Senin, Juni 24, 2013

Menguatnya Pragmatisme Elite Politik


Saat ini, banyak partai politik (parpol) yang sudah sibuk untuk membuat Daftar Calon Sementara (DCS) anggota legislatif. Seperrti biasanya, banyak cara dilakukan entah dengan merekrut artis, meminang calon politisi yang mapan secara ekonomis sampai mengangkat anggota keluarganya sendiri. Itu semua dilakukan untuk memenangkan kompetisi politik lima tahunan tersebut.
Bahkan, ada juga politisi “kutu loncat” yang berpindah dari satu parpol ke parpol yang lain. Itu semua dilakukan untuk meraih kekuasaan, seperti halnya tujuan parpol itu sendiri. Karenanya, yang penting lolos atau menang menjadi tujuan utama, tak jarang berbagai macam cara pun dilakukan. Namanya saja kegiatan politik yang berorientasi pada kekuasaan.


Basa Basi Politik
Yang kemudian terjadi adalah bagaimana caranya mereka memenangkan kompetisi politik. Untuk mencapai tujuannya, tak jarang mereka akan mengklaim diri sebagai “sang pembela” rakyat. Dalam propaganda ini disebut dengan plain folk.
Plain Folk adalah propaganda yang menggunakan identifikasi terhadap suatu ide. Propagandis mengidentifikasikan dengan sesuatu yang ideal, lepas dari apakah ia memang demikian atau tidak. Lihat misalnya kata-kata “demi penegakan HAM”, “untuk kepentingan wong cilik”, “demi pemerintahan yang bersih”,  dan “ demi menegakkan kebenaran dan keadilan”. Tujuannya jelas, agar identifikasi itu bisa dipakai untuk menaruh perhatian para konstituen. Harapannya, agar mereka percaya dan memilih para elite politik yang mengklaim punya identifikasi tersebut.
Cara seperti itulah yang disebut dengan basa basi politik. Artinya, tidak ada niat tulus para elite politik tersebut untuk melakukan apa yang dia katakan. Semua serba basa-basi. Sebab yang ada dalam pikirannya sangat berbeda dengan apa yang dia ucapkan. Ibarat seperti pepatah “jauh panggang dari api”. Semua yang dikatakan bisa jadi serba tidak mungkin.
Satu pelajaran yang layak dipetik dari basa-basi politik tersebut adalah tidak ada janji politik yang abadi. Maka, kita harus memahami sebaliknya dari apa yang dikatakan oleh para elite politik itu. Pemahaman terbalik ini penting dilakukan agar kita tidak kecewa. Jadi, jika ada elite politik mengatakan, “saya akan membela wong cilik”, dalam pikiran kita perlu berpikir sebaliknya. “Demi kepentingan para petani”, maka dalam pikiran kita dia tidak akan membela para petani tersebut.
Menjelang Pimilu 2014,  kita akan kembali menyaksikan pentas basa-basi politik dengan propaganda plain folk itu. Semua, demi kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Pragmatisme
Perilaku elite politik di atas dimungkinkan muncul karena gejala pragmatisme sedang menjangkiti mereka. Dalam filsafat, pragmatisme memandang bahwa  sesuatu dianggap benar sangat tergantung pada asas manfaat. Dengan kata lain, sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat.
Itu berarti penganut pragmatisme akan mengukur sesuatu dari sudut pandang manfaat apa yang diperoleh. Sebenarnya, manfaat ini bisa juga untuk orang lain. Namun dalam perkembangannya kemudian, pragmatisme dianggap benar karena bermanfaat bagi dirinya sendiri saja.
Itulah kenapa, orang yang pragmatis adalah orang yang mementingkan dirinya sendiri. Ia berorientasi pada perilaku yang hanya menguntungkan diri  dan kelompoknya. Orang pragmatis karenanya, tidak banyak yang punya panggilan untuk peduli dengan orang lain. Yang ada dalam benaknya adalah bagaimana ia memupuk keuntungan untuk dirinya sendiri.
Karena orang pragmatis ini hidup di tengah masyarakat, maka ia akan mudah untuk memperlihatkan diri sebagai orang yang peduli, meskipun kenyataannya tidak demikian. Orang seperti ini akan dengan gampangnya mengelabui orang lain dengan perilakunya. Ibaratnya, ia punya hati serigala, tetapi berbulu domba.
Itu semua dilakukan karena orientasinya sudah pada kekuasaan. Yang terjadi kemudian adalah bagaimana memenangkan kompetisi untuk meraih kekuasaan tersebut. Soal apakah kekuasaan itu digunakan untuk memakmurkan rakyat atau tidak, itu soal nanti.
Jika pragmatisme elite politik tersebut di atas benar-benar terjadi, sangat sulit ditemukan pimpinan yang memang memperhatikan kepentingan rakyatnya. Jika kekuasaan sudah direbut, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara mempertahankannya.
Yang kemudian dikhawatirkan adalah  pragmatisme elite politik tersebut akan menular atau ditiru masyarakat. Jika ini terjadi, lengkap sudah bangsa ini akan menuju kehancurannya. Sebab, elite dan masyarakatnya sama-sama sudah terjangkiti pragmatisme.
Akibat semua ini, jangan heran ketika masyarakat hanya mau memilih para pemimpinnya jika mendapatkan ganjaran langsung. Maka tak perlu heran pula, jika masyarakat hanya mau memilih elite politik yang mampu membayarnya. Dari sini, politik uang akan semakin menjadi gejala umum di tengah masyarakat.  
Ini juga didukung karena para elite politik yang mengejar kekuasaan itu berjuang untuk mencapai kemakmuran. Karena jabatan politik adalah jabatan yang basah dan gampang mendatangkan uang, jangan salahkan masyarakat jika mereka juga menginginkan para kandidat itu untuk membayar terlebih dahulu sebelum dipilih.
Dalam kehidupan politik di Indonesia, seringkali pemimpin dianggap sebagai sosok yang menjadi panutan, dicontoh, dan diteladani. Perubahan politik, ekonomi, dan sosial juga tergantung para pemimpin itu. 
Maka lewat tangan pemimpinnya berbagai perubahan yang baik di masa datang diletakkan, begitu juga sebaliknya. Jika bangsa ini tidak menginginkan pragmatisme melanda mereka, para elite politik juga perlu memberikan contoh yang baik.
Sumber: Lombok Post 13 April 2013


Comments :

0 comments to “Menguatnya Pragmatisme Elite Politik ”