Kamis, April 19, 2018

Pilkada dan Negeri Para Komedian

Oleh Nurudin
(Lampung Post, 9 Januari 2018)

Tahun 2018, Indonesia punya perhelatan besar yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Pilkada itu akan melibatkan 17 pemilihan Gubernur, 115 Bupati, dan 39 Walikota. Meski sebuah rutinitas, Pilkada kali ini tetap menarik tidak saja pertama kali serentak dilakukan tetapi karena setiap era pemilihan mempunyai keunikan sendiri-sendiri.
Berbagai cara pun telah dan akan dilakukan kandidat agar dipilih masyarakat luas. Namun demikian, semua kandidat cenderung berorientasi pada cara bagaimana mereka dikenal, bukan pada apakah yang dilakukannya benar sesuatu aturan, etis atau tidak. Jika cara-cara pengenalan kandidat itu tidak ada aturan, saya yakin pelanggaran demi pelanggaran akan kian tumbuh subur. Ada aturan saja dilanggar apalagi jika tidak ada aturan?

Artikel ini tidak akan masuk dalam wilayah apakah yang dilakukan para kandidat itu melanggar aturan atau tidak, karena itu masuk wilayah hukum. Tulisan ini akan menyoroti proses komunikasi politik yang dilakukan para kandidat, baik melalui baliho, spanduk, iklan, pernyataan atau media komunikasi lain yang digunakan untuk mengenalkan mereka. Ini sangat penting dianalisis agar masyarakat tidak terbuai dengan sesuatu yang tampak, apalagi memang Pilkada itu sarat kepentingan.


Inti Komunikasi
Selama ini ada “salah kaprah” (misperception) yang diyakini kebenarannya. Salah kaprah ini telah membuat seseorang sering salah memahami inti komunikasi yang dilakukan orang lain. Akibatnya, inti pesan sesungguhnya tidak bisa dipahami dengan benar dan buntutnya tidak memahami konteks sebenarnya dari sebuah pesan yang disampaikan.
Salah kaprah itu diantaranya; seseorang percaya begitu saja terhadap apa yang dikatakan secara lisan pada orang lain. Begitu juga, orang percaya dengan informasi yang ada pada iklan dan media luar ruangan. Jika itu menyangkut persoalan politik, maka memahami informasi dibalik sesuatu yang tampak tersebut sangat penting dilakukan.
Dengan demikian, pesan sesungguhnya juga ada pada sesuatu yang tidak dikatakan. Jika seseorang senang mengobral pembicaraan ke sana kemari, belum tentu itu pesan sesungguhnya yang akan disampaikan. Jika orang ingin akurat menangkap pesan, maka dalam benaknya harus ada dugaan sebaliknya. Inti pesan komunikasi sering ada pada   penyataan yang tidak disampaikan.
Jika seorang kandidat mengatakan A, sebenarnya pesan yang ingin disampaikan sesungguhnya bisa jadi bukan A. Artinya, jika seorang kandidat mengatakan akan mencanangkan SPP gratis untuk sekolah menengah, harus dipahami jangan-jangan tidak sebagaimana yang dikatakan.
Apa yang diungkapkan di sini bukan bermaksud “kampanye terselubung” agar masyarakat tidak berpartisipasi dalam Pilkada. Maksud sebenarnya adalah memberikan pelajaran penting bagi masyarakat untuk tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan kandidat. Dalam hal ini masyarakat tetap perlu melihat track record dan latar belakang kandidat yang dipilih.
Tentu saja himbauan di atas tidak berlaku bagi mereka yang punya prinsip “pokoknya” atau, “situ kasih uang, saya kasih suara”. Orang-orang seperti ini kebanyakan tidak peduli dalam upaya membangun sistem yang lebih baik. Dengan kata lain, mereka berpikiran jangka pendek. Namun demikian, mereka ini seolah merasa menjadi pahlawan untuk protes pada pemerintah atau kandidat terpilih jika pemerintah atau kandidat terpilih itu melakukan kesalahan.  Para “pasukan” ini protes karena kandidat pilihannya kalah.
Maka, agar tidak kecewa pahami bahwa inti komunikasi itu adalah apa yang tidak dikatakan atau dikemukakan secara kasat mata. Ini berlaku dalam Pilkada serentak 2018.

Negeri Para Komedian
Apakah Anda pernah mengamati para komedian? Coba disimak lebih jeli. Para komedian atau yang mengklaim dirinya komedian selalu punya tujuan menghibur. Apapun akan dilakukan, yang penting bisa menghibur. Termasuk di sini adalah apakah yang dikatakannya itu benar atau tidak bukan soal, yang penting menghibur. Tujuannya saja menghibur, bukan?
Klaim masyarakat bahwa dirinya seorang komedian itu mengonstruksi pikiran dan perilakunya bahwa drinya hadir di tengah masyarakat juga harus bisa menghibur. Alasannya, masyarakat sudah telanjur memberikan klaim sebagai dirinya sebagai komedian. Ia akan “mati gaya” jika tidak mencerminkan dirinya sebagai penghibur itu.
Konstruksi  demikian ternyata terbawa pada perilaku sehari-hari. Terhadap masalah yang serius pun ia bisa menghibur tentu saja dengan “bumbu-bumbu” dramatisir sekadarnya. Sebagai masyarakat umum, tentu harus dipahamkan bahwa komedian itu sedang acting meskipun tidak ada dalam panggung. Bisa jadi, asumsi ini tidak benar tetapi tidak seratus persen salah.
Apa pelajaran yang bisa kita petik? Anggap saja negeri ini adalah negeri para komedian. Anggap saja tidak banyak kandidat yang tulus untuk mengubah persoalan negara ini. Anggapan ini perlu dikemukakan agar kita tidak kecewa jika menemukan pemimpin yang lambat dalam bekerja, mementingkan kroninya bahkan korupsi.
Apakah bisa dikatakan bahwa para kandidat itu para komedian? Saya tidak menganggapnya begitu. Namun demikian, sikap hati-hati untuk tak terjebak pada pernyataan lisan, termasuk  iklan, tetap harus dipegang teguh masyarakat. Jangan sampai, mereka terbuai dengan janji-janji kosong sementara akhirnya kecewa. Masyarakat tentu tidak mau melihat sinetron yang setiap lima tahun diulang-ulang, bukan?
Kesimpulannya adalah, masyarakat tidak boleh lagi terjebak pada pernyataan lisan atau yang terlihat pada diri kandidat kepala daerah. Melihat di balik itu akan membuat kita bisa melihat dari berbagai sisi yang menjadikan seseorang tidak akan mudah dikecewakan. Kalau kita tidak bisa melakukan hal tersebut, anggap perhelatan Pilkada adalah sebuah pentas komedi para pelaku politik.
 Type rest of the post here

Comments :

0 comments to “ Pilkada dan Negeri Para Komedian ”