Tidak bisa dipungkiri kalau media massa telah
berjasa dalam memberitakan dinamika politik menjelang Pemilu. Politik menjadi
hiruk pikuk bak pesta para politisi.
Sementara masyarakat menontonnya dari luar ruangan. Namun demikian, tanpa
disadari hiruk pikuk yang dikonstruksi media massa tersebut justru tidak
mencerdaskan masyarakat. Masyarakat (terutama penonton televisi) bisa jadi,
menjadi semakin bingung mengapa tayangan politik banyak mengulas politisi X secara positif, sementara untuk politisi Y
diberitakan serba negatif.
Sementara itu, televisi menjadi satu-satunya
media audio visual yang mempunyai audience paling banyak. Sehingga
dikhawatirkan masyarakat akan menerima begitu saja atas apa yang disaksikannya
dari media televisi. Mereka yang mendukung partai A, semakin suka menonton pada
televisi X, sementara yang tidak suka akan menonton televisi Y. Di sinilah
terjadi bias informasi yang tentu saja sangat berbahaya bagi pemahaman
masyarakat. Tak ada cara lain kecuali
harus menggerakkan secara cerdas kampanye media
literacy (literasi media).
Ada Apa
dengan TV?
Media televisi Indonesia memang sarat dengan
kepentingan. Media masih menempatkan khalayak sebagai konsumen, karenanya memenuhi
semua selera dan keinginan meskipun tanpa
mencerdaskan. Dengan demikian, apa yang dibutuhkan khalayak ialah yang
akan disajikan tanpa menyadari bahwa tayangan yang diproduksinya itu tidak
mendidik. Jadi, bukan soal apakah tayangan berguna bagi khalayak, tetapi apakah
tayangan tersebut diminati atau tidak.
Lihat saja tayangan menjelang Pemilu. Meskipun
sudah ada larangan tidak boleh ada iklan parpol tertentu sebelum resmi berkampanye, toh televisi tetap melakukannya. Memang bentuknya bukan iklan resmi
tetapi hanya kegiatan partai. Salah satunya, dimungkinkan karena televisi itu memang berhubungan erat dengan
sebuah partai politik, bahkan pemilik media.
Jadilah televisi representasi dari kepentingan
politik pemilik media itu. Apa yang disajikan tentu saja berhubungan erat
dengan target-target politik dari pemilik. Barangkali masyarakat awam tidak
menyadari bahwa itu tayangan yang sangat membodohi dan jauh dari unsur
mendidik.
Krisna Sen dan David T Hill (2001) pernah
mengatakan bahwa media massa Indonesia bukan menjalankan peran merefleksikan
realitas, tetapi merepresentasikan realitas. Karena tidak merefleksikan
realitas, maka media Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan kekuasaan
untuk merumuskan tentang realitas
politik, kultural, dan sosial Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang
berkuasa dan bukan seperti yang dialami rakyat banyak (Iriantara, 2009).
Dengan demikian, media sekadar mengungkapkan
serta memberitakan apa yang terlihat, tetapi jarang memberikan penjelasan
mengapa itu terjadi atau ada apa di balik itu. Padahal, ada banyak
agenda-agenda tersebunyi yang dibawa media. Ini yang tidak dijelaskan dan tidak
diketahui khalayak.
Literasi
Media
Melihat betapa kuatnya televisi memengaruhi dan
tidak berdayanya khalayak, gerakan literasi media menjadi keniscayaan. Secara
definitif berdasar penjelasan UU Penyiaran Pasal 52 (2), literasi media adalah kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap
kritis masyarakat. Inti dari literasi media adalah pemberdayaan masyarakat
untuk kritis atas tayangan media,
terutama televisi.
Tujuan dari literasi media sendiri terutama
sekali mengambangkan sikap kritis masyarakat akan tayangan televisi. Sikap
kritis ini bisa dilakukan dengan selalu curiga bahwa televisi punya agenda
tersembunyi.
Literasi media perlu dilakukan karena media
bukan sebuah alat yang bebas nilai, ia penuh dengan kepentingan-kepentingan
yang tidak saja terbuka tetapi juga terselubung. Masyarakat yang sudah menjadi
konsumen karena mengonsumsi informasi (bukan mengonsumsi berdasar pengetahuan)
akan menerima apa saja yang disajikan media. Kenyataan ini jelas akan berdampak
tidak baik bagi perkembangan individu dan juga masyarakat secara umum. Dengan
kata lain, masyarakat mengonsumsi tidak dengan sikap kritis.
Satu aspek penting literasi media adalah cara
pandang khalayak terhadap media massa. Dalam kenyataan sehari-hari, masyarakat
seringkali lebih percaya apa yang disajikan televisi dari kenyataan sebenarnya.
Dalam kajian komunikasi massa ini disebut dengan teori penanaman (cultivation theory). Masyarakat tanpa
sikap kritis menerima seolah apa yang disajikan televisi terjadi senyatanya
atau seperti itu di sekitarnya.
Misalnya, khalayak akan percaya pada seorang
katua partai politik yang mengusung gerakan perubahan karena khalayak
menyaksikan di televisi. Alasannya, yang dia tonton televisi tersebut dengan
jarang melihat televisi lain. Jadinya, informasi yang masuk hanya dari satu
sisi saja.
Padahal semua itu sudah diformat sedemikian rupa
agar masyarakat percaya terhadap yang disajikan televisi. Akhirnya, masyarakat
akan percaya dengan sesuatu yang tampak saja. Citra yang dimunculnkan oleh
politisi akan dianggap sebagai kenyataan.
Padahal apa yang disajikan televisi hanyalah semu semata. Bagaimana seorang
politisi bersikap tenang, tidak grusah-grusuh
(tergesa-gesa), sementara kenyataannya dia “kejam”, tidak banyak yang tahu.
Gerakan literasi media diharapkan bisa menyadarkan khalayak dan menjawab itu
semua.
Apa yang harus dilakukan? Kita tidak bisa
menyerahkan sepenuhnya gerakan literasi media kepada televisi. Bagaimana
mungkin televisi melakukan kampanye literasi media kalau televisi itu sendiri
yang disorot?
Memang tidak gampang melakukan gerakan literasi
media. Sebenarnya, yang paling penting adalah dimulai dari bangku sekolah.
Harus ada muatan kurikulum yang memberikan gerakan penyadaran akan bahayanya
tayangan televisi. Masalahnya, tidak ada muatan kurikulumnya. Anak didik sudah
disibukkan dengan mata pelajaran yang tidak memberikan kelonggaran waktu selain
belajar.
Cara yang lain adalah terus melakukan gerakan literasi
media ke masyarakat. Gerakan seperti memboikot televisi atau mengurangi jam
menonton televisi juga menjadi bagian gerakan itu. Cara ini sangat sulit
dilakukan pada masyarakat awam. Sementara untuk kalangan terdidik lebih mudah
karena berbagai saluran komunikasi bisa mereka akses. Hanya saja, kalangan
terdidik juga tidak serta merta sadar akan dampak negatif televisi.
Politik tetaplah politik yang di dalamnya penuh
dengan kepentingan. Politik akan lebih berbahaya jika sudah berkoalisi dengan
televisi. Televisi membutuhkan hingar bingar politik untuk meramaikan tayangan,
sementara politik membutuhkan saluran komunikasi untuk menciptakan citra dan kesan
tertentu ke masyarakat. Tak peduli apakah yang dilakukannya itu sebenarnya berguna
bagi masyarakat atau tidak.
Sumber; Solo Pos, 11 April 2013
Type rest of the post here
Comments :
0 comments to “Literasi Media Menjelang Pemilu”
Posting Komentar