Selasa, Januari 01, 2008

Menyoal Jurnalisme Sensasional

Ketidakpuasan atas pembebasan Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi (Pemred) majalah Play Boy atas semua tuduhan dan tuntutan jaksa tentang penyebaran tindak kesusilaan belum berhenti. Atas pembebasan tersebut, majalah yang pertama kali terbit pada 6 April 2006 itu secara hukum sah untuk diterbitkan kembali dan bahkan punya proteksi secara hukum.
Namun demikian, kelompok yang tidak suka dengan majalah lisensi Amerika tersebut akan terus melakukan perlawanan. Bahkan razia dan protes keras tinggal menunggu waktu. Dengan nada kecewa kelompok penentang ini mengucapkan, “Selamat datang di negeri porno” saat setelah putusan dibacakan.
Lepas dari perdebatan bahwa Play Boy menyebarkan pornografi atau bukan, yang layak untuk diperhatian adalah esensi semakin menguatnya jurnalisme sensasional di Indonesia. Jurnalisme ini lebih menentingkan segi yang menarik dan kurang memperhatikan sesuatu yang relevan. Mau bukti? Lihat saja televisi kita.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel pernah membuat sebuah analogi menarik kaitannya dengan jurnalisme sensasional ini. Bagi penulis buku The Element of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect itu, media sensasional diibaratkan dengan perilaku seseorang yang ingin menarik perhatian orang dengan pergi ke tempat umum, lalu melucuti semua yang dikenakaannya alias telanjang. Bisa jadi ada beberapa orang di sekitar yang ikut menikmati “tontotan” tersebut. Tetapi yang dipertanyakan oleh Kovach dan Rosenstiel adalah bagaimana orang telanjang tersebut menjaga kesetiaan penontonnya? Diperinci menjadi begini, bagaimana (apakah sanggup) media sensasional bisa menjamin kesetiaan pembacanya?
Ini tentu berbeda dengan media yang proporsional. Media yang proporsional diibaratkan sebagai seorang pemain gitar dengan hanya sedikit orang yang memperhatikannya. Tidak seperti orang yang telanjang tersebut dengan jumlah penonton yang banyak. Namun demikian, seiring dengan peningkatan kualitas dia bermain gitar, semakin lama semakin banyak orang yang memperhatikannya dan mendengarkannya. Media yang proporsional adalah media yang membangun kualitas beritanya sedikit demi sedikit, akhirnya memunculkan kesetiaan pembacanya bener-benar dibutuhkan.
Koran New York Times (NYT) adalah koran yang bisa dijadikan contoh media proporsional. Adolph Ochs pemilik NYT adalah orang yang anti terhadap sesuatu yang berbau populer dan sensasional. Populer dan sensasional ini di Amerika pernah disebut dengan koran kuning yang hanya menampilkan berbagai cerita-cerita sensasional, komik, dan juga gambar-gambar yang menuruti “selera rendah”. Ia hendak mengelola koran itu menjadi surat kabar yang serius, dan mengutamakan kepentingan publik. Tak heran karena ambisinya ia pernah menjual NTY dengan harga murah seharga 1 sen (sebelumnya koran itu dijual dengan 3 sen). Ini tentu bukan keputusan mudah. Tetapi perkembanganya sangat mengejutkan, dari sirkulasi 9000 eksemplar pada tahun 1896 menjadi 75.000 eksemplar tiga tahun kemudian (1899). Dua tahun sesudahnya (1902) oplahnya menjadi 100.000 eksemplar dan pemasukan iklannya menjadi dua kali lipat. Pada tahun 1980-an oplahnya mencapai 900.000 eksemplar dengan penghasilan 3,15 juta dollar per tahun. Inilah sejarah proporsionalitas koran yang sudah berumur 100 tahun lebih dan telah mengawal 20 presiden Amerika (Haryanto, 1996).
Ini juga pernah dilakukan oleh Eugene Meyer pada tahun 1933. Ia membeli harian The Washington Post sambil mengatakan, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, surat kabar ini kalau perlu perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat”. Keinginan kuat Meyer (sama dengan yang diyakini Ochs) ternyata benar bahwa proporsionalitas ternyata bukanlah omong kosong. Mereka menjadikan korannya prestisius sekaligus menguntungkan secara bisnis.
Masa Depan
Kenyataan yang terjadi di Amerika tersebut sangat berbeda jauh dengan yang terjadi di Indonesia. Media-media di Indonesia masih mengembangkan jurnalisme sensasional yang sarat dengan hiburan dan hal-hal yang menuruti selera masyarakat “kebanyakan”. Di televisi kita penuh dengan tayangan infotainment, ada yang menyebutnya dengan gosiptainment atau idiottainment. Semua berita dibingkai secara populer.
Kemenangan Play Boy di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu semakin menguatkan bahwa jurnalisme sensasional sedang menjadi pilihan alternatif meskipun belum tentu menjamin kelangsungannya dalam jangka panjang. Play Boy akhirnya akan merasa menjadi “pemenang” dan kelompok lain yang selama ini masih takut-takut membuat media seperti itu punya legitimasi kuat dan alasan yang lebih rasional. Play Boy tentu saja akan melahirkan “anak-anak” yang meniru perilaku “orang tuanya” itu.
Ini tentu saja logis. Di Indonesia ketika sebuah media atau acara tertentu di televisi sukses akan ditiru oleh media lain. Akamedi Fantasi Indosiar (AFI) memunculkan saingan Indonesian Idol, Pildacil, KDI, dan lain-lain. Acara sinetron religius yang “berbau mistik” pertama kali di TPI, kemudian diikuti oleh stasiun televisi lain. Lihat misalnya, Astaghfirullah dan Kuasa Ilahi (SCTV), Azab Ilahi dan Padamu Ya Rabb (Lativi), Taubat dan Hidayah (Trans TV), dan Titipan Ilahi (Indosiar) dan lain-lain.
Dampak lain yang akan sangat terasa adalah semakin menguatnya eskalasi kekerasan akibat “kemenangan” Play Boy atas FPI. FPI tentu saja belum sepenuhnya menerima kenyataan itu. Seperti yang selama ini dilakukan, mereka dengan dalih agama akan terus melakukan “razia” terhadap pornografi dan pornoaksi. Kalau perlu, harus ditempuh dengan jalan kekerasan mewujudkan keyakinannya tersebut. Tentu saja ini akan menjadi problem dan pekerjaan rumah bagi aparat keamanan, penegak hukum dan pemerintah sendiri.
Sementara itu, karena Play Boy punya landasan hukum kuat dan selaku pemenang akan semakin “tinggi hati” untuk terus melawan kegiatan FPI dengan terus menyebarkan majalah-majalahnya. Yang terjadi kemudian bukan lagi rasionalitas berpikir yang dikedepankan, tetapi emosi dan ego masing-masing kelompok yang kemudian melandasi setiap perilaku mereka. Bukan tidak mustahil, sebagaimana yang pernah saya tulis di harian Solo Pos, semakin dilarang, Play Boy justru akan semakin tersebar.
Yang jelas, Play Boy akhirnya akan menjadi dasar semakin menguatnya jurnalisme sensasional di Indonesia. Tetapi, suatu saat jurnalisme ini akan kehilangan simpati dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat. Sama seperti orang telanjang di tempat keramaian. Ia akhirnya tidak lagi mendapatkan popularitas, tetapi justru caci maki, hinaan dan rasa muak orang yang melihatnya.

Comments :

1

Saya setuju, bahwa media di Indonesia harus lebih gigih untuk memberikan berita-berita berkualitas kepada pembaca. Pada akhirnya, adalah suatu kenyataan bahwa kebaikan akan lebih disyukuri & dihormati, daripada sensasi sesaat & hiburan yang tidak memenuhi kebutuhan apapun.

Mag mengatakan...
on