Selasa, Juni 09, 2009

Kontrak Politik Capres

Oleh Nurudin (Harian Kontan, 9 Juni 2009)
Pasangan Capres dan Cawapres yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan komitmen jika mereka terpilih. Berkaitan dengan bidang ekonomi, pasangan SBY-Boediono memilih bekerja keras untuk rakyat, tidak menyerahkan ekonomi pada pasar bebas. Pasangan JK-Win melindungi ekonomi rakyat, menyejahterakan rakyat dengan adil dan makmur. Sementara pasangan Mega-Pro mengusung keberpihakan pada wong cilik dan menjalankan kemandirian di bidang ekonomi.

Tentu saja, apa yang dikatakan tersebut masih sebatas wacana. Dan tak mungkin hanya sekadar wacana untuk meraih simpati rakyat. Ada beberapa catatan, pertama, wacana tersebut harus dirinci lebih detail dan lebih operasional. Kedua, tidak boleh sekadar wacana, tetapi harus ada komitmen dengan membuat kontrak politik yang jelas.

Hukum Positif
Mengapa kontrak politik penting dilakukan oleh para kandidat Capres dan Cawapres? Pertama, kontrak politik bermakna tanggung jawab tinggi. Artinya, kandidat yang berani mengadakan kontrak politik, akan dianggap berani pula menerima risiko politik di masa datang. Sebab, program yang dikeluarkan bisa jadi populer di masyarakat, namun siapa yang bisa menjamin kalau program yang pernah dikemukakannya itu akan dilaksanakan secara baik dan benar? Dengan demikian, kontrak politik akan menepis keraguan masyarakat untuk memilih pasangan kandidat.

Oleh karena itu, kontrak politik karenanya punya sanksi yang tegas dan nyata. Sebab, dalam kontrak akan bisa diketahui apa bentuk sanksi yang diterima jika kandidat melanggar kontrak yang sudah disepakati tersebut.

Karenanya pula, sanksi dalam kontrak politik bukan pada diri masing-masing orang seperti yang ada dalam kode etik. Dengan kata lain, kontrak politik bukan sebuah kode etik. Jika seorang wartawan menerima amplop, padahal dilarang, pertanggungjawabannya pada hati nurani sang wartawan itu. Ini jelas sanksi yang tidak tegas dan nyata. Kontrak politik dengan sanksi seperti kode etik tidak cocok untuk para kandidat. Maka, kontrak politik harus berada dalam ranah hukum positif (punya sanksi tegas dan nyata).

Kedua, masyarakat sekarang adalah masyarakat dengan tingkat melek politik yang sudah tinggi. Karenanya, ada banyak perubahan kecenderungan memilih yang sulit diduga sejak awal. Perhitungan di atas kertas tidak lagi bisa menjadi jaminan seorang kandidat bisa memenangkan sebuah “kompetisi politik”. Seringkali rasionalitas masyarakat sangat berbeda dengan rasionalitas para pengamat, tim sukses dan politisi itu sendiri.

Bukti sudah banyak berbicara. Lepas dari ada faktor lain yang ikut menentukan kita bisa melihat pada kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ambil contoh terpilihnya pasangan Heryawan-Dede Yusuf (Hade) sebagai gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat. Kedua pasangan itu membalikkan prediksi-presiksi politik awal.

Orang tidak menyangka kalau pasangan yang hanya didukung oleh PKS dan PAN itu bisa menang. Kurang apa pasangan Agum dan Nu’man yang didukung oleh PDI-P, PKB, PPP, PKPB, PDS, dan PBR sampai kalah dengan pasangan Hade? Tak terkecuali, kurang apa Danny-Iwan yang didukung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat yang mempunyai suara besar akhirnya juga kalah? Inilah prediksi-presikdsi politik yang tidak bisa ditebak. Politik adalah dunia yang penuh misteri.

Ketiga, meyakinkan masyarakat untuk menyoblos pasangan calon akan lebih kuat manakala dilakukan dengan kontrak politik. Heterogenitas yang ada pada masyarakat membuat peta politik di Indonesia ini sangat sukar ditebak. Jika masing-masing kandidat hanya mengandalkan slogan, dan program-program menarik lainnya, belum menjadi jaminan akan dipilih. Bukankah semua program masing-masing kandidat baik semua?

Memang benar bahwa faktor psikologis kandidat dengan konstituen ikut menentukan perolehan suara. Tetapi, faktor ini bukan jaminan. Kurang apa pasangan Mega-Hasyim pada Pemilu 2004 yang punya pendukung riil dan loyal akhirnya kalah dengan pasangan SBY-JK?

Memang benar pula bahwa iklan juga bisa ikut menentukan suara pasangan calon, tetapi ini juga bukan jaminan utama. Kurang apa partai Gerindra yang gencar memasang iklan, tetapi hanya mendapatkan suara 5,36 persen dengan 30 kursi di legislatif?

Terobosan Cerdas
Mengandalkan iklan, hubungan psikologis, loyalitas konstuen sudah dilakukan, tetapi hasilnya tidaklah signifikan. Yang belum dilakukan adalah mengadakan kontrak politik dalam Pilpres. Kontrak politik ini juga akan membuka pemahaman masyarakat bahwa pasangan kandidat bukan orang yang takut akan risiko politik.

Janji-janji dalam iklan yang terkesan basa-basi sudah sering diteriakkan para politisi, tetapi menguap begitu saja ketika mereka sudah menjabat. Sementara itu, kontrak politik yang dampaknya luar biasa belum dilakukan oleh para kandidat. Barangkali mereka takut mengambil risiko dan tanggung jawab ketika mereka terpilih. Politisi di negeri ini memang pandai bersilat lidah tetapi hanya berhenti di mulut saja.

Maka, keberanian para kandidat mengadakan kontrak politik akan menjadi terobosan baru dan cerdas di tengah keragu-raguan dan kegamangan masyarakat akan Pemilu. Kontrak politik juga akan mendidik masyarakat apakah mereka berani mempermasalahkan kandidat yang sudah terpilih seandainya pasangan calon itu tidak mematuhi kontrak politik yang sudah dilakukan? Jadi, para kandidat dan masyarakat dengan sendirinya akan terdidik untuk melek dan cerdas dalam berpolitik. Ini tentu keuntungan bagi bangsa ini di masa datang.

Kontrak politik memang sebuah “pembohongan publik” yang dibungkus dengan “akal sehat”. Tetapi, kontrak politik setidaknya membuka peluang pemberlakuan hukum positif yang tegas dan nyata. Jika itu sudah dilakukan, biarlah rakyat yang nanti akan menilai.

(Sumber: Harian Kontan, 9 Juni 2009)

Comments :

3 comments to “Kontrak Politik Capres”

masyarakat juga kelihatannya semakin pinter menghadapi iklan politik para capres
sepertinya mereka sudah banyak yang tidak percaya dengan apa yang di obral para politisi di TiPi.
dari pengalaman sebelumnya, banyak kontrak-kontrak politik yang terbeng kalai, janji cuma janji,,
jadi masyarakat mulai bosan n jenuh menghadapi itu semua..

Yanuar Catur mengatakan...
on 

betul mas. kalo janji-janji tidak dihukum dengan hukum positif, ya begitulah akhirnya. meskipun punya kekurangan, mencoba kan tidak jelek? tul gak?

Nurudin mengatakan...
on 

betul,,setuju.

Yanuar Catur mengatakan...
on