Beberapa partai politik (parpol) merasa perlu untuk melakukan “curhat” ke Malang Post (21/12). Inilah kegiatan cerdas pimpinan parpol dalam menyongsong Pemilu 2004. Yang menjadi pertanyaan kita adalah mengapa pimpinan parpol tersebut merasa perlu melakukan “curhat” kepada media? Inilah pertanyaaan yang lebih penting untuk dijawab lebih dari sekadar “curhat” parpol-parpol itu. Sangat mungkin, baru kali ini parpol menyadari akan arti pentingnya media massa (pers). Jika parpol tahu akan arti pentingnya kehadiran media, bukan tidak mungkin, kegiatan seperti itu sudah dilakukan parpol jauh hari sebelumnya.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa media itu punya kekuatan, jauh melebihi kemampuan manusia. Akan kekuatan media sampai-sampai Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “Jika media dibiarkan saja, saya tidak akan bisa berkuasa lebih dari tiga bulan”. Pendapat ini mendudukkan bahwa media dipandang sebagai kekuatan yang bisa mempengaruhi arah kebijakan dan ambisi Napoleon tersebut. Lebih dari itu, media massa menjadi satu-satunya indikator bisa langgengnya kekuasaan dirinya atau tidak.
Mengapa harus media? Sebab, meminjam istilah Marshall McLuhan, media adalah the extension of man (perluasan atau kepanjangtanganan manusia). Media itu lebih dari sekedar manusia. Jika manusia bisa bicara, media juga bisa melakukannya. Jika manusia mampu mempengaruhi orang lain, media lebih dari itu. Termasuk jika media kuat dalam menyebarkan pesan-pesan kepada publik, media lebih luas dari yang bisa dilakukan manusia.
Ambil contoh gampangnya begini. Jika Anda ingin menjadi orang terkenal hubungilah media. Misalnya, Anda ingin menjadi penjahat terkenal. Coba rampok rumah orang kaya, lalu beritahu wartawan. Dalam waktu singkat nama Anda akan terkenal di masyarakat. Itu pulalah kenapa banyak artis yang cepat terkenal karena kemampuannya berhubungan dengan media. Meskipun seringkali, ketika sudah terkenal mereka sering “jual mahal” pada media yang sebenarnya pernah membesarkan dirinya. Inul Daratista (si ratu ngebor) bisa terkenal bukan karena iklan tetapi karena publikasi media massa pula.
The extension of man juga bisa diganti dengan kata-katanya the extension of political party (perluasan parpol/kepanjangtanganan parpol). Bagi parpol, media bisa dijadikan sarana untuk sosialisasi program. Artinya, di satu sisi di tangan medialah parpol bisa besar dan dipersepsi baik oleh masyarakat, di sisi yang lain di tangan medialah citra parpol di mata masyarakat bisa hancur.
Pendapat ini tentu mudah dimengerti. Masalahnya, selama ini citra parpol kita sedemikian buruknya. Parpol belum menjadi alat penyalur aspirasi rakyat. Sebagaimana kita tahu, parpol mempunyai beberapa fungsi pokok yakni sosialisasi politik, rekruitmen politik, komunikasi politik, pengatur konflik, partisipasi politik dan kontrol politik. Beberapa fungsi itu belum maksimal, untuk tak mengatakan tidak berfungsi sama sekali. Bahkan kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing parpol lebih kelihatan dari pada fungsi ideal di atas.
Buruknya citra negatif parpol disebabkan pula oleh media. Ini tak lain karena kegiatan yang dikeluarkan/dilakukan parpol memang menimbulkan persepsi negatif media massa. Misalnya, bagaimana kepentingan parpol nyata kelihatan ketika pemilihan kepala daerah. Bagaimana politik uang (money politics) tidak tanggung-tanggung dilakukan untuk meriah ambisinya.
Citra negatif yang dimunculkan parpol pada masyarakat tersebutlah yang tentu akan menjadi bahan dasar wartawan menulis berita. Bagaimana mungkin wartawan akan menulis berita yang baik tentang parpol kalau kenyataannya berita yang disajikan adalah yang negatif-negatif? Inilah yang perlu disadari oleh masing-masing parpol dalam menyongsong Pemilu 2004, khususnya yang berhubungan untuk membangun citra.
Itu pulalah kenapa pertemuan pimpinan parpol di Malang Post menjadi sangat penting untuk dilakukan. Paling tidak, akan tercipta hubungan yang baik antara parpol dengan media. Lebih dari itu, karena Malang Post sangat berbaik hati menyediakan rubrik “Pemilu 2004”. Jadi, masing-masing parpol bisa memanfaatkan rubrik tersebut untuk sosialisasi program. Ini tentu menjadi bentuk kepedulian media terhadap parpol. Sebab bisa saja, Malang Post tak menyediakan rubrik tersebut, toh itu pilihannya.
Bahkan bisa dikatakan, di era yang jenuh media saat ini, siapa yang menguasai media dialah yang akan menang. Jika parpol tidak bisa memenangkan pertempuran ini, dia tidak akan bisa memenangkan “pemilih”. Kepentingan ini bukan untuk kepentingan sesaat saja, tapi untuk kepentingan jangka panjang. Meskipun kita akui, proses pemilihan partai politik masih berdasarkan ikatan emosional, tetapi lambat atau cepat kita akan mengarah pada pemilih rasional. Sebab, dunia ini maju ke depan dan tidak surut ke belakang.
Ini semua akan membawa konsekuensi positif bagi parpol tidak saja dari publisitas media, tetapi kecerdasan dalam memilih program-programnya. Jika parpol ingin dicitrakan secara baik, tentu parpol harus cerdas memilih program yang baik. Tetapi jangan lupa pula, masyarakat kita tidak serta merta percaya begitu saja tentang program parpol. Di mata masyarakat, parpol masih dicitrakan sebagai kelompok kepentingan, bukan kelompok penyalur aspirasi masyarakat.
Lakukanlah program-program yang cerdas, bukan untuk menarik simpati masyarakat tetapi untuk menarik perhatian media sebelum kebosanan masyarakat akan perilaku parpol kian memuncak. Publisitas media yang baik dan gencar berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pemilih. (pernah dipublikasikan harian Malang Post, 24 Desember 2003)
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Media, The Extension of Political Party
Selasa, November 18, 2008
Media, The Extension of Political Party
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Media, The Extension of Political Party”
Posting Komentar