Sabtu, Mei 25, 2013

Sistem Pers Indonesia

Setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri dikarenakan perbedaan dalam tujuan, fungsi dan latar belakang social politik yang menyertainya. Akibatnya berbeda dalam tujuan, fungsi dan latar belakang munculnya pers, dan tentunya pula, berbeda dalam mengaktualisasikannya. Nilai, filsafat hidup dan ideologi suatu negara juga telah berperan besar dalam mempengaruhi sebuah pers. Ini juga berarti bahwa sistem yang dikembangkan juga berbeda, termasuk di dalamnya adalah sistem persnya. Erat kaitannya dengan itu, pola hubungan segi tiga antara pemerintah, pers dan masyarakat juga berbeda. Salah satu alasan kenapa kita perlu mempelajari berbagai macam sistem pers adalah untuk mengetahui sekaligus melakukan  perbandingan antar sistem pers. Disamping itu pula agar kita menjadi lebih tahu  dimana posisi sistem pers Indonesia.


Fred Siebert, Wilbur Schramm dan Theodore Peterson dalam bukunya Four Theories of The Press (1963) mengamati setidak-tidaknya ada empat kelompok besar teori (sistem) pers, yakni sistem pers otoriter (authoritarian), sistem pers liberal (libertarian), sistem pers komunis (Marxist) dan sistem pers tanggung jawab sosial (social responsibility) (Rachmadi, 1990).       
Teori atau sistem pers otoriter dikenal sebagai sistem tertua, yang lahir sekitar abad 15-16 pada masa pemerintahan absolut. Pers dalam sistem ini berfungsi sebagai penunjang negara (kerajaan) untuk memajukan rakyat. Pemerintah menguasai sekaligus mengawasi media. Berbagai kejadian yang akan diberitakan dikontrol pemerintah karena kekuasaan raja sangat mutlak. Negara (dengan raja sebagai kekuatan) adalah pusat segala kegiatan. Oleh karena itu individu tidak penting; yang lebih penting adalah negara sebagai tujuan akhir individu. Mussolini (Italia) dan Adolf Hitler (Jerman) adalah dua penguasa yang mewarisi sistem pers otoriter. 
Sistem pers liberal (libertarian) berkembang pada abad 17-18 sebagai akibat munculnya revolusi industri, dan adanya tuntutan kebebasan pemikiran di negara Barat yang sering disebut aufklarung (pencerahan). Esensi dasar sistem ini memandang manusia pempunyai hak asasi dan meyakini bahwa manusia akan bisa mengembangkan pemikirannya secara baik jika diberi kebebasan. Manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas yang dikendalikan akal dan bisa mengatur sekelilingnya untuk tujuan yang mulia. Kebebasan adalah hal yang utama dalam mewujudkan esensi dasar itu, sedangkan kontrol pemerintah dipandang sebagai manifestasi “pemerkosaan” kebebasan berpikir. Oleh karena itu pers harus diberi tempat yang sebebas-bebasnya untuk membantu mencari kebenaran. Kebenaran akan diperoleh jika pers diberi kebebasan sehingga kebebasan pers menjadi tolok ukur dihormatinya hak bebas yang dimiliki manusia.
Sistem pers komunis (juga sering disebut sistem pers “totaliter Soviet/ Soviet Totalitarian” atau “pers Komunis Soviet/ Soviet Communist”) berkembang karena munculnya negara Uni Soviet yang berpaham komunis pada awal abad ke-20. Sistem ini dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx tentang perubahan sosial yang diawali oleh dialektika Hegel. Pers dalam sistem ini merupakan alat pemerintah atau partai dan menjadi bagian integral dari negara. Pers menjadi alat atau organ partai yang berkuasa (Partai Komunis Uni Soviet/ PKUS). Dengan demikian, segala sesuatu ditentukan oleh negara (partai). Kritik diizinkan sejauh tidak bertentangan dengan ideology partai. Media massa  melakukan yang terbaik untuk partai yang ditentukan oleh pemimpin PKUS.
Bagi Lenin (penguasa Uni Soviet waktu itu), pers harus melayani kepentingan kelas dominan dalam masyarakat, yakni proletar. Pers harus menjadi collective propagandist, collective agitator, collective organizer. Adapun kaum proletar diwakili oleh partai komunis. Fungsi pers adalah indoktrinasi massa, pendidikan atau bimbingan massa yang dilancarkan partai. Ini juga diakui Stalin, pemimpin sesudah Lenin.
Sistem pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility) muncul pada awal abad ke-20 pula sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Dasar pemikiran sistem ini adalah sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan.
Sistem ini muncul di Amerika Serikat ketika kebebasan yang telah dinikmati oleh pers Amerika selama dua abad lebih, dinilai harus diadakan pembatasan atas dasar moral dan etika. Penekanan pada tanggung jawab sosial dianggap penting untuk menghindari kemungkinan terganggunya ketertiban umum. Menurut Peterson, “kebebasan pers harus disertai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam masyarakat modern selama ini.” Sistem ini juga lebih menekankan pada kepentingan umum dibanding dengan kepentingan pribadi.
Melihat uraian tentang empat teori pers tersebut di atas, jika diamati Indonesia termasuk dalam sistem pers tanggung jawab sosial. Ini tidak hanya dilihat dari istilah “kebebasan pers yang bertanggung jawab” seperti yang kita kenal selama ini. Namun berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan etika dan moralitas masyarakat. Salah satu bukti bahwa ada pers yang tidak menerapkan sistem tersebut pernah dialami oleh tabloid Monitor. Tabloid ini digugat keberadaannya karena tidak menjadikan tolok ukur masyarakat sebagai referensi utama. Artinya, di masyarakat ada suatu moralitas dan etika yang dikembangkan dan diyakini tetapi dilanggar. 

Baca lebih lengkap dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta

Comments :

0 comments to “Sistem Pers Indonesia”