Setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri dikarenakan
perbedaan dalam tujuan, fungsi dan latar belakang social politik yang
menyertainya. Akibatnya berbeda dalam tujuan, fungsi dan latar belakang
munculnya pers, dan tentunya pula, berbeda dalam mengaktualisasikannya. Nilai,
filsafat hidup dan ideologi suatu negara juga telah berperan besar dalam
mempengaruhi sebuah pers. Ini juga berarti bahwa sistem yang dikembangkan juga
berbeda, termasuk di dalamnya adalah sistem persnya. Erat kaitannya dengan itu,
pola hubungan segi tiga antara pemerintah, pers dan masyarakat juga berbeda.
Salah satu alasan kenapa kita perlu mempelajari berbagai macam sistem pers adalah
untuk mengetahui sekaligus melakukan
perbandingan antar sistem pers. Disamping itu pula agar kita menjadi
lebih tahu dimana posisi sistem pers
Indonesia.
Fred Siebert, Wilbur Schramm dan Theodore Peterson dalam bukunya Four
Theories of The Press (1963) mengamati setidak-tidaknya ada empat kelompok
besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter (authoritarian),
sistem pers liberal (libertarian), sistem pers komunis (Marxist)
dan sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility) (Rachmadi,
1990).
Teori atau sistem pers otoriter
dikenal sebagai sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa
pemerintahan absolut. Pers dalam sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara
(kerajaan) untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi
media. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena
kekuasaan raja sangat mutlak. Negara (dengan raja sebagai kekuatan) adalah
pusat segala kegiatan. Oleh karena itu individu tidak penting; yang lebih
penting adalah negara sebagai tujuan akhir individu. Mussolini (Italia) dan
Adolf Hitler (Jerman) adalah dua penguasa yang mewarisi sistem pers
otoriter.
Sistem pers liberal (libertarian) berkembang pada abad 17-18
sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan
pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan).
Esensi dasar sistem ini memandang manusia pempunyai hak asasi dan meyakini
bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberi
kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan
bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Kebebasan adalah hal yang
utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang
sebagai manifestasi “pemerkosaan” kebebasan berpikir. Oleh karena itu pers
harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran.
Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan sehingga kebebasan pers
menjadi tolok ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.
Sistem pers komunis (juga sering disebut sistem pers “totaliter
Soviet/ Soviet Totalitarian” atau “pers Komunis Soviet/ Soviet Communist”)
berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal
abad ke-20. Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan
sosial yang diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat
pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara. Pers menjadi
alat atau organ partai yang berkuasa (Partai Komunis Uni Soviet/ PKUS). Dengan
demikian, segala sesuatu ditentukan oleh negara (partai). Kritik diizinkan
sejauh tidak bertentangan dengan ideology partai. Media massa melakukan yang terbaik untuk partai yang
ditentukan oleh pemimpin PKUS.
Bagi Lenin (penguasa Uni Soviet waktu itu), pers harus melayani
kepentingan kelas dominan dalam masyarakat, yakni proletar. Pers harus menjadi collective
propagandist, collective agitator, collective organizer.
Adapun kaum proletar diwakili oleh partai komunis. Fungsi pers adalah
indoktrinasi massa, pendidikan atau bimbingan massa yang dilancarkan partai.
Ini juga diakui Stalin, pemimpin sesudah Lenin.
Sistem pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
muncul pada awal abad ke-20 pula sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari
libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran
sistem ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada
masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.
Sistem ini muncul di Amerika Serikat ketika kebebasan yang telah
dinikmati oleh pers Amerika selama dua abad lebih, dinilai harus diadakan
pembatasan atas dasar moral dan etika. Penekanan pada tanggung jawab sosial
dianggap penting untuk menghindari kemungkinan terganggunya ketertiban umum.
Menurut Peterson, “kebebasan pers harus disertai kewajiban untuk bertanggung
jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepada
komunikasi massa dalam masyarakat modern selama ini.” Sistem ini juga lebih
menekankan pada kepentingan umum dibanding dengan kepentingan pribadi.
Melihat uraian tentang empat teori pers tersebut di atas, jika
diamati Indonesia termasuk dalam sistem pers tanggung jawab sosial. Ini tidak
hanya dilihat dari istilah “kebebasan pers yang bertanggung jawab” seperti yang
kita kenal selama ini. Namun berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus
disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Salah satu bukti bahwa ada
pers yang tidak menerapkan sistem tersebut pernah dialami oleh tabloid Monitor.
Tabloid ini digugat keberadaannya karena tidak menjadikan tolok ukur masyarakat
sebagai referensi utama. Artinya, di masyarakat ada suatu moralitas dan etika
yang dikembangkan dan diyakini tetapi dilanggar.
Baca lebih lengkap dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Comments :
0 comments to “Sistem Pers Indonesia”
Posting Komentar