Saat ini, Partai Politik (parpol) mulai
memilah dan memilih siapa yang akan dimasukan ke daftar Calon Anggota
Legislatif (Caleg). Konflik yang melanda Partai Demokrat itu dan “tunduknya”
DPD dan DPC pada Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD) juga tak lepas dari
kepentingan tersebut.
Yang menarik adalah banyak artis yang
putar haluan untuk menjadi politikus. Entah karena artis itu yang berminat atau
parpol merasa membutuhkan karena
kemampuan artis menarik simpati massa.
Sebenarnya,
seorang artis mempunyai “dunia sendiri”
yang jelas berbeda dengan hiruk pikuk dunia politik yang dihuni oleh para politikus.
Lingkungan artis umumnya dunia hiburan, sementara urusan politik adalah urusan
kepentingan dan lebih serius. Persamaan antara artis dengan politikus adalah keduanya
sama-sama “pemain”.
Menjadi seorang artis tidak perlu modal
yang rumit. Kebanyakan hanya bermodal wajah cantik atau ganteng dan tidak perlu jenjang pendidikan yang
tinggi. Asal media hiburan mau memanfaatkan mereka, jadilah ia seorang artis
yang laris. Sementara itu, menjadi politikus dibutuhkan keahlian tertentu,
misalnya pintar ngomong, kadang pendidikan
yang mencukupi, dan kadang perlu punya
kemampuan koneksi. Persamaan keduanya, mereka sama-sama populer di kalangan
masyarakat.
Bagaimana jika keduanya bertukar posisi?
Salah satunya artis yang bertukar tempat menjadi politikus?
Tidak
Ada Larangan
Melarang artis terjun ke dunia politik
jelas melanggar Undang-undang Dasar. Sebab, semua warga negara berhak untuk
mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Bukankah dasar kokohnya negara ini
harus dibangun dengan pondasi Undang-undang? Itu artinya, semua warga negara mempunyai
hak yang sama di depan hukum.
Penghormatan atas hak warga negara ini tentu
saja tanpa kecuali. Artinya, siapapun yang mempunyai hak di depan hukum,
mempunyai hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Masalahnya tak sedikit dari warga negara Indonesia yang terkena diskriminasi
lantaran kepentingan oknum-oknum tertentu. Misalnya, karena alasan tidak ingin
yang jadi kepala daerah non Muslim,
terus ada kampanye melarang orang selain Islam mencalonkan diri. Ini jelas
melanggar hukum.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya
adalah karena negara ini bukan negara agama. Karenanya, siapapun, suku apapun, dan
agama apa pun punya hak yang sama di depan hukum. Negara ini bukan negara Islam
juga yang hanya memperbolehkan orang Islam menjadi kepada daerah.
Perdebatan seperti itu pernah menghangat
ketika suatu saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat dia menjadi pembicara ditanya
oleh seorang peserta seminar. Mantan presiden itu ditanya apakah Leonardus Benyamin
Moerdani (Panglima ABRI 1983-1988) punya peluang menjadi presiden RI. Gus Dur
dengan enteng menjawab bahwa ia
berhak mencalonkan diri sebagai hak warga negara Indonesia.
Jawaban ini ternyata punya reaksi yang beragam.
Mayoritas umat Islam Indonesia tidak setuju kalau Indonesia dipimpin oleh orang
selain Islam. Itu suatu bukti bahwa hak-hak warga negara hanya manis diucapkan
di bangku-bangku sekolah dan susah diterapkan dalam prakteknya. Atau dengan
kata lain orang menggebu-menggebu membicarakan hak, tetapi ketika ada hak orang
lain dilanggar ia diam saja dengan membela kepentingannya sendiri.
Jadi, lepas dari kekurangan yang melekat
pada artis, mereka tetap punya hak untuk menjadi calon lepala daerah.
Itulah
Wajah Kita
Sebenarnya, artis yang menjadi politikus
(legislatif atau kepala daerah) itu cermin wajah kita semua. Alasan seseorang memilih artis menjadi
pejabat politik menunjukkan bahwa masyarakat kita memang masih menyukai sesuatu yang artifisial,
sesuatu yang tampak dan belum mempertimbangkan kualitas seorang calon (pendapat
ini tidak menuduh bahwa artis tidak berkualitas, hanya dasar pencalonannya sering
hanya pada sisi lahiriah). Contoh konkrit adalah banyaknya artis yang lolos
menjadi anggota DPR mencerminkan bahwa masyarakat memilih bukan berdasar
kualitas, tetapi yang terlihat di mata.
Masyarakat yang pada akhirnya memilih
para artis tentu bukan salah artis
semata. Pemerintah, guru, kiai, tokoh
masyarakat, orang tua, dan barangkali kita sendiri juga harus ikut disalahkan. Jadi, ketika seorang artis nyata bisa menjadi
kepala daerah, itu sebenarnya menjadi test
case bagi masyarakat. Bahwa pola
pikir masyarakat kita selama ini memang masih mengacu para kepentingan
lahiriah.
Karena kita terbiasa dengan sesuatu yang
artifisial dan bisa dilihat, tak jarang artis seperti Julia Perez (Jupe) dan
Inul Daratista sering dituduh merusak moral bangsa. Mengapa pula para artis dan
pemain sinetron yang memerankan tokoh jahat, keji, bejat sering luput dari perhatian kita? Mengapa para koruptor dianggap hanya masalah
biasa padahal itu juga merusak moral generasi muda di masa datang?
Mengapa itu semua terjadi? Masyarakat
kita tidak dibiasakan berpikiran jauh ke
depan dan konsisten. Semua disesuaikan dengan kepentingan diri dan kelompoknya
untuk kepentingan sesaat. Kalau kita sepakat bahwa Undang-undang Dasar harus
dijadikan pondasi bernegara tidak ada
seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar dan merusaknya. Dalam praktiknya
sangat berbeda. Kita bahkan mempertontonkan bagaimana caranya melanggar
Undang-Undang Dasar dengan dada membusung.
Gagalnya
Kaderisasi Parpol
Tidak salah memang seorang artis terjun
ke dunia politik. Hanya masalahnya apa yang selama ini sudah dikerjakan oleh
Partai Politik (Parpol)? Sebagaimana diketahui, parpol punya fungsi sosialisasi
politik. Dari parpollah diharapkan lahir para calon pemimpin di masa datang.
Masuk parpol tidak sekadar direkrut
saja, tetapi harus siap dikader.
Lewat parpol, kader belajar
berorganisasi, memimpin, merumuskan kebijakan, membuat anggaran, atau mengelola
orang lain. Pembelajaran ini diharapkan menjadi bekal untuk mempersiapkan diri
menjadi pemimpin di masa depan.
Kalau pada akhirnya parpol tidak
berfungsi seperti itu apa yang salah dengannya? Yang sangat terasa adalah parpol
memang sebuah kepentingan politik. Dengan kata lain, beraktivitas untuk
kepentingan diri dan kelompoknya. Tak terkecuali, sangat terbukti jelas bahwa
orientasi pada kekuasaan menjadi tujuan utama partai politik karena dianggap
bergengsi dan bergaji tinggi. Kalau memang kaderisasi berjalan baik, mengapa harus mencalonkan para artis?
Comments :
0 comments to “Artis Jadi Pejabat dan Gagalnya Kaderisasi Parpol”
Posting Komentar