Selasa, Januari 01, 2008

Pers dan Pendidikan Multikultur

Sudah banyak diskusi tentang pentingnya pendidikan multikultur di Indonesia. Tetapi dari diskusi yang terungkap jarang yang melihat betapa besarnya peran pers (cetak dan elektronik) dalam menciptakan terwujudnya pendidikan multikultur tersebut.
Mengapa harus pers? Harold D Laswell pernah sampai pada kesimpulan karena pers punya fungsi transmission of the social heritage from one generation to the next. Fungsi ini diimplementasikan dalam fungsi pendidikan yang dimunculkan oleh pers. Artinya, jika pers mentransmisikan nilai-nilai persatuan dan bukan konflik, maka pers sedang menjalankan fungsi menekankan pentingnya persatuan dan jangan melulu konflik. Di sinilah pentingnya pers memegang peranan penting bagi keberhasilan pendidikan multikultur.
Apa yang disajikan pers, menjadi sebuah alat ampuh untuk melakukan pendidikan multikultur. Labelling yang dilakukan pers bisa jadi akan menjadi sumbu ledak bagi usaha munculnya konflik multikultur.
Misalnya, sebuah koran yang ada di Kalimantan pernah memberikan sebutan yang bisa membakar semangat untuk terus berkonflik. Sebut saja kata-kata “menjajah” dan “sarang kaum begal bergundal etnis Madura” (Eriyanto dkk., 2004). Munculnya, atau tepatnya keberpihakan kepentingan pers, menjadi cermin gagalnya pendidikan multikultur yang dilakukan pers itu sendiri.
Meskipun dalam bangku sekolah telah diajarkan pendidikan multikultur, memandang sebelah mata peran media yang sebenarnya mendukung gerakan pendidikan multikultur adalah tindakan yang tak bijaksana. Pendidikan di bangku sekolah seringkali justru sekadar menjadi hiasan formalitas anak didik. Sementara dalam kehidupan sehari-harinya, sikap dan perilakunya tak lepas dari pengaruh pers. Alasannya, masyarakat modern saat ini menjadikan pers sebagai alat utama sumber informasi.
Apa yang Harus Dilakukan
Oleh kerenanya, akan pentingnya pers itu sudah sepantasnya ia harus ditempatkan pada posisi paling depan dalam usaha membangun pendidikan berbasis multikultur. Lalu apa yang harus dilakukan pers, terutama di daerah yang rawan konflik, bagi terwujudnya pendidikan multikultur?
Pertama, pers mau tidak mau harus berdiri diluar dari mereka yang berkonflik. Masalahnya, seringkali pers terlibat atau sengaja melibatkan dirinya pada kelompok yang berkonflik. Tentu saja ini akan mengurangi objektivitas pemberitaannya. Bahkan seringkali pers menikmati keuntungan dibalik keterlibatannya. Jika media masih memihak seperti itu, apapun alasannya usaha untuk memperkuat basis pendidikan multikultur masih gagal. Itulah kenapa pendidikan multikultur tanpa memperhatikan peran pers menjadi pekerjaan yang sangat berat.
Kedua, ketidaklibatan pers dalam konflik akan memberikan otonomi pers untuk memilih dan memilah kalimat, kata-kata secara lebih jernih sesuai untuk kepentingan semua pihak. Kata-kata “menjajah”, “begal begundal” (untuk menyebut contoh) tidak akan muncul manakala pers tak melibatkan diri dalam konflik tersebut. Itulah sebenarnya, mengelola pers yang diserahkan pada mereka yang tak punya sense of news hanya akan menjadikan pers itu sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kepentingan sepihak.
Tidak Mudah
Tentu saja, melibatkan pers dalam membangun pendidikan multikultur tidaklah mudah. Dibutuhkan kemauan pers untuk secara aktif memerankan diri di posisi depan dalam membangun pendidikan tersebut. Sebab, bisa jadi harapan, dan usulan masyarakat agar pers berperan dalam membangun pendidikan berbasis multikultur tidak surut. Tetapi, manakala pers tidak punya kemauan untuk itu semua akan sia-sia.
Pers yang memposisikan diri sebagai pendorong pendidikan multikultur tidak perlu takut dianggap sebagai “pers banci”. Misalnya, dengan kesadaran penuh melakukan peliputan cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang) atau bahkan all sides. Teknik liputan ini, bagi sementara orang dianggap banci karena tidak jelas pemihakannya. Pers dituduh hanya mendahulukan safety first dan mau gampangnya saja. Tetapi justru pers seperti itu yang secara tidak langsung sedang memerankan jurnalisme multikultur. Artinya, ia berusaha menjadi watcher (pengamat) dan tidak melibatkan diri pada kelompok yang sedang bertikai. Pers tugasnya adalah melihat, memperkaya fakta dan data kemudian melaporkannya saja. Interpretasi diserahkan pada masyarakat.
Masih jauh untuk mencapai tujuan pers berperan sebagai pelopor pendidikan multikultur. Tetapi, usaha ke arah itu tentu harus didorong dan dipupuk. Maka, berikan informasi yang benar dan berimbang, pers akan melaporkan apa adanya. Memberikan laporan yang benar dan berimbang tak lain mendorong pers memerankan diri sebagai pendorong gerakan pendidikan multikultur.

Comments :

0 comments to “Pers dan Pendidikan Multikultur”