Selasa, Januari 01, 2008

TV, dan Capres “Virtual Reality” Kita

Tidak ada karaguan sedikitpun dimata pasangan Capres dan Cawapres selama ini bahwa kampanye lewat media massa (khususnya televisi) menjadi salah satu cara untuk mencari popularitas atau tepatnya mempengaruhi perilaku pemilih pada Pemilu 2004 ini. Itulah kenapa, pasangan-pasangan tersebut rela menghabiskan dana puluhan miliar untuk memasang iklan di media massa. Bahkan karena semangatnya, jatah yang seharusnya maksimal 15 tayangan per hari masih dilanggar.
Selama ini, setiap hari kita disuguhi berbagai jenis model iklan kampanye Capres dan Cawapres di media massa. Berbagai model iklan itu selalu menampilkan bagaimana citra seorang kandidat perlu dibingkai dan dibentuk melalui media massa. Berbagai macam cara dilakukan baik melalui pemanfaatan data statistik, janji, pihak yang selama “teraniaya”, dekat dengan kalangan bawah sampai bernyanyi bersama-sama. Semua realitas ini sengaja dibentuk untuk menyuguhkan realitas baru tentang sosok seorang calon. Entah citra itu benar atau tidak hanya mereka sendiri yantg tahu.
Yang jelas, saat ini citra seorang kandidat tidak bisa dilepaskan dari citra yang dibentuk oleh media massa. Ini tidak saja membuat media punya kekuatan dalam membentuk realitas apa yang akan dibentuk, tetapi media sudah menjadi realitas itu sendiri. Media massa menjadi window of the world yang berarti kalau ingin melihat realitas dunia lihatlah media massa. Itulah kenapa kampanye kandidat merasa perlu dilakukan di media massa.
Virtual Reality
Jadi, kita akhirnya membayangkan sosok seorang presiden bukan berdasarkan kenyataan empiris seperti apa adanya, tetapi berdasarkan kenyataan apa yang sudah dibentuk oleh media massa. Padahal media massa bisa membentuk realitas semu (pseudo reality).
Dalam dunia cyberspace seperti saat ini, kenyataan seperti di atas sering disebut dengan virtual reality (realitas virtual). Menurut Mark Slouka dalam bukunya Silicon Mirage: The Art and Science of Virtual Reality ditegaskan bahwa realitas virtual tak lain sebagai realitas sintetis. Media menghidupkan secara “sensual” realitas sebenarnya. Dengan kata lain, media massa akan menciptakan ilusi yang sulit dibedakan dengan dunia nyata.
Mengapa meskipun media massa mampu membentuk realitas yang bukan sebenarnya namun masyarakat tetap memanfaatkannya? Alasannya, media seperti itulah satu-satunya yang mampu membentuk atau memvisualisasikan realitas dunia cepat, serempak meskipun penuh dengan manipulasi data-data. Bahkan media mampu membentuk sesuatu yang “tidak masuk akal” menjadi “masuk akal” sebagai realitas.
Dalam bahasanya Yasraf Amir Piliang dikatakan bahwa dalam sifat virtualitas media seperti itulah realitas secara lebih efektif bisa dikonstruksi dan direkonstruksi (the social of social reconstruction). Virtualitas media mampu menstimuli “berbagai bentuk realitas” di dalam ruang-ruang maya media elektronik (Piliang, 2001).
Demikianlah, manusia membutuhkan ruang maya untuk mengekspresikan dunia ini. Bukan tanpa alasan, realitas virtual itu sedemikkian kuatnya sehingga manusia sulit menghindar darinya. Bahkan apa yang kita rasakan, kita nilai, kita omongkan sebenarnya bentuk dari realitas yang sudah diciptakan oleh media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, CD, kaset, buku).
Iklan Capres Sebagai Virtual Reality
Apa yang menjadi realitas iklan-iklan kampanye Capres dan Cawapres selama ini menunjukkan atau semakin memperkuat realitas di atas. Ada beberapa catatan kritis yang layak dikemukakan; pertama, Capres dan Cawapres akan berusaha keras untuk membangun citra yang baik memalui media massa, apapun caranya. Meskipun para pasangan kandidat itu mempunyai “sejarah buruk” masa lalu hal demikian bisa diatasi dengan membentuk citra lewat media massa.
Dalam hal ini, para pasangan itu sebenarnya telah melakukan pembohongan publik. Kalau selama ini pembohongan publik dilakukan dengan mengobral janji saat kampanye, tetapi pembohongan publik ini bentuknya tidak kelihatan namun damaknya bisa jadi lebih hebat. Kita cenderung protes pada janji kampanye kandidat jika tidak ditepati, tetapi jarang kita yang kritis bahwa iklan-iklan yang ditampilkan pun penuh dengan nuansa seperti itu.
Itu sama saja kita memprotes Sumanto (pria kanibal pemakan daging manusia). Kita protes keras pada Sumanto mengapa ia memakan manusia. Tetapi, Sumanto sebenarnya hanya makan daging orang yang sudah meninggal dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tetapi, apakah kita memprotes dan pengadilan berani menjebloskan ke penjara pada para pejabat yang mengkorupsi uang rakyat? Bukankah perilaku itu justru membunuh ratusan atau bahkan ribuan manusia secara perlahan-lahan tapi pasti meskipun tidak kelihatan layaknya Sumanto memakan manusia mati?
Para kandidat itu melakukan pembohongan antara lain mengklaim hanya dialah yang peduli pada petani, nelayan, perempuan, TKI atau buruh.
Kedua, masyarakat akan menganggap bahwa kesemuan media massa dianggap lebih nyata dari pada kenyataan sebenarnya. Meminjam istilah Jean Baudrillard itu yang dinamakan hyper reality (hiperrealitas). Dalam istilah George Gerbner disebut dengan istilah teori kultivasi (cultivation theory). Artinya, masyarakat akan menganggap dunia itu seperti yang ditampilkan di media massa. Orang kemudian akan lebih percaya pada televisi (Gerbner memfokuskan kajiannya pada dampak televisi) daripada kenyataan yang sebenarnya. Orang yang termasuk heavy viewers (pecandu berat) film kekerasan misalnya, punya ketakutan lebih besar terhadap lingkungannya karena frame pikirannya dibentuk oleh adegan-adegan di televisi. Ia menggambarkan dunia serba keras seperti di televisi, meskipun kenyataannya tidak separah itu.
Dalam iklan presiden di televisi, masyarakat tentu akan punya peluang mempercayai apa yang ditampilkan di media itu dari pada berusaha mencari tahu kenyataan yang sebenarnya. Dan ini pulalah yang dikehendaki oleh pembuat iklan atau bahkan kandidat yang bersangkutan. Masyarakat diwajibkan melupakan segala keburukan yang pernah melekat pada diri calon dan mempercayai sepenuhnya apa yang sudah ditampilkan di media massa. Itulah kenapa tidak ada iklan kampanye Capres dan Cawapres yang menampilkan kejujuran agar masyarakat menilai apa adanya. Semua penuh dengan rekayasa teknologi.
Masyarakat sudah diarahkan untuk memihak satu kelompok dan tidak usah memihak kelompok yang lain. Dengan kata lain, masyarakat harus percaya pada iklan seorang kandidat dan jangan percaya pada iklan kandidat yang lain. Televisi sudah menjadi variabel utama dalam menentukan sikap dan perilaku masyarakat dewasa ini.
Presiden Kita Mendatang
Meskipun kita selama ini selalu memprotes bahwa memilih presiden itu bisa (atau senagaja dipaksakan) “diwakilkan” pada DPR, saat ini secara tidak sengaja kita “mewakilkan” pilihan kita pada media massa. Benar bahwa kita memilih sendiri pasangan Capres dan Cawapres, tetapi dasar pilihan itu berdasarkan citra yang sudah dibentuk oleh media massa. Ini juga berarti bahwa presiden yang kita pilih itu benar dan dipilih sesuai hati nurani, tetapi dipilih oleh hati manusia sementara nuraninya milik media massa.
Kita nanti akan memiliki presiden realitas virtual yang dibentuk oleh media massa. Karena realitas virtual itu sebuah kenyataan yang dibentuk televisi di luar kenyataan sebenarnya (realitas semu), jangan heran jika kita nanti kaget karena apa yang kita pilih tidak seperti yang pernah kita idealkan sebelumnya. Ini tak berarti semua kandidat itu tidak baik, hanya kita perlu kritis terhadap citra yang dibangun oleh para kandidat melalui televisi. Televisi mungkin sekadar ‘korban” keserakahan “kapitalisme” atas orientasi target semata dari iklan kampanye presiden.

Comments :

0 comments to “TV, dan Capres “Virtual Reality” Kita”