Isu kudeta yang
bergulir cepat sebagaimana dikatakan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
memang tidak terjadi, tetapi dampak dari pernyataan presiden itu layak untuk
didiskusikan lebih lanjut. Ini penting
dilakukan agar masyarakat tahu kenyataan sesungguhnya kenapa presiden membuat pernyataan seperti itu.
Ada yang mengatakan, pernyataan
presiden bahwa tanggal 25 Maret 2013 akan terjadi penggulingan dirinya
berlebihan. Sementara, pernyataan itu membuat aparat keamanaan siaga satu di
bebagai tempat, terutama di Jakarta. Demonstrasi besar-besaran yang diduga akan
dilakukan, ternyata tidak terjadi.
Ada banyak pendapat
yang bermunculan soal gagalnya kudeta tersebut. Misalnya, itu hanya kecemasan presiden menanggapi konstelasi atau
propaganda politik menjelang Pemilu. Karena
presiden itu jabatan politik, pernyataan yang diungkapkan juga harus ditanggapi dalam bingkai komunikasi
politik.
Komunikasi Politik
Sebenarnya, presiden
memang sengaja mengeluarkan kata-kata bahwa akan terjadi kudeta. Bagaimanapun
juga presiden itu seorang aktor komunikasi politik. Aktor tidak hanya berada
dalam wilayah praksis sosial tetapi juga pandai berwacana. Komunikasi dan
berwacana itu tetap penting dalam sebuah sistem politik.
Komunikasi yang
dikemukakan itu mempengaruhi dan dipengaruhi sistem politik. Mc Quail (Meadow,
1980:4) pernah mengungkapkan “System
whose component interact with respect to power and authoritative reseource
allocation for the purpose of making decisison” (sistem-sistem yang
memiliki komponen-komponen yang saling berinteraksi satu sama lain yang terkait
dengan kekuasaan dan kewenangan penjatahan sumber daya untuk maksud pengambilan
keputusan).
Pendapat McQual itu
menekankan bahwa komunikasi politik juga menyangkut kekuasaan dan kewenangan
sumber daya (manusia, alat). Jadi tetap dan berkurangnya kekuasaan, komunikasi
politik akan dilakukan.
Sebagai seorang
aktor, SBY memang harus pandai mengelola semua kejadian-kejadian politik di
sekitarnya dari yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Satu hal yang
penting, agar semua yang dilakukan itu tetap menguntungkan kekuasaan
politiknya.
Sebagai aktor
komunikasi politik, presiden sadar bahwa ada ketidakpuasan masyarakat yang
terus ditujukan kepadanya. Itu juga semakin kuat ketika kelompok-kelompok
kepentingan yang juga tidak suka ikut memberikan andil atau mengipas-ngipasi
keadaan.
Berbagai upaya juga
telah dilakukan presiden. Dari soal terus menjaga citra, sibuk mengurusi
partainya yang elektabilitasnya semakin merosot, isu korupsi yang menyangkut
beberapa kroni politiknya, sampai persiapan Pemilu yang kian dekat yang akan
menentukan kekuasaan dirinya di masa datang. Belum lagai kecemasan karena belum mempersiapkan Daftar Calon Legislatif (DCS)
karena persoalan intern partai.
Fakta-fakta itu
digunakan oleh lawan-lawan politiknya untuk menghantam. Maka merebaklah isu
akan terjadi kudeta. Sebagai seorang kepala negara, dia tentu sudah mengetahui
bahwa ada kasak-kusuk yang seolah mau menggulingkan dirinya. Untuk melawan
secara fisik jelas tidak mungkin karena masih merupakan “gerakan bawah tanah”.
Mau menangkap orang-orang yang “makar” juga tidak kuat karena tidak ada bukti
konkrit yang menyertainya.
High Politic
Yang kemudian dilakukan
adalah membuat wacana ke publik. Maka keluarlah penyataan presiden bahwa akan
ada kudeta terhadap dirinya. Karena yang mengeluarkan pernyataan seorang
presiden, dampaknya sangat luar biasa.
Ada beberapa catatan
yang bisa dikemukakan dalam hal ini; pertama,
presiden dalam keadaan cemas karena desakan untuk mundur atau ketidakpuasan
terhadapnya semakin tinggi sementara persoalan partainya semakin rumit. Sementara itu, sumber kudeta juga tidak jelas.
Dalam politik main
kartu domino, seorang pemain sengaja menjatuhkan kartu untuk memancing lawan
untuk menjatuhkan kartunya. Sementara itu, pemain yang sengaja menjatuhkan
kartunya itu sudah mempunyai antisipasi. Kalau yang dijatuhkan kartu X dia akan
melawan dengan kartu Y, kalau yang dijatuhkan lawan kalau A, dia akan lawan
dengan kartu B. Sementara penonton permainan itu terbuai dan ikut-ikutan arus
permainan. Sementara sang pemain itu santai karena sudah dikalkulasi apa yang
akan terjadi.
Ketika presiden
mengeluarkan pernyataan akan terjadi kudeta, berbagai tanggapan beragam. Elit
politik sibuk membantah akan ada kudeta.
Dan ini yang dikehendaki yang mengeluarkan pernyataan. Istilahnya “nabok nyilih
tangan” (memukul meminjam tangan orang lain).
Aparat keamanan
kemudian sibuk mempersiapkan diri jika benar-benar terjadi kudeta. Siaga satu
dari aparat ini dampak dari pernyataan presiden. Artinya para penonton
permainan akan ikut arus permainan presiden.
Sementara itu,
setelah pernyataan dikeluarkan dan persiapan-persiapan yang dilakukan aparat
keamanan, membuat lawan-lawan politik harus berpikir ulang. Mereka juga akan membuat kalkulasi melakukan
dan tidak melakukan aksi. Kartu domino presiden telah nyata membuat lawan
politik memaksa diri mengeluakan kartu lain (baca: tidak jadi ada aksi). Di
sinilah wacana politik presiden berhasil. Melawan dengan memakai wacana
komunikasi politik. Hal demikian juga pernah dilakukan pada era Soekarno,
Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kedua, komunikasi
politik yang dilakukan presiden itu adalah sebuah gertakan terhadap lawan-lawan
politik. Dalam studi ilmu komunikadi disebut dengan fear arousing communication.
Mengapa itu
dilakukan? Dalam permainan politik kalah menang tidak hanya ditentukan oleh persaingan
dalam Pemilu, tetapi juga kemampuan menggertak. Era Gus Dur, ia pernah
menggertak akan mengeluarkan Dekrit jika DPR melengserkan dirinya. Padahal Dekrit
dikeluarkan jika negara dalam keadaan bahaya. Gus Dur hanya menggertak dan
sangat mungkin sebenarnya tidak akan mengeluarkan Dekrit.
SBY mengeluarkan
pernyataan bahwa akan terjadi kudeta ternyata manjur. Buktinya, lawan-lawan
politik tidak jadi membuat aksi demo menuntut dia mundur. Ilmu menggerta lain
juga pernah dilakukan ketika meminta Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai
Demokrat) memfokuskan diri pada masalah hukum yang sedang dituduhkannya.
Buktinya, KPK segera mengeluarkan surat yang menetapkan Anas sebagai tersangka.
Langgengnya kekuasaan
politik seseorang bukan hanya ditentukan secara adu fisik (pertikaian,
perkelahian, pemungutan suara). Tetapi
yang juga tak kalah pentingnya adalah soft
power seperti mengelurkan wacana.
Artikel ini penting
dikemukakan bukan membela presiden, tetapi agar masyarakat mengetahui ada
agenda-agenda dibalik sebuah pernyataan atau sesuatu yang tak tampak. Politik
karenanya adalah bukan pada sesuatu yang dinyatakan, tetapi apa yang tidak
dinyatakan.
Comments :
0 comments to “Gagalnya Kudeta dan Soal Komunikasi Politik”
Posting Komentar