Selasa, November 18, 2008

Kontradiksi Registrasi Kartu Pra dan Pasca Bayar

Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) mengeluarkan Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 23/Kominfo/M/10/2005 tentang Kewajiban Registrasi Pengguna Kartu Pra Bayar dan Pasca Bayar. Dengan dikeluarkannya kebijakan ini, maka semua pengguna kartu harus melakukan registrasi mulai pertengahan Desember 2005 sampai 28 April 2006. Jika tidak didaftarkan, nomor itu akan dinonaktifkan.
Ide Menkominfo tersebut dilatarbelakangi oleh kecurigaan bahwa jaringan terorisme dan perilaku kekerasan di Indonesia memakai bantuan teknologi telepon seluler tersebut. Pemerintah tentu berharap, dengan registrasi kartu maka setiap gerak-gerik terorisme mudah terdeteksi. Tetapi semudah itukah?
Keputusan Menkominfo tentang registrasi karta pra dan pasca bayar jelas menimbulkan kontradiksi dan kesulitan dalam pelaksanaannya. Tentu saja kita setuju dan sepakat bahwa tindak kekerasan di masyarakat (salah satunya terorisme) perlu diberantas. Tetapi dengan mengorbankan kebebasan memperoleh informasi dari masyarakat bukan tindakan yang lebih bijak.
Neo Orba
Menkominfo didirikan atas desakan masyarakat untuk menghidupkan kembali Departemen Penerangan (Deppen) yang pernah dituduh sebagai lembaga yang tidak adil dan selalu mencampuri urusan memperoleh informasi di era presiden Abdurrahman Wahid. Presiden yang sering disapa Gus Dur ini menengarai bahwa Deppen sekadar “monster “ penghambat kebebasan memperoleh informasi masyarakat. Maka tak ada pilihan lain kecuali membubarkannya.
Bagaimana tidak, Deppen bertindak sebagai pemberi izin setiap kebijakan yang berkaitan dengan pers di era Orde Baru (Orba). Semua izin harus sepengatahuan Menteri Penerangan (Menpen) waktu itu. Di sini tak jarang terjadi kesepakatan politis.
Menpen juga orang yang bertanggung jawab atas pembatalan SIUPP beberapa penerbitan di era Orba. Meskipun pembatalan hanya dimungkinkan jika sudah mendapat “restu” Dewan Pers (DP), tetapi DP diketuai sendiri oleh Menpen. Jadi Menpen meminta nasihat pada ketua DP. Dengan kata lain, ia meminta nasihat pada dirinya sendiri. Cukup aneh bukan? (lihat pasal 7 ayat 1 Peraturan Pemerintah no. 1 tahun 1984).
Dari sinilah kemudian Gus Dur perlu untuk membekukan Deppen. Sebagai gantinya, dikeluarkanlah Keputusan Presiden no. 153/1999 tentang Badan Informasi dan Komunikasi Nasional (BIKN) yang mempunyai fungsi (dalam Bab I pasal 3) sebagai berikut; (a) penetapan kebijakan di bidang pelayanan informasi dan komunikasi nasional sesuai kebijakan umum yang dite­tapkan presiden; (b) pelayanan informasi dan komunikasi kepada masyarakat; (c) pemantapan terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat di bidang pelayanan informasi dan komunikasi nasion­al; (d) pengkoordinasian kegiatan di lingkungan Badan Informasi dan Komunikasi Nasional; dan (e) pengelolaan sumber daya bagi terlaksananya tugas Badan Koordinasi Informasi dan Komunikasi Nasional secara berdaya guna dan berhasil guna. Dari fungsinya, BIKN lebih sekadar lembaga pelayanan informasi dan bukan lembaga kekuasaan. Hanya karena ambisi sekelompok orang karena kepentingannya tidak tersalurkan lagi dibentukah Menkominfo.
Dalam pelaksanaannya, ternyata Menkominfo tidak jauh berbeda dengan Menpen era Orba. Bahkan lembaga ini berusaha ikut mengatur arus informasi dengan alasan kebebasan pers sudah kelewat batas. Atau lihat pula kebijakan pembatasan siaran televisi pada malam hari melalui Peraturan Menkominfo Nomor II/P/M.Kominfo/7/2005 setelah muncul “krisis enerji” di Indonesia. Kebijakan ini jelas merugikan masyarakat, padahal kelangkaan enerji itu buah dari kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sementara kalangan televisi lebih memilih aman dengan melaksanakan himbauan Menkominfo dari pada izi siarannya dicabut. Apa yang dilakukan Menkominfo dengan mengeluarkan kebijakan registrasi kartu pra dan pasca bayar membangkitkan kembali gaya kepemimpinan Orba (neo Orba).
Kasus Registrasi Kartu
Kita memahami kegalauan pemerintah atas perilaku terorisme di tanah air. Tetapi, kita juga perlu untuk kritisi kebijakan registrasi kartu pra dan pasca bayar tersebut. Pertama, registrasi kartu jelas tidak saja membatasi masyarakat memperoleh informasi tetapi juga mengancam urusan private individu yang perlu dihormati pula. Masyarakat akan merasa setiap kegiatannya selalu diawasi pemerintah. Ini juga tidak membebaskan mereka yang biasa melakukan transaksi bisnis. Jadi, tidak ada lagi ruang private di negara ini.
Kedua, kebijakan tersebut hanya menguntungkan pemerintah dan merugikan masyarakat. Terorisme muncul karena kebijakan pemerintah selama ini tidak adil, tetapi dampaknya dipikulkan ke pundak masyarakat. Meskipun kita tahu, bahwa masalah terorisme harus diatasi bersama. Masalahnya, pemerintah sangat tegas jika kebijakan itu menguntungkan dirinya dan merugikan masyarakat. Tetapi apakah pemerintah bisa tegas terhadap para koruptor yang tidak saja merugikan negara tetapi juga masyarakat? Bagaimana dengan anggota DPR yang “jalan-jalan” ke luar negeri dengan alasan studi banding, menaikkan gaji bulanan di luar batas kewajaran yang sangat merugikan? Kenapa pula pemerintah menaikkan harga BBM padahal dampaknya begitu dahsyat di masyarakat? Kenapa pemerintah tidak tegas padahal semua itu diprotes oleh masyarakat? Inilah kebijakan yang berat sebelah dan tidak adil itu.
Ketiga, kebijakan tersebut lebih bernuansa politis dari pada kemanfaatan bagi semua pihak. Bisa karena Menkominfo membutuhkan popularitas, atau desakan internasional lewat kebijakan neoliberalisme yang sudah lama merugikan bangsa ini. Jika karena desakan internasional, nyata bahwa pemerintah tidak membela kepentingan masyarakat luas. Keluarnya Kepmenkominfo itu menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya tidak mampu menangani kasus-kasus terorisme dan tindak kekerasan yang muncul. Maunya perilaku itu tidak muncul, tetapi kebijakan yang dikeluarkan sendiri menjadi pemicu munculnya tindak terorisme dan kekerasan lain.
Seperti biasanya, protes masyarakat atas pemberlakuan kebijakan pemerintah bisa jadi akan terus dilakukan, termasuk kebijakan tentang registrasi layanan kartu pra dan pasca bayar tersebut. Namun, bersamaan dengan itu pula, pemerintah biasanya akan terus bersikukuh untuk terus memberlakukannya. Tentu saja, pihak penyedia layanan informasi terpaksa akan menerimanya daripada nanti izinnya ditutup. Sama seperti kasus pemberlakuan “jam malam” pada televisi kita beberapa waktu lalu.
Kalau sudah begini, Depkominfo tak ubahnya dengan Deppen pada zaman Orba yang punya otoritas tertinggi dalam mempengaruhi seluruh kebijakan informasi di Indonesia. Kalau Depkominfo terus ngotot mengeluarkan kebijakan yang tidak popular tersebut, apakah harus menunggu masyarakat menuntut Depkominfo dibubarkan? Sebab, otoritas pembubaran depertemen tidak ada lagi seperti zaman Gus Dur. (artikel ini pernah dipublikasikan harian Solo Pos, 2005).

Comments :

1

Artikel anda:

http://telekomunikasi.infogue.com/
http://telekomunikasi.infogue.com/kontradiksi_registrasi_kartu_pra_dan_pasca_bayar

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!

infogue mengatakan...
on