Selasa, Januari 01, 2008

Saatnya, Melakukan Social Punisment Pada Televisi

Saat ini, acara televisi swasta kita nyaris seragam. Kalau tidak menampilkan acara-acara yang berbau mistik, muncullah acara-acara kriminal. Acara kriminal yang dimaksud antara lain Buser, Patroli, Brutal, Sergap, Derap Hukum, Fakta, Bedah Kasus dan acara lain yang sejenisnya. Ini bukan tidak beralasan. Masalahnya, acara-acara tersebut memang mempunyai rating yang tidak rendah. Artinya, sesederhana apapun acara tayangan kriminal tersebut, tetap akan mempunyai penonton setia.
Apakah acara-acara tersebut bisa berdampak positif di masyarakat? Seperti yang sering saya baca di rubrik Surat Pembaca di beberapa surat kabar, acara-acara seperti itu sebenarnya justru mengkhawatirkan masyarakat. Bukan tidak mustahil acara-acara kriminal tersebut justru menimbulkan rangsangan penonton untuk menirunya.
Ini terutama sekali jika kita melihat tayangan pemerkosaan, perampokan dan penipuan. Bukti telah menunjukkan bahwa tidak ada bukti empirik bahwa kriminalitas berkurang. Justru semakin banyak tanyangan kriminal menunjukkan hal yang sebaliknya, bahwa perilaku kriminal semakin meningkat. Acara televisi, terutama adegan kekerasan memang sangat berpengaruh terhadap benak penonton. Bahkan televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi itu belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya.
Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya di sekelilingnya sangat ditentukan oleh televisi. Ini artinya, melalui kontak penonton dengan televisi, mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat kebiasannya.
***
Fakta bahwa televisi mempunyai dampak yang luar biasa terhadap “gambaran apa” yang dibayangkan masyarakat pernah dikaji oleh Profesor George Gerbner ketika ia menjadi dekan Annenberg School of Communication di Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (AS). Tulisannya yang yang berjudul Living with Television: The Violence Profile menjadi bukti pengaruh kuat acara-acara televisi di benak penonton.
Awalnya, ia hanya melakukan penelitian tentang “Indikator Budaya” untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain, ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu.
Hasilnya, televisi terbukti menjadi agen sosalisasi penonton televisi. Mereka akhirnya lebih mempercayai apa yang disajikan televisi daripada apa yan mereka lihat sesungguhnya. Gerner melihat bahwa memang film drama yang disajikan di televisi mempunyai sedikit pengaruh tetapi sangat penting di dalam mengubah sikap, kepercayaan, pandangan penonton yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya.
Para pecandu berat televisi (heavy viewers) umumnya menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi itulah dunia senyatanya. Misalnya, tentang perilaku kekerasan yang terjadi di masyarakat. Para pecandu berat televisi ini akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang dia tonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena faktor cultural shock (keterkejutan budaya) dari tradisonal ke modern.
Termasuk di sini misalnya, pecandu berat televisi akan mengatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10. Padahal dalam kenyataan angkanya hanya 1 berbanding 50. Ia juga mengira bahwa 20 persen dari total penduduk berdiam di Amerika, padahal senyatanya cuma 6 persen. Dengan kata lain, penilaian, persepsi, opini penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Perilaku kekerasan yang diperlihatkan di televisi merupakan refleksi kejadian di sekitar kita. Jika adegan kekerasan itu merefleksikan aturan hukum yang tidak bisa mengatasi situasi seperti yang digambarkan dalam adegan televisi, bisa jadi yang sebenarnya terjadi juga begitu. Jadi, kekerasan televisi dianggap sebagai kekerasan yang memang sedang terjadi di dunia ini. Aturan hukum yang bisa digunakan untuk mengatasi perilaku kejahatan yang dipertontonkan di televisi akan dikatakan bahwa seperti itulah hukum kita sekarang ini.
***
Jadi para penonton setia acara-acara kriminalitas di televisi akan membayangkan bahwa lingkungan di sekitarnya juga seperti apa yang disajikan televisi. Televisi akan dianggap sebagai refleksi kejadian di sekitarnya. Dengan kata lain, televisi adalah ”cerminan” seperti apa kenyataan masyarakat yang sebenarnya. Jika di televisi selalu mengumbar adegan kekerasan, yang ada di benak penonton tentang keadaan masyarakat juga seperti itu.
Yang menjadi kekhawatiran kita adalah masyarakat akan lebih percaya pada adegan di televisi dari kenyataan yang sebenarnya. Padahal, tayangan televisi adalah realitas semu yang diciptakan oleh industri kapitalis. Tayangan televisi tak ubahnya sebuah rekonstruksi ulang yang penuh dengan subyektivitas para pengelola televisi. Tak heran jika televisi sering dituduh sebagai agen kapitalisme.
Mengapa ini mengkhawatirkan? Sebab, televisi itu diciptakan untuk menghibur saja. Masyarakat menikmati acara televisi kebanyakan untuk mencari hiburan dan bukan yang lainnya. Bukti bahwa banyaknya acara-acara sinetron atau acara bertema hiburan lain yang ditempatkan pada jam prime time (7 sampai 9 malam) menjadi bukti itu semua. Bahkan Neil Postman pernah menyindir “televisi menghibur diri sampai mati”.
Sebenarnya pula, televisi tidak hanya menjadi cerminan masyarakat tentang perspsi apa yang ada di benaknya tentang lingkungan di sekitarnya. Tetapi, masyarakat sebenarnya banyak belajar dari televisi. Adegan-adegan di televisi telah memungkinkan masyarakat untuk menirunya. Lihat saja saat ini, merek dan cara berpakaian, merek sabun, shampoo, parfum yang dipakai remaja putrid sangat ditentukan oleh tayangan di televisi. Bahkan, citra seorang wanita ideal sangat mungkin ditentukan oleh apa yang sudah ditentukan oleh adegan-adegan di televisi sebelumya.
Tayangan-tanyangan kriminalitas sangat terbuka kemungkinan untuk ditiru oleh masyarakat. Merebaknya perilaku kejahatan di kota-kota besar tak menutup kemungkinan karena adegan seperti itu terus-menerus disosialisasikan ke masyarakat lewat televisi.
Fakta ini tentu tidak positif bagi perkembangan masyarakat. Kita bukan benci pada televisi, tetapi tanpa pengelolaan yang bijak, televisi justru akan semakin memperburuk keadaan masyarakat. Memang memprotes televisi yang saat ini sudah menjadi “kebutuhan dasar” masyarakat tidak pada tempatnya, tetapi membiarkannya begitu saja juga bukan tindakan yang bijak. Memprotes pengelola televisi tak ubahnya seperti informasi yang masuk ke telinga kanan, keluar di telinga kiri. Sementara, memperotes pemerintah agar bertindak tegas sering dituduh melanggar kebebasan pers. Pemerintah sering berlindung di balik kebebasan pers untuk mengelak dari tuduhan tak peduli dengan keluhan masyarakat itu.
Lalu apa tindakan yang harus dilakukan karena televisi kenyataannya sudah seperti itu? Tindakan yang lebih konkrit adalah melakukan social punishment (hukuman sosial). Hukuman sosial ini memang menekankan pada kekuatan individu dalam mewujudkannya. Artinya, tanpa inisiatif pribadi, hukuman sosial itu tidak ada gunanya.
Misalnya, kalau kita tidak suka dengan acara kriminalitas karena dikhawatirkan akan menimbulkan dampak buruk di masyarakat kita tidak perlu menontonnya. Atau, matikan saja televisi. Melakukan hukuman sosial juga perlu kejujuran. Misalnya, bukan perilaku jujur jika kita sering memprotes acara kriminalitas, tetapi justru kita sendiri menontonnya. Ini artinya, kita tidak jujur.
Cara seperti itu juga untuk mendidik masyarakat untuk bersikap dewasa, bijak, konsisten dan kritis terhadap acara-acara televisi. Artinya, jika kita tidak suka terhadap suatu acara, kita tak perlu menotntonnya. Atau sudah sanggupkan kita melakukan boikot pada acara-acara televisi?

Comments :

0 comments to “Saatnya, Melakukan Social Punisment Pada Televisi”