(Artikel ini dimuat Malang Post, 24 Juli 2017)
Saat pemerintah menerbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 Tahun 2017
tentang Organisasi Kemasyarakatan, kemudian aturan itu digunakan sebagai dasar untuk
membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), saya jadi ingat bintang film Ayu
Azhari. Kita mungkin bertanya-tanya, apa kaitan antara HTI dengan Ayu Azhari?
Kita tidak melihat apakah ada kesejajaran
antara kasus pembubaran HTI dengan Ayu Azhari, tetapi kita melihat dampak yang
mungkin bisa ditimbulkan. Kontradiksi dan perdebatan perbandingan bisa jadi
muncul; HTI organisasi berbasis keagamaan, sementara Ayu Azhari hanya seorang
artis. Namun, keduanya punya kesamaan; pernah menjadi buah bibir dan pernah terkena
pelarangan kaitannya dengan penggunaan hak masing-masing “profesinya”.
Ayu Azhari bisa jadi sama dengan
kebanyakan artis di Indonesia, tetapi ia menjadi artis fenomenal karena pernah
bermain film dengan artis “bule”. Lebih dahsyat lagi, ia pernah berani memerankan
adegan telanjang dan seks dalam sebuah film yang pernah dibintanginya.
Senin, Juli 24, 2017
Ayu Azhari dan Hizbut Tahrir Indonesia
Ayu
Azhari dan Kawan-Kawannya
Pada tahun 1995, masyarakat Indonesia pernah dihebohkan
dengan fenomena Ayu Azhari. Ia pernah membintangi film Without Mercy (sutradara Robert Anthony) dengan lawan mainnya Frank
Zagarino. Saat saya menjadi mahasiswa, film itu sempat menghebohkan. Alasannya,
dalam film itu adegan Ayu dengan Frank persis seperti hubungan intim
suami-istri di bak mandi. Sebagian tubuh Ayu dan Frank memang tertutup busa
sabun, tetapi payudara Ayu tampak kelihatan jelas, tentu saja dengan adegan
layaknya hubungan intim.
Saat film ini beredar di Indonesia tentu saja
membikin heboh. Buntutnya, pemerintah melakukan sensor karena adegan itu tidak
pantas dilakukan dan dianggap tidak mencerminkan kepribadian bangsa kita. Maka,
cerita film itu tidak bisa beredar secara leluasa karena kena sensor.
Apakah dengan disensor seperti itu, masyarakat
kita tidak bisa menikmati adegan Ayu Azhari dalam Jacuzzi atau bak mandi air
panas tersebut? Saat penyensWithout Mercy beredar luas dalam bentuk
VCD. Waktu itu, perputaran VCD sangat luas dan bisa mengimbangi tayangan di
bioskop meskipun masyarakat belum banyak yang memiliki VCD player. Tetapi
persewaan VCD dan VCD player sangat banyak orang dilakukan bersamaan dengan itu film-film
Jadi, semakin dilarang film Without Mercy dengan adegan panasnya Ayu Azhari, saat bersamaan ia
semakin populer dalam bentuk lain, salah satunya VCD tersebut. Artinya,
pelarangan film itu tidak berbanding lurus dengan “kematian” pelarangan
tersebut. Buktinya, semakin diprotes
membuat Ayu Azhari justru tambah terkenal. Ia juga akhirnya tetap bisa main
film dan membintangi beberapa sinetron di televisi swasta, juga ia menjadi “ikon” artis Indonesia. Artinya,
jika seseorang ingin terkenal, maka buatlah isu kontroversial. Pelarangan dan
sensor film waktu itu justru menjadi tantangan dan perlawanan insan film untuk
melakukan uji coba-uji coba membuat film yang sedikit “nakal”. Jadi, pelarangan
bisa memunculkan militansi kelompok tertentu.
Hal demikian sama dengan kasus pembatalan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tabloid Monitor
(tablod yang mempraktikkan “jurnalisme lher” dengan menampilkan dada dan
paha wanita). Tabloid Monitor
pernah tersandung kasus dengan membuat ranking tokoh yang digemari pembaca.
Tabloid yang dipimpin oleh Arswendo Atmowiloto itu menempatkan Nabi Muhammad SAW
dirangking 11 di bawah Arswendo Atmowiloto. Arswendo bisa jadi tidak salah
karena ia hanya meranking berdasar kartu pos yang masuk ke redaksi, tetapi ia
gegabah dengan menyamakan Nabi Muhammad yang sangat dihormati umat Islam dengan
manusia kebanyakan. Akhirnya, Arswendo dijebloskan ke dalam penjara.
Apakah saat Monitor dilarang peredarannya “jurnalisme
lher” berhenti? Tidak juga. Pelarangan Monitor justru memunculkan tabloid-tabloid
lain meniru gaya jurnalisme Monitor. Bahkan tabloid keluarga, musik,
olah raga, film pun berlomba-lomba mengisi kekosongan pangsa pasar yang selama
ini dimiliki Monitor. Jadi, Monitor memang dilarang tetapi “jurnalisme
lher” yang dipraktikan Monitor tambah
subur karena “anak-anak jurnalismenya” melanjutkan dengan wilayah penyebaran
yang justru lebih luas.
Dampak
ke Depan
Dengan terbitnya Perppu nonor 2 Tahun 2017, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengeluarkan Surat Keputusan nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 untuk membubarkan
HTI. Aktivitas HTI dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kita tidak mendiskusikan apakah pelarangan ormas itu sah
atau tidak, melawan hak asasi atau tidak. Yang jelas setiap pemerintahan
mempunyai gaya dan daya paksa bagaimana mempertahankan kekuasaannya.
Seandainya masyarakat tidak puas dengan Perppu itu,
kita masih mempunyai lembaga pengadilan yang lebih punya wewenang memutuskan.
Tentu saja, apapun hasilnya harus diterima jika menjadi keputusan pengadilan.
Yang jelas di manapun dan kapanpun lembaga pengadilan tidak bisa lepas dari
kepentingan pemerintah.
Apa yang menarik dari kasus pembubaran HTI? HTI
memang telah bubar, tetapi sebagaimana Ayu Azhari dan Monitor, anak-anak mereka akan semakin beredar luas. Ini tidak
bermaksud mengancam atau saya membela HTI, sama sekali bukan. Saya lebih
melihat dampak yang ditimbulkan dengan mengaca pada kejadian sebelumnya. Alasannya,
setiap individu atau kelompok mempunyai sudut pandang yang berbeda. Bagi
pemerintah, pembubaran HTI itu sah karena aktivitasnya tidak bersesuaian dengan
kebijakan pemerintah. Bagi pejuang hak asasi, pembubaran itu jelas bertentangan
dengan hak asasi dan kebebasan berserikat serta berkumpul.
Pembubaran HTI bisa jadi akan memunculkan
militansi umat Islam. Tentu saja, kita bisa berkaca pada kasus Pilkada DKI. Isu
“penistaan” Al Qur’an dan ketidakadilan pemerintah dalam menyelesaikan kasus
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan memunculkan solidaritas umat. Dalam waktu
dekat, pembubaran HTI mungkin bisa menekan gerakan ormas-ormas yang dianggap
bertentangan dengan pemerintah. Namun dalam jangka panjang hal itu harus
dipikir ulang. Bukan tidak mungkin, akan muncul “HTI-HTI” lain sebagaimana “Ayu Azhari-Ayu Azhari” yang lain. Hukum alam
berkata, “dilarang, makin dilanggar atau tersebar”.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Artikel yg menarik pak, tapi kalau saya lebih setuju dibubarkan pak :)