yang menjadi “musuh” pemerintah (Dipo Alam berposisi pada pihak pemerintah). Pemberitaan media selama ini dianggap cenderung memojokkan pemerintah secara membabi buta tanpa berimbang.
Kedua, sebagai pejabat pemerintah, tingkah laku Dipo Alam sengaja dibiarkan untuk “melawan” media. Dengan kata lain, dia dijadikan martil. Memang benar berita media selama ini cenderung buruk pada pemerintah, tetapi pejabat pemerintah (presiden, wakil presiden dan menteri) sangat riskan untuk berkomentar seperti Dipo Alam. Dampak politiknya sangat tinggi. Maka, ketika Dipo Alam berani melawan media, dibiarkan saja. Bagi pemerintah (yang disebutkan di atas), biarlah Dipo Alam mewakili pemerintah. Toh kalau punya dampak politik juga tidak terlalu tinggi. Bisa jadi Dipo Alam menyadari fakta ini (?). Dari kasus ini, terbukti bahwa dia adalah sosok sangat loyal pada pemerintah sampai-sampai mengorbankan diri untuk kepentingan (politik) pemerintah (mungkin juga dirinya).
Media itu Pemantau Kekuasaan
Dipo Alam boleh sewot atas pemberitaan, tetapi media mempunyai pilihan sendiri apa yang ingin disiarkan kepada publik. Sama juga dengan pemerintah, apakah akan memilih kebijakan ini dan itu, itu urusan pemerintah.
Sebenarnya, salah satu fungsi ideal media massa dalam politik adalah pemantau kekuasaan (Kovach dan Rosenstiel, 2004). Dalam kaitan ini, media seringkali diangap sebagai “watch dog” (anjing penjaga). Bahkan seorang pakar bernama Wilson Harris pernah mengatakan press is a watch dog of the the public. Artinya, media harus memfungsikan diri sebagai pengamat sosial. Pengamat sosial ini fungsinya meluruskan apa yang bengkok dan menjaga agar yang lurus tetap lurus.
Sebagai anjing penjaga, anjing itu harus bisa menjaga rumah majikanya. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, anjing harus menggongong memberitahu tuannya. Maksudnya agar tuannya waspada ada sesuatu yang harus dia pertimbangkan untuk dilakukan.
Fungsi media massa juga tak jauh berbeda dengan anjing penjaga tadi. Media harus menjadi pengawas. Media harus loyal pada majikannya. Majikan di sini idealnya adalah masyarakat. Tentu saja, majikan yang dimaksud bukan pemilik modal. Jika di masyarakat ada kejadian yang merugikan masyarakat secara umum, media harus berani “menggonggong”, kalau perlu menggigit.
Maka dari itu, jika media mencurigai ada perilaku menyimpang dari pemerintah, media harus berteriak. Tidak jadi soal apakah teriakannya itu lembek atau keras. Sebab itu semua tergantung pada karakteristik masing-masing media. Yang jelas, suara untuk menyampaikan yang kurang berjalan sebagaimana mestinya harus dikatakan. Jika ada korupsi di pemerintahan yang belum juga terselesaikan, media juga harus lantang bersuara. “Hei ada korupsi”, demikian kalau dikatakan secara verbal.
Lebih lanjut, media juga punya tugas untuk memantau kekuasaan pemerintah. Sebab, jika pemerintah tidak dipantau, kebijakannya bisa melenceng dan merugikan masyarakat. Memantau kekuasaan yang di maksud di sini adalah bertujuan untuk menegakkan demokrasi dan keadilan. Artinya, media tidak sekadar memberikan fakta-fakta telanjang saja, tetapi fakta-fakta itu benar-benar memperjelas duduk persoalannya. Misalnya, media sedang melaporkan tindak pidana korupsi seorang pejabat. Media harus bisa menunjukkan bahwa seseorang itu memang benar-benar bersalah dan orang lain tidak bersalah. Tentu saja, semangat praduga tak bersalah harus tetap dipegang teguh.
Demokrasi juga mensyaratkan bahwa media harus menyuarakan “kaum lemah”. Dengan kata lain, media harus menjadi penyambung lidah rakyat. Media bukan sebagai pelayan kekuasaan semata. Ini tak berarti bahwa media itu “menyusahkan orang yang senang”. Misalnya, jangan hanya gara-gara tidak suka dengan seorang politikus, secara membabi buta media mencari-cari kesalahan dia. Ini berarti, media semata-mata hanya menyusahkan orang yang senang.
Fungsi media di sini juga sama dengan parlemen, yakni mengawasi kinerja pemeritah. “Parliament is one lung, and the pers is the other” (parlemen itu ibarat sebuah paru-paru, yang lainya adalah media). Jadi, peran media sangatlah vital, sama dengan fungsi paru-paru dalam tubuh kita. Apa jadinya jika paru-paru seseorang sakit atau bahkan tidak berfungsi sama sekali? Di sinilah media berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat, sama seperti fungsi parlemen.
Sebagai penyambung lidah rakyat, media dituntut untuk tak hanya menampilkan pemberitaan yang berasal dari keterangan pejabat resmi. Atau, hanya berisi silang pendapat dari beragam sumber yang dia liput. Saat ini, media Indonesia banyak yang terjebak dengan jurnalisme kutipan. Mereka lebih suka dengan mengutip pernyataan seseorang, lalu selesai dan diberitakan. Lain hari, jika ada pernyataan lain diberitakan lagi. Kalau begini upaya untuk mencari esensi tidak akan pernah terlaksana.
Jadi, Dipo Alam boleh saja marah dan melakukan boikot. Tetapi media tetap akan terus bersuara. Memang tidak bisa dipungkiri media kadang menyuarakan secara sepihak yang menurutnya perlu dibela. Namun demikian, hal itu tidak harus membuat pejabat atau pihak yang dikritik media menjadi lupa diri, apalagi melakukan tindak kekerasan. Jangan sampai perilakunya menjadi kontraproduktif bagi kemajuan masyarakat di masa datang. Media itu punya tugas mulia untuk pemantau kekuasaan.
Barangkali kita perlu menyimak pendapat Thomas Jefferson, “Jika saya harus memilih antara ada media tanpa ada pemerintah, dengan ada pemerintah tapi tak ada media saya tidak ragu-ragu lagi akan memilih yang pertama”. Jadi, “Boikotlah daku, kau kugigit”
Type rest of the post here Readmore »»
Imperialisme Baru Budaya
Saat mengajar mata kuliah Komunikasi Massa, saya ditanya oleh seorang mahasiswa, “Mengapa ide, sikap, perilaku, dan apa yang kita pakai tidak jauh berbeda dengan budaya Barat?”. Sejak beberapa tahun saya mengajar mata kuliah tersebut, baru kali ini saya mendapat pertanyaan seperti itu. Tentu saja, ada banyak ragam yang bisa menjawab pertanyaan cerdas tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya bercerita terlebih dahulu tentang sebuah film yang pernah diproduksi secara kolosal, Titanic, yang dibintangi oleh Kate Winslet dan Leonardo Dicaprio. Film yang dibuat dengan mengandalkan efek audio visual kuat itu sangat digemari oleh penonton Indonesia. Mengapa? Karena film-film Indonesia belum mungkin membuat film seperti itu. Akhirnya, film itu sangat digemari penonton Indonesia.
Yang ingin saya tekankan adalah tanpa sadar ketika kita menyaksikan sebuah film atau mengakses berita-berita dari media massa, kita sedang mengadopsi apa yang datang dari Barat. Lihat saja, mengapa perhelatan Miss Indonesia selalu memakai kriteria sebagai berikut; tinggi, langsing, kulit kuning, rambut lurus (atau kalau perlu pirang), hidung macung, pintar berbahasa asing dan kriteria fisik lainnya. Ini sangat mungkin terjadi karena pengaruh dari apa yang dijadikan kriteria di negara Barat yang disiarkan lewat media massanya. Akan sangat aneh, jika memakai kriteria di luar itu.
Tanpa sengaja, identifikasi ini akan mengarahkan pada kenyataan bahwa untuk menjadi seorang gadis ideal harus bisa memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Apalagi, mereka yang laris untuk jadi artis, bintang sinetron, dan semacamnya memang juga dianggap punya kriteria seperti itu. Di sinilah adopsi budaya Barat yang sadar atau tidak sedang menggejala pada masyarakat kita.
Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang). Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.
Karenanya, kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa di seluruh dunia.
Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film 2012 seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah kenyataan akan hancurnya dunia ini, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Itu semua bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.
Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran yang berasal dari Barat. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan, dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Inilah yang disebut dengan imperialisme budaya Barat dengan mendominasi media massa dunia ketiga.
Salah satu yang mendasari munculnya kajian imperialisme budaya itu adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan, dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.
Ia juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.
Yang tak kalah “ganasnya” adalah bea siswa yang diberikan secara gratis oleh negara Barat ke negara berkembang. Mengapa mereka memberikan cuma-cuma bea siswa itu? Mereka jelas punya misi tertentu untuk “menguasai” negara berkembang.
Mereka yang sempat kuliah di luar negeri akan mengadopsi nilai-nilai luar negeri kemudian dibawa ke Indonesia. Tidak saja gaya hidup, pemikiran, tetapi juga perilaku. Tanpa sadar mereka telah “dijajah” oleh bangsa asing. Saya punya kolega dosen yang selalu cerita tentang luar negeri. Seolah dia menjejalkan semua hal yang berbau luar negeri ke mahasiswanya. Bahkan ada juga yang baru kuliah sebentar saja sudah bercerita kembaikan bangsa asing dan mengolok-olok bangsa sendiri. Bukan tidak boleh, tapi tanpa dipilah-pilah secara cerdas itu jelas akan meracuni. Memang, tak semua budaya kita bagus, begitu juga tak semua budaya asing jelek.
Tentu saja, tidak semua mereka yang kuliah di luar negeri menjadi “agen” bangsa asing. Mereka yang secara sadar tetap kuat pada budaya sendiri dan bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik juga masih ada. Hanya, tanpa disertai sikap rendah diri dan kecerdasan penuh hal itu tak gampang dilakukan.
Dua bentuk imperialisme budaya yang dilakukan media massa dan para pendidik jelas sangat berpengaruh untuk mempengaruhi dan membentuk watak dan bentuk budaya Indonesia. Jadi jelas, pertanyaan mahasiswa di awal tulisan ini bisa dijawab karena adanya imperialisme budaya yang telah merasuk ke dalam pikiran, sikap, dan perilaku manusia Indonesia. Cara penyebarannya secara halus, bahkan mereka yang melakukan dan menerimanya kadang tidak sadar. Inilah cara kerja imperialisme budaya yang riil terjadi dan tak gampang untuk dihindari.
Type rest of the post here Readmore »»
Untuk menjawab pertanyaan itu, sebelumnya saya bercerita terlebih dahulu tentang sebuah film yang pernah diproduksi secara kolosal, Titanic, yang dibintangi oleh Kate Winslet dan Leonardo Dicaprio. Film yang dibuat dengan mengandalkan efek audio visual kuat itu sangat digemari oleh penonton Indonesia. Mengapa? Karena film-film Indonesia belum mungkin membuat film seperti itu. Akhirnya, film itu sangat digemari penonton Indonesia.
Yang ingin saya tekankan adalah tanpa sadar ketika kita menyaksikan sebuah film atau mengakses berita-berita dari media massa, kita sedang mengadopsi apa yang datang dari Barat. Lihat saja, mengapa perhelatan Miss Indonesia selalu memakai kriteria sebagai berikut; tinggi, langsing, kulit kuning, rambut lurus (atau kalau perlu pirang), hidung macung, pintar berbahasa asing dan kriteria fisik lainnya. Ini sangat mungkin terjadi karena pengaruh dari apa yang dijadikan kriteria di negara Barat yang disiarkan lewat media massanya. Akan sangat aneh, jika memakai kriteria di luar itu.
Tanpa sengaja, identifikasi ini akan mengarahkan pada kenyataan bahwa untuk menjadi seorang gadis ideal harus bisa memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Apalagi, mereka yang laris untuk jadi artis, bintang sinetron, dan semacamnya memang juga dianggap punya kriteria seperti itu. Di sinilah adopsi budaya Barat yang sadar atau tidak sedang menggejala pada masyarakat kita.
Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang). Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.
Karenanya, kebudayaan Barat memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film, berita, komik, foto dan lain-lain. Mengapa mereka bisa mendominasi seperti itu? Pertama, mereka mempunyai uang. Dengan uang mereka akan bisa berbuat apa saja untuk memproduksi berbagai ragam sajian yang dibutuhkan media massa di seluruh dunia.
Kedua, mereka mempunyai teknologi. Dengan teknologi modern yang mereka punyai memungkinkan sajian media massa diproduksi secara lebih baik, meyakinkan dan “seolah nyata”. Jika Anda pernah menyaksikan film 2012 seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah kenyataan akan hancurnya dunia ini, padahal semua itu semu belaka. Semua sudah bisa dikerjakan dengan teknologi komputer yang seolah kejadian nyata. Itu semua bisa diwujudkan karena negara Barat mempunyai teknologi modern.
Dampak selanjutnya, orang-orang di negara dunia ketiga yang melihat media massa di negaranya akan menikmati sajian-sajian yang berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran yang berasal dari Barat. Kalau kita menonton film Independence Day saat itu kita sedang belajar tentang Bangsa Amerika dalam menghadapi musuh atau perjuangan rakyat Amerika dalam mencapai kemerdekaan. Berbagai gaya hidup masyarakatnya, kepercayaan, dan pemikiran orang Amerika ada dalam film itu. Mengapa bangsa di dunia ketiga ingin menerapkan demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat? Semua itu dipengaruhi oleh sajian media massa Barat yang masuk ke dunia ketiga.
Selanjutnya, negara dunia ketiga tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh kebudayaan Barat tersebut. Saat itulah terjadi penghancuran budaya asli negaranya untuk kemudian mengganti dan disesuaikan dengan budaya Barat. Inilah yang disebut dengan imperialisme budaya Barat dengan mendominasi media massa dunia ketiga.
Salah satu yang mendasari munculnya kajian imperialisme budaya itu adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan, dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari televisi. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan televisi. Mengapa? Karena televisi menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan.
Ia juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan Barat.
Yang tak kalah “ganasnya” adalah bea siswa yang diberikan secara gratis oleh negara Barat ke negara berkembang. Mengapa mereka memberikan cuma-cuma bea siswa itu? Mereka jelas punya misi tertentu untuk “menguasai” negara berkembang.
Mereka yang sempat kuliah di luar negeri akan mengadopsi nilai-nilai luar negeri kemudian dibawa ke Indonesia. Tidak saja gaya hidup, pemikiran, tetapi juga perilaku. Tanpa sadar mereka telah “dijajah” oleh bangsa asing. Saya punya kolega dosen yang selalu cerita tentang luar negeri. Seolah dia menjejalkan semua hal yang berbau luar negeri ke mahasiswanya. Bahkan ada juga yang baru kuliah sebentar saja sudah bercerita kembaikan bangsa asing dan mengolok-olok bangsa sendiri. Bukan tidak boleh, tapi tanpa dipilah-pilah secara cerdas itu jelas akan meracuni. Memang, tak semua budaya kita bagus, begitu juga tak semua budaya asing jelek.
Tentu saja, tidak semua mereka yang kuliah di luar negeri menjadi “agen” bangsa asing. Mereka yang secara sadar tetap kuat pada budaya sendiri dan bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik juga masih ada. Hanya, tanpa disertai sikap rendah diri dan kecerdasan penuh hal itu tak gampang dilakukan.
Dua bentuk imperialisme budaya yang dilakukan media massa dan para pendidik jelas sangat berpengaruh untuk mempengaruhi dan membentuk watak dan bentuk budaya Indonesia. Jadi jelas, pertanyaan mahasiswa di awal tulisan ini bisa dijawab karena adanya imperialisme budaya yang telah merasuk ke dalam pikiran, sikap, dan perilaku manusia Indonesia. Cara penyebarannya secara halus, bahkan mereka yang melakukan dan menerimanya kadang tidak sadar. Inilah cara kerja imperialisme budaya yang riil terjadi dan tak gampang untuk dihindari.
Type rest of the post here Readmore »»
Selasa, April 12, 2011
Menyoal Second Reality Pemberitaan Media
Kompas (30/11/10) memberitakan keluhan warga Malang berkaitan dengan berita-berita media massa (cetak dan elektornik) yang berlebihan tentang aktivitas gunung Bromo. Akibat pemberitaan yang berlebihan tersebut pendapatan ekonomi yang dihasilkan mereka menurun drastis. Pertanyaan kita adalah mengapa masyarakat menjadikan media massa sebagai “kambing hitam? Apakah yang diberitakan oleh media kita itu memang realitas sebenarnya yang terjadi?
Realitas Kedua
Media massa itu hanya mengonstruksi realitas yang terjadi di lapangan. Namanya mengonstruksi, jadi tidak semua yang diberitakan di lapangan itu bisa dilaporkan. Media mempunyai pilihan-pilihan untuk memberitakan fakta yang dilihatnya, melalui seorang wartawan. Lalu apakah wartawan yang memberitakan sebuah kejadian itu memberitakan realitas? Ia memberitakan realitas, tetapi realitas media bukan realitas sebenarnya.
Penjelasannya begini. Aktivitas gunung Bromo itu sebuah realitas. Sebut saja realitas pertama (first reality). Sebagai realitas pertama ia tampil apa adanya. Ketika seorang melihat sendiri aktivitas gunung Bromo berarti ia melihat realitas senyatanya atau realitas pertama. Dalam posisi ini, fakta-fakta terjadi begitu saja sesuai “hukum alam”. Dengan kata lain, realitas pertama tentang aktivitas gunung Bromo seperti yang dilihat oleh masing-masing orang, termasuk para wartawan.
Kemudian, dengan kemampuan yang dimiliki para wartawan itu merekam setiap kejadian dalam otaknya melalui alat bantu, entah menulis langsung, merekam pakai kamera atau memotretnya. Apa yang dicatat dan direkam wartawan ini tentu saja sangat tergantung dari filter masing-masing wartawan. Filter dalam kajian komunikasi massa bisa berwujud kondisi psikologis, jenjang pendidikan, pandangan politik, emosi, kepentingan, budaya atau sekadar kondisi fisik. Filter-filter itu harus diakui memengaruhi apa yang wartawan catat dan rekam.
Kalau sudah begini apakah yang diberitakan oleh wartawan tersebut sebuah realitas? Wartawan memang melaporkan realitas yang direkam dan dicatatnya karena ia memberitakan fakta-fakta di lapangan. Namun demikian realitas yang sudah diberitakan itu sangat dipengaruhi dan tergantung pada filter yang dipunyai masing-masing wartawan. Jadi, wartawan itu tetap memberitakan realitas tetapi realitas yang sudah dikonstruksi. Sebut saja realitas kedua (second reality).
Dengan demikian, wartawan yang memberitakan aktivitas gunung Bromo sampai menimbulkan kecemasan masyarakat itu sebuah realitas, tetapi realitas kedua yang sudah bercampur dengan banyak aspek.
Subjektivitas
Kalau sudah begitu apakah yang diberitakan media massa itu subjektif karena sangat tergantung dari sang wartawan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita mengutip pendapat Jakob Oetama. Dalam buku saya berjudul Jurnalisme Kemanusiaan, Membongkar Pemikiran Jakob Oetama tentang Pers dan Jurnalisme (2010) terungkap bahwa pemberitaan media massa itu objektivitas yang subjektif. Semua kejadian yang diberitakan media itu merupakan sesuatu yang objektif. Sedangkan bagaimana kejadian itu dipilih menjadi berita atau dilaporkan sebagai berita, jelas sesuatu yang subjektif.
Berita itu bukanlah kejadianya itu sendiri, tetapi berita ialah laporan tentang sesuatu kejadian aktual yang sudah melalui beberapa tahapan dan proses sampai menjadi sebuah berita yang muncul di media. Kejadian adalah realitas pertama (sebagaimana disebutkan di bagian awal), sementara berita adalah realitas kedua (ada yang menyebut realitas media).
Diakui atau tidak, faktor subjektivitas sering muncul dalam pembuatan sebuah berita. Ini tak lain karena dalam pembuatan berita, faktor pribadi wartawan terlibat jauh dalam pemilihan fakta-fakta di lapangan. Wartawan menulis berita apa adanya saja sudah subjektif karena ia memilih dan memilah fakta-fakta yang disajikan (bukan fakta keseluruhan). Apalagi kepentingan media ikut memengaruhinya.
Contoh kecil saja begini. Ketika memberitakan korban kecelakaan yang dialami oleh seorang perempuan umur 25 tahun, masing-masing wartawan bisa membuat profiling (pelabelan) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi seorang perempuan itu disebut dengan “perempuan karir”, perempuan yang bertubuh bahenol”, wanita yang punya rambut terurai panjang”, atau wanita yang berwajah manis”. Itu semua sangat tergantung dari persepsi, latar belakang, pengalaman, tuntutan kerja wartawan dan misi-visi medianya. Apalagi jika wartawan yang menulis itu punya kepentingan pribadi di balik pembuatan sebuah berita.
Berkaitan dengan itu, Dennis McQuail (2000) pernah juga mengungkapkan tentang peran media yakni as a window on events and experience dan as a mirror of events in society. Media itu seperti sebuah jendela. Ketika seseorang membuka jendela rumah, ia bisa memandang peristiwa di luar jendela itu. Namun demikian, peristiwa yang ada hanya sebatas sudut pandang jendela tersebut dan bukan semua peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Jendela juga bisa dianalogikan sebagai sebuah jendela. Melalui “jendela itu” kita bisa membaca peristiwa tentang aktivitas gunung Bromo. Tetapi sekali lagi, bukan semua peristiwa yang terjadi tetapi hanya sebatas sudut pandang yang bisa ditangkap media (realitas kedua).
Sementara itu, media juga bisa sebuah cermin peristiwa di masyarakat (a mirror of events in society). Cermin hanya sebuah pantulan dari kejadian, sama seperti kalau kita sedang bercermin. Apa yang tersaji dalam cermin bukan kenyataan sesungguhnya, tetapi sekadar pantulan dari fakta. Sebagai cermin, media pun hanya mampu memantulkan sebagian kecil dari kejadian yang berlangsung di masyarakat dan tak mampu memenuhi seluruh keinginan manusia.
Catatan Penting
Jadi, kecemasan masyarakat atas pemberitaan berlebihan dari media tidak serta merta harus digeneralisasi. Sebab, masing-masing media mencoba mengungkapkan realitas berdasar realitas kedua atau realitas media. Sementara itu, masing-masing media mempunyai realitas yang berbeda-beda.
Catatan penting yang bisa digarisbawahi adalah bahwa kecemasan masyarakat atas pemberitaan media justru menjadi bukti bahwa media memang mempunyai kekuatan dalam membentuk opini publik. Masyarakat tidak perlu terlalu cemas, begitu pula wartawan juga bisa lebih bijak dalam membuat berita karena pemberitaannya berdampak hebat di masyarakat.
Type rest of the post here Readmore »»
Realitas Kedua
Media massa itu hanya mengonstruksi realitas yang terjadi di lapangan. Namanya mengonstruksi, jadi tidak semua yang diberitakan di lapangan itu bisa dilaporkan. Media mempunyai pilihan-pilihan untuk memberitakan fakta yang dilihatnya, melalui seorang wartawan. Lalu apakah wartawan yang memberitakan sebuah kejadian itu memberitakan realitas? Ia memberitakan realitas, tetapi realitas media bukan realitas sebenarnya.
Penjelasannya begini. Aktivitas gunung Bromo itu sebuah realitas. Sebut saja realitas pertama (first reality). Sebagai realitas pertama ia tampil apa adanya. Ketika seorang melihat sendiri aktivitas gunung Bromo berarti ia melihat realitas senyatanya atau realitas pertama. Dalam posisi ini, fakta-fakta terjadi begitu saja sesuai “hukum alam”. Dengan kata lain, realitas pertama tentang aktivitas gunung Bromo seperti yang dilihat oleh masing-masing orang, termasuk para wartawan.
Kemudian, dengan kemampuan yang dimiliki para wartawan itu merekam setiap kejadian dalam otaknya melalui alat bantu, entah menulis langsung, merekam pakai kamera atau memotretnya. Apa yang dicatat dan direkam wartawan ini tentu saja sangat tergantung dari filter masing-masing wartawan. Filter dalam kajian komunikasi massa bisa berwujud kondisi psikologis, jenjang pendidikan, pandangan politik, emosi, kepentingan, budaya atau sekadar kondisi fisik. Filter-filter itu harus diakui memengaruhi apa yang wartawan catat dan rekam.
Kalau sudah begini apakah yang diberitakan oleh wartawan tersebut sebuah realitas? Wartawan memang melaporkan realitas yang direkam dan dicatatnya karena ia memberitakan fakta-fakta di lapangan. Namun demikian realitas yang sudah diberitakan itu sangat dipengaruhi dan tergantung pada filter yang dipunyai masing-masing wartawan. Jadi, wartawan itu tetap memberitakan realitas tetapi realitas yang sudah dikonstruksi. Sebut saja realitas kedua (second reality).
Dengan demikian, wartawan yang memberitakan aktivitas gunung Bromo sampai menimbulkan kecemasan masyarakat itu sebuah realitas, tetapi realitas kedua yang sudah bercampur dengan banyak aspek.
Subjektivitas
Kalau sudah begitu apakah yang diberitakan media massa itu subjektif karena sangat tergantung dari sang wartawan? Untuk menjawab ini ada baiknya kita mengutip pendapat Jakob Oetama. Dalam buku saya berjudul Jurnalisme Kemanusiaan, Membongkar Pemikiran Jakob Oetama tentang Pers dan Jurnalisme (2010) terungkap bahwa pemberitaan media massa itu objektivitas yang subjektif. Semua kejadian yang diberitakan media itu merupakan sesuatu yang objektif. Sedangkan bagaimana kejadian itu dipilih menjadi berita atau dilaporkan sebagai berita, jelas sesuatu yang subjektif.
Berita itu bukanlah kejadianya itu sendiri, tetapi berita ialah laporan tentang sesuatu kejadian aktual yang sudah melalui beberapa tahapan dan proses sampai menjadi sebuah berita yang muncul di media. Kejadian adalah realitas pertama (sebagaimana disebutkan di bagian awal), sementara berita adalah realitas kedua (ada yang menyebut realitas media).
Diakui atau tidak, faktor subjektivitas sering muncul dalam pembuatan sebuah berita. Ini tak lain karena dalam pembuatan berita, faktor pribadi wartawan terlibat jauh dalam pemilihan fakta-fakta di lapangan. Wartawan menulis berita apa adanya saja sudah subjektif karena ia memilih dan memilah fakta-fakta yang disajikan (bukan fakta keseluruhan). Apalagi kepentingan media ikut memengaruhinya.
Contoh kecil saja begini. Ketika memberitakan korban kecelakaan yang dialami oleh seorang perempuan umur 25 tahun, masing-masing wartawan bisa membuat profiling (pelabelan) yang berbeda satu sama lain. Bisa jadi seorang perempuan itu disebut dengan “perempuan karir”, perempuan yang bertubuh bahenol”, wanita yang punya rambut terurai panjang”, atau wanita yang berwajah manis”. Itu semua sangat tergantung dari persepsi, latar belakang, pengalaman, tuntutan kerja wartawan dan misi-visi medianya. Apalagi jika wartawan yang menulis itu punya kepentingan pribadi di balik pembuatan sebuah berita.
Berkaitan dengan itu, Dennis McQuail (2000) pernah juga mengungkapkan tentang peran media yakni as a window on events and experience dan as a mirror of events in society. Media itu seperti sebuah jendela. Ketika seseorang membuka jendela rumah, ia bisa memandang peristiwa di luar jendela itu. Namun demikian, peristiwa yang ada hanya sebatas sudut pandang jendela tersebut dan bukan semua peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Jendela juga bisa dianalogikan sebagai sebuah jendela. Melalui “jendela itu” kita bisa membaca peristiwa tentang aktivitas gunung Bromo. Tetapi sekali lagi, bukan semua peristiwa yang terjadi tetapi hanya sebatas sudut pandang yang bisa ditangkap media (realitas kedua).
Sementara itu, media juga bisa sebuah cermin peristiwa di masyarakat (a mirror of events in society). Cermin hanya sebuah pantulan dari kejadian, sama seperti kalau kita sedang bercermin. Apa yang tersaji dalam cermin bukan kenyataan sesungguhnya, tetapi sekadar pantulan dari fakta. Sebagai cermin, media pun hanya mampu memantulkan sebagian kecil dari kejadian yang berlangsung di masyarakat dan tak mampu memenuhi seluruh keinginan manusia.
Catatan Penting
Jadi, kecemasan masyarakat atas pemberitaan berlebihan dari media tidak serta merta harus digeneralisasi. Sebab, masing-masing media mencoba mengungkapkan realitas berdasar realitas kedua atau realitas media. Sementara itu, masing-masing media mempunyai realitas yang berbeda-beda.
Catatan penting yang bisa digarisbawahi adalah bahwa kecemasan masyarakat atas pemberitaan media justru menjadi bukti bahwa media memang mempunyai kekuatan dalam membentuk opini publik. Masyarakat tidak perlu terlalu cemas, begitu pula wartawan juga bisa lebih bijak dalam membuat berita karena pemberitaannya berdampak hebat di masyarakat.
Type rest of the post here Readmore »»
Gejolak Timteng dan Kemenangan Jejaring Sosial
(Tulisan ini bagian dari naskah buku "Internet Menuju Cyber Village")
Timur Tengah (Timteng) tengah diguncang prahara. Setelah Zine al-Abidine Ben Ali (Tunisia) turun dari jabatannya pada tanggal 14 Januari dan Hosni Mubarak (Mesir) pada tanggal 11 Februari tumbang, Moammar Khadafy (Libya) digoncang. Khadafy sendiri bereaksi keras atas protes pada dirinya. Peristiwa itu membuka mata para pemimpin Timteng untuk melakukan langkah-langkah baru. Ali Abdullah (presiden Yaman), Omar Hasan (presiden Sudan), buru-buru tidak mencalonkan lagi sebagai kandidat pada Pemilu mendatang. Raja Bahrain, Sheikh Hamad, dengan cepat melakukan dialog dengan oposisi untuk mengantisipasi keadaan.
Tidak bisa dipungkiri meluasnya protes dan tergulingnya dua presiden di Timteng tersebut akibat dari pengaruh teknologi komunikasi jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube dan Flickr. Teknologi komunikasi itu telah memberikan pengaruh pada pola pikir, sikap, dan perilaku warganya (klik: buku)
Dunia Arab yang dikenal dengan budaya Islamnya telah terpengaruh film-film Hollywood dari budaya Barat serta internet yang membuat kehidupan masyarakatnya semakin terbuka dan demokratis. Apalagi, saat ini keberadaan jejaring sosial sudah menjadi keniscayaan. Meskipun berada dalam sebuah negara dengan budaya tertentu, mereka bisa berhubungan dan mengakses informasi dari luar. Ini akan menggesek budaya lokal.
Imperialisme Jejaring Sosial
Berkaitan dengan itu, ada sebuah pendapat yang pernah dikatakan oleh Herb Schiller dalam tulisannya berjudul Communication and Cultural Domination. Kajian Schiller ini melihat peran media massa Barat yang dituduh melakukan imperialisme budaya pada media massa dunia ketiga (berkembang).
Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk memengaruhi media dunia ketiga. Dengan kata lain, media Barat sangat mengesankan bagi media di dunia ketiga. Sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam perspektif ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang dari negara maju, saat itulah terjadi ‘penghancuran” budaya asli di negara ketiga.
Apalagi untuk saat sekarang, berbagai bentuk imperialisme budaya bisa diperluas lewat jejaring sosial. Lihat kasus yang terjadi di Mesir beberapa waktu lalu. Begitu ada gejolak protes di alun-alun Tahrir, banyak saksi mata melihat, merekam dan menulis. Fakta-fakta itu kemudian disiarkan oleh tidak saja stasiun televisi Al Jazeera tetapi juga CNN. Bahkan begitu aksi muncul, kita bisa membaca peristiwa demi peristiwa dalam situs jejaring sosial. Peristiwa ini bisa diakses pula oleh mereka yang tidak hadir dalam demonstrasi di lapangan itu. Tetapi mereka ini ikut menyebarkan gagasan-gagasan akan pentingnya Mubarak mundur dari jabatannya lewat jejaring sosial itu.
Memang, teknologi itu sendiri tidak membuat gerakan. Tetapi orang-orang yang memanfaatkan teknologi jejaring sosial itu dengan antusias memanfaatkannya. Dalam kajian komunikasi kenyataan itu sering disebut dengan communication technological animal.
Communication technological animal berarti individu-individu yang menjadikan teknologi sebagai sangat fundamental bagi humanitasnya. Bagi mereka, teknologi adalah faktor utama dalam melakukan perubahan. Bahkan teknologi komunikasi seperti jejaring sosial dipercaya sebagai alat yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya.
Jejaring sosial telah memungkinkan sesuatu yang selama ini dipendam, misalnya kecurangan presiden, bisa diungkap secara transparan. Barangkali, awalnya sekadar informasi yang disebar, tetapi informasi yang disebar dalam jejaring sosial itu telah membuka mata banyak orang untuk ikut menyebarkannya.
Fenomena di Indonesia juga bisa dijadikan contoh. Berapa banyak kasus-kasus yang diungkap, dipercepat penyelesaiannya, undangan simpati dibangun melalui jejaring sosial? Gerakan sejuta Facebooker pendukung Priya Mulyasari atau gerakan mendukung ditetapkannya Sultan Yogya sebagai gubernur menyebar luas diketahui dari jejaring sosial.
Begitu juga, kepemimpinan tangan besi yang dilakukan mantan presiden Mesir dan Tunisia telah menyebabkan ketidakpuasan masyarakat di dua negara itu. Ketidakpuasan ini kemudian ditulis dalam jejaring sosial. Dengan cepat hal itu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Lihat pula aksi brutal pemimpin Libya Moammar Khadafy yang memerintahkan pasukannya menghalau protes massa dengan rudal antipesawat. Bahkan 1000 orang lebih sudah tewas sejak marak aksi protes di negara yang beribukota Tripoli tersebut. Semua itu bisa diakses melalui jejaring sosial.
Pelajaran Berharga
Pelajaran yang bisa dipetik dari meluasnya jejaring sosial itu antara lain; pertama, tidak ada sesuatu rahasia politik yang terus menerus tersimpan rapat. Para diktator dan pemerintahan tangan besi lambat atau cepat akan digugaut oleh people power. Kedua, penting kiranya pemerintah Indonesia segera untuk melakukan demokratisasi dan penegakan hukum disegala bidang sebelum gerakan rakyat semakin luas. Mereka tidak digerakkan oleh pihak lain, tetapi bergerak sendiri karena solidaritas dan ketidakpuasan atas peristiwa yang menimpanya.
Kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat negara lambat atau cepat akan terus terungkap. Jika ini tidak diantisipasi gelombang protes rakyat akan semakin luas. Lihat kasus demonstrasi menentang PSSI? Itu salah satu contoh kecil solidaritas gerakan yang tidak bisa dipungkiri konsekuensi dari jejaring sosial.
Jejaring sosial yang mempunyai pengaruh hebat untuk melakukan perubahan telah menjadi kekuatan penekan baru (new pressure group) dalam usaha melawan pemerintah. Maka, perubahan yang terjadi di Timteng bukan kemenangan rakyat saja, tetapi juga kemenangan jejaring sosial (Facebook, Twitter, Youtube dan Flickr).
Type rest of the post here Readmore »»
Langganan:
Postingan (Atom)