Selasa, Januari 01, 2008

Pornografi, dari Wilayah Privat ke Ranah Publik

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), belum diundangkan telah menimbulkan dampak pro dan kontra. Mereka yang mendukung mengatakan bahwa Pornografi dan Pornoaksi sudah selayaknya diatur agar tidak menimbulkan dampak negatif pada generasi mendatang. Termasuk di sini, agar tampilan media massa (salah satu pihak yang dituju) lebih santun sesuai adat ketimuran. Sementara itu, mereka yang menolak mengatakan bahwa RUU APP sangat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Ini tercermin dari dijadikannya perempuan sebagai objek seks (sebab pihak inilah yang umumnya dituju), dan RUU APP itu melanggar kebebasan berekspresi sebagai hak paling dasar yang dipunyai manusia.
Tanpa sadar, mereka yang mendukung atau menolak telah melibatkan wilayah private ke dalam ranah publik. Tak heran jika pro kontra itu mewakili individu atau komunitas-komunitas di masyarakat dan bukan masyarakat umum. Yang jelas kepentingan pribadi mereka yang menolak dan menerima terancam dengan ada atau tidaknya RUU APP.
Etika Privat dan Etika Publik
Kita akan melihat secara teoritis bahwa masalah pornografi melibatkan etika privat dan etika publik. Untuk membatasi istilahnya agar tidak mengalami pembiasan makna perlu kiranya dikemukakan hal yang berkaitan dengan etika.
Istilah etika berasal dari kata Latin pula Ethic, sementara dalam bahasa Gerik Ethikos (a body of moral principles or values). Dengan demikian, ethic berarti kebiasaan, habit, custom. Yang dimaksud dengan baik atau buruk dalam hal ini yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat atau tidak. Meskipun kebiasaan masyarakat itu akan berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat. Etika dengan sendirinya bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri juga sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti, akhlak. (Salam, 2000).
Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan penjelasan bahwa etika adalah; (1) ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh golongan tertentu.
Yang perlu digarisbawahi dari asal kata etika tersebut di atas beserta definisinya adalah bahwa etika itu memang multitafsir. Ia akan berkaitan erat dengan konteks masyarakat dimana etika itu hidup dan berkembang. Meskipun tidak dipungkiri, ada pula etika yang bersifat universal seperti keadilan, dan kejujuran.
Tetapi, satu hal yang tidak bisa tidak harus dijelaskan dan ini menjadi kesepakatan umum bahwa etika (termasuk dalam pelaksanaannya) berkaitan dengan manusia. Etika tidak akan bisa berjalan manakala manusia tidak menegakkannya sendiri. Tentu saja begitu, karena etika diciptakan oleh manusia dan untuk mengatur manusia kaitannya dengan manusia yang lain. Maka, jarang kita membaca ada etika yang terjadi pada makhluk lain. Kalaupun ada, tolok ukur dan indikatornya tentu saja berbeda. Tapi yang dimaksud etika dalam hal ini adalah etika yang berkaitan dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Manusia sendiri punya dua wilayah yang selama ini berkaitan atau seringkali dilibatkan dalam persoalan etika. Dua wilayah itu antara lain, wilayah privat dan wilayah publik. Etika, tolok ukurnya jelas, tetapi dalam praktiknya (yang berkaitan dengan wilayah etika di atas) seringkali berbenturan.
Misalnya, jika kita memakai definisi yang dikemukakan oleh Altschull (1990). Ia pernah mengatakan bahwa ethics is the study of the formation of moral values and of principle of right and wrong (Shoemaker dan Reese, 1991: 94). Nilai benar dan salah tersebut sebenarnya satu, tetapi sangat sulit jika dikaitkan dan diimplementasikan dalam wilayah publik. Etika benar dan salah seringkali mudah dilaksanakan dalam wilayah privat. Hal demikikian hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Louis Alvin Day, “Ethics is the branch of philosophy that deals with questions of moral behavior. The study of ethics can provide the tools for making difficult moral choice, both personal and professional (Day, 1999:19).
Di sini manusia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan moral ketika akan mengimplementasikan etika yang digunakan untuk dasar perilaku. Bahkan pilihan itu semakin sulit karena implementasi etika seringkali berkait erat dengan wilayah secara professional (menurut istilah Day) atau publik.
Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan di atas, Franz Magnis-Suseno (2001) pernah membedakan etika menjadi dua yakni etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan kewajiban moral manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia bagi individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap Yang Ilahi dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia.
Dalam masyarakat modern yang punya kecenderungan hidup individualisme ini disertai dengan kompetisi hidup yang semakin ketat menuntut masing-masing orang bertahan. Masing-masing orang harus bersaing dalam kehidupan yang semakin keras dan tajam bahkan besaing dengan pihak-pihak yang hanya mau menang sendiri. Kepentingan individu untuk bertahan ditengah persaingan yang ketat inilah yang menjadi ancaman etika. Sebab, etika itu adalah “nilai masyarakat”, sedangkan individualisme itu “nilai individu”. Jadi sudah bisa dibayangkan perbedaan dan persaingannya. Dalam posisi demikian, etika penting agar di masyarakat bisa tercipta harmoni dan manusia tahu tugas, hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam masyarakat sekarang ini dengan tiadanya etika semua orang akan mengklaim dirinya yang paling benar dan ini sangat membahayakan kehidupan masyarakat itu sendiri. Etika akan mengatasi itu semua. Etika diharapkan membimbing, mengarahkan bahwa manusia itu memang punya sifat individual yang tinggi, tetapi itu tidak berarti boleh berbuat seenaknya dengan merugikan lingkungan sosialnya. Etika akan menjadi barometer tingkah laku individu dalam masyarakat.
Baik etika professional, sosial dan publik untuk sementara kita samakan. Intinya, ada etika di luar etika pribadi. Etika seringkali bermasalah karena berkaitan dengan kepentingan orang lain. Ini khususnya menyangkut etika publik. Orang tidak bisa berbuat tidak adil pada dirinya, ini tidak menjadi persoalan penting. Orang akan menganggap bahwa itu pilihan pribadi dan hanya dirinya saja yang dikenai. Orang akan menganggap bahwa itu pilihan pribadi dan hanya dirinya saja yang dikenai perbuatan tersebut. Tetapi, berbuat tidak adil akan menemui banyak masalah jika dikaitkan dengan manusia lain. Misalnya ia seorang politikus. Ia akan dicap sebagai orang yang tidak beretika jika ia berbohong pada publik. Contohnya, ia mengatakan telah berbuat adil pada semua orang padahal kenyataannya tidak demikian.
Pornografi dan Pornoaksi
Apa yang bisa menyebabkan itu semua? Conflict of interest salah satu diantara yang bisa diajukan di sini. Conflicts (of interetst, pen) generally arise from the roles we play within society, and for hat reason, appear to involve particularistic rather than our general societal obligations (Day, 1999:193). Konflik kepentingan ini memungkinkan orang akan mengatakan “ya” pada dirinya sendiri dan akan mengatakan “tidak” pada orang lain – termasuk dalam wilayah publik.
Sebab pada dasarnya, semakin besar dan lupas cakupan kekuasaan seseorang sulit dipisahkan dirinya dari lembaga dimana ia berada. Inilah yang disebut sebagai institutionalized person (orang yang dilembagakan). Itu berarti, tidak bisa diterima masyarakat seandainya seorang pejabat politik mengatakan, “Sumbangan Sultan Brunei itu diberikan pada saya dan bukan diberikan pada masyarakat Indonesia. Maka, kalau saya menggunakannya untuk kegiatan menurut saya positif itu tidak jadi soal”. Secara de facto memang dia yang menerima, tetapi secara de jure tidaklah sesederhana itu. Masyarakat (yang dilibatkan dalam persoalan etika publik) tidak akan bisa menerimanya. Bukankah Sultan Brunei tidak akan memberikan bantuan manakala pejabat itu tidak sedang menduduki jabatan di tinggi di pemerintahan?
Apalagi, jika seseorang itu sengaja punya agenda tersembunyi (hidden agenda)atas perilaku yang akan dilakukannya, akan melakukan apa saja untuk mewujudkan ambisinya. Termasuk berbohong tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga orang lain. Secara keras Eric Hoffer bahkan pernah mengatakan, “Kita paling keras berbohong terhadap diri sendiri” (Rivers dan Mathew, 1994:150).
Itu pulalah kenapa televisi yang menyiarkan bantahan Clinton bahwa ia tidak pernah berhubungan asmara dengan Flower bisa dikategorikan telah mencermarkan etika. Rivers dan Mathew menandaskan bahwa kode televisi mengkaitkan usaha mempromosikan kebaikan publik dengan usaha mempromosikan moral publik. Berita dan analisis harus disajikan dengan mempertimbangkan moral publik. Penyiar televisi yang etis mempunyai kewajiban moral (Rivers dan Mathew, 1994:342).
Maka, agar etika publik tidak untuk terget pribadi dibutuhkan etika solidaritas dalam wilayah publik. Hannah Arendt pernah mendefinisikan bahwa etika solidaritas adalah sebuah etika yang menjamin bahwa politik tidak sekadar dijadikan sarana perjuangan promordialitas, tetapi penjamin kebaikan untuk semua (Solo Pos, 29 Maret 2005).

Comments :

0 comments to “Pornografi, dari Wilayah Privat ke Ranah Publik”