Saat ini,
banyak partai politik (parpol) yang sudah sibuk untuk membuat Daftar Calon
Sementara (DCS) anggota legislatif. Seperrti biasanya, banyak cara dilakukan
entah dengan merekrut artis, meminang calon politisi yang mapan secara ekonomis
sampai mengangkat anggota keluarganya sendiri. Itu semua dilakukan untuk
memenangkan kompetisi politik lima tahunan tersebut.
Bahkan, ada
juga politisi “kutu loncat” yang berpindah dari satu parpol ke parpol yang
lain. Itu semua dilakukan untuk meraih kekuasaan, seperti halnya tujuan parpol
itu sendiri. Karenanya, yang penting lolos atau menang menjadi tujuan utama,
tak jarang berbagai macam cara pun dilakukan. Namanya saja kegiatan politik
yang berorientasi pada kekuasaan.
Basa Basi Politik
Yang kemudian
terjadi adalah bagaimana caranya mereka memenangkan kompetisi politik. Untuk
mencapai tujuannya, tak jarang mereka akan mengklaim diri sebagai “sang
pembela” rakyat. Dalam propaganda ini disebut dengan plain folk.
Plain Folk
adalah propaganda yang menggunakan identifikasi terhadap suatu ide. Propagandis
mengidentifikasikan dengan sesuatu yang ideal, lepas dari apakah ia memang
demikian atau tidak. Lihat misalnya kata-kata “demi penegakan HAM”, “untuk
kepentingan wong cilik”, “demi pemerintahan yang bersih”, dan “ demi menegakkan kebenaran dan keadilan”.
Tujuannya jelas, agar identifikasi itu bisa dipakai untuk menaruh perhatian
para konstituen. Harapannya, agar mereka percaya dan memilih para elite politik
yang mengklaim punya identifikasi tersebut.
Cara seperti itulah
yang disebut dengan basa basi politik. Artinya, tidak ada niat tulus para elite
politik tersebut untuk melakukan apa yang dia katakan. Semua serba basa-basi.
Sebab yang ada dalam pikirannya sangat berbeda dengan apa yang dia ucapkan.
Ibarat seperti pepatah “jauh panggang dari api”. Semua yang dikatakan bisa jadi
serba tidak mungkin.
Satu
pelajaran yang layak dipetik dari basa-basi politik tersebut adalah tidak ada
janji politik yang abadi. Maka, kita harus memahami sebaliknya dari apa yang
dikatakan oleh para elite politik itu. Pemahaman terbalik ini penting dilakukan
agar kita tidak kecewa. Jadi, jika ada elite politik mengatakan, “saya akan
membela wong cilik”, dalam pikiran kita perlu berpikir sebaliknya. “Demi
kepentingan para petani”, maka dalam pikiran kita dia tidak akan membela para
petani tersebut.
Menjelang
Pimilu 2014, kita akan kembali
menyaksikan pentas basa-basi politik dengan propaganda plain folk itu. Semua,
demi kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Pragmatisme
Perilaku
elite politik di atas dimungkinkan muncul karena gejala pragmatisme sedang
menjangkiti mereka. Dalam filsafat, pragmatisme memandang bahwa sesuatu dianggap benar sangat tergantung pada
asas manfaat. Dengan kata lain, sesuatu dianggap benar jika mendatangkan
manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat.
Itu berarti
penganut pragmatisme akan mengukur sesuatu dari sudut pandang manfaat apa yang
diperoleh. Sebenarnya, manfaat ini bisa juga untuk orang lain. Namun dalam
perkembangannya kemudian, pragmatisme dianggap benar karena bermanfaat bagi
dirinya sendiri saja.
Itulah
kenapa, orang yang pragmatis adalah orang yang mementingkan dirinya sendiri. Ia
berorientasi pada perilaku yang hanya menguntungkan diri dan kelompoknya. Orang pragmatis karenanya,
tidak banyak yang punya panggilan untuk peduli dengan orang lain. Yang ada
dalam benaknya adalah bagaimana ia memupuk keuntungan untuk dirinya sendiri.
Karena orang
pragmatis ini hidup di tengah masyarakat, maka ia akan mudah untuk
memperlihatkan diri sebagai orang yang peduli, meskipun kenyataannya tidak
demikian. Orang seperti ini akan dengan gampangnya mengelabui orang lain dengan
perilakunya. Ibaratnya, ia punya hati serigala, tetapi berbulu domba.
Itu semua
dilakukan karena orientasinya sudah pada kekuasaan. Yang terjadi kemudian adalah
bagaimana memenangkan kompetisi untuk meraih kekuasaan tersebut. Soal apakah
kekuasaan itu digunakan untuk memakmurkan rakyat atau tidak, itu soal nanti.
Jika
pragmatisme elite politik tersebut di atas benar-benar terjadi, sangat sulit
ditemukan pimpinan yang memang memperhatikan kepentingan rakyatnya. Jika
kekuasaan sudah direbut, langkah selanjutnya adalah bagaimana cara
mempertahankannya.
Yang kemudian
dikhawatirkan adalah pragmatisme elite
politik tersebut akan menular atau ditiru masyarakat. Jika ini terjadi, lengkap
sudah bangsa ini akan menuju kehancurannya. Sebab, elite dan masyarakatnya sama-sama
sudah terjangkiti pragmatisme.
Akibat semua
ini, jangan heran ketika masyarakat hanya mau memilih para pemimpinnya jika
mendapatkan ganjaran langsung. Maka tak perlu heran pula, jika masyarakat hanya
mau memilih elite politik yang mampu membayarnya. Dari sini, politik uang akan
semakin menjadi gejala umum di tengah masyarakat.
Ini juga
didukung karena para elite politik yang mengejar kekuasaan itu berjuang untuk
mencapai kemakmuran. Karena jabatan politik adalah jabatan yang basah dan
gampang mendatangkan uang, jangan salahkan masyarakat jika mereka juga
menginginkan para kandidat itu untuk membayar terlebih dahulu sebelum dipilih.
Dalam
kehidupan politik di Indonesia, seringkali pemimpin dianggap sebagai sosok yang
menjadi panutan, dicontoh, dan diteladani. Perubahan politik, ekonomi, dan
sosial juga tergantung para pemimpin itu.
Maka lewat
tangan pemimpinnya berbagai perubahan yang baik di masa datang diletakkan, begitu
juga sebaliknya. Jika bangsa ini tidak menginginkan pragmatisme melanda mereka,
para elite politik juga perlu memberikan contoh yang baik.
Sumber: Lombok Post 13 April 2013
Sumber: Lombok Post 13 April 2013
Comments :
0 comments to “Menguatnya Pragmatisme Elite Politik ”
Posting Komentar