Gubernur
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) sedang menduduki
posisi dilematis. Bersama dengan Ahok (Basuki Tjahaja Utama) dia sangat popular
dengan program-programnya yang merakyat.
Bahkan anggota DPR pun dilawannya kalau memang hanya berbeda pendapat,
bukan mencari solusi bersama membangun Jakarta. Namun demikian, popularitas dia bukan tanpa
masalah. Jokowi justru dimanfaatkan tidak saja oleh pendukungnya yang mempunyai
kepentingan tertentu, tetapi juga oleh lawan-lawan politiknya.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa Jokowi-Ahok menduduki posisi Gubernur dan Wakil Gubernur
(Wagub) atas dukungan partai politik (Gerindra dan PDI-P). Sejak mereka
menduduki jabatan barunya, mereka sebenarnya sudah menjadi milik publik. Namun demikian,
karena alasan hutang budi, Jokowi tidak akan bisa memandang sebelah mata pada
partai pengusungnya. Partai memanfaatkan popularitas Jokowi untuk ikut
dukung-mendukung dalam perebutan kekuasaan.
Akibatnya,
Jokowi yang merasa menjadi ikon perubahan dan sanggup meraih suara yang
spektakuler di Jakarta diharapkan ikut mendongkrak dukungan calon kepala daerah
yang diusung PDI-P. Maka Jokowi memang “dipaksa” ikut menjadi juru kampanye
atau tim sukses Pilkada di sejumlah daerah.
Dilematis
Yang
tak kalah hebatnya, ada desakan kuat agar Jokowi maju menjadi kandidat presiden
2014. Bahkan beberapa lembaga survei menempatkan Jokowi pada posisi atas yang
layak untuk menjadi kandidat presiden. Survei Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) pernah mengungkapkan bahwa elektabilitas Jokowi
mencapai 35,1 persen jauh melampaui
calon-calon lainnya.
Memang
tidak salah menjagokan Jokowi menjadi calon presiden (Capres). Asal dia mau dan
ada partai pengusungnya. Yang menjadi masalah adalah, pertama, ia akan mendapat tentangan dari kalangan internal PDI-P. Hal demikian akan membuat pengurus lain
yang merasa “keringatnya” keluar lebih
banyak akan merasa disingkirkan.
Yang
lainnya, PDI-P selama ini identik dengan trah bung Karno. Setelah Megawati
tidak lagi menjadi presiden, trah Soekarno tetap menjadi daya lekat antar anggota.
PDI-P dianggap trah Soekarno, begitu
juga sebaliknya. Tentu ini akan menjadi pertimbangan tersendiri. Bagaimana jika nanti
Jokowi menjadi Presiden? Bukankah ada kemungkinan besar ia akan menjadi ketua umum PDI-P (karena
popularitasnya).
Kedua, ada ambisi sekelompok orang tertentu agar Jokowi menjadi Capres. Tak
lain karena elektabilitas sosok Jokowi sedang menduduki posisi tinggi.
Orang-orang di sekitar itulah yang sebenarnya mempunyai ambisi politik untuk meraih
keuntungan pragmatis.
Sebenarnya
pula, pembuatan film tentang Jokowi juga tidak lepas dari kepentingan pihak
tertentu. Memang benar bahwa sosok Jokowi patut menjadi teladan banyak orang, namun
demikian, mengapa baru dimunculkan sekarang menjelang Pemilu? Kalau ditanyakan
pada produser atau pembuat film alasannya klasik karena Jokowi memang layak
difilmkan. Tetapi dalam kacamata politik tentu kepentingan politik akan ikut bermain di
belakang munculnya film tersebut.
Berkali-kali
Jokowi juga mengatakan ia sangat malu dengan film itu karena dia belum layak
untuk difilmkan. Bisa jadi Jokowi merendah, karena memang dia orang Solo, tetapi mungkin
saja dia mau difilmkan karena desakan
atau paksaan keadaan dan orang-orang di sekitarnya.
Pilihan
Melihat
hiruk pikuk pencalonan Jokowi sebagai Capres ada beberapa catatan yang layak
untuk dikemukakan. Pertama, biarlah
Jokowi mengurusi Jakarta yang rusaknya sudah sangat “akut”. Politik adalah
perjudian. Jika Jokowi bisa menjadi presiden tidak jadi soal, tetapi kalau
tidak jadi, justru akan menjadi bumerang
tersendiri.
Jokowi
akhirnya akan tersandera. Ia akan dianggap orang yang tidak punya malu atau
tidak mau diuntung. Misalnya, ia belum selesai menjabat walikota Solo sudah
diminta ke Jakarta. Baru beberapa tahun menjadi gubernur DKI sudah
diseret-seret menjadi presiden yang akhirnya tidak jadi. Bukankah ini akan
menjadi bumerang?
Sebenarnya,
Jokowi punya peluang besar untuk 5 tahun mendatang (2019). Tentu dengan catatan
ia mempunyai prestasi hebat selama menjadi gubernur DKI. Itu bukan persoalan
sulit karena Jokowi tipe pekerja keras dan mau bersusah-susah yang berbeda
dengan gubernur sebelumnya.
Kedua, jika pencalonan itu atas
kehendak orang-orang di sekitarnya, mereka sebenarnya harus berpikir lebih
cerdas. Pemilu tahun depan sebuah perjudian. Jika kalah akan menghambat karir
Jokowi berhenti di masa datang. Tetapi itu semua juga sangat tergantung Jokowi,
meskipun orang-orang disekitarnya
mempunyai ambisi. Dalam pepatah, mending
mundur sementara untuk maju ke medan perang dan menang.
Ketiga, Jokowi punya modal kuat karena didukung oleh media massa. Hampir semua media massa memberitakan positif
setiap langkah Jokowi, entah memang begitu kenyataannya atau sekadar agenda
setting media atas Jokowi. Yang jelas pemberitaan media mempunyai peran yang
sangat signifikan untuk meningkatkan elektabilitas Jokowi.
Dalam
hal ini Jokowi dan orang-orang disekitarnya hanya perlu bersabar dan menahan
ambisi politik hanya untuk kepentingan sesaat saja. Politik memang sebuah
permainan yang membutuhkan strategi jitu untuk maraihnya. Maka, jangan paksa
Jokowi. (mbs)
Nurudin, dosen Fisip Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur.
Comments :
0 comments to “Posisi Dilematis Jokowi”
Posting Komentar