Kamis, April 08, 2010

Pendidikan Multikultur 1: "Ternyata Kita Bisa, Lho...."

(Saling Bahu Membahu Antara Laki-laki dan Perempuan 1)

Awalnya memang film. Tetapi, film adalah gambaran realitas masyarakat yang terjadi atau yang dicita-citakan. Memang ada perbedaan mencolok antara yang diceritakan dalam film dengan kenyataan sebenarnya. Tetapi, film tak lain adalah reflsksi realitas masyarakat yang sebenarnya dan bingkai kecil. Dari film, tak jarang kita sering melihat teladan yang baik, tak terkecuali yang berkaitan dengan peran anak laki-laki dan perempuan. Lewat film, bagaimana anak-anak diberikan contoh berperilaku baik -- meski tak jarang ada juga film yang berdampak negatif.

Sekarang, ambil contoh film”Petuangan Sherina” yang pernah diputar di bioskop-bioskop seluruh Indonesia dan menjadi penanda bangkitnya film anak-anak di layar lebar. Sherina (diperankan oleh Sherina Munaf) adalah seorang gadis cilik yang cerdas, enerjik, dan senang menyanyi. Ia tinggal di Jakarta bersama orang tuanya, Bapak Darmawan (Mathias Muchus). Namun Sherina harus meninggalkan sahabat-sahabatnya, ketika ayahnya diterima bekerja di perkebunan sayur milik Pak Ardiwilaga (Didi Petet) di Lembang.

Di lingkungannya yang baru, ia dengan cepat tanggap dan dapat menyesuaikan diri serta mudah memperoleh teman-teman baru. Namun iapun menjadi sasaran kejahilan para 'bandit kelas', yaitu seorang anak laki-laki bernama Sadam (Derby Romero) dan dua anteknya, Dudung dan Icang. Mereka sering mengganggu anak-anak yang lebih lemah, khususnya perempuan. Sherina tidak dapat menerima perlakuan tersebut dan menggalang teman-teman barunya agar berani melawan Sadam.

Dalam suatu liburan singkat, Sherina berkesempatan untuk mengenal Sadam lebih dekat. Keduanya terlibat dalam suatu petualangan yang menguji kecerdikan, ketabahan dan keberanian mereka serta kemampuan untuk saling bekerja sama dalam menghadapi komplotan bandit yang sesungguhnya, yaitu komplotan Pak Raden, yang merupakan suruhan dari seorang pengusaha licik bernama Kertarajasa. Kertarajasa ingin menguasai areal perkebunan Pak Ardiwilaga untuk dijadikan proyek real-estate.

Sebagai seorang anak yang merasa lebih kuat, Sadam (sebagai anak laki-laki) terlalu gengsi bermain dengan Sherina (sebagai anak perempuan). Tetapi, karena kondisi memaksa, maka kedua anak itu harus bekerja sama kalau tidak mau diculik oleh komplotan yang disuruh oleh Kertarajasa. Karena Sadam tidak ingin ditangkap dan menyadari Sherina lebih siap menghadapi keadaan, maka keduanya harus bekerja sama. Maka, Sherina dan Sadam tidak saja mengecoh penjahat yang mau menangkapnya, tetapi telah menyelamatkan orang tuanya dari niat jahat orang lain.

Itu memang hanya film, tetapi menggambarkan betapa anak perempuan seringkali masih dianggap lemah disanding laki-laki. Bahkan tidak pada lingkup anak-anak saja, tetapi juga orang dewasa. Di sinilah gengsi antar “kaum Adam dan Hawa” sering kali membuat mereka berseteru untuk tidak mau bekerjasama satu sama lain.

Sebenarnya, kalau manusia sadar mengapa Allah menciptakan kaum Adam dan Hawa? Mengapa tidak menciptakan Adam saja yang dianggap kuat dan bisa menaklukkan “dunia” yang hanya bisa dilalui dengan penuh perjuangan? Laki-laki yang merasa lebih kuat dari perempuan dan tidak mau bekerjasama, berarti senyatanya tidak beriman. Beriman bahwa antara laki-laki dan perempuan memang diciptakan untuk bisa saling bekerja sama. Bukan untuk saling menghilangkan, tetapi mencapai kehidupan yang lebih baik. Mengapa masih banyak perselisihan antara laki-laki dan perempuan, hanya karena mereka berbeda jenis kelamin? Di sinilah iman mereka sedang diuji.

Melihat pentingnya kerjasama antara laki-laki dan perempuan, perlu kiranya melihat lebih jauh apa yang terjadi pada diri anak-anak dan bagaimana menumbuhkan suasana saling kerjasama antara anak laki-laki dan perempuan?

Para guru barangkali sering mendengar bahkan hafal di luar kepala tentang ayat Al Qur’an yang menekankan pentingnya persaudaraan. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Hujurat. Mungkin saja, kita sering mengucapkannya. Tetapi masalahnya, apakah semangat ayat itu sudah masuk ke dalam diri kita dan kita siap menjadi teladannya? Jangan-jangan ayat itu mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan? Apakah mungkin melaksanakannya dalam keadaan kondisi yang tidak mendukung sementara kita meyakini ayat itu benar adanya?

Misalnya, apakah (misalnya) seorang guru mampu membela, melindungi seorang anak yang bukan dari keluarga Muhammadiyah saat terjadi perselisihan dengan anak dari keluarga non Muhammadiyah, sementara anak dari keluarga Muhammadiyah itu yang bersalah? Kalau membela anak Muhammadiyah tetapi berada dalam lingkungan Muhammadiyah itu hal yang biasa. Tetapi membela anak bukan dari keluarga Muhammadiyah yang nyata-nyata tidak bersalah itu sangat luar biasa. Inilah kondisi dimana seseorang meyakini, konsisten melaksanakan ajaran agama, dalam keadaan apapun. Ajaran agama bukan dilaksanakan hanya dalam keadaan yang menguntungkan. Justru dalam kondisi yang tidak menguntungkan itulah tantangan sebenarnya. Dan tidak semua orang bisa melakukannya.

Itu pulalah sebenarnya sari pati pelaksanaan ajaran agama terjadi.
Yang menjadi persoalan kita kemudian adalah mengapa kerjasama antara anak laki-laki dan perempuan perlu terus dipupuk sejak anak-anak?

a. Laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang sama.
Selama ini, ada pendapat umum yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang berbeda. Bahwa perampuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dari prinsip keadilan ini jelas sangat bertentangan. Apalagi Islam selalu menjunjung tinggi prinsip keadilan ini. Sehebat apapun prinsip keadilan ditegakkan, tetapi kalau masih ada perbedaan yang menganga, hal itu tidak mudah untuk diwujudkan. Maka, perlu diubah pandangan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang sama. Pendapat ini memang terus menjadi perdebatan yang tidak kunjung usai. Para ulama klasik memahami bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini didasarkan pada surat An Nisa ayat 1. Bahwa dhamir ha pada kata minha bukan “dari bagian tubuh Adam” tetapi “dari jins Adam” (min jinsiha). Artinya, Hawa bukan berasal dari Adam, tetapi dari unsur “genetika yang satu” dari asal semua makhluk hidup. Bahkan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tidak sependapat juga dengan penafsiran ulama klasik yang menafsirkan nafs wahidah bermakna Adam dan zaujana adalah Hawa yang diciptakan dari tulang rusuknya. Keduanya menafsirkan sama bahwa nafs wahidah dengan jenis yang sama, bukan dari diri Adam. Artinya, Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Maka, antara laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis yang sama. Namun demikian, pendapat ini jelas ditentang oleh para ulama klasik. Anehnya, ulama klasik ini memang masih mendominasi persoalan tafsir yang beredar di masyarakat. Maka, usaha untuk memulai itu juga berasal dari ulama sendiri dan para guru-guru sekolah dasar sebagai kekuatan pengarah anak didik di masa datang.

b. Laki-laki dan perempuan itu sederajat.
Ini masih berkaitan dengan bagian (a). Karena diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, maka kedudukan perempuan itu jelas subordinat laki-laki. Tafsir yang mengatakan itu sangat bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Dalam tradisi ajaran Islam, Al Qur’an adalah “kalam-Nya” yang dipercayai harus merefleksikan keadilan. Tafsir bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ada implikasi ketidakadilan jender. Yang mengkhawatirkan adalah jika tafsir ayat tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar atau tolok ukur untuk menafsirkan ayat-ayat yang lain (terutama yang berhubungan antara laki-laki dengan perempuan). Semua tentu akan ditafsirkan bahwa perempuan itu subordinat laki-laki. Maka, tafsir yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam itu keluar dari standar etis dan tak mungkin Tuhan berbuat tidak adil, bukan?

c. Hidup ini maju ke depan dan tidak surut ke belakang. Setiap orang, termasuk guru, perlu menyesuaikan dengan apa yang terjadi sekarang. Tentu saja tetap berpegang teguh pada ajaran agama. Namun demikian, tafsir ajaran agama yang “usang” perlu ditinggalkan. Tidak perlu dipertahankan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang guru perlu dilakukan oleh anak didik zaman sekarang. Sebab, hidup telah berubah, tantangan dan peluang juga akan berubah. Analoginya, guru tidak perlu menasihati anak dididiknya untuk mengkliping koran, yang benar , menyuruh download ke internet. Jika gurunya tidak bisa, gurunya perlu belajar internet.

Ulasan di atas menjadi sebab tiadanya kerjasama yang baik antara anak laki-laki dengan perempuan. Tetapi, mengapa itu semua masih terjadi?

a. Proses belajar mengajar yang yang selama ini terjadi masih menempatkan laki-laki di atas perempuan. Misalnya, laki-laki harus menjadi komanan upacara sementara perempuan cukup menjadi pengibar bendera atau pembawa acara saja. Memang sudah ada beberapa guru yang mendobrak budaya ini, tapi belum semua mau dan menginginkannnya. Kebiasaan ini hanya akan membuat laki-laki lebih super dari perempuan.

b. Tidak semua laki-laki, termasuk para pendidik, mau melakukan prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan dalam segala tindakannya. Ini mungkin terjadi karena dengan mengkampanyekan kerjasama dan prinsip keadilan antara laki-laki dengan perempuan, sama saja hanya akan menurunkan kekuasaan dan wibawa laki-laki.

c. Prinsip itu memang enak dibicarakan, tetapi tidak semua orang mau konsisten melaksanakan apa yang diomongkan itu. Kita sering berteriak, perlu kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, tetapi bagaimana jika hak-hak yang akan diberikan pada perempuan itu kemudian melanggar hak laki-laki juga?

Jadi tiadanya kerjasama antara laki-laki dengan perempuan yang selama ini terjadi karena jalinan itu tidak dipupuk sejak kecil. Apalagi jika suasana itu didukung oleh budaya. Misalnya, sudah berkembang dalam masyarakat kita laki-laki itu berasal dari bahasa Jawa lanang dan perempuan itu wanito. Jika diartikan kedua arti kata itu jelas tidak mencerminkan keadilan. Lanang berarti olo olo menang (meskipun jelek yang penting menang). Ini menempatkan laki-laki, apapun yang terjadi, harus berada pada pihak yang harus dimenangkan, terutama jika berurusan dengan perempuan.

Sementara itu wanito berarti wani ditoto (berani ditata). Tak heran jika dalam budaya (Jawa khususnya), perempuan ditempatkan di sektor domestik sebagai “pelayan” laki-laki. Sudah berkembang jamak bahwa perempuan itu identik dengan “sumur, kasur, dan dapur”. Tugasnya adalah bersih-bersih di rumah, melayani nafsu suami di tempat tidur, dan memasak.

Tak terkecuali juga, pemerintah juga ikut andil dalam ketidakadilan ini. Sudah dalam kurun lama, kepala rumah tangga itu dipercayakan atau melekat pada diri laki-laki. Dalam pikiran masyarakat, jika ada kata-kata kepala rumah tangga identik dengan laki-laki.

Sebagai guru yang baik, jika ingin mengabdi dan melaksanakan ajaran agama secara menyeluruh harus mengenalkan bahwa ketidakdilan tidak saja berasal dari perbedaan tafsir atas nash tetapi juga oleh masyarakat, dan juga pemerintahnya.
Apa yang perlu dilakukan kalau begitu?

a. Kenalkan pada siswa bahwa ada perbedaan penafsiran atas sebuah teks Al Qur’an. Al Qur’annya sendiri tidak perlu diragukan, tetapi jika sudah masuk ke dalam otak manusia kemudian ditafsirkan sangat mungkin terjadi perbedaan cara menafsirkan.

b. Siswa perlu belajar perbedaan dari yang selama ini mereka kenal. Misalnya, jika masyarakat menganggap bahwa laki-laki itu yang paling berkuasa, perlu dikenalkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Islam itu sama.

c. Islam adalah ajaran agama yang berorientasi pada keadilan untuk semua pihak. Perbedaan yang dilebih-lebihkan antara laki-laki dengan perempuan tidak saja melanggar prinsip keadilan, tetapi juga mengingkari kebenaran Al Qur’an.

d. Siswa perlu diberikan contoh bahwa dalam pelaksaan tugas-tugas tertentu kerjasama laki-laki dengan perempuan akan lebih baik dan menghasilkan yang lebih bermanfaat dari pada merasa paling benar atau kuat.
Jadi, “Ternyata laki-laki dan perempuan bisa bekerja sama dan mencapai keinginan yang lebih baik, lho”.

Comments :

0 comments to “Pendidikan Multikultur 1: "Ternyata Kita Bisa, Lho...."”