Sabtu, September 14, 2013

Catatan Lebaran yang Tersisa: Lebaran 2013 Bersama “Caleg Jalanan”

Mudik lebaran tahun 2013 sangat berbeda dengan lebaran-lebaran tahun sebelumnya. Rutinitasnya bisa jadi sama; silaturahmi, pulang kampung halaman, mengenang masa lalu, meminta doa  orang tua dan kerabat serta kegiatan kuliner. Namun demikian, ada pemandangan lain yang mengusik mereka selama mudik lebaran.

Kalau kita amati di jalanan, mulai Anda keluar dari kota domisili menuju kampung halaman banyak terlibat spanduk, baliho, dan stiker ucapan lebaran dari para Calon Legislatif (Caleg) dan kandidat kepala daerah. Informasi yang mengganggu itu tentu saja pasti dipenuhi dengan foto disertai dengan  ucapan, doa, dan pengingat nomor urut sang kandidat.  Seolah mereka itu sangat peduli dalam memberikan dukungan dan perlindungan bagi para pemudik. Pemandangan yang unik dan khas untuk mengenalkan sebuah “produk” bernama Caleg, namun cukup mengganggu kenyamanan para pemudik.

Hak Caleg
Jika kita melihat dari kacamata Caleg, perilaku “promosi terselubung” itu bisa jadi  tidak masalah. Sebagai seorang kandidat yang ingin berhasil mereka akan melakukan kegiatan apa saja untuk memenangkan “pertarungan”. Sebab, para Caleg itu sudah menginvestasikan banyak dana untuk mencapi tujuannya.
Untuk mencapai itu semua, tak ada cara lain agar profilnya dikenal masyarakat luas. Masyarakat yang punya hak pilih itu dihadapkan pada banyak pilihan Caleg yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan. Kebingungan inilah yang coba dimanfaatkan oleh Caleg itu untuk meraih simpati.
Ada banyak cara yang dilakukan, pertama; mereka mengiklankan diri di media   elektronik. Cara ini sangat cepat untuk mempopulerkan seorang kandidat, hanya biayanya sangat mahal. Untuk iklan di televisi (meskipun televisi lokal) mereka harus menyiapkan dana untuk membuat persiapan isi tayangan, posisioning program apa yang diandalkan dan di televisi mana diiklankan serta berapa kali diputar.
Kedua, iklan media cetak. Iklan cara ini juga masih agak mahal. Mahalnya hanya pada pemasangan di media cetak itu dan berapa kali pasang serta di halaman berapa. Kalau soal membuat desain tidaklah mahal.
Ketiga, membuat baliho, spanduk, penempelan stiker di jalanan. Cara ini sangat murah dibanding dengan  dua cara di atas. Mereka tinggal memesan di jasa layanan pembuatannya kemudian menyuruh orang dengan membayar uang tertentu untuk dipasang atau ditempel di pinggir jalan. Jadi Caleg itu tidak usah repot-repot  memasang sendiri, asal punya uang semua sudah beres.
Caleg itu juga tidak terlalu berpikir dimana baliho dan spanduk dipasang, pemasanganya melanggar aturan atau keindahan kota apa tidak. Intinya, yang penting nama dia dikenal masyarakat luas. Semangat ini hampir menghinggapi semua kandidat. Jadilah pemasangan baliho, spanduk, dan stiker sangat semrawut (tidak teratur) di pinggir-pinggir jalan.

Hak Pengguna Jalan
Pemandangan yang semrawut atas spanduk, baliho, dan stiker saat puasa sampai pasca Lebaran 2013 bisa disaksikan sendiri oleh para pengguna jalan. Isi “iklan” itu sebenarnya bagus. Misalnya, ucapan selamat menjalankan ibadah puasa dan merayakan hari raya Idul Fitri. Tetapi karena yang mengucapkan Caleg menjelang Pemilu 2014, semua jadi terkesan hanya akal-akalan terselubung. Tuduhan yang muncul, niat hanya sekadar untuk mempopulerkan dirinya dengan kedok ucapan selamat.
Dari posisi ini hak pengguna jalan jelas sangat terganggu. Tidak hanya mengurangi keindahan pemandangan saat mudik tetapi juga hak masyarakat sebagai pemilik sah suara digiring sedemikian rupa. Seolah mereka dianggap bodoh yang perlu diarahkan untuk  memilih salon X dan tidak memilih calon Y.
Kenyataan ini juga dilegitimasi oleh partai politik atau bisa jadi Caleg itu mengatasnamakan partai politik. Yang jelas orientasi untuk mau menang menjadi prioritas utama dengan mengorbankan hak masyarakat. Dalam posisi ini parpol dan Caleg hanya seolah-olah peduli dengan keselamatan pemudik (misalnya ucapan semoga selamat sampai tujuan).
Tulisan ini bukan berpasangka buruk atas niat baik parpol dan para Caleg. Masalahnya mengapa mereka sangat peduli hanya menjelang Pemilu? Lebih konkritnya, mengapa mereka ingin dianggap populer saat lebaran? Inilah masalah penting dimana hak-hak para pemudik diperkosa.
Kalau kita menanyakan pada parpol atau kandidat, bisa jadi akan dijawab itu hak mereka sebagai warga negara. Memang benar, mereka punya hak dengan cara apapun untuk mempopulerkan diri. Mereka juga punya hak mengucapkan selamat berpuasa atau Idul Fitri layaknya masyarakat umum. Yang tidak elok adalah cara melakukannya yang bisa jadi melanggar hak masyarakat umum.

Tidak Simpatik
Niat para Caleg itu bagus, ingin mempopulerkan dirinya di masyarakat, namun demikian promosi saat Lebaran jelas tidak simpatik. Mengapa? Pertama, mereka akan dituduh sebagai orang yang hanya mau menang sendiri karena hanya peduli pada masyarakat hanya saat membutuhkan. Giliran nanti tidak membutuhkan mereka akan diam saja. Pengalaman selama ini membuktikan gejala seperti itu. Bagaimana para Caleg dan kandidat kepala daerah sibuk turun ke bawah agar dianggap peduli, sementara setelah menjabat lupa konstituennya. Intinya, peduli hanya saat membutuhkan saja.
Kedua, cara promosi melalui spanduk, baliho, stiker itu jelas tidak simpatik karena membuat “muak”.  Itu cara-cara yang tidak elok karena  masyarakat sudah tahu tujuan sebenarnya. Apalagi pemasangan promosi itu sangat mengganggu pemandangan di jalan-jalan. Memang, orang tentu akan membaca dan mengenal Caleg (dan ini yang dikehendakinya), tetapi jika ada kecelakaan gara-gara membaca spanduk (misalnya), siapa yang bertanggung jawab?
Jika para Caleg tersebut yakin akan kemampuannya sendiri tidak akan memakai cara-cara yang tidak elok seperti itu. Cara semacam itu disamping tidak cerdas juga tak mencerdaskan  masyarakat. Namun mengapa para Caleg itu tetap melakukannya? Bisa karena realitas masyarakat kita masih seperti itu atau memang ketidakpedulian Caleg pada pendidikan politik masyararakat.
Inilah catatan lebaran 2013 yang tersisa. Makna lebaran telah direduksi oleh spanduk, baliho,stiker yang justru dilakukan kalangan terdidik dan (mungkin) paham ajaran agama. Inilah risiko lebaran yang kebetulan bersamaan dengan akan diadakannya Pemilu 2014.

Dimuat Harian Bhirawa, 20 Agustus 2013
Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “Catatan Lebaran yang Tersisa: Lebaran 2013 Bersama “Caleg Jalanan””