Kamis, April 08, 2010

Pendidikan Multikultur 3: 'Fatimah Sang Ketua Kelas, Sedangkan Si Joni Sang Juara Kelas"

(Saling Bahu Membahu Antara Laki-laki dan Perempuan 3)

Apakah Anda pernah melihat Film berjudul “Perempuan Berkalung Surban” yang diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqi (2000)? Apa makna yang bisa Anda tangkap dari film itu berkaitan dengan posisi laki-laki dan perempuan? Film ini adalah gambaran realitas masih adanya hegemoni bahwa laki-laki itu lebih penting, perlu diposisikan pada level tinggi, dan berada di depan. Sementara perempuan harus mengalah.

Jika Anda belum pernah menonton, ringkasan film cerita yang disutradarai Hanung Bramantyo kira-kira begini. Film ini bercerita tentang Annisa (yang diperankan oleh Revalina S. Temat), seorang gadis yang terkenal "nakal". Ia “nakal” terhadap tradisi pesantren. Annisa berusaha berjuang untuk keluar dari "kungkungan" pesantren, tempat dia dilahirkan dan dididik dengan ilmu-ilmu agama. Ia adalah santriwati dari sebuah Pesantern Salafiyah al-Huda di Jawa Timur di bawah asuhan Kiai Hanan (Joshua Pandelaky), yang terkenal "konservatif".

Disamping seorang kiai, Kiai Hanan juga sesekaligus bapak Annisa sendiri. Sebagai kiai konservatif, pak kiai itu mempunyai prinsip bahwa perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin. Prinsip ini dibuktikan ketika Annisa duduk di Madrasah Ibtidaiyah (SD). Pada pemilihan ketua, Annisa terpilih menjadi ketua kelas dengan perbedaan suara tipis dengan anak laki-laki. Namun demikian, guru kelasnya langsung menunjuk pemenang kedua, sebab dia laki-laki, dan keputusan ini didukung Kiai. Karena kecewa, Annisa melakukan walk-out.

Prinsip konservatif lain yang dijalankan pesantren itu adalah adanya larangan naik kuda bagi perempuan. Kebijakan ini tentu saja ditentang Annisa. Menurut Annisa, Aisyah (putri Rasulullah) pun bisa menunggang kuda. Ketidakadilan yang menimpa Annisa juga menyangkut persoalan sekolah. Saudara laki-laki Annisa dikirim ke Mesir untuk sekolah, bahkan dengan cara menjual beberapa bidang tanah. Sementara Annisa harus berada di “rumah” saja.

Untuk urusan menikahpun, Annisa tidak bisa berbuat banyak. Dia harus menikah dengan lelaki pilihan Ayahnya, Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak kiai Salaf, pesantren besar, yang banyak menyumbang dana untuk kemajuan pesantren al-Huda. Dengan pernikahan ini, justru Annisa makin terpuruk sebagai ibu rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga pun selalu menghantui hidupnya sehari-hari. Sedangkan Annisa sendiri sebenarnya suka dengan paklik Khudori (Oka Antara) dari keluarga ibunya.

Karena Annisa dinikahkan dengan Samsudin, Khudori akhirnya pergi ke Mesir untuk kuliah. Keterpurukan Annisa kian menjadi-jadi.

Annisa tidak diam oleh keadaan itu. Dia memberontak. Dia melakukan perlawanan sebagai perempuan. Dia kemudian meninggalkan lingkungan pesantren suaminya dan memilih pergi ke Yogyakarta, untuk kuliah dan melanjutkan hobinya menulis. Dia pun aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hukum, yang mengadvokasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Ibu Annisa (Widyawati) adalah sosok ibu pendiam, tapi menyimpan kebaikan-kebaikan. Dia menunjukkan peran ibu yang mengayomi semua anaknya, selalu mengerti apa yang dilakukan anak-anaknya, sosok ibu yang baik.

Apa yang bisa dipetik dari kondisi pesantren, dan pemberontakan yang dilakukan Annisa dalam film “Perempuan Berkalung Sorban? Pemberontakan atau lebih tepatnya kritik atas hegemoni laki-laki, bukan hanya dalam lingkungan pesantren, tetapi juga tempat lain. Film ini berusaha mengoreksi pemahaman sempit para penafsir agama bahwa perempuan tidak berhak menjadi subjek yang merdeka, dan harus dituntun oleh laki-laki. Walau pun terkadang laki-laki tidak bisa menuntun, tetapi tak jarang justru malah menjerumuskan.

Film ini jelas berbeda dengan sinetron komedi “Suami-Suami Takut Istri” yang disiarkan TransTV. Sinetro ini meskipun menggambarkan pemberontakan perempuan atas laki-laki, tetapi terkesan didramatisir, penuh khayalan, dan kurang menggambarkan realitas sesungguhnya. Namun, “Perempuan Berkalung Sorban” menyajikan dengan adil, pergulatan hegemoni itu dengan kemasan cerita yang menarik dan pengambilan gambar yang indah.

Pemberontakan kaum perempuan juga diperlihatkan oleh ibu Annisa yang pendiam. "Siapa yang merasa tidak berdosa, silakan merajam", kata ibu Annisa. Pernyataan ini meluncur begitu saja dai mulut ibu Annisa ketika Annisa dan Khudori, dituduh berbuat zina. Padahal mereka hanya ngobrol sebentar di belakang pesantren. Kalimat itu sebenarnya bukan sekadar pembelaan, tapi sebuah kata yang kuat untuk menggambarkan bahwa pelaksanaan dogma hukuman rajam, bagi Ibu Annisa, harus imbang. Sementara itu yang melakukan hukuman juga harus benar-benar bersih dari dosa, apakah bisa hukuman itu dilakukan, kalau semua manusia memang berdosa.

Apa yang disajikan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” mempunyai makna sebagai berikut;
a. Hegemoni laki-laki dalam kehidupan sehari-hari masih sedemikian kuat.
b. Laki-laki harus menjadi pemimpin, perempuan yang dipimpin.
c. Tafsir pemahaman agama masih ditafsirkan menurut kepentingan diri dan kelompoknya.
d. Ada ketidakadilan yang selama ini dilanggengkan dalam kehidupan masyarakat kita, bahkan sengaja didiamkan.

Sebenarnya, kenyataan adanya perbedaan yang tajam antara laki-laki dan perempuan itu bukan sekadar muncul begitu saja, tetapi merupakan rentetan ketidakadilan yang selama ini terus dilanggengkan. Orang tahunya, ketidakadilan muncul dan berusaha untuk melawannya. Mengapa mereka tidak berusaha mencari akar persoalan dari ketidakadilan itu? Dengan kata lain, kalau ingin menciptakan keadilan atas posisi dan hubungan laki-laki dengan perempuan harus dicari akar persoalannya.

Salah satu persoalan yang penting untuk dikaji adalah ketidakadilan yang selama ini melekat pada perlakuan anak didik oleh seorang guru. Kasusnya hampir sama dengan yang terjadi pada diri Annisa yang dicabut haknya sebagai ketua kelas yang sah oleh gurunya.

Sebagai seorang pendidik, guru layak untuk mempertanyakan;
a. Apakah saya sudah memberikan keadilan dengan memberikan kesempatan yang sama pada anak didik saya selama ini?
b. Apakah sebagai guru laki-laki/atau perempuan saya masih mementingkan kaum saya?
c. Apakah saya berusaha melawan jika ada kebijakan sistem yang mementingkan kauam tertentu?

Berbagai pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas layak untuk terus didengungkan dalam sanubari dan pikiran seorang guru. Apakah saya harus melawan atasan kalau atasan tidak adil (misalnya) dengan mementingkan sekelompok kaum tertentu? Melawan di sini tentu tidak harus memakai cara-cara yang revolusioner atau kekerasan. Melihat ketidakadilan dan melawan dengan kemampuan (tangan, pembicaraan) adalah perlawanan yang paling baik. Tetapi, diam adalah juga bentuk perlawanan. Perlawanan yang lebih cerdas adalah dengan terus memberikan pengertian pada anak didik bahwa mengedepankan laki-laki dan meminggirkan perempuan itu tidak adil. Dan kalau perlu ditunjukkan dengan perilaku nyata. Biarlah anak berkembang sesuai kemampuannya, tidak perlu dilarang-larang sedemikian rupa.

Anak perempuan dan laki-laki harus maju bersama-sama. Anak perempuan kalau memang punya kemampuan lebih perlu diberikan kesempatan untuk maju di depan. Sementara itu, meskipun dia anak laki-laki tetapi kalah bersaing dengan perempuan sebaiknya dengan sadar harus menyingkir. Yang paling baik memang memberi kesempatan kedua jenis kelamin itu untuk bersaing secara sehat. Bahkan kalau perlu mereka sama-sama menjadi pemimpin. Fatimah menjadi ketua kelas, misalnya, sementara Joni menjadi juara kelas. Laki-laki dan perempuan dalam hal ini diposisikan secara terhormat dalam sebuah sistem pendidikan.

Memang, membongkar ketidakadilan yang ada dalam sistem pendidikan dasar kita selama ini tidaklah gampang dan memakan waktu lama. Lihat misalnya perubahan pada teks membaca pada tahun 1970-an. Waktu itu, dalam pelajaran membaca yang menceritakan keluarga Budi selalu ditulis, “Bapak pergi ke sawah, ibu memasak di dapur”.
Kalimat itu jelas mencerminkan bagaimana seorang perempuan didudukkan pada sektor domestik (memasak), sementara bapak ada pada sektor publik (bekerja). Itu adalah gambaran realitas budaya masyarakat yang menempatkan perempuan subordinat laki-laki kemudian diabsahkan melalui sistem pembelajaran sekolah. Bukankah kenyataan ini terus dilanggengkan?

Lambat laun dengan perkembangan pendidikan masyarakat yang kian maju, kalimat “Bapak pergi ke sawah, ibu memasak di dapur” sudah mulai ditinggalkan. Tetapi itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sekarang, dalam pelajaran membaca kedudukan laki-laki dengan perempuan dianggap sama.

Namun demikian, itu baru ada dalam teks pembelajaran. Dalam praktiknya tidak mudah untuk diubah. Memang sudah tidak ada kalimat yang mencoba memosisikan laki-laki ada di sektor publik sementara perempuan di sektor domestik, tetapi dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari hal itu masih “jauh panggang dari api”.

Bahkan, para guru sering tidak sadar kalau dia juga melakukan tindakan yang kurang adil. Misalnya, seorang laki-laki harus menjadi pemimpin upacara, sementara perempuan di luar itu. Meskipun bukan berkaitan dengan sektor domestik dan publik, tetapi menempatkan laki-laki lebih superior masih menggejala di sekolah-sekolah. Tak terkecuali dengan menempatkan laki-laki sebagai ketua kelas. Tidak percaya? Coba dilakukan survei kecil-kecilan, berapa persen sekolah-sekolah yang menempatkan, bahkan kadang direkayasa oleh gurunya, perempuan sebagai ketua kelas dan laki-laki sebagai ketua kelas? Anda akan menemukan jawaban bahwa prosentase laki-laki yang menjadi ketua kelas jauh lebih banyak daripada perempuan.

Ini bukan berarti dalam kelas tersebut tidak ada perempuan yang mumpuni, tetapi ada budaya yang masih hidup bahwa laki-laki itu harus didepan dan memimpin. Perubahan demi perubahan ini jelas sangat membutuhkan peran aktif seorang guru.

Tentu saja, mendudukkan anak perempuan sejajar dengan laki-laki di dalam sistem pendidikan tidaklah mudah diwujudkan. Beberapa kendala yang bisa dilihat antara lain;
a. Kendala utamanya ada pada guru laki-laki. Bagaimanapun juga sentimen kelaki-lakian masih sangat kuat ada dalam budaya kita. Lihatlah berapa banyak laki-laki yang rela memperjuangkan hak-hak perempuan? Bukankah mereka lebih memilih diam karena jika diperjuangkan kesamaan antara laki-laki dan perempuan akan mengancam “habitatnya”?
b. Sistem pendidikan kita secara tertulis memang menempatkan laki-laki dan perempuan memang sejajar dan didorong bersama-sama untuk maju, namun dalam praktiknya tidak mudah untuk diwujudkan.
c. Budaya masyarakat kita belum menerima sepenuhnya jika ada kesamaan peran antara laki-laki dengan perempuan.
d. Ajaran agama masih dipahami secara tekstual dan bukan kontekstual.

Akibatnya, peran perempuan semakin terjerembab, justru sering dikatakan “atas nama agama”. Misalnya, “Atas nama agama, maka laki-laki harus menjadi pemimpin”
Meskipun tidak mudah, hal demikian tetap perlu diperjuangkan. Bahwa anak laki-laki dan perempuan harus punya kesempatan bersama dalam meraih prestasi. Persoalan apakah siapa yang paling dominan di masa datang itu urusan nanti. Yang penting, guru telah memberikan dasar-dasar pembelajaran yang baik dan adil kepada anak didik. Tentu saja, semua harus diniatkan dengan ibadah dan bukan sekadar melawan.

Bagi guru perempuan, proses penyamaan hak antara anak laki-laki dengan perempuan bukan semata-mata agar kaumnya menang. Dengan kata lain, hanya sekadar usaha merebut posisi yang selama ini didominasi laki-laki. Kalau begini caranya, ada kesan hanya sekadar balas dendam. Bagaimana jika balas dendam ini kemudian justrsu tidak didukung oleh kaum Adam? Bukankah perjuangannya nanti akan sia-sia? Tentu saja harus didasari niat menjalankan amanah dan beribadah harus berapa di posisi depan.
Jadi, kenapa tidak mungkin Fatimah (anak perempuan) sebagai ketua kelasnya, sementara Joni (anak laki-laki) juara kelasnya?

Comments :

4 comments to “Pendidikan Multikultur 3: 'Fatimah Sang Ketua Kelas, Sedangkan Si Joni Sang Juara Kelas"”

Assalamualaikum pak Nurudin..saya termasuk pembaca buku anda..saya mahasiswa moestopo fakultas komunikasi semester 8,buku bapak saya baca yaitu komunikasi massa dan Komunikasi Propaganda.
Menurut hemat saya tentang tulisan bapak terkait masalah film perempuan berkalung sorban. Pesan yang yang disampaikan oleh film tersebut bisa menjadi banyak makna yang terserap dimasyarakat. karena bisa saja kesan yang diterima memojokan Islam secara tidak langsung, dianggap Islam itu Dien yang kaku dan menyingkirkan kaum wanita. Dan akibat dari kesan tadi bisa saja menimbulkan presepsi yang mempunyai tendensi kearah yang negatif terhadap Islam. karena Islam harusnya diterima secara keseluruhan (Kaffah) sesuai dengan Al-Baqarah (102). Tapi film ini bisa saja membuat opini masyarakat untuk tidak menerima ide yang dibawa orang NO.1 di dunia yaitu Muhammad Saw secara menyeluruh. masyarakat bisa saja menerima islam namun merima ide orang kafir juga, karena Islam dianggap kaku. jadi menurut saya film ini bisa jadi bomerang buat Islam sendiri, denagn niat dasar yang baik yaitu dengan memperbaiki lagi kehidupan pesantren namun efeknya bisa jadi negatif di masyarakat. Saya khawatir film ini malah lebih besar kemudorotannya dari pada kegunaannya. terima kasih..wassalamualaikum Wr,Wb

Anonim mengatakan...
on 

Hallo mas Anonim. terima kasih telah berkenan membaca buku-buku saya. memang banyak interpretasi yang beredar. tapi saya yakin kok mas, kehebatan Nabi tidak akan turun hanya gara-gara ratusan film. semangat yang harus kita bangun adalah menampilkan Islam berjawab lunak dan menjunjung sisi kemnusiaan. ini yang jarang dipahami oleh mrk yang tergolong aliran "keras". menurut saya, hidup ini maju ke depan dan tidak mundur ke belakang. dan Islam apapun yang terjadi tidak akan menurun wibawanya kok, apalagi hanya dengan sebuah film saja. Anda boleh tidak sependapat dengan saya. kalau harus sependapat itu namanya memperkosa hak Muslim lainnya, bukan? coba ditulis dan dikirim di koran. mau kah? thanks, telah ikut sharing di sini.

Nurudin mengatakan...
on 

lo sampeyan punya blogspot juga ta kang...

johan mengatakan...
on 

menurut gua sih emang...cerita wanita berkalung sorban agak lebay gimana gitu,........

tips beli rumah mengatakan...
on