Senin, Juni 24, 2013

Gagalnya Kudeta dan Soal Komunikasi Politik

Isu kudeta yang bergulir cepat sebagaimana dikatakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tidak terjadi, tetapi dampak dari pernyataan presiden itu layak untuk didiskusikan lebih lanjut.  Ini penting dilakukan agar masyarakat tahu kenyataan sesungguhnya kenapa presiden  membuat pernyataan seperti itu.
Ada yang mengatakan, pernyataan presiden bahwa tanggal 25 Maret 2013 akan terjadi penggulingan dirinya berlebihan. Sementara, pernyataan itu membuat aparat keamanaan siaga satu di bebagai tempat, terutama di Jakarta. Demonstrasi besar-besaran yang diduga akan dilakukan, ternyata tidak terjadi.
Ada banyak pendapat yang bermunculan soal gagalnya kudeta tersebut. Misalnya, itu hanya  kecemasan presiden menanggapi konstelasi atau propaganda politik menjelang Pemilu.   Karena presiden itu jabatan politik, pernyataan yang diungkapkan juga  harus ditanggapi dalam bingkai komunikasi politik.

Komunikasi Politik
Sebenarnya, presiden memang sengaja mengeluarkan kata-kata bahwa akan terjadi kudeta. Bagaimanapun juga presiden itu seorang aktor komunikasi politik. Aktor tidak hanya berada dalam wilayah praksis sosial tetapi juga pandai berwacana. Komunikasi dan berwacana itu tetap penting dalam sebuah sistem politik.
Komunikasi yang dikemukakan itu mempengaruhi dan dipengaruhi sistem politik. Mc Quail (Meadow, 1980:4) pernah mengungkapkan “System whose component interact with respect to power and authoritative reseource allocation for the purpose of making decisison” (sistem-sistem yang memiliki komponen-komponen yang saling berinteraksi satu sama lain yang terkait dengan kekuasaan dan kewenangan penjatahan sumber daya untuk maksud pengambilan keputusan).
Pendapat McQual itu menekankan bahwa komunikasi politik juga menyangkut kekuasaan dan kewenangan sumber daya (manusia, alat). Jadi tetap dan berkurangnya kekuasaan, komunikasi politik akan dilakukan.
Sebagai seorang aktor, SBY memang harus pandai mengelola semua kejadian-kejadian politik di sekitarnya dari yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Satu hal yang penting, agar semua yang dilakukan itu tetap menguntungkan kekuasaan politiknya.
Sebagai aktor komunikasi politik, presiden sadar bahwa ada ketidakpuasan masyarakat yang terus ditujukan kepadanya. Itu juga semakin kuat ketika kelompok-kelompok kepentingan yang juga tidak suka ikut memberikan andil atau mengipas-ngipasi keadaan.
Berbagai upaya juga telah dilakukan presiden. Dari soal terus menjaga citra, sibuk mengurusi partainya yang elektabilitasnya semakin merosot, isu korupsi yang menyangkut beberapa kroni politiknya, sampai persiapan Pemilu yang kian dekat yang akan menentukan kekuasaan dirinya di masa datang. Belum lagai kecemasan karena  belum mempersiapkan Daftar Calon Legislatif (DCS) karena persoalan intern partai.
Fakta-fakta itu digunakan oleh lawan-lawan politiknya untuk menghantam. Maka merebaklah isu akan terjadi kudeta. Sebagai seorang kepala negara, dia tentu sudah mengetahui bahwa ada kasak-kusuk yang seolah mau menggulingkan dirinya. Untuk melawan secara fisik jelas tidak mungkin karena masih merupakan “gerakan bawah tanah”. Mau menangkap orang-orang yang “makar” juga tidak kuat karena tidak ada bukti konkrit yang menyertainya.

High Politic
Yang kemudian dilakukan adalah membuat wacana ke publik. Maka keluarlah penyataan presiden bahwa akan ada kudeta terhadap dirinya. Karena yang mengeluarkan pernyataan seorang presiden, dampaknya sangat luar biasa.
Ada beberapa catatan yang bisa dikemukakan dalam hal ini; pertama, presiden dalam keadaan cemas karena desakan untuk mundur atau ketidakpuasan terhadapnya semakin tinggi sementara persoalan partainya semakin rumit.  Sementara itu, sumber kudeta juga tidak jelas.
Dalam politik main kartu domino, seorang pemain sengaja menjatuhkan kartu untuk memancing lawan untuk menjatuhkan kartunya. Sementara itu, pemain yang sengaja menjatuhkan kartunya itu sudah mempunyai antisipasi. Kalau yang dijatuhkan kartu X dia akan melawan dengan kartu Y, kalau yang dijatuhkan lawan kalau A, dia akan lawan dengan kartu B. Sementara penonton permainan itu terbuai dan ikut-ikutan arus permainan. Sementara sang pemain itu santai karena sudah dikalkulasi apa yang akan terjadi.
Ketika presiden mengeluarkan pernyataan akan terjadi kudeta, berbagai tanggapan beragam. Elit politik  sibuk membantah akan ada kudeta. Dan ini yang dikehendaki yang mengeluarkan pernyataan. Istilahnya “nabok nyilih tangan” (memukul meminjam tangan orang lain).
Aparat keamanan kemudian sibuk mempersiapkan diri jika benar-benar terjadi kudeta. Siaga satu dari aparat ini dampak dari pernyataan presiden. Artinya para penonton permainan akan ikut arus permainan presiden.
Sementara itu, setelah pernyataan dikeluarkan dan persiapan-persiapan yang dilakukan aparat keamanan, membuat lawan-lawan politik harus berpikir ulang.  Mereka juga akan membuat kalkulasi melakukan dan tidak melakukan aksi. Kartu domino presiden telah nyata membuat lawan politik memaksa diri mengeluakan kartu lain (baca: tidak jadi ada aksi). Di sinilah wacana politik presiden berhasil. Melawan dengan memakai wacana komunikasi politik. Hal demikian juga pernah dilakukan pada era Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kedua, komunikasi politik yang dilakukan presiden itu adalah sebuah gertakan terhadap lawan-lawan politik. Dalam studi ilmu komunikadi disebut dengan fear arousing communication.
Mengapa itu dilakukan? Dalam permainan politik kalah menang tidak hanya ditentukan oleh persaingan dalam Pemilu, tetapi juga kemampuan menggertak. Era Gus Dur, ia pernah menggertak akan mengeluarkan Dekrit jika DPR melengserkan dirinya. Padahal Dekrit dikeluarkan jika negara dalam keadaan bahaya. Gus Dur hanya menggertak dan sangat mungkin sebenarnya tidak akan mengeluarkan Dekrit.  
SBY mengeluarkan pernyataan bahwa akan terjadi kudeta ternyata manjur. Buktinya, lawan-lawan politik tidak jadi membuat aksi demo menuntut dia mundur. Ilmu menggerta lain juga pernah dilakukan ketika meminta Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) memfokuskan diri pada masalah hukum yang sedang dituduhkannya. Buktinya, KPK segera mengeluarkan surat yang menetapkan Anas sebagai tersangka.
Langgengnya kekuasaan politik seseorang bukan hanya ditentukan secara adu fisik (pertikaian, perkelahian, pemungutan suara).  Tetapi yang juga tak kalah pentingnya adalah soft power seperti mengelurkan wacana.  

Artikel ini penting dikemukakan bukan membela presiden, tetapi agar masyarakat mengetahui ada agenda-agenda dibalik sebuah pernyataan atau sesuatu yang tak tampak. Politik karenanya adalah bukan pada sesuatu yang dinyatakan, tetapi apa yang tidak dinyatakan.

Comments :

0 comments to “Gagalnya Kudeta dan Soal Komunikasi Politik”