Kamis, April 23, 2009

Partai Golkar Sebagai Oposisi?

Setelah Pemilihan legislatif usai, salah satu partai politik (parpol) yang mengalami kebimbangan adalah Partai Golkar (PG). Sebab, inilah pemilihan legislatif yang memberikan dampak di luar prediksi sebelumnya. Golkar pada Pemilu 2004 mampu meraih 21,6 persen suara. Sementara itu dalam penghitungan sementara Pemilu 2009 perolehan suara PG belum melebihi 15 persen, bahkan sulit menembus 20-an persen lagi. Pada posisi yang berbeda Partai Demokrat yang pada Pemilu 2004 hanya memperoleh suara 7,5 persen, sekarang melonjak menjadi 20 persen.

Untuk itu, PG dihinggapi kebimbangan. Target sebelumnya, PG berkeinginan mendudukkan wakilnya sebagai calon presiden (capres) dengan mencari calon wakil presiden (cawapres) dari partai lain. Bayangannya, akan mencapai 20 persen seperti 5 tahun lalu. Tetapi saat ini PG harus realistis dengan tidak terlalu ngotot menempatkan wakilnya sebagai capres, tetapi cawapres.


Dua Pilihan
Maka, ada dua pilihan yang akan dihadapi PG; pertama, menempatkan wakilnya sebagai cawapres. Kedua, menjadi partai oposisi. Dua pilihan itu akan menjadi wacana aktual peta perpolitikan PG dalam waktu dekat.

Jika alternatif pertama yang dipilih, maka PG kemungkinan akan ikut mengelola negara ini kembali. Ia akan menjadi partai pemerintah. Tetapi, melihat perolehan suara yang didapat, maka ia sangat mungkin menjadi “ban serep” partai lain yang lebih besar dalam perolehan suaranya.

Keuntungan pilihan pertama ini, PG masih bisa ikut mengelola negara. Wakil PG yang kebetulan menjadi cawapres misalnya, akan mudah mendapatkan popularitas sebagai pejabat publik. Lima tahun berikutnya, PG akan bisa menentukan calonnya sebagai presiden. Tentu dengan syarat memperoleh suara yang signifikan. Ini tentu peluang besar. Sebab, tidak mungkin SBY akan menjadi calon untuk ketiga kalinya (jika seandainya ia terpilih kembali pada tahun ini).

Jika PG ikut dalam pemerintahan, maka perolehan suara lima tahun mendatang bisa jadi mengalami penurunan. Mengapa? Positioning PG sebagai partai pemerintah dan pernah berkuasan di zaman orde baru (Orba) dengan segala “kejahatannya” masih melekat di benak masyarakat. Era Orba, PG (waktu itu masih bernama Golkar) punya mesin kuat yakni ABRI, Birokrasi, dan Golkar sendiri (ABG). Golkar selalu mengklaim sebagai satau-satunya partai yang membangun bangsa ini. Nyatanya, memang bangsa ini waktu itu sedang membangun, sementara Golkar sedang berkuasa.

Tetapi untuk saat sekarang, apa yang akan “dijual” oleh PG? Masyarakat tidak akan percaya begitu saja jika partai itu melakukan pengklaiman sepihak atas keberhasilan pembangunan seperti zaman Orba. Apalagi perolehan suaranya tidak sebanyak pada era itu. Sementara itu, partai-partai lain sudah punya klaim masing-masing, baik menyangkut partai wong cilik, partai Islam, nasionalis, pluralis dan lain-lain. Dalam posisi inilah PG akan kehilangan isu yang akan digarap. Ini pulalah yang dirasakan PG selama ini.

Oposisi
Pilihan yang kedua adalah menjadi partai oposisi. Keuntungan menjadi partai oposisi antara lain; pertama, menunjukkan pada masyarakat sebagai partai yang kritis untuk meraih simpati rakyat. Jika PG menjadi partai oposisi, ia akan sibuk untuk menjadi partner pemerintah di luar pemerintahan. Ia akan menjadi penyeimbang, mengkritik, dan meluruskan yang bengkok terhadap kebijakan pemerintah. Jika pemerintah melakukan tindakan yang merugikan pemerintah, ia harus tampil di muka.

Namun kelemahannya, PG akan dianggap sebagai “partai barisan sakit hati” karena gagal terlibat dalam pemerintahan. Sehingga, bisanya “menganggu” pemerintah saja. Namun demikian, oposisi di sini harus dilakukan dengan cerdas, bukan sekadar hantam kromo saja. Masyarakat sudah semakin maju tingkat pendidikannya dan tahu mana yang sekadar mengkritik dengan kebencian, mana yang mengkritik untuk membangun.

Dari pilihan ini, diharapkan simpati masyarakat kian meningkat pula. Tentu saja dengan terus memperlebar jaringan, mengokohkan akar di grass root, dan memunculkan isu-isu yang cerdas menyangkut masyarakat. Sebab jika tidak hati-hati, justru masyarakat akan semakin muak karena ia menjadi partai oposisi yang asal beda, mengkritik saja, dan mencari-cari kesalahan pemerintah disebabkan “sakit hati”. Padahal partai itu kalah dalam kompetisi politik dalam Pemilu 2009.

Kedua, menghilangkan beban masa lalu. Tidak bisa dipungkiri masyarakat masih menyimpan trauma atas keberadaan PG. Ia adalah partai penguasa Orba dengan segala “keserakahannya”. Kalau PG mendapatkan suara banyak selama ini karena jaringan “mesin” politiknya saja. Ia telah dikenal masyarakat dalam kurun waktu yang lama. Sementara partai-partai baru belum dikenalnya.

Dengan menjadi oposisi, maka beban masa lalu PG akan sedikit hilang dalam ingatan masyarakat. Sebab, bangsa ini terkenal dengan bangsa pelupa. Hal ini pernah disindir Milan Kundera. Dalam bukunya The Books of Laughter and Forgetting, ia pernah mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Bangsa ini sering dituduh sebagai bangsa yang gampang melupakan dosa-dosa masa lalu, kekerasan masa lalu, kejahatan masa lalu dan penyimpangan lain di masa lalu.

Agaknya, sindiran Kundera itu begitu mengena pada diri bangsa Indonesia. Ada banyak peristiwa yang dilupakan atau sengaja dilupakan hanya karena kita ingin disebut sebagai bangsa baik hati atau karena terlalu picik. Bagaimana kelanjutan proses kasus KKN yang melibatkan pemimpin era Orba?
Untuk itulah, kenyataan ini bisa dimanfaatkan PG dengan sebaik-baiknya. Bukan berarti kita setuju untuk “mengubur” kebobrokan” masa lalu. Tetapi, bangsa ini memang menjadi bangsa pelupa. PG bisa menjadikan momentum ini untuk mundur terlebih dulu, kemudian maju selangkah demi selangkah untuk meraih kemenangan. Tentu, ia membutuhkan proses yang tidak singkat.

Masalahnya, menjadi oposisi jelas akan ditentang oleh fungsionaris PG yang punya ambisi jabatan atau ingin ikut berkuasa. Orang-orang ini jelas akan mendukung PG sebagai partai yang terus ikut memerintah. Alasannya, mereka bisa menjadi menteri atau pejabat tinggi lain. Kalau sudah begini, kemunduran PG di masa datang tinggal menunggu waktu saja. Ia akan menjadi partai pemerintah yang akan terus disorot publik dengan segala keburukannya.
Sumber: Harian Joglosemar, 23 April 2009

Comments :

5 comments to “Partai Golkar Sebagai Oposisi?”

wah, kalau ngomongin soal PG kayaknya pusing juga pak. satu sisi, dalam berita tadi sore, banyak elemen internal untuk tetap nebeng di balik demokrat. sementara yang lain sudah terpecah, pak sultan juga mulai merapat "kepangkuan" bu mega. mungkin dalam pemilu caprepres dan cawapres nanti, suara golkar akan semakin lenyap dengan perpecahan didalam tubuhnya sendiri. politik emank bikin pusing pak...

Yanuar Catur mengatakan...
on 

mungkin. apa Golkar akan seperti 5 tahun lalu? Wiranto (Jago Golkar) keok, justru SBY-JK (menang). JK bukan njago dari Golkar. Apa kasus hukum karma itu akan terulang, dimana JK yang dijagokan Golkar jadi Capres, dan dianggap "penghianat" Golkar tahun 2004 waktu itu akhirnya akan kalah?. wah asyik juga untuk ditulis ya?

Nurudin mengatakan...
on 

Peta politik makin seru aja Bung melihat PG dan Demokrat yang bahu-membahu selama kurun waktu 5 tahun terakhir ini harus bercerai..
Dan sekarang PG semakin kacau dihadapkan pada kondisi internal mereka yang tak lagi harmonis..
Permasalhannya bukan dari calon yang mereka usung, tapi sistem intropeksi mereka yang kebingungan..

Kid mengatakan...
on 

iya pak,,kayaknya perlu ditulis tu??
heheheehehe
saya tunggu pak tulisannya
hehehe

Yanuar Catur mengatakan...
on 

wah sayang sekali PG cerai ma demokrat,
padahal demokrat dah memberikan opsi buat PG untuk mencalonkan bebrapa nama buat di calonkan jadi wapres,tapi PG masih kekeh pertahankan JK.....
padahal andaikan mau tetap gabung pasti pemerintahan kedepan akan solid...
di internal PG pun pecah gara2 masalah pencalonan JK jadi capres...
kebanyakan dari DPD II tidak setuju, dan tetap berkoalisi dengan demokrat dan mengajukan akbar tanjung jadi calonnya...
kayaknya keputusan memajukan JK sebagai capres perlu dikaji lagi....

Agung Prabowo, S.Ikom mengatakan...
on