Rabu, Juni 26, 2013

Artis Jadi Pejabat dan Gagalnya Kaderisasi Parpol


Saat ini, Partai Politik (parpol) mulai memilah dan memilih siapa yang akan dimasukan ke daftar Calon Anggota Legislatif (Caleg). Konflik yang melanda Partai Demokrat itu dan “tunduknya” DPD dan DPC pada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) juga tak lepas dari kepentingan tersebut.
Yang menarik adalah banyak artis yang putar haluan untuk menjadi politikus. Entah karena artis itu yang berminat atau parpol  merasa membutuhkan karena kemampuan artis menarik simpati massa.  


 Sebenarnya, seorang artis  mempunyai “dunia sendiri” yang jelas berbeda dengan hiruk pikuk  dunia politik yang dihuni oleh para politikus. Lingkungan artis umumnya dunia hiburan, sementara urusan politik adalah urusan kepentingan dan lebih serius. Persamaan antara artis dengan politikus adalah keduanya sama-sama “pemain”.
Menjadi seorang artis tidak perlu modal yang rumit. Kebanyakan hanya bermodal wajah cantik atau ganteng  dan tidak perlu jenjang pendidikan yang tinggi. Asal media hiburan mau memanfaatkan mereka, jadilah ia seorang artis yang laris. Sementara itu, menjadi politikus dibutuhkan keahlian tertentu, misalnya pintar ngomong, kadang pendidikan yang mencukupi,  dan kadang perlu punya kemampuan koneksi. Persamaan keduanya, mereka sama-sama populer di kalangan masyarakat.
Bagaimana jika keduanya bertukar posisi? Salah satunya artis yang bertukar tempat menjadi politikus?
Tidak Ada Larangan
Melarang artis terjun ke dunia politik jelas melanggar Undang-undang Dasar. Sebab, semua warga negara berhak untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Bukankah dasar kokohnya negara ini harus dibangun dengan pondasi Undang-undang? Itu artinya, semua warga negara mempunyai hak yang sama di depan hukum.
Penghormatan atas hak warga negara ini tentu saja tanpa kecuali. Artinya, siapapun yang mempunyai hak di depan hukum, mempunyai hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Masalahnya tak sedikit dari warga negara Indonesia yang terkena diskriminasi lantaran kepentingan oknum-oknum tertentu. Misalnya, karena alasan tidak ingin yang jadi  kepala daerah non Muslim, terus ada kampanye melarang orang selain Islam mencalonkan diri. Ini jelas melanggar hukum.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah karena negara ini bukan negara agama. Karenanya, siapapun, suku apapun, dan agama apa pun punya hak yang sama di depan hukum. Negara ini bukan negara Islam juga yang hanya memperbolehkan orang Islam menjadi kepada daerah.
Perdebatan seperti itu pernah menghangat ketika suatu saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat dia menjadi pembicara ditanya oleh seorang peserta seminar. Mantan presiden itu ditanya apakah Leonardus Benyamin Moerdani (Panglima ABRI 1983-1988) punya peluang menjadi presiden RI. Gus Dur dengan enteng menjawab bahwa ia berhak mencalonkan diri sebagai hak warga negara Indonesia.
Jawaban ini ternyata punya reaksi yang beragam. Mayoritas umat Islam Indonesia tidak setuju kalau Indonesia dipimpin oleh orang selain Islam. Itu suatu bukti bahwa hak-hak warga negara hanya manis diucapkan di bangku-bangku sekolah dan susah diterapkan dalam prakteknya. Atau dengan kata lain orang menggebu-menggebu membicarakan hak, tetapi ketika ada hak orang lain dilanggar ia diam saja dengan membela kepentingannya sendiri. 
Jadi, lepas dari kekurangan yang melekat pada artis, mereka tetap punya hak untuk menjadi calon lepala daerah.
Itulah Wajah Kita
Sebenarnya, artis yang menjadi politikus (legislatif atau kepala daerah) itu cermin wajah kita semua.  Alasan seseorang memilih artis menjadi pejabat politik menunjukkan bahwa masyarakat kita  memang masih menyukai sesuatu yang artifisial, sesuatu yang tampak dan belum mempertimbangkan kualitas seorang calon (pendapat ini tidak menuduh bahwa artis tidak berkualitas, hanya dasar pencalonannya sering hanya pada sisi lahiriah). Contoh konkrit adalah banyaknya artis yang lolos menjadi anggota DPR mencerminkan bahwa masyarakat memilih bukan berdasar kualitas, tetapi yang terlihat di mata.
Masyarakat yang pada akhirnya memilih para artis  tentu bukan salah artis semata.  Pemerintah, guru, kiai, tokoh masyarakat, orang tua, dan barangkali kita sendiri juga harus ikut disalahkan.  Jadi, ketika seorang artis nyata bisa menjadi kepala daerah, itu sebenarnya menjadi test case bagi masyarakat. Bahwa  pola pikir masyarakat kita selama ini memang masih mengacu para kepentingan lahiriah.
 Karena kita terbiasa dengan sesuatu yang artifisial dan bisa dilihat, tak jarang artis seperti Julia Perez (Jupe) dan Inul Daratista sering dituduh merusak moral bangsa. Mengapa pula para artis dan pemain sinetron yang memerankan tokoh jahat, keji, bejat  sering luput dari perhatian kita?  Mengapa para koruptor dianggap hanya masalah biasa padahal itu juga merusak moral generasi muda di masa datang?   
Mengapa itu semua terjadi? Masyarakat kita  tidak dibiasakan berpikiran jauh ke depan dan konsisten. Semua disesuaikan dengan kepentingan diri dan kelompoknya untuk kepentingan sesaat. Kalau kita sepakat bahwa Undang-undang Dasar harus dijadikan pondasi  bernegara tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar dan merusaknya. Dalam praktiknya sangat berbeda. Kita bahkan mempertontonkan bagaimana caranya melanggar Undang-Undang Dasar dengan dada membusung.

Gagalnya Kaderisasi Parpol
Tidak salah memang seorang artis terjun ke dunia politik. Hanya masalahnya apa yang selama ini sudah dikerjakan oleh Partai Politik (Parpol)? Sebagaimana diketahui, parpol punya fungsi sosialisasi politik. Dari parpollah diharapkan lahir para calon pemimpin di masa datang. Masuk parpol  tidak sekadar direkrut saja, tetapi harus siap dikader.
Lewat parpol, kader belajar berorganisasi, memimpin, merumuskan kebijakan, membuat anggaran, atau mengelola orang lain. Pembelajaran ini diharapkan menjadi bekal untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin di masa depan.
Kalau pada akhirnya parpol tidak berfungsi seperti itu apa yang salah dengannya? Yang sangat terasa adalah parpol memang sebuah kepentingan politik. Dengan kata lain, beraktivitas untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Tak terkecuali, sangat terbukti jelas bahwa orientasi pada kekuasaan menjadi tujuan utama partai politik karena dianggap bergengsi dan bergaji tinggi. Kalau memang kaderisasi berjalan baik,  mengapa harus mencalonkan para artis?  


 Sumber Harian Bhirawa, 18 Februari 2013

Comments :

0 comments to “Artis Jadi Pejabat dan Gagalnya Kaderisasi Parpol”