Oleh Nurudin
(Lampung Post, 9 Januari 2018)
Tahun
2018, Indonesia punya perhelatan besar yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
serentak. Pilkada itu akan melibatkan 17 pemilihan Gubernur, 115 Bupati, dan 39
Walikota. Meski sebuah rutinitas, Pilkada kali ini tetap menarik tidak saja pertama
kali serentak dilakukan tetapi karena setiap era pemilihan mempunyai keunikan
sendiri-sendiri.
Berbagai
cara pun telah dan akan dilakukan kandidat agar dipilih masyarakat luas. Namun
demikian, semua kandidat cenderung berorientasi pada cara bagaimana mereka
dikenal, bukan pada apakah yang dilakukannya benar sesuatu aturan, etis atau
tidak. Jika cara-cara pengenalan kandidat itu tidak ada aturan, saya yakin
pelanggaran demi pelanggaran akan kian tumbuh subur. Ada aturan saja dilanggar
apalagi jika tidak ada aturan?
Artikel
ini tidak akan masuk dalam wilayah apakah yang dilakukan para kandidat itu
melanggar aturan atau tidak, karena itu masuk wilayah hukum. Tulisan ini akan
menyoroti proses komunikasi politik yang dilakukan para kandidat, baik melalui
baliho, spanduk, iklan, pernyataan atau media komunikasi lain yang digunakan
untuk mengenalkan mereka. Ini sangat penting dianalisis agar masyarakat tidak
terbuai dengan sesuatu yang tampak, apalagi memang Pilkada itu sarat
kepentingan.
Inti Komunikasi
Selama
ini ada “salah kaprah” (misperception)
yang diyakini kebenarannya. Salah kaprah ini telah membuat seseorang sering salah
memahami inti komunikasi yang dilakukan orang lain. Akibatnya, inti pesan
sesungguhnya tidak bisa dipahami dengan benar dan buntutnya tidak memahami
konteks sebenarnya dari sebuah pesan yang disampaikan.
Salah
kaprah itu diantaranya; seseorang percaya begitu saja terhadap apa yang
dikatakan secara lisan pada orang lain. Begitu juga, orang percaya dengan
informasi yang ada pada iklan dan media luar ruangan. Jika itu menyangkut persoalan
politik, maka memahami informasi dibalik sesuatu yang tampak tersebut sangat
penting dilakukan.
Dengan
demikian, pesan sesungguhnya juga ada pada sesuatu yang tidak dikatakan. Jika
seseorang senang mengobral pembicaraan ke sana kemari, belum tentu itu pesan
sesungguhnya yang akan disampaikan. Jika orang ingin akurat menangkap pesan, maka
dalam benaknya harus ada dugaan sebaliknya. Inti pesan komunikasi sering ada
pada penyataan yang tidak disampaikan.
Jika
seorang kandidat mengatakan A, sebenarnya pesan yang ingin disampaikan
sesungguhnya bisa jadi bukan A. Artinya, jika seorang kandidat mengatakan akan
mencanangkan SPP gratis untuk sekolah menengah, harus dipahami jangan-jangan
tidak sebagaimana yang dikatakan.
Apa yang
diungkapkan di sini bukan bermaksud “kampanye terselubung” agar masyarakat
tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Maksud sebenarnya adalah memberikan
pelajaran penting bagi masyarakat untuk tidak percaya begitu saja dengan apa
yang dikatakan kandidat. Dalam hal ini masyarakat tetap perlu melihat track record dan latar belakang kandidat
yang dipilih.
Tentu saja
himbauan di atas tidak berlaku bagi mereka yang punya prinsip “pokoknya” atau,
“situ kasih uang, saya kasih suara”. Orang-orang seperti ini kebanyakan tidak
peduli dalam upaya membangun sistem yang lebih baik. Dengan kata lain, mereka
berpikiran jangka pendek. Namun demikian, mereka ini seolah merasa menjadi
pahlawan untuk protes pada pemerintah atau kandidat terpilih jika pemerintah
atau kandidat terpilih itu melakukan kesalahan. Para “pasukan” ini protes karena kandidat pilihannya
kalah.
Maka, agar
tidak kecewa pahami bahwa inti komunikasi itu adalah apa yang tidak dikatakan
atau dikemukakan secara kasat mata. Ini berlaku dalam Pilkada serentak 2018.
Negeri Para Komedian
Apakah
Anda pernah mengamati para komedian? Coba disimak lebih jeli. Para komedian
atau yang mengklaim dirinya komedian selalu punya tujuan menghibur. Apapun akan
dilakukan, yang penting bisa menghibur. Termasuk di sini adalah apakah yang
dikatakannya itu benar atau tidak bukan soal, yang penting menghibur. Tujuannya
saja menghibur, bukan?
Klaim
masyarakat bahwa dirinya seorang komedian itu mengonstruksi pikiran dan
perilakunya bahwa drinya hadir di tengah masyarakat juga harus bisa menghibur. Alasannya,
masyarakat sudah telanjur memberikan klaim sebagai dirinya sebagai komedian. Ia
akan “mati gaya” jika tidak mencerminkan dirinya sebagai penghibur itu.
Konstruksi demikian ternyata terbawa pada perilaku
sehari-hari. Terhadap masalah yang serius pun ia bisa menghibur tentu saja
dengan “bumbu-bumbu” dramatisir sekadarnya. Sebagai masyarakat umum, tentu
harus dipahamkan bahwa komedian itu sedang acting
meskipun tidak ada dalam panggung. Bisa jadi, asumsi ini tidak benar tetapi
tidak seratus persen salah.
Apa
pelajaran yang bisa kita petik? Anggap saja negeri ini adalah negeri para komedian.
Anggap saja tidak banyak kandidat yang tulus untuk mengubah persoalan negara
ini. Anggapan ini perlu dikemukakan agar kita tidak kecewa jika menemukan
pemimpin yang lambat dalam bekerja, mementingkan kroninya bahkan korupsi.
Apakah
bisa dikatakan bahwa para kandidat itu para komedian? Saya tidak menganggapnya
begitu. Namun demikian, sikap hati-hati untuk tak terjebak pada pernyataan
lisan, termasuk iklan, tetap harus
dipegang teguh masyarakat. Jangan sampai, mereka terbuai dengan janji-janji
kosong sementara akhirnya kecewa. Masyarakat tentu tidak mau melihat sinetron
yang setiap lima tahun diulang-ulang, bukan?
Kesimpulannya adalah, masyarakat tidak boleh lagi terjebak
pada pernyataan lisan atau yang terlihat pada diri kandidat kepala daerah.
Melihat di balik itu akan membuat kita bisa melihat dari berbagai sisi yang
menjadikan seseorang tidak akan mudah dikecewakan. Kalau kita tidak bisa
melakukan hal tersebut, anggap perhelatan Pilkada adalah sebuah pentas komedi
para pelaku politik.
Type rest of the post here
Comments :
0 comments to “ Pilkada dan Negeri Para Komedian ”
Posting Komentar