Jumat, Mei 08, 2009

Kembalikan Fitrah Kiai Kepada Kami

Oleh Nurudin
Sumber: Harian Kompas, 8 Mei 2009
Tidak ada pihak yang paling bersedih pasca Pemilu legislatif 2009, kecuali kiai. Mereka yang sebelum pemilihan ikut hiruk pikuk mendukung salah satu calon atau partai politik, saat ini seperti hilang ditelan bumi. Wajah-wajah mereka yang beberapa waktu lalu menghiasi baliho, spanduk atau media massa sudah tidak ada lagi. Para legislatif yang sudah jadi berkat dukungannya juga mulai memalingkan mata. Apalagi, jika partai yang didukungnya tidak mendapat suara yang signifikan. Para elite politik juga jalan sendiri, tanpa mau minta nasihat, untuk tak mengatakan menghiraukan suara kiai.

Sudah banyak ulasan, kritikan atas peran atau keikutsertaan mereka dalam politik. Tetapi, para kiai itu memang punya pertimbangan sendiri dalam dukung mendukung kekuasaan politik. Karena politik, siapa yang menang akan mendapat sanjungan, tetapi kalau kalah akan dikritik habis-habisan. Kiai ikut mendukung politik bisa karena memang ingin meluruskan sesuatu yang dianggap bengkok, atau merasa masih punya kekuasaan/kharisma dalam memengaruhi pemilih. Kebanyakan, yang kedua inilah yan dijadikan dasar untuk terlibat dalam politik.

Secara kewibawaan, kiai yang terlibat dalam politik jelas rugi. Sebab, ia sudah dianggap “berpelepotan lumpur” politik. Petuahnya tidak lagi mempan, paling tidak dimata mereka yang tidak didukung oleh para kiai itu. Sebagai panutan, jelas ia semakin kehilangan jamaah, hanya karena perbedaan politik.
Keterlibatan kiai dalam politik memang faktor sejarah. Dalam kerajaan Islam di Jawa tidak secara tegas dipisahkan antara urusan negara (sultan) dengan urusan agama (kiai). Pemisahan itu justru memperkokoh posisi kiai, karena banyak masalah sosial kemasyarakatan yang merupakan bagian dari kebaragamaan seseorang harus ditangani kiai. Dalam sejarah perjuangan bangsa, kiai dipahami sebagai pusat kekuatan sosial politik yang perannya tidak bisa diabaikan sebagai “pahlawan nasional” (Suprayogo, 2007).

Masalahnya, keterlibatan mereka dalam politik tujuannya jelas, yakni mengusir penjajahan. Mereka akan ditokohkan karena masyarakat akan mendukung sepenuhnya. Mereka akan menjadi pahlawan, menang atau kalah dalam “pertempuran”. Tetapi, untuk keterlibatan politik dalam Pemilu, itu soal lain. Ia berurusan dengan heterogenitas kepentingan di masyarakat dengan berbagai ambisi dan keinginan. Dukungan mereka terhadap seseorang atau kelompok justru akan menyakiti pihak lain yang tak didukungnya. Akibatnya, dampak dari fatwanya tidak akan lagi bisa menyentuh seluruh lapisan masayarakat, karena kecurigaan kiai itu telah berpihak. Lihat bagaimana popularitas KH Zainuddin MZ pasca ikut dukung mendukung dalam politik praktis?

Kesalahan Sejarah
Kiai, sebenarnya punya beberapa peran, yakni sebagai pemuka agama, pelayan sosial, dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (sholat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan. Sebagai palayan sosial ia dijadikan tempat bertanya pengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan dan sebagai orang yang dituakan. Dalam politik, ia akan memainkan peran yang terkait kepentingan umum ke berbagai saluran politik baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keterlibatan kiai dalam politik bisa jadi “kesalahan sejarah”. Kiai adalah atribut yang diberikan masyarakat atas peran dan kemampuannya dalam bidang keagamaan. Itulah mengapa, para politisi tidak bisa disebut dengan kiai karena mereka tidak punya legitimasi berbicara tentang keagamaan. Keterlibatan kiai dalam politik adalah darurat. Yakni ikut mengubah nasib bangsa ini, khususnya mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Jika politik dalam keadaan tidak darurat, kiai tidak perlu berperan banyak. Ia justru punya tugas berat mendidik, mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai kaidah agama. Sebab, agama adalah sumber moral paling penting bagi kehidupan umat manusia.

Tetapi, kenyataan ini tidak gampang diwujudkan. Ada banyak syahwat kiai untuk terlibat dalam politik. Dari alasan meluruskan yang kurang pas, sampai ikut-ikutan saja. Sementara itu, keluguan politik kiai justru menjerumuskan dirinya untuk terperosok ke dalam politik praktis yang penuh kepentingan. Politik adalah dunia yang penuh dengan manipulasi, trik, menghalalkan segala cara, dan berorientasi pada tujuan. Sementara itu, dunia kiai bukan dunia yang seperti itu.
Kalaupun ia ingin mengubah, bukan kebaikan yang diterimanya, tetapi justru ikut belepotan keburukan yang selama ini ada dalam dunia politik. Ia akhirnya akan membentur batu karang yang tak mudah untuk dipecahkan. Makanya, siapapun kiai yang terlibat di dalam politik ia harus siap menanggung “dosa-dosa” politik. Kalaupun tetap punya jamaah, sangat mungkin akan berkurang.

Kembalikan sang "Pamomong"
Apa yang harus dilakukan? Pertama, biarlah urusan politik diurusi oleh para politisi. Sebagai sosok yang ditokohkan bahkan pewaris ajaran nabi, kiai harus mewujudkan dirinya sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Para kiai seyogyanya menjadi inspirasi dan sosok panutan seluruh umat manusia. Bahkan yang berbeda agama sekalipun. Jika ia terlibat politik, posisi sebagai rahmat bagi seluruh alam akan berubah menjadi rahmat bagi kelompok tertentu.

Kedua, kiai tidak boleh percaya begitu saja pada omongan para politisi. Berapa banyak kiai yang dirugikan dengan omongan para politisi? Berapa banyak para kiai yang awalnya mendukung PKB akhirnya berubah haluan mendukung PKNU? Bukankah itu karena alasan kekecewaan pada elite politik dalam partai yang berlogo bumi dan tali jagat itu?

Ketiga, masyarakat sekarang sudah semakin jenuh dengan politik. Peningkatan angka Golput menjadi bukti keengganan mereka untuk ikut hiruk pikuk dalam politik. Masyarakat membutuhkan sosok yang teduh, ngayomi dan bisa dijadikan suri teladan untuk kemaslahatan umat. Sosok seperti itu ada pada kiai. Tetapi, kiai di sini tentu saja kiai yang tidak banyak terlibat dalam politik praktis.

Kiai adalah sumber inspirasi rakyat yang tiada habisnya. Kiai adalah sosok yang terus dan selalu hadir ketika rakyat mengalami kebingungan, tiadanya haluan, dan kehilangan sosok panutan. Maka, “Kembalikan fitrah kiai kepada kami”.


Nurudin, staf Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Sumber: Harian Kompas Jatim, 8 Mei 2009

Comments :

2 comments to “Kembalikan Fitrah Kiai Kepada Kami”

wah pak,kok soal kiai nih
memang, mungkin juga sich, kalau kiai ikut berpartisipasi dalam politik hanya sebagai syarat
menurut saya, para kiai sebenarnya dijadikan ikon ato apalah namanya.
karena budaya indonesia masih menganggap "sesepuh" mempunyai kekuatan tersendiri untuk menarik simpati. mungkin sich

Yanuar Catur mengatakan...
on 

nah, makanya kiai tidak usah ikut2an terjun ke politik mas. ngurusi umat saja sudah repot kok. itulah "keluguan" politik kiai. ya kan? he he

Nurudin mengatakan...
on