Di
tengah kemuakan atas intrik-intrik politik perebutan kekuasaan, kasus korupsi yang kian merajalela, kepentingan rakyat yang
kian terhambat penyalurannya muncullah Vicky Prasetyo. Orang yang bernama asli Hendrianto itu langsung mendapat perhatian luas masyarakat. Tidak saja di
media sosial dan televisi, bahkan bahasa
khas yang digunakannya ditiru oleh masyarakat.
Kata-kata pilihan khasnya “statusisasi”, “labil ekonomi” atau “konspirasi”. Orang
boleh menggungat sikap “sok intelek”-nya , namun jangan lupa wajah Vicky itu bisa
jadi cermin wajah kita sendiri.
Parodi kemunafikan
Sebenarnya,
Vicky Prasetyo bisa disejajarkan dengan
pelawak intelek negeri ini. Ia telah membuat banyak orang terhibur bahkan
secara alamiah dan tidak dibuat-buat. Melalui keluguan gayanya ia sebenarnya telah
menyentak kesadaran banyak orang. Bahwa ada banyak hal yang hasih perlu
dilakukan untuk negeri ini daripada sekadar saling menyalahkan dan saling
mempertontonkan kebodohan.
Pertama, betapa selama ini kita menjadi orang yang gampang
menyalahkan orang lain hanya orang lain itu berbeda keyakinan, pendapat,
aspirasi, dan keinginan. Betapa banyak korban bermunculan akibat gampangnya
kita menyalahkan orang lain. Ketika seseorang
menyalahkan orang lain, tak sadar bahwa
apa yang dilakukannya akan diikuti oleh orang lain yang kadang tanpa
pertimbangan matang ikut-ikutan menyalahkan.
Lihat
betapa kita gampang menyalahkan pejabat, menyalahkan lembaga negara,
menyalahkan menteri hanya karena kita rakyat jelata. Sementara itu mereka yang
bukan rakyat jelata juga dengan mudahnya mengingkari jati dirinya sebagai
pejabat dengan melupakan rakyatnya. Ini bagian lain menyalahkan (meskipun tidak
dikatakan secara lisan).
Begitu
Vicky Prasetyo muncul lewat rekaman yang bisa diunduh di Youtube, banyak orang
memojokkan, menghina, mengolok-olok, dan mengkritik bahasa yang digunakannya.
Masalahnya, apakah kita sudah sedemikian sempurna?
Kedua, ekspresi Vicky Prasetyo sebenarnya cermin wajah kita sendiri. Saat kita menertawakan Vicky kita sedang
memparodikan kemunafikan diri sendiri. Seolah wajah dan perilaku kita lebih
elegan dan sempurna dibanding Vicky. Semakin kita mengkritik sebenarnya semakin
lucu wajah kita dibalik cermin bernama Vicky Prasetyo. Hanya saja kita tidak
bisa merasakannya karena cerminnya ada pada diri kita sendiri.
Pelajaran
Lepas
dari kenyataan atau kekonyolan Vicky Prasetyo, ada beberapa pelajaran yang bisa
dipetik darinya. Pertama, kita tidak
terbiasa mencintai budaya sendiri, tetapi terbuai dan senang mengagung-agungkan budaya lain. Carut carut
bahasa yang digunakan Vicky Prasetyo menjadi cermin bahwa kita sendiri juga
belum tentu bagus menggunakan bahasa nasional. Sementara itu jargon bahasa
menunjukkan bangsa sudah kian terkikis.
Sekali-kali
kita menyimak diksi bahasa anak-anak muda sekarang. Banyak diantara mereka yang memakai bahasa
campur aduk. Memang tidak masalah, seandainya itu digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Masalahnya, bahasa dan pilihan kata itu juga digunakan saaat pelajaran,
bahkan pelajaran bahasa Indonesia. Jadilah bahasa Indonesia yang gado-gado.
Jadi jika seandainya Vicky Prasetyo memakai bahasa yang gado-gado juga, bukan
kenyataan yang aneh. Yang tidak kalah tragis, bahasa Indonesia dengan logat
lokal sudah dicampur dengan dialek “lu, gue” dan sejenisnya.
Kedua, tak bisa dipungkiri peran media massa memegang peranan penting bagi
terciptanya bahasa yang gado-gado itu. Bahkan bisa dikatakan bahasa anak muda
itu sangat dipengaruhi oleh percakapan dan dialog di televisi, khususnya
sinetron (disamping juga lewat media sosial).
Televisi
telah menanamkan (cultivation)
berbagai sikap dan perilaku dalam kehidupan masyarakat. Ia tidak saja
memengaruhi, tetapi membentuk budaya baru tanpa mengindahkan budaya asli yang
sebenarnya masih perlu dipelihara. Lihat bagaimana percakapan seorang anak
kepada orang tua zaman sekarang.
Saat
ini memang tidak ada siaran pelajaran bahasa Indonesia seperti yang pernah
muncul pada tahun 80-an di TVRI yang diasuh oleh JS Badudu atau Anton M Moeliono.
Televisi kita sibuk mengejar rating dan tak mengindahkan apakah tayanganya
berdampak buruk atau tidak.
Dengan
demikian seandainya lahir “vicky-vicky” yang lain, televisi tidak akan bisa
lepas begitu saja dari kesalahan. Vicky Prasetyo adalah fenomena masyarakat
yang sedang gila mobilitas vertikal dan membutuhkan pengakuan. Tak jarang
karena disorientasi hidupnya seperti itu menyebabkan dia gagap budaya. Anehnya,
ia tidak sadar bahwa yang dilakukannya sebenarnya keluguan untuk tak menyebut
kebodohan. Vicky Prasetyo adalah cermin muka kita sendiri.
Comments :
0 comments to “Vicky Prasetyo itu Cermin Wajah Kita”
Posting Komentar