Tidak ada sorotan paling tajam yang ditujukan pada anggota dewan saat
ini kecuali akibat disahkannya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Dari
sikap anggota dewan itu, masyarakat layak untuk menilai bagaimana kualitas
anggota dewan kita. Lebih tepatnya, bagaimana kualitas calon legislator
menjelang Pemilu 2014. Ini penting dilakukan agar kekecewaan masyarakat tidak
mengalami eskalasi.
Artikel ini bukan soal mendukung dan tidak mendukung kenaikan harga BBM.
Sebab, menolak dan mendukung kenaikan BBM sudah dipolitisi elit politik
tertentu, khususnya anggota dewan denga bendera Partai Politik(Parpol)-nya.
Mereka menolak atau mendukung karena ada kepentingan pragmatis dibaliknya,
bukan soal membela atau tidak membela kepentingan rakyat.
Memilih legislator berkualitas
memang harus, tetapi memilih yang benar-benar berkualitas memang bukan perkara
mudah. Bagaimana mengukur kualitas anggota dewan? Apakah yang bergelar, apakah
yang menjadi pemuka agama sehingga secara moral bisa dipertanggungjawabkan,
atau memilih (mantan) aktivis yang selama ini kritis? Tidak ada jawaban yang
pasti. Pemuka agama, bergelar tinggi, mantan aktivis mahasiswa juga punya
persoalan jika sudah masuk ke lingkungan elit politik.
Namun demikian, ini tidak berarti menjadi pembenar bahwa Parpol
seenaknya saja memilih calon legislator. Dengan kata lain, karena banyak kasus
yang menimpa para legislator selama ini bukan berarti Parpol menyerah memilih
seadanya.
Penyebab
Sebenarnya, ada beberapa penyebab kenapa Parpol dianggap tidak bisa
memilih legislator yang berkualitas. Pertama,
semangat Parpol masih asal target terpenuhi. Dengan kata lain, karena
mementingkan target tenggat waktu dan harus menyerahkan daftar legislator, Parpol
membuat daftar asal jadi. Tak heran jika kalangan artis dan mantan Napi pun
masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS).
Semangat asal target terpenuhi telah menutup peluang Parpol melakukan
rekrutmen politik secara teliti. Lihat saja, nyaris jarang ada Parpol yang
khusus menyeleksi para calon legislator itu. Misalnya tidak ada tim penyeleksi
sejak awal, bagaimana mekanisme penyeleksian dan bagaimana memberitahukan ke publik
sebagai bagian dari transparansi politik. Semua ditentukan sendiri oleh Parpol.
Kedua, semangat kroni masih kuat. Tidak
sedikit Parpol yang memunculkan nama dari keluarganya sendiri atau masih ada
hubungan “perkoncoan”. Memang, bahwa pemilihan kroni itu bisa jadi berdasar
kualitas sang calon. Namun demikian, semangat kroni biasanya bukan berdasar
kualitas tetapi berharap ada keuntungan-keuntungan pragmatis yang didapatkan
dari mencantumkannya di DCS.
Ini pulalah yang kemudian menjadi batu sandungan ketika kroni itu punya
masalah hukum sementara yang memilih mempunyai kekuasaan. Jadilah proses hukum
diputuskan lewat proses politik, dan dari situlah usaha untuk mengurai proses
hukum secara adil sering terhambat.
Ketiga, menjadi Caleg harus punya uang cukup.
Dengan demikian seorang Caleg yang berkualitas tidak akan bisa menjadi Caleg
manakala tidak punya uang. Menjadi Caleg Kabupaten/Kota saja harus merogoh Rp.
100 juta-Rp 500 juta, caleg Provinsi Rp. 500 juta-Rp 1 miliar, Caleg pusat bisa
mencapai Rp 1 miliar- Rp 5 miliar.
Biaya tersebut antara lain digunakan untuk membuat alat peraga (baliho,
spanduk, umbul-umbun dan kaos). Untuk baliho berukuran 3 x 4 meter bisa
membutuhkan biaya Rp. 500 ribu, bagaimana jika membuat ratusan baliho? Masih
ada biaya lain seperti acara bersama dengan konstituen, honor saksi, uang
transport dan lain-lain.
Jadi, betapa mahal biaya untuk menjadi calon legislator. Jika seseorang
itu miskin darimana dia mendapatkan uang untuk mencalonkan diri? Itu belum
termasuk “wajib setor” ke kas Parpol. Apakah Parpol mau rugi jika tidak
mendapatkan keuntungan ekonomis sekarang dan nanti?
Dampak
Cara-cara yang dilakukan dalam penjaringan sampai penentuan DCS
legislator di atas tentu sangat rawan dengan kecurangan. Para kandidat itu akan
punya semangat bagaimana mengambalikan “uang pangkal” yang sudah diinvestasikan
untuk menjadi anggota dewan. Ini yang membuat maraknya penyalahgunaan wewenang angota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), disamping juga mendapatkan prestise.
Jika pada akhirnya, ada individu anggota Parpol yanag terlibat
kasus, Parpol akan melindunginya. Ini
menyangkut soal “kesatuan korps” Parpol. Alasannya, aib anggota Parpol dianggap menjadi aib Parpol itu sendiri.
Karena kesatuan korps itu segala-galanya, maka
pembelaan pada anggota juga bisa jadi semaksimal mungkin dengan
mengorbankan apapun.
Sebenarnya, Parpol sudah mengendus ada anggota yang sangat mungkin nanti
punya masalah melihat track record
kandidat selama ini. Tetapi, alasan-alasan pragmatis atau jaringan kroni,
membuat Parpol tidak berdaya untuk menolaknya.
Jika sudah begini, usaha untuk mencari calon legislator yang berkualitas
akan sulit terwujud. Yang jelas, DCS sudah diserahkan dan direvisi ke Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Memang Parpol masih bisa mengubah jika ada protes
masyarakat daftar susunan DCS, tetapi itu tidak segampang membalikkan telapak
tangan. Ada kepentingan dan tangan-tangan bersembunyi dibalik penyusunan
DCS.
Ada pesimisme masyarakat atas perubahan ke depan dengan melihat DCS di
KPU. Namun, masyarakat tidak boleh terlena dan apatis atas itu semua. Mereka
ikut bertanggungjawab untuk menyorot dan mempermasalahkan saat masih dalam DCS
atau setelah menjadi anggota terpilih. Kritik dan masukan bukan usaha
merongrong, tetapi menjadi bahan untuk perbaikan selanjutnya. Tentu saja jangan
menjadi tukang kritik, meskipun ada saja tunggang-menunggangi dalam
persoalan-persoalan politik. Politik memang banyak berurusan dengan siapa
mengatakan apa, lewat mana, kepada siapa dan efeknya bagaimana.
Dimuat Harian Bhirawa, 26 Juni 2013
Comments :
0 comments to “Menyoal Kualitas Legislator”
Posting Komentar