Kamis, April 08, 2010

Pendidikan Multikultur 2: "Kami Bermain Bersama"

(Saling Bahu Membahu Antara Laki-laki dan Perempuan 2)

Pada suatu hari, di sebuah TK di kota Malang akan menyelenggarakan test psikologi untuk melihat potensi anak-anak sekolah itu. Untuk menyambut acara tersebut, maka diumumkanlah kepada siswa-siswa, dan tentu juga kepada orang tua wali, untuk mengikutinya. Setiap siswa dibebani biaya Rp. 10.000,- rupiah. Surat pun dilayangkan ke orang tua dengan dititipkan kepada anak-anak TK itu.

Kebanyakan orang tua penasaran, apa bakat anaknya. Pilihannya, mendaftarkan anaknya untuk ikut test psikologi yang akan diselenggarakan oleh sekolah tersebut. Untuk menyambut acara itu, sekolah juga tidak tanggung-tanggung dengan mengundang psikolog yang sudah ternama. Harapannya, agar potensi anak-anak didiknya benar adanya.

Setelah hari pelaksanaan tiba, diujilah anak-anak TK itu satu per satu ke ruangan sekolah. Hingga semua anak yang mendaftar telah mendapatkan kesempatan untuk mengikuti test. Besok paginya, saat anak-anak mengukti pelajaran, giliran orang tua yang wali murid yang dipanggil oleh psikolog yang melaksanakan tes psikologi itu.

Deg-degan pun menghinggapi para orang tua tersebut. Tapi ada juga yang yakin akan bakat anaknya yang memang lebih dari cukup.

Terjadilah dialog diantaranya sebagai berikut;
“Gimana bu, hasil tes anak perempuan saya?” tanya seorang wali murid pada psikolog.
Dengan agak sungkan-sungkan sang spikolog menjawab, “Begini ibu, anak ibu agaknya mengalami kelainan sedikit.

“Kelainan bagaimana maksudnya?” tanya wali murid itu tidak sabaran.

“Maksud saya, ada sedikit gangguan pada perkembangan anak ibu.”

“Terus?”

“Saat kami sodorkan beberapa pilihan permainan antara sepak bola dan senam, anak ibu memilih sepak bola sebagai permainan kesukaan.”

“Terus, apanya yang salah, ya bu?”

“Begini bu. Sepak bola itu kan olah raganya anak-anak laki-laki. Tetapi anak ibu justru menyukainya. Bukankah ini kelainan?“

Ibu itu hanya terdiam. Dia tidak berpikir kalau selama ini anaknya dianggap punya “kelainan”.

Cerita di atas barangkali terjadi pada anak atau keluarga kita. Cerita tersebut juga menggambarkan pada kita bahwa adanya pengkotak-kotakan dalam memilih permainan yang kemudian dikaitkan dengan bakat atau kecenderungan si anak. Ada olah raga ini untuk laki-laki, olah raga itu untuk perempuan dan sebagainya.

Dari cerita itu, bisa diambil benang merah bahwa ada sesuatu yang bisa jadi salah dalam pelajaran hidup kita selama ini, meskipun bukan satu-satunya kesalahan. Bahwa permainan sepakbola itu adalah permainan laki-laki. Dan ini menjadi pendapat mayoritas masyarakat. Akibatnya, jika ada seorang perempuan itu bermain bola dianggap sesuatu yang mengingkari dirinya sebagai seorang perempuan.

Sementara itu, perempuan biasa diidentikan dengan olah raga yang lebih feminim dan tidak membutuhkan tenaga yang banyak, misalnya senam. Ketika ada seorang anak laki-laki sedang dengan olah raga senam, juga akan dianggap punya kelainan. Dan masih banyak permainan yang selalu diidentikkan dengan persoalan laki-laki atau perempuan.

Memang tidak bisa dipungkiri, umumnya pekerjaan perempuan dengan laki-laki bisa dibedakan. Misalnya seorang perempuan terlihat lebih banyak terlibat pada kegiatan yang membutuhkan kelembutan, perhatian dan perasaan, misalnya bermain boneka-bonekaan, masak-masakan, keterampilan tangan, dan sebagainya. Sementara laki-laki terlihat lebih banyak terlibat pada kegiatan yang menuntut ketangkasan, keberanian atau ketegasan. Bisa dimaklumi jika ada pembagian bentuk permainan yang perlu digeluti antara laki-laki dengan perempuan.

Bagaimana kita menyikapi akan hal ini? Apakah seorang anak laki-laki harus dipisahkan dengan anak perempuan dalam bermain bersama-sama? Bagaimana mereka bisa saling belajar memahami satu sama lain jika harus dipisah-pisah seperti itu? Itulah berbagai pertanyaan yang layak untuk kita renungkan bersama-sama.

Umumnya orang tua, termasuk guru, juga akan kebingungan menghadapi kasus di atas. Bagaimana tidak jika yang mengemukakan adalah seorang psikolog? Banyak orang tua yang hanya mengikuti apa yang dikehendaki oleh para psikolog itu. Ia tidak salah, hanya tidak seratus persen benar.

Seorang anak laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya, dan dalam batas-batas tertentu, tidak perlu dilarang mau main permainan apa di waktu kecil. Bukan pada soal apakah bentuk permainannya salah, tetapi harus dipahami bahwa itu semua sebagai salah satu sosialisasi antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Jika benar bahwa antara laki-laki berbeda secara biologis dan psikologis, bermain bersama-sama akan bisa mengasah kepekaan mereka dan mempercepat proses pendewasaan diri satu sama lain. Jika kita juga sepakat bahwa laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih mengandalkan perasaan, justru ketika masih kanak-kanak harus dibaurkan. Bukan untuk apa, tetapi biar sama-sama saling belajar.

Bagaimana jika anak laki-laki terus bermain dengan anak laki-laki? Ia akan mungkin terus mengedepankan sifat kelaki-lakiannya, dan tidak punya perasaan sepeka yang dipunyai perempuan. Artinya, anak laki-laki yang hanya bermain dengan anak laki-laki saja tidak punya perasaan lebih baik jika dibandingkan dengan anak laki-laki yang bisa bermain dengan anak perempuan. Ini tidak bermaksud agar laki-laki menjadi perempuan. Masalahnya, bukankah jika dewasa nanti dua orang yang berjenis kelamin berbeda itu akan hidup bersama-sama? Mereka yang sudah dibesarkan dan di dewasakan pemikiran dan perasaannya akan cepat menyesuaikan diri.

Tak terkecuali dengan perempuan. Jika perempuan dibaurkan untuk bermain dengan laki-laki, ia akan mengenal sosok dan pemikiran yang ada pada laki-laki. Ini juga bukan berarti ia harus menjadi laki-laki. Tidak. Kemampuan bergaul dengan laki-laki di waktu kecil akan membuat perempuan tidak menjadi orang yang lembek dan hanya mengandalkan perasaannya saja. Jika ini tidak dilakukan, jangan-jangan ia akan menjadi generasi yang cengeng. Punya masalah sedikit menangis. Ini juga tidak berarti bahwa semua perempuan itu cengeng.

Pendapat tersebut di atas tidak bermaksud membedakan terlalu tajam antara laki-laki dan perempuan. Pentingnya bahu membahu antara laki-laki dengan perempuan lebih sebagai sebuah kodrat perlunya kerjasama diantara mereka. Bersaing penting, tetapi kerjasama tak kalah pentingnya.

Kerjasama yang baik antara anak laki-laki dengan perempuan juga tidak akan membuat saling menguasai satu sama lain. Bahwa laki-laki itu tugasnya di sektor publik, sementara perempuan disektor domestik. Baik sektor publik maupun sektor domestik jika perlu bisa dikerjakan oleh kedua jenis kelamin itu. Tentu saja dalam porsi yang berbeda dan di luar kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Yang perlu ditekankah di sini adalah semangat akan pentingnya kerjasama antara laki-laki dengan perempuan.
Konsep kerjasama (baca: saling menolong) antara laki-laki dengan perempuan sudah sepantasnya dilakukan sejak dini. Tolong menolong sudah digariskan dalam Al Qur’an, “Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al Maidah: 2).

Hal demikian juga pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Meskipun tidak menggambarkan tolong menolong antara laki-laki dengan perempuan, saling menolong harus menjadi semangat untuk menciptakan kebersamaan, tak peduli jenis kelaminnya.
Suatu hari Rasul jalan-jalan ke pasar dengan membawa uang delapan dirham. Di tengah perjalanan, Rasul bertemu dengan budak perempuan sedang menangis, kemudian Rasul bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”

Kemudian budak itu menjawab, “Majikan saya mengutus untuk membeli sesuatu dengan uang dua dirham, tapi uang tersebut sekarang hilang”.

Kemudian Rasul memberinya dua dirham. Selanjutnya Rasul berjalan dengan membawa uang enam dirham, dan membeli pakaian seharga empat dirham untuk dirinya dan kemudian di pakai. Dalam perjalanan pulang, Rasul bertemu dengan seorang muslim yang tua tak berpakaian seraya berkata, “Barang siapa memberi pakaian kepadaku, maka akan diganti Allah sebuah akaian dari surga.

Kemudian Rasul mencopot pakaian yang baru dibeli dan diberikan kepada orang tersebut. selanjutnya Rasul berkeinginan kembali ke pasar dan membeli pakaian seharga dua dirham dan kemudian dipakainya, Rasul bergegas untuk pulang.
Cerita di atas adalah teladan Rasulullah bagaimana kepedulian untuk saling bekerjasama perlu dikedepankan, bahkan kerelaan berkorban untuk orang lain.

Orang tua atau guru yang mendorong kerjasama antara laki-laki dan perempuan, dalam batas-batas tertentu, jelas sedang melaksanakan sunnah Rasul di atas. Bagaimana caranya mewujudkan dan memupuk itu semua?

Pertama, biarlah anak berkembang sesuai kedewasaannya. Tidak perlu dilarang-larang atau dibatasi bentuk permainan atau kepada siapa ia akan bermain. Ini semua penting untuk mendewasakan kepribadian anak di masa datang. Tidak pada tempatnya pula menjelaskan kepada anak didik bahwa laki-laki itu lebih super dari pada perempuan. Kita tidak hidup dalam zaman “Siti Nurbaya” lagi.

Kedua, jangan sesuatu dikaitkan dengan bakat. Memang bakat itu ada dan penting. Tetapi bakat bukan segala-galanya. Sesuatu kalau dilakukan terus menerus akhirnya akan bisa.

Ketiga, biarlah anak bermain sesuai keinginannya. Semua itu akan membentuk kepribadian anak di masa datang. Anak yang terus dikungkung dalam lingkungan pergaulan tertentu hanya akan menjadi anak yang tidak berkembang sebagai mana layaknya.

Barangkali cerita Kingsley Davis bisa dijadikan contoh kongkrit. Jika anak terus dikungkung, ia tidak bisa berkembanag secara wajar. Ia pernah mengamati perilaku seorang anak yang bernama Anna (5 tahun). Hampir seluruh hidupnya disekap dalam sebuah kamar kecil di atas loteng di sebuah rumah petani di Pensylvania, Amerika. Anak tersebut diasingkan dari lingkungan. Akibatnya kemudian, ia mempunyai sifat-sifat yang berlainan dengan anak seusianya; dia tak dapat jalan, tak dapat mendengar dengan sempurna dan tak dapat makan sempurna seperti halnya manusia.

Comments :

0 comments to “Pendidikan Multikultur 2: "Kami Bermain Bersama"”