Jumat, November 23, 2012

Media Sosial Sebagai Alat Propaganda


Perang selalu dikaitkan dengan pesawat tempur, bom, mortir, roket, kapal perang, tank, jumlah korban, kebijakan penyerangan, kesedihan, tangis, dan simpati masyarakat dunia. Itu perang dalam arti klasik dan tradisional. Dalam perang modern, peran media yang ikut memanas-manasi perang juga tidak kalah pentingnya untuk disimak. Dalam era internet sekarang, media sosial (twitter, facebook, youtube, flickr dan media sosial lain) menjadi penentu untuk menentukan perang juga.
Mengapa begitu? Kita bisa menyimak penyerangan Israel ke Palestina akhir-akhir ini. Israel tidak saja menyerang wilayah Rafah, Gaza tetapi juga menggencarkan kampanye dan propaganda melalui media sosial. Pasukan Israel pernah mengonfirmasi serangan udara yang dilakukan pasukannya melalui akun twitternya.

Lihat juga akun  @IDFspokesperson  yang pernah mengeluarkan twit, kemudian mengusung hastag #IsraelUnderFire. Ia memperlihatkan video roket dari Gaza yang ditembakan ke Israel, berikut gambar anak-anak Israel yang terluka. Israel ingin menunjukkan diri bahwa dia diserang dan dizalimi. Pentingnya media sosial sampai Kementerian Luar Negeri Israel   menginvestaikan $ 15 juta untuk kampanye citra negara itu. 
Sementara itu,  Al-Qassam, kelompok militer (dipimpin Al Jaabari) juga tidak mau kalah. Lewat akun twitter, mereka ingin memperlihatkan serangan-serangan yang dilakukan kelompok tersebut ke sasaran militer Israel serta kematian anak-anak Palestina dengan menggunakan hastag #terorisme.

Secara historis peran propaganda media yang terus dilakukan Israel bisa ditelurusi sejak Perang Dunia (PD II) lewat gerakan Zionisme (mendirikan negara Yahudi merdeka di tanah Palestina). Untuk mewujudkan abisinya, Israel melakukan propaganda.
Salah satu propaganda yang dilakukan dengan menciptakan mitos-mitos. Mitos “darah selain Yahudi itu tidak suci” membuat bangsa Yahudi menjadi bangsa yang merasa paling baik di dunia. Sehingga, ada aturan bangsa Yahudi tidak boleh menikah dengan etnis bangsa lain.
Ada juga mitos bahwa Nazi Hitler telah membantai 6 juta warga Yahudi. Meskipun Nazi Hitler memang pernah membunuh bangsa Yahudi, tetapi mitos itu terlalu dibesar-besarkan. Roger Geraudy (2000) pernah mencatat bahwa Israel sengaja menanamkan mitos yang berujung pada dukungan akan berdirinya negara Israel. Mitos Israel yang menjadi negara teraniaya terus beredar dalam catatan sejarah buku, media karena pernah diusir dari tanah Palestina dan dibantai Nazi Hitler. Geraudy menganggap itu mitos untuk propaganda mereka.
Kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memancing perang, dalam istilah propaganda disebut dengan warmongering. Propaganda ini dilakukan agar perang yang dilakukan itu sah dan didukung banyak pihak.

Propaganda media untuk menghembus-hembuskan perang saat ini bisa diambilalih oleh media sosial atau jejaring sosial. Pertanyaanya, mengapa media sosial sedemikian dahsyat dalam menyebarkan pesan-pesannya?
Pertama, masyarakat sedang euforia untuk tak menyebut kemaruk media sosial. Media itu sedang digandrungi masyarakat dunia. Tak ada warga kota yang tidak terpengaruh oleh media sosial. Bahkan semua media massa cetak dan elektronik sekarang harus memanfaatkan media sosial itu untuk menyebarkan pesan-pesannya. Dimanapun tempat, masyarakat memanfaatkan media sosial. Itu bukti betapa hebatnya pengaruh media sosial. Bahkan Indonesia menduduki ranking ke-4 pemakai facebook (43 juta pengguna) setelah Amerika, India, dan Brazil.
Kedua, media sosial mampu menyebarkan pesan secara revolusioner. Pesan yang disebarkan lewat media sosial sedemikian dahsyatnya memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Revolusi Mesir (2011) dengan tergulingnya Hosni Mobarak karena media sosial juga.
Kaitannya dengan media sosial,  Revolusi Mesir berawal dari inisiatif Whael Ghonim yang membuat akun FB ‘We are all Khaled Said’ pada Juli 2010. Akun tersebut kemudian menarik massa yang sangat banyak, khususnya yang menjadi oposan pemerintah.  Akun itu dibuat Ghonim sebagai bentuk simpati terhadap Khaled Said yang menjadi korban penyiksaan anggota kepolisian Mesir di sebuah warnet di Alexandria. Akhirnya, kasus itu  menjadi media komunikasi kelompok anti pemerintah dalam melakukan gerakan demonstrasi (Lutvia, 2011).
Setelah akun ‘We are all Khaled Said’, pendukung-pendukung Ghanim kemudian membuat akun facebook lain. Salah satunya akun ‘6th of April Youth Movement’ yang juga digunakan untuk gerakan anti pemerintah. Selain FB, twitter juga digunakan.  Melalui twitter, para demonstran saling berkomunikasi dan memberikan informasi tentang perkembangan demonstrasi Mesir.
Ketiga, kepercayaan masyarakat pada media sosial melebihi kenyataan sebenarnya. Ini bisa dilihat karena sedemikian kuatnya kepercayaan manusia pada media sosial, meskipun   kenyataannya belum tentu seperti itu. Analoginya bisa begini, seseorang yang kecanduan nonton tayangan hantu di TV mendadak bisa takut keluar malam karena seolah banyak hantu di sekelilingnya. Padahal kenyataan sebenarnya tidak sebagaimana ditayangkan dalam televisi. Itu sebabnya, media sosial juga telah menanamkan sebuah kepercayaan yang melampaui kenyataan sebenarnya.

Hati-hati
Tak bisa dipungkiri, media sosial telah tumbuh menjadi alat baru untuk propaganda. Sebagai sebuah alat, propaganda melalui media sosial diyakini mempunyai dampak yang dahsyat. Ini karena media sosial (meminjam istilah Marshal McLuhan) tak lain the extension of man (kepanjangan manusia). Artinya, apa yang menjadi hasrat manusia diperluas dan disebarkan oleh media sosial.  
Media sosial memang telah mampu menjadi tali penyambung berbagai kepentingan masyarakat dunia. Media sosial juga telah membantu menyebarkan gagasan-gagasan yang baik bagi kehidupan manusia. Informasi yang disebarkan  seringkali lebih aktual dibanding dengan  media massa mainstream.
Namun begitu, media sosial tanpa digunakan secara bijak hanya akan berfungsi  sebagai racun pembius (narcotizing dysfunction). Propaganda perang menjadi salah satu bukti konkrit bagaimana media sosial digunakan secara tidak bijak. Menggunakan media sosial untuk perang memang tidak salah, hanya tidak seratus persen benar.
Karenanya, informasi yang disebarkan media sosial belum bisa digaransi kebenarannya. Perilaku aktivis media sosial juga bisa disebut braggadocian behavior (braggart berarti pembual atau penyombong). Mengapa? Sebab apa yang dikatakannya belum tentu sesuai kenyataan. Bisa jadi seseorang menulis status “sedang makan enak” namun kenyataannya tidak demikian, ia hanya membual saja.
Begitu juga ketika media sosial Israel memberitakan sebuah gambar korban anak-anak Israel yang terluka, bisa menjadi sebuah informasi bohong karena untuk tujuan menarik simpati dunia. Maka, propaganda era internet ini penuh dengan tujuan-tujuan terselubung. Kita memang mengakui, media sosial telah mengubah dan mengantarkan manusia ke peradaban yang lebih baik, tetapi jangan lupa bahwa media sosial juga tidak boleh dipercaya secara membabi buta. 

 Sumber: Harian Solo Pos, 20 November 2012

Dimuat juga di sindikat Solo Pos --> Harian Jogja (21-11-12): http://epaper.harianjogja.com/index.php/?IdCateg=201211211144
  

Comments :

0 comments to “Media Sosial Sebagai Alat Propaganda”