Minggu, Maret 29, 2009

Diskusi Sebagai Sumber Gagasan Menulis

Siang itu jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Saya ada di laboratorium komputer kampus Fisip UNS. Saya dan teman di laboratorium itu sedang mengerjakan tugas. Saya sedang mengetik naskah untuk persiapan penerbitan majalah Visi Fisip UNS. Mendadak ada seorang teman memecah kesunyian.

“Eh, aku cabut dulu, ya?”, kata Upik.

“Kemana?”, tanya saya lebih lanjut.

“Mau lihat tivi”.

“Emangnya ada acara apa Pik?”

“Kassandra”

“Alah....” gerutu teman-teman saya agak berbarengan.

Setelah saya pulang ke kos-kosan saya jadi berpikir, mengapa teman-teman mahasiswi itu sangat menyukai telenovela? Bahkan ibu-ibu rumah tangga saat Maria Mercedes diputar jam 5 sore, sibuk memelototi pesawat televisi. Seolah tidak ingin ketinggalan ceritanya. Mengapa pula banyak televisi swasta memutar telenovela? Per
tanyaan saya tersebut di atas semakin mendesak untuk dicarikan jawabannya.

Rasa penasaran itu memuncak ketika saya ingin mengeluarkan uneg-uneg tersebut dalam sebuah artikel. Tetapi, saya tidak punya banyak referensi untuk membahas masalah telenovela. Acara itu digemari para ibu-ibu dan remaja putri saya tahu, tetapi berbagai macam data berkaitan dengannya saya sangat kurang.

Maka, saya memutuskan untuk main ke teman kos yang saat itu suka telenovela. Setelah sampai di kosnya, saya terlibat diskusi dengan dia.

“Telenovela itu kan membodohi penonton, apa alasannya sampai kamu tergila-gila?” tanya saya sok tahu.

“Kata siapa? Telenovela itu kan hiburan, kita harus tempatkan acara seperti itu sebagai hiburan juga,” jawabnya agak sewot.

“Bisa juga sih, tapi coba lihat dampaknya?”

“Karena hiburan, maka porsi menghiburkan juga besar. Kita harus tahu itu. Perkara ada yang kecanduan, itu soal lain. Kalau saya kan tidak”

“Lalu?”

“Kenapa banyak yang menonton, itu kan cermin masyarakat kita yang memang masih seperti itu. Artinya, masyarakat menempatkan TV sebagai barang tontotan untuk mencari hiburan, lainnya tidak. Apalagi, pengelola TV juga berlomba-lomba membuat acara seperti itu. Lihat berapa banyak telenovela diputar di stasiun televisi swasta kita. Banyak kan? Padahal sebelumnya hanya coba-coba”

“Baik, tapi begini. Telenovela telah berdampak negatif pada ibu-ibu rumah tangga. Setiap jam lima sore mereka nongkrong di pesawat televisi untuk menonton telenovela. Mereka mengorbankan kegiatan keluarga juga, “ tanya saya sok tahu.

“Ya itulah yang saya katakan tadi, cermin masyarakat kita yang masih seperti itu. Yang terjadi di telenovela seolah melekat dan menjadi impian para remaja putri dan ibu-ibu rumah tangga. Lihat telenovela Kassandra yang disiarkan SCTV itu. Si gadis Gypsi (Corraima Tores) aslinya kan anak orang kaya. Ia hanya dibuang sama tantenya sendiri gara-gara si tante ingin warisan Kassandra jatuh ke anaknya (Osvaldo Rios). Tapi namanya juga nasib, Kassandra balik lagi ke lingkungan keluarganya sendiri, tanpa dia tahu kalau Kassandra adalah pewaris tunggal harta orang tuanya. Siapa tahu penonton ingin punya nasib baik seperti Kassandra. Masyarakat kan jadi punya mimpi-mimpi, sementara pemerintah tidak bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka? Jadi, jangan hanya salahkan masyarakat, coba salahkan pemerintah dan juga pengelola televisi yang hanya mau untungnya saja”.

Setelah selesai berdiskusi, saya memutuskan untuk meninggalkan kos Upik. Saya baru saja mendapatkan pencerahan tentang telenovela yang sedang digandrungi mahasiswi dan ibu rumah tangga akhir-akhir ini. Tetapi, saya masih bingung. Bukankah tulisan yang saya dasarkan dari diskusi dengan Upik tersebut terkesan berat sebelah? Mungkin. Sebab, Upik adalah pembela tayangan telenovela.

Agar tulisan saya lebih berimbang saya harus pergi ke teman lain yang tidak suka telenovela. Kebetulan saya punya teman yang aktivis. Saya akan mencari keterangan tentang telenovela dari teman saya itu, sebut saja namanya Dini.

“Kenapa kamu tidak suka telenovela layaknya para perempuan saat ini?” tanya saya.

“Ah, enggak. Untuk apa?. Wong telenovela hanya menjual mimpi-mimpi saja kok,” jawab dia agak ketus.

“Ah masak?” saya pura-pura tidak tahu.

“Coba lihat. Apakah yang diceritakan dalam telenovela itu sesuai kenyataan dalam masyarakat. Kan tidak? Perhatikan lagi, ceritanya menjual mimpi saja. Ceritanya sudah bisa ditebak, mesti ada perempuan yang hidupnya sengsara. Dieksploitasi kesengsaraannya itu, dibumbui dengan konflik cinta dengan anak orang kaya. Perempuan tadi harus menerima perlakukan kasar dari calon pasangan anak orang kaya tadi. Kemudian, ada konflik masalah harta. Itu saja”.

“Lho bukankah hal demikian juga terjadi pada masyarakat kita?”

“Begini. Alur cerita telenovela itu hampir seragam dan cenderung dibuat-buat. Kalau tidak menyangkut percintaan, konflik orang tua dengan anak, masalah harta, selingkuh, hamil di luar nikah. Apakah itu budaya kita saat ini? Itu kan sama saja menjual mimpi? Atau jangan-jangan masyarakat kita terobsesi dengan bintang-bintangnya yang cantik atau ganteng?”

“Terus?”

“Ya, intinya menjual mimpi lah.”

“Tapi kan semua televisi swasta kita menanyangkan telenovela tersebut. Televisi kan cermin masyarakat?”

“Ya itu. Televisi kita sangat kapitalis, mementingkan modal tanpa melihat dampak tayangan. Bukankah seperti itu? Jika ada tayangan yang laku, mesti akan diikuti oleh TV-TV lain. Lihatlah dan buktikan. Kayak telenovela akhir-akhir ini, bukan?”

“Ya jangan sewot gitu ah,”

“Gak sewot gimana. Memang acara televisi kita umumnya cenderung membodohi penonton kok. Mau dikatakan bagaimana?”

Setelah berdiskusi agak lama, akhirnya saya memutuskan untuk pulang. Bahan untuk membuat tulisan tentang telenovela juga sudah cukup dari dua pihak.

Setelah sampai di kos. Saya kemudian membuka komputer. Lalu saya menulis apa yang yang sudah saya dapatkan dari diskusi dengan dua teman di atas. Menulis terasa cair, lancar dan tanpa hambatan.

Yang ingin saya tekankan adalah bahwa untuk menulis, diskusi dengan orang lain akan menjadi sumber gagasan yang penting. Ini penting dilakukan saat kita dalam keadaan bingung apa yang akan ditulis sementara sudah punya keinginan kuat untuk menulis. Diskusi juga akan membuat beragam perspektif ada dalam pikiran kita. Paling tidak, pikiran kita sendiri, dan apa yang didapat dari diskusi tersebut.

Masalahnya, tidak semua orang senang dengan diskusi. Sebab, untuk bisa berdiskusi kita harus punya kemampuan mendengar dan bukan kemampuan berbicara saja. Untuk ikut diskusi, kita tidak harus menguasai persoalan. Memang lebih bagus bisa menguasai persoalan, tetapi jangan hanya gara-gara tidak menguasai persoalan kita tidak mau ikut diskusi.

Diskusi juga bisa disengaja dengan melibatkan orang untuk diajak diskusi atau menjadi pendengar pasif. Yang penting, ikut dalam atmosfir diskusi, itu saja. Anggap saja kita sedang memasukkan sumber-sumber gagasan dalam pikiran. Dengan demikian, diskusi tidak harus diikuti ketika kita sedang mau menulis. Maka, banyaklah ikut diskusi, seminar, lokakarya dan semacamnya. Ada banyak sumber-sumber gagasan dalam acara-acara tersebut.

Apakah yang saya lakukan di atas bukan plagiat pikiran orang lain? Sebenarnya, apa yang ditulis oleh para penulis terkenal itu juga awalnya hanya meniru apa yang pernah dia baca, lihat, dengar dan alami sendiri. Kemudian sejalan dengan peningkatan skills menulis dan pengatahuan dia mempunyai “ramuan” sendiri, dan gaya sendiri dalam menulis. Kegiatan ini hampir sama seperti seorang bayi. Saat belajar jalan, ia akan meniru apa yang dilihatnya. Apakah ini tidak boleh? Dalam menulis, tidak jauh berbeda. Tapi, kita harus selalu berusaha melepasan bayang-bayang orang yang kita tiru itu secepat mungkin. Suatu saat, kita akan mempunyai gaya penulisan sendiri. Sekarang pilih mana, meniru gaya penulisan orang yang membuat kita belajar, dengan tidak pernah meniru tetapi kita tidak pernah bisa menulis?

Agar ide yang berasal dari orang lain tersebut tidak dikatakan plagiat, kita perlu mengolahnya dengan kata-kata dan kalimat kita sendiri. Karenanya, meniru suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, tetapi tetap berusaha untuk lepas dari kungkungan yang kita tiru tersebut.

Sebagai ucapan terima kasih pada teman yang kita ajak diskusi tersebut minimal berikan ucapan terima kasih karena telah membantu menulis. Atau traktir mereka makan juga tidak masalah. Ini lebih dari cukup. Bukankah kita bisa menulis juga karena peran mereka? Mengeluarkan uang untuk alokasi dan ke orang lain jangan dianggap pemborosan. Pahami pula bahwa itu sebuah investasi yang kita akan memetiknya di masa datang dalam jumlah yang lebih besar. Biarkan orang lain juga ikut menikmati rejeki yang kita dapatkan.

Comments :

6 comments to “Diskusi Sebagai Sumber Gagasan Menulis”

kok masih inget cassandra dan maria mercedes sih? hebat nih ingatannya mas Nurudin. I have a question : kalo mau nulis, apa perlu merenung atau bertapa khusus????? susye...... dina-UMY

Anonim mengatakan...
on 

sejnata orang nulis kan 3 M (Membaca, Merenung, dan Menulis). kayaknya itu, tunggu buku saya yang sedang proses di penerbit Grafinto Jakarta. ada cerita tentang 3 M. thanks

Nurudin mengatakan...
on 

sudah lama tv ku nda bisa 'nangkep' acara sinetron dan saudara2 nya, soale aku dah bikin aturan di rumah, ga usah nonton tv kalo lagi sinetron, atau pilih acara lain yang penting bukan dari jenis sinetron!

Anonim mengatakan...
on 

mas, thanks linknya. udah saya link balik

chodirin mengatakan...
on 

pak, saya silvia IKOM UMM
saya klo nulis tu pak, ga biasa bikin kerangka karangan. alhasil karangannya pendek. tapi klo pake kerangka, jadinya mbulet..
ada masukan pak?

silvia 'cipa' mengatakan...
on 

dari sebuah salam perpisahan (saya cabut dulu ya) tercipta sebuah bahan diskusi
dan akhirnya bapak membuat tulisan
kerennnn pak
hehehehehe

Yanuar Catur mengatakan...
on