Belakangan ini, saya sedikit risau
dengan hiruk pikuk pembicaraan di masyarakat. Betapa masyarakat kita sangat
riuh dengan hal yang sifatnya remeh-temeh dan tak subtansial berkaitan dengan
isu di sekitar kita. Lihat saja isu soal pribumi, sebelumnya ada istilah
populer ndeso, PKI, bani serbet, bumi
datar, dan istilah-istilah lain yang cenderung sarkastis.
Kemudian, saya membuka buku karangan
saya berjudul Pengantar Komunikasi Massa. Saat membuka teori komunikasi massa, saya
sempatkan membaca bagian yang membahas teori peluru (bullet theory) atau juga dikenal dengan teori jarum hipodermik (hypodermic needle theory). Setelah itu
saya simpulkan bahwa keadaan masyarakat sekarang sama persis dengan yang
terjadi pada tahun 30-an sampai 40-an saat Perang Dunia (PD).
Type rest of the post here
Tidak Terdidik
Teori di atas mengungkapkan bahwa
kondisi masyarakat pada waktu itu sangat tidak terdidik. Sementara itu, media
massa (cetak dan elektronik) mempunyai kekuatan penuh dalam menyebarkan
pesan-pesannya. Pesan media massa itu langsung menghujam ke dalam benak
masyarakat disebabkan dua asumsi; (1) masyarakat tidak terdidik, dan (2)
masyarakat tidak berkomunikasi dengan sesamanya. Akibat dua hal di atas, pesan
media massa dianggap sebagai berita hebat, lalu masyarakatnya menelannya
mentah-mentah.
Kondisi yang terjadi pada media
massa dan masyarakat yang mudah menelan mentah-mentah informasi itu lalu digunakan
untuk kepentingan penguasa. Adolf Hitler, ketua Partai Nazi Jerman menggunakannya
untuk kegiatan propaganda dalam usaha memenangkan
perang. Salah satu propaganda yang dikemukakannya adalah bahwa Jerman adalah keturunan
Aria sebagai bangsa mulia. Maka, bangsa-bangsa lain harus dienyahkan, terutama
Yahudi. Gembar-gembor untuk memenangkan perang itu terus dilakukan dengan
memobilisasi kekuatan masyarakat dalam melawan musuh Jerman. Bahkan informasi
yang disebarkan di media massa sebenarnya tidak sedahsyat kenyataannya.
Di sisi lain, Amerika dan sekutunya
berusaha keras melawan propaganda Jerman di bawah Hitler itu. Amerika melakukan
counter propaganda dengan perlawanan
di segala bidang. Ini harus dilakukan karena propaganda Hitler sedemikian
kuatnya memengaruhi benak masyarakat dan membuat takut masyarakat dunia.
Dengan alasan kemanusiaan, para
ilmuwan Amerika mencoba untuk melawan propaganda itu. Maka lahirlah, sebuah
teori yang mengatakan bahwa peran media massa itu tidaklah besar sebagaimana
yang diasumsikan dalam teori peluru. Artinya, pesan-pesan media massa juga
tidak langsung diterima masyarakat. Masyarakatbisa menerima pesan-pesan media
massa melalui pemimpin opini (opinion
leader). Jadi, asumsi bahwa media massa punya kekuatan penuh itu dianggap
mengada-ada. Ini versi Amerika tentunya. Sebagai sebuah ilmu yang muncul untuk
melakukan perlawanan, tentu teori baru produk Amerika itu sangat manjur, lepas
lepas dari kekalahan Hilter pada PD.
Masa Kini dari Masa Silam
Bagaimana dengan kondisi masyarakat
sekarang? Masyarakat sekarang hampir sama persis dengan zaman Hilter tersebut. Mereka
cenderung menuruti apa yang terjadi dan
disampaikan oleh media massa, terutama media sosial. Artinya, kalau zaman
dahulu media massa yang berperan penting memengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat, zaman sekarang adalah media sosial.
Soal kata pribumi misalnya yang
baru-baru saja hangat menjadi perbincangana masyarakat. Sebenarnya, kata
pribumi itu bisa jadi hal yang biasa diucapkan oleh seseorang. Namun demikian,
hiruk-pikuk dampak dari kata itu sedemikian dahsyat. Menjadi dahsyat karena
yang kemudian menyebarkan informasi itu didasari oleh perasaan suka dan tidak
suka pada pengucap kata tersebut. Bahkan, kata pribumi semakin terpolarisasi
pada dua kubu yang selama ini masih terus bersitegang. Tak terkecuali dengan
istilah PKI. Kata PKI menjadi komoditas politik yang menjadi riuh di media
sosial dan ini sangat memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Yang pasti
polarisasi dua kubu masyarakat terus berkepanjangan.
Sebagaimana tahun 30-an sampai 40-an,
masyarakat kita jarang, untuk tak mengatakan tidak mau, mengkaji lebih dalam
sebab musabab atau mencari fakta dari sumber aslinya. Mereka lebih cenderung
menyukai informasi yang hanya bersumber dari kelompoknya saja. Bahkan otak kita
sering kali kalah cerdas dengan kecepatan jempol. Artinya, sering kita tidak
membaca keseluruhan informasi tetapi langsung menyebarkannya ke orang lain,
hanya gara-gara informasi itu sesuai dengan kecenderungan dirinya. Jadi,
masyarakat menyebar berita tidak lagi berdasarkan apakah berita itu benar atau
tidak tetepi lebih karena sesuai dengan sikap dan perilaku politiknya. Bahkan ini
juga dilakukan oleh mereka-mereka yang berpendidikan tinggi.
Kondisi seperti inilah yang kemudian
rentan untuk digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang punya kepentingan
politik. Sebenarnya masyarakat kita tidak tahu apa-apa. Mereka hanya digiring
untuk membuat hiruk pikuk saja. Yang beruntung tentu saja para pemain politik. Polarisasi
dua kubu dalam politik akan terus mengemuka sampai Pemilihan Presiden (Pilpres)
2019.
Apakah dengan demikian, masyarakat
sekarang dikatakan tidak terdidik? Nanti dulu. Masyarakat kita sudah semakin
terdidik, jika dibandingkan puluhan tahun yang lalu. Namun demikian, kondisi
masyarakat kita masih sama; yakni masih senang mengonsumsi berita-berita yang
sebenarnya tidak substansial. Tidak bisa dipungkiri, kita masih hidup dalam
masyarakat yang mementingkan sesuatu yang artifisial (terlihat).
Coba Anda amati di media sosial,
berapa banyak dari pengguna itu yang bergelar pendidikan tinggi? Amati sekali
lagi, bagaimana mereka menulis status, menyebarkan link yang hanya sesuai
kecenderungan dirinya? Memang tidak salah. Masalahnya, apakah mereka yakin
perilakunya tidak dijadikan contoh pengguna lain? Misalnya, seorang dosen
menyebar berita bohong. Mahasiswanya tentu saja berkemungkinan besar akan mengklaim
berita itu benar dan ikut menyebarkannya. Sangat berbahaya bukan?
Bukankah dalam hal itu, media sosial
mempunyai kekuatan penuh (sebagaimana media massa tahun 30-an) dan sangat
memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat? Sementara itu, masyarakat menelan mentah-mentah
apa saja informasi yang berasal dari media sosial hanya karena sesuai
kecenderungan diri bukan pada kebenaran fakta? Selamat datang masyarakat era
tahun 30-an. Meminjam istilah anak muda, “wajah baru, stock lama”. Wajahnya
berubah, tetapi perilakunya tidak berbeda dengan era sebelumnya.
Artikel ini pernah dimuat harian Solo Pos, 27 Oktober 2017 dengan judul, "Masyarakat Era Tahun 1930-an"
Artikel ini pernah dimuat harian Solo Pos, 27 Oktober 2017 dengan judul, "Masyarakat Era Tahun 1930-an"
Menarik sekali pembahasannya mengenai teori jarum hipodermik yang kemudian dikaitkan dengan kondisi masyarakat saat ini. Namun, saya rasa tidak semua masyarakat melakukan hal itu. Saya rasa teori uses and gratification juga masih berlaku, karena teman-teman mahasiswa saya juga jarang sekali heboh mengenai pemberitaan katakanlah pribumi tadi. Tetangga-tetangga di sekitar saya pun begitu. Mereka lebih condong menganggap pemberitaan tersebut tidak penting dan lebih suka membaca berita-berita ringan seperti apa yang terjadi pada artis kesayangan mereka, atau lifestyle atau bahkan berita-berita olahraga. Jadi ketika pemberitaan mengenai pribumi ini diangkat ke permukaan mereka mungkin tahu tapi tidak secara mendetail karena mereka pikir itu tidak penting dibandingkan katakanlah kondisi kesehatan Selena Gomez terkini. Sayangnya, fenomena ini juga berarti adalah mahasiswa disekitar saya daya kritisnya berkurang tajam karena hal-hal yang justru menarik minat mereka adalah hal-hal yang mungkin sangat tidak penting ������
itu teori yang muncul tahun 30-an. tentu untuk saat sekarang tidak bisa digerelaisasi sembarangan. tentu ada banyak perbedaan. namun, beberapa kasus menunjukkan persamaan, tentu saja dengan perubahan zamannya.
soal pribumi, mungkin bagi sebagian orang penting, sebagian lain tidak. ini kan hanya soal perbedaan sudut pandang saja. thanks