Media Massa di Indonesia mulai menggeliat lagi menjelang
Pemilu. Itu tak lain karena peristiwa politik ikut menentukan dinamika
masyarakat. Lihat saja, politik juga telah ikut membuat harga bawang naik
drastis. Politik juga membuat media massa kita mempunyai motivasi untuk
memberitakan, entah mendorong ke arah kemajuan atau sebaliknya. Intinya, media
massa mulai bergairah lagi justru ketika politik sudah berkoalisi dengan
ekonomi media massa.
Dari Ekonomi ke Politik
Media
Dengan memakai kajian pendekatan ekonomi politik media,
kegairahan media massa Indonesia tidak bisa dipungkiri. Isi media sangat ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar media. Bagaimana isi media
diproduksi, bagaimana kebijakan media dijalankan atau bagaimana media massa
menjalankan fungsinya ditentukan oleh kekuatan ekonomi politik tadi.
Selama ini kita mengakui bahwa pemilik media, moda,l dan pendapatan media
dianggap menentukan bagaimana isi media. Ia ikut menentukan arah media;
bagaimana berita dipilih dan bagaimana tampilannya. Namun demikian, faktor
politik menjelang Pemilu membuat kekuatan politik lebih menjadi faktor dominan.
Ini tentu tidak mengingkari keberadaan kekuatan ekonomi media.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa media bekerja karena
memang ada fakta-fakta di lapangan. Jika dilapangan ada fakta-fakta X, maka
berita media massa juga fakta tersebut. Ini memang hukum pembuatan berita.
Berita ada karena fakta ada.
Itulah kenapa berita-berita politik seringkali tampil di
media massa karena fakta-fakta politiklah yang banyak terjadi. Ini tidak
berarti bahwa media ekonomi tidak terpengaruh. Berita ekonomi tentu akan
menyorot sisi ekonomi akibat peristiwa politik. Jika demikian, peristiwa
politiklah yang tetap menjadi bahan utama.
Melihat kuatnya pengaruh politik atas media, media perlu
lebih hati-hati untuk tak terseret arus. Sebab, semua partai politik dan elit
politik sedang membangun wacana yang diharapkan bisa disebarkan melalui media.
Bagaimana bentuk campur tangan elit politik pada media? Elite
politik atau katakanlah seorang kandidat bisa “membeli” media massa. Di negara
yang tingkat demokrasinya belum dewasa seperti Indonesia hal demikian sangat
mungkin terjadi. Di Amerika yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi pun,
campur tangan para kandidat pada media massa sedemikian besarnya.
Pada tahun 1996, Kongres Amerika Serikat pernah memberikan dana
sebenar 10 juta dollar kepada jaringan media massa dunia. Sementara itu,
beberapa milyar dollar untuk jaringan media besar yang lain. Karena memberikan
dana, pemerintah mengikatnya dengan meminta dukungan kebijakan. Lihat saja,
pada tahun 2003, ada legitimasi yang memungkinkan media raksasa melakukan
monopoli sebagaimana disahkan oleh
Komisi Hukum Federal Amerika Serikat.
Tidak itu saja, saat ini pasar media berada digenggaman tujuh perusahaan multinasional diantaranya
Disney, Sony, Rime Warber, Viacom, Vivendi, News Corporation dan Berstelsmann.
Ketujuh perusahaan itu menguasai hampir 90 persen pasar media (buku, film,
majalah, kanal televisi dunia). Bagaimana jika perusahaan-perusahaan itu digunakan
secara politis dengan membeli media massa untuk keuntungan para elite politik
atau kandidat? Hasilnya sudah bisa bisa diduga.
Tekanan Elit Politik
Campur tangan elit politik ke dalam media juga semakin transparan. Meskipun tidak ada bukti konkrit,
pernyataan presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Anas Urbaningrum (AU)
memfokuskan diri pada masalah hukum menjadi bukti. Waktu itu AU belum
ditetapkan sebagai tersangka, tetapi ada kesan yang berkembang bahwa SBY
mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menetapkan AU
tersangka.
Jika tidak ada kesengajaan, SBY tidak perlu mengatakannya
kepada media, tetapi langsung meminta KPK. Tetapi mengapa itu dilakukan? SBY
minta tolong media massa untuk ikut mendesak. Buktinya, media massa sangat
ampuh untuk memengaruhi keputusan KPK. Bahkan bocornya Surat Perintah
Penyidikan (Spindik) bisa bocor ke media. Kasus di atas hanya salah satu contoh
bagaimana tekanan elit politik terhadap kebijakan media massa.
Bahkan bisa dikatakan, partai politik yang menjadi pemenang
Pemilu sebenarnya bukan karena partai itu bisa menang, tetapi kemenangan media
massa. Bagaimana mungkin sebuah partai politik beserta program-programnya bisa
“dipasarkan” ke publik kalau tidak ada media massa yang ikut “memasarkannya”? Hanya,
tidak banyak pihak yang mengakui media punya andil besar dalam pemenangan partai
politik atau seorang kandidat.
Menjelang Pemilu, kasak kusuk elit politik sudah semakin
transparan. Entah kemampuan mereka membuat opini publik yang nanti disiarkan
media massa atau terang-terangan “membeli” jam tayang atau berita. Membangun
opini publik misalnya dengan mengatakan “Saya tidak korupsi”, “Saya tidak
terlibat”, atau “Saya berani sumpah”. Kata-kata ini sekadar membangun opini
publik yang diharapkan media massa ikut menyebarkannya. Anehnya, media massa
justru ikut terlibat dukung mendukung pihak-pihak tertentu yang bertikai. Lihat
saja, bagaimana kecenderungan berita atau pemilihan nara sumber yang
dikemukakan media massa.
Karena media massa punya kekuatan ampuh, ia tidak boleh
terjebak pada skenario elit politik. Justru media harus berusaha untuk meliput
sesuatu yang tidak ada di permukaan. Politik bukan sesuatu yang dikatakan,
tetapi justru yang tidak dikatakan.
Maka, mengungkap “berita dibalik berita” menjadi pilihan
cerdas. Soal bagaimana pengaruh berita media pada masyarakat, serahkan kepada
publik. Kalau tidak, media akan terus menjadi tertuduh sebagai lembaga yang
mewakili kepentingan kelompok elit politik tertentu.
by: Nurudin
Sumber: Harian Kontan, 27 April 2013
Sumber: Harian Kontan, 27 April 2013
Type rest of the post here
Comments :
0 comments to “Ekonomi Politik Media Menjelang Pemilu”
Posting Komentar