Perang
selalu dikaitkan dengan pesawat tempur, bom, mortir, roket, kapal perang, tank,
jumlah korban, kebijakan penyerangan, kesedihan, tangis, dan simpati masyarakat
dunia. Itu perang dalam arti klasik dan tradisional. Dalam perang modern, peran
media yang ikut memanas-manasi perang juga tidak kalah pentingnya untuk
disimak. Dalam era internet sekarang, media sosial (twitter, facebook, youtube,
flickr dan media sosial lain) menjadi penentu untuk menentukan perang juga.
Mengapa
begitu? Kita bisa menyimak penyerangan Israel ke Palestina akhir-akhir ini. Israel
tidak saja menyerang wilayah Rafah, Gaza tetapi juga menggencarkan kampanye dan
propaganda melalui media sosial. Pasukan Israel pernah mengonfirmasi serangan
udara yang dilakukan pasukannya melalui akun twitternya.
Lihat juga akun
@IDFspokesperson yang pernah mengeluarkan twit, kemudian
mengusung hastag #IsraelUnderFire. Ia memperlihatkan video roket dari Gaza yang
ditembakan ke Israel, berikut gambar anak-anak Israel yang terluka. Israel
ingin menunjukkan diri bahwa dia diserang dan dizalimi. Pentingnya media sosial
sampai Kementerian Luar Negeri Israel menginvestaikan
$ 15 juta untuk kampanye citra negara itu.
Sementara itu, Al-Qassam,
kelompok militer (dipimpin Al Jaabari) juga tidak mau kalah. Lewat akun
twitter, mereka ingin memperlihatkan serangan-serangan yang dilakukan kelompok
tersebut ke sasaran militer Israel serta kematian anak-anak Palestina dengan
menggunakan hastag #terorisme.
Secara historis peran propaganda media yang terus dilakukan Israel bisa
ditelurusi sejak Perang Dunia (PD II) lewat gerakan Zionisme (mendirikan negara
Yahudi merdeka di tanah Palestina). Untuk mewujudkan abisinya, Israel melakukan
propaganda.
Salah satu propaganda yang dilakukan dengan menciptakan mitos-mitos.
Mitos “darah selain Yahudi itu tidak suci” membuat bangsa Yahudi menjadi bangsa
yang merasa paling baik di dunia. Sehingga, ada aturan bangsa Yahudi tidak
boleh menikah dengan etnis bangsa lain.
Ada juga mitos bahwa Nazi Hitler telah membantai 6 juta warga Yahudi.
Meskipun Nazi Hitler memang pernah membunuh bangsa Yahudi, tetapi mitos itu terlalu
dibesar-besarkan. Roger Geraudy (2000) pernah mencatat bahwa Israel sengaja menanamkan
mitos yang berujung pada dukungan akan berdirinya negara Israel. Mitos Israel
yang menjadi negara teraniaya terus beredar dalam catatan sejarah buku, media
karena pernah diusir dari tanah Palestina dan dibantai Nazi Hitler. Geraudy
menganggap itu mitos untuk propaganda mereka.
Kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memancing perang, dalam
istilah propaganda disebut dengan warmongering.
Propaganda ini dilakukan agar perang yang dilakukan itu sah dan didukung banyak
pihak.
Propaganda media untuk menghembus-hembuskan perang saat ini bisa
diambilalih oleh media sosial atau jejaring sosial. Pertanyaanya, mengapa media
sosial sedemikian dahsyat dalam menyebarkan pesan-pesannya?
Pertama, masyarakat sedang euforia untuk tak menyebut kemaruk media sosial.
Media itu sedang digandrungi masyarakat dunia. Tak ada warga kota yang tidak
terpengaruh oleh media sosial. Bahkan semua media massa cetak dan elektronik
sekarang harus memanfaatkan media sosial itu untuk menyebarkan pesan-pesannya. Dimanapun
tempat, masyarakat memanfaatkan media sosial. Itu bukti betapa hebatnya
pengaruh media sosial. Bahkan Indonesia menduduki ranking ke-4 pemakai facebook
(43 juta pengguna) setelah Amerika, India, dan Brazil.
Kedua, media sosial mampu menyebarkan pesan secara revolusioner. Pesan yang
disebarkan lewat media sosial sedemikian dahsyatnya memengaruhi sikap dan
perilaku masyarakat. Revolusi Mesir (2011) dengan tergulingnya Hosni Mobarak
karena media sosial juga.
Kaitannya dengan media
sosial, Revolusi Mesir berawal dari
inisiatif Whael Ghonim yang membuat akun FB ‘We are all Khaled Said’ pada Juli
2010. Akun tersebut kemudian menarik massa yang sangat banyak, khususnya yang
menjadi oposan pemerintah. Akun itu dibuat
Ghonim sebagai bentuk simpati terhadap Khaled Said yang menjadi korban
penyiksaan anggota kepolisian Mesir di sebuah warnet di Alexandria. Akhirnya,
kasus itu menjadi media komunikasi
kelompok anti pemerintah dalam melakukan gerakan demonstrasi (Lutvia, 2011).
Setelah akun ‘We are
all Khaled Said’, pendukung-pendukung Ghanim kemudian membuat akun facebook
lain. Salah satunya akun ‘6th of April Youth Movement’ yang juga digunakan
untuk gerakan anti pemerintah. Selain FB, twitter juga digunakan. Melalui twitter, para demonstran saling
berkomunikasi dan memberikan informasi tentang perkembangan demonstrasi Mesir.
Ketiga,
kepercayaan masyarakat pada media sosial melebihi kenyataan sebenarnya. Ini
bisa dilihat karena sedemikian kuatnya kepercayaan manusia pada media sosial,
meskipun kenyataannya belum tentu seperti itu.
Analoginya bisa begini, seseorang yang kecanduan nonton tayangan hantu di TV mendadak
bisa takut keluar malam karena seolah banyak hantu di sekelilingnya. Padahal
kenyataan sebenarnya tidak sebagaimana ditayangkan dalam televisi. Itu
sebabnya, media sosial juga telah menanamkan sebuah kepercayaan yang melampaui
kenyataan sebenarnya.
Hati-hati
Tak bisa dipungkiri,
media sosial telah tumbuh menjadi alat baru untuk propaganda. Sebagai sebuah alat,
propaganda melalui media sosial diyakini mempunyai dampak yang dahsyat. Ini
karena media sosial (meminjam istilah Marshal McLuhan) tak lain the extension of man (kepanjangan
manusia). Artinya, apa yang menjadi hasrat manusia diperluas dan disebarkan
oleh media sosial.
Media sosial memang telah
mampu menjadi tali penyambung berbagai kepentingan masyarakat dunia. Media
sosial juga telah membantu menyebarkan gagasan-gagasan yang baik bagi kehidupan
manusia. Informasi yang disebarkan seringkali lebih aktual dibanding dengan media massa mainstream.
Namun begitu, media
sosial tanpa digunakan secara bijak hanya akan berfungsi sebagai racun pembius (narcotizing dysfunction). Propaganda perang menjadi salah satu bukti
konkrit bagaimana media sosial digunakan secara tidak bijak. Menggunakan media
sosial untuk perang memang tidak salah, hanya tidak seratus persen benar.
Karenanya, informasi
yang disebarkan media sosial belum bisa digaransi kebenarannya. Perilaku
aktivis media sosial juga bisa disebut braggadocian
behavior (braggart berarti pembual atau penyombong). Mengapa? Sebab apa
yang dikatakannya belum tentu sesuai kenyataan. Bisa jadi seseorang menulis status
“sedang makan enak” namun kenyataannya tidak demikian, ia hanya membual saja.
Begitu juga ketika
media sosial Israel memberitakan sebuah gambar korban anak-anak Israel yang
terluka, bisa menjadi sebuah informasi bohong karena untuk tujuan menarik simpati
dunia. Maka, propaganda era internet ini penuh dengan tujuan-tujuan
terselubung. Kita memang mengakui, media sosial telah mengubah dan mengantarkan
manusia ke peradaban yang lebih baik, tetapi jangan lupa bahwa media sosial
juga tidak boleh dipercaya secara membabi buta.
Sumber: Harian Solo Pos, 20 November 2012
Dimuat juga di sindikat Solo Pos --> Harian Jogja (21-11-12): http://epaper.harianjogja.com/index.php/?IdCateg=201211211144
Comments :
0 comments to “Media Sosial Sebagai Alat Propaganda”
Posting Komentar