Selasa, Januari 01, 2008

Media Massa, Penentu Suara dalam Pilkada

Karena Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan secara langsung, calon kepala daerah tidak akan bisa lepas dari strategi Public Relations (PR) modern. Ini tak lain karena kita sudah hidup dalam dunia media massa yang kian canggih. Bahkan dalam bukunya The Fall of Advertising and the Rise of PR, Al Ries & Laura Ries (2003) pernah mengatakan, saat ini era periklanan sudah mati, yang muncul adalah era PR.
Calon kepala daerah ibarat sebuah barang dan merek. Kita tidak akan bisa meluncurkan sebuah merek hanya dengan iklan saja. Iklan punya kredibilitas rendah bahkan dianggap membohongi, sementara PR punya persepsi positif.
Contoh dalam kasus pemasaran misalnya begini. Manakah diantara merek dibawah ini yang sering Anda dengar? Cardinal Halth, Delphi Automotive, Ingram Micro, Lehman Brother Holdings, McKesson HBOC, Liant Energy Southern , Tosco, TIA CREF, Utilicorp United atau Microsoft?
Tidak perlu diragukan lagi, bahwa nama Microsoft lebih akrab di telinga kita. Padahal sepuluh perusahaan selain Microsoft di atas lebih besar. Tetapi, kesepuluh perusahaan tersebut tidak satupun yang membangun merek sebanding dengan Microsoft. Padahal, TIA-CREF (misalnya) beberapa tahun lalu pernah mempunyai pemasukan sebesar $38 milyar, sedangkan Microsoft hanya $23 milyar. Tetapi Microsoft adalah sebuah merek.
Media Relations
Itu pulalah kenapa calon kepala daerah tidak hanya bisa mengandalkan iklan sebagai salah satu cara untuk mempopulerkan dirinya di tengah masyarakat. Saat ini masyarakat juga semakin rasional sehingga hubungan emosional dan psikologis bukan satu-satunya cara jitu untuk meraih simpati masyarakat. Misalnya, mentang-mentang seorang kandidat adalah pemuka keagamaan otomatis akan memudahkan dirinya menjadi kepala daerah. Itu belum merupakan garansi.
Satu strategi PR yang saat ini populer adalah media relations (hubungan media). Dalam komunikasi pemasaran, cara ini sedang digalakkan dan menjadi program cerdas perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan kecil biasanya hanya mengandalkan iklan dengan isi yang persuasif tetapi penuh dengan tipu muslihat. Yang dijadikan orientasi hanya barangnya terkenal dan laku dijual. Mereka umumnya tidak mempertahankan loyalitas konsumen dan hubungan personal.
Calon kepala daerah ibarat sebuah merek yang perlu dijajakan ke masyarakat. Oleh karena itu, karena ia sebuah produk baru ia perlu dikenalkan ke masyarakat, diungkapkan kelebihan yang dimiliki. Tentunya, “perusahaan” yang mensponsorinya tidak hanya mengenalkan “merek” itu tanpa mengetahui atau menggaransi bahwa “barangnya” memang berkualitas.
Cara modern yang sedang menjadi program perusahaan adalah media relations di atas. Calon kepala daerah mau tidak mau harus melakukan strategi PR seperti halnya perusahaan itu.
Mengapa? Saat ini kita hidup dengan media massa (cetak dan elektronik). Apa yang kita pikir, kita perbuat, kita beli, kita sosialisasikan, kita ungkapkan tak lepas dari peran media massa itu. Bahkan bisa dikatakan media telah membentuk hidup kita sehari-hari. Jika kita mau jujur apa yang kita beli, kita pakai, kita kemukakan lebih banyak berdasar dari media massa. Ini realitas dari perkembangan masyarakat modern kita.
Akan arti pentingnya media massa Marshall McLuhan dalam buknya terkenal Understanding Media, The Extension of Man (1999) pernah mengatakan bahwa media adalah the extension of man (media adalah ekstensi/perluasan) manusia. Artinya, apa yang dipikirkan, diinginkan manusia bisa diperluas perwujudannya melalui media massa. Bahkan media massa berbuat lebih dari apa yang bisa dilakukan manusia.
Jika manusia hanya bisa berpidato dihadapan ribuan orang, media massa melakukannya ke jutaan orang. Akan berbeda dampaknya seandainya apa yang dipidatokan itu kemudian disiarkan media massa, meskipun hanya dihadapan puluhan orang saja. Sama artinya, buat apa demonstrasi besar-besaran tetapi media massa tidak menyiarkannya/memberitakannya? Lebih berdampak hebat jika demonstrasi kecil-kecilan tetapi bisa disiarkan media massa.
Begitu hebatnya media massa sampai Napoleon Bonaparte pernah mengatakan, “Jika media dibiarkan saja, saya tidak akan bisa berkuasa lebih dari tiga bulan”. Atau simak pendapat bapak kemerdekaan Amerika, Thomas Jefferson, “Seandainya saya harus memi­lih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya -- tidak ragu-ragu lagi -- akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah". Pernyataan Bonaparte atau Jefferson itu tentu bukan bualan seorang anak kecil di siang bolong semata, tetapi dipikir secara dalam karena hebatnya pengaruh media massa bagi masyarakat.
Bagaimana Dengan Kandidat?
Calon kepala daerah bisa juga melakukan strategi media relations. Kita bisa mengambil contoh kasus kesuksesan presiden SBY dalam pemilihan presiden tahun lalu. Ia berhasil menuduki RI-1 tak lain karena kemampuannya membangun citra di media massa.
Untuk mewujudkan itu semua, para calon kepala daerah itu bisa melakukan kegiatan sebagai berikut; pertama, para calon harus menjalin hubungan dekat dengan media massa. Ini bisa dilakukan dengan kunjungan ke dapur redaksi media yang bersangkutan. Media, karena dikunjungi calon kepala daerah, ada kemungkinan besar untuk memberitakannya. Ini pulalah yang dahulu pernah dilakukan SBY dan Amien Rais untuk menyaingi kepopuleran Megawati karena kedudukannya sebagai presiden sudah menarik perhatian media massa.
Kedua, undanglah media massa dimana calon itu melakukan kegiatan politik seperti kampanye, pidato politik, kebijakan yang akan diputuskan. Bisa jadi media tanpa diundangpun ingin meliputnya, tetapi mengundang mereka bukan pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua calon.
Ini dimaksudkan agar setiap kegiatan yang dilakukan kandidat bisa diketahui masyarakat. Paling tidak, masyarakat tahu bahwa “seseorang” itu calon kepala daerah.
Ketiga, sering-seringlah membuat press release (siaran pers). Entah memang ada kebijakan atau keinginan yang ingin disampaikan ke masyarakat atau hal lain. Tetapi yang jelas, calon kepala daerah tidak boleh “menyakiti” pers. Atau membuat pernyataan yang membuat jengkel wartawan. Sebab, begitu sang kandidat membuat “kesalahan” seperti itu Anda mungkin tetap muncul di media massa tetapi dengan berita yang justru merugikan Anda sendiri. Termasuk di sini, menghindari untuk mengatakan “no comment”. Pernyataan seperti itu jelas tidak disukai oleh wartawan. Anda juga akan dicitrakan sebagai orang yang tertutup.
Tetapi ada satu hal lain yang harus dilakukan jika ia terpilih menjadi kepala daerah. Tetap menjaga hubungan baik dengan wartawan. Umumnya, para politisi kita pada awalnya berhubungan baik dengan wartawan, tetapi ketika sudah “mapan” ia lupa bahkan menghindar dari wartawan. Biasanya, politisi itu takut karena “dosanya” diketahui umum.
Maka, mengaja hubungan baik dengan media massa tidak saja akan memuluskan langkah sang calon menjadi kepala daerah tetapi juga akan menentukan “hidup matinya” pemerintahan daerah yang dipimpinnya nanti. Sudah saatnya, menempatkan media massa di depan dan bukan dipolitisir untuk tujuan yang mementingkan kepentingannya sendiri.
Media massa punya mata dan telinga. Sang kandidat akan diberitakan baik manakala ia baik, tetapi akan diberitakan jelek jika sebaliknya. Jadi, saat ini hidup matinya calon kepala daerah sangat mungkin ditentukan oleh media massa.

Comments :

0 comments to “Media Massa, Penentu Suara dalam Pilkada”