Menjelang Pemilu, pers sering terhimpit dalam posisi yang dilematis. Pertama, ia dijadikan sebagai media yang dianggap penting demi suksesnya Pemilu. Ini ditunjukkan dengan keinginan banyak pihak “memanfaatkan” (untuk tak mengatakan ingin menguasai) pers. Kedua, himbauan agar pers bersikap adil, tak memihak, jangan mementingkan diri sendiri cermin bahwa masyarakat takut pada media (untuk tak mau mengatakan media menjadi sumber disharmoni di masyarakat).
Bahkan tak tanggung-tanggung, mantan presiden Megawati sendiri pernah mengusir wartawan ketika menghadiri acara halal bilhalal di kantor DPP PDI-P beberapa tahun yang lalu. Di Surabaya sendiri beberapa waktu lalu juga ada gugatan para buruh dan pengamat buruh bahwa pemberitaan pers tidak memihak mereka. Tak heran jika, gugatan setidaknya ketidaksukaan masyarakat dan pemerintah pada pers terus meningkat menjelang perhelatan akbar Pemilu.
Sebenarnya, pengusiran, gugatan atau setidak-tidaknya keluhan yang dilakukan masyarakat semakin menunjukkan betapa media massa (cetak dan elektronik) memainkan peranan yang sangat vital bagi perubahan di masyarakat. Bahkan sastrawan Amerika Mark Twain pernah secara provokatif mengatakan, “There are only two things which can throw light upon things here on earth. Two thins, one is the sun in heaven, and the second one is the press here on earth (hanya ada dua hal yang bisa menyinari bumi ini. Dua hal itu adalah matahari di langit dan pers di bumi).
Tak heran, jika media massa meskipun dibenci sekalipun menjadi “bahan rebutan” elemen masyarakat untuk menggunakannya. Tak terkecuali, para elite politik merasa perlu untuk memanfaatkan untuk tak mengatakan mengatur media massa sebagai sarana kampanye politik mereka, diakui atau tidak.
Sebenarnya, hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat tidak selamanya serasi, untuk tak menyebut tidak bisa harmonis. Masalahnya, masing-masing mempunyai muatan nilai yang melekat pada dirinya masing-masing pula. Pemerintah dimanapun dan kapanpun berharap agar pemberitaan media massa sesuai dengan kepentingannya. Sedangkan masyarakat merasa perlu bahwa media massa harus membela dirinya sebagai salah satu wujud pembelaan terhadap rakyat.
Namun yang sering luput dari perhatian masyarakat adalah, bahwa media massa juga punya nilai dan watak tersendiri dalam menentukan berita apa yang harus diliput dan dimuat atau tidak. Bahkan terhadap satu kasus yang sama saja, berbeda media berbeda pula cara “meramu” beritanya.
Oleh karena itu, hubungan ketiganya sering diistilahkan dengan trikotomi yakni sebuah hubungan tidak pernah akur antara ketiganya lantaran punya tuntutan dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Hubungan trikotomi ini tidak saja telah membuahkan perbedaan prinsip, tetapi tak jarang bermuara pada konflik. Dan jika terjadi konflik antara ketiganya tak jarang media yang justru menjadi korbannya. Apakah biefing, budaya telepon, pembatalan surat izin atau perusakan kantor oleh massa yang tidak puas atas pemberitan media.
Tetapi yang jelas, media mempunyai pertimbangan dalam cara menentukan apakah berita tertentu layak muat atau tidak atau dalam istilah beritanya punya kelayakan berita (newswothiness). Sering sebuah berita yang dianggap penting dan perlu disiarkan amsyarakat belum tentu layak muat bagi media tertentu. Banyak alasan yang bisa dikemukakan. Bisa karena misi dan visi koran yang bersangkutan tidak sesuai dengan kejadian di lapangan, bisa karena media tersebut harus memuat iklan sehingga berita yang layak muat itu harus kalah atau ketidakakuratan berita yang ditampilkan karena minimkan sumber data yang didapat. Hal demikian bisa terjadi karena nara sumber dalam memberikan keterangan tidak lengkap, nara sumber terlalu tertutup atau nara sumber terlalu banyak mendekte apa yang akan wartawan tulis. Semua sebab ini sangat mungkin membuat sebuah berita tidak dimuat. Dalam kasus demonstrasi buruh misalnya, bisa jadi kalangan buruh tidak proaktif. Jadi sudah bisa dibayangkan ketidakseimbangan berita yang ditulis.
Hal yang perlu ditekankan adalah bahwa media secara ideal tidak membela siapa-siapa. Meskipun siapa-siapa ini sangat multi tafsir. Ada media yang terlalu asyik membela partai politik. Ini sangat memungkinkan jika koran itu memang berafiliasi para partai politik (parpol) tertentu. Apakah mungkin pula, Media Indonesia memberitakan tentang dan mendukung demonstrasi buruh Metro TV? Ini tidak berarti bahwa media berat sebelah, tetapi media itu sebenarnya juga terlingkupi oleh berbagai macam kepentingan. Kepentingan masyarakat dan pemerintah hanya salah satu kepentingan saja.
Tetapi lepas dari kepentingan yang melingkupi media massa, media massa tetap harus mengemban amanat sebagai anjing penjaga (watchdog). Anjing penjaga ini dalam prakteknya, media massa tidak saja “menggonggong” atas kecurangan dan kejahatan yang muncul di tengah masyarakat, tetapi media massa juga harus berani mendukung kebijakan yang sudah pada tempatnya. Dalam istilah media massa disebut dengan fungsi meluruskan penilaian moral.
Dengan demikian, media massa punya tugas dari mulai membongkar kasus kejahatan sampai dengan sekuat tenaga mendukung kebijakan yang sudah baik. Itu pulalah kenapa, kebebasan pers adalah hal esensial yang harus dilekatkan pada media massa. Kebebasan pers adalah kebutuhan asasi pers. Sebab tanpa kebebasan pers, media tak lebih sekedar “berita iklan”.
Di sinilah perlu ditekankan pada masyarakat bahwa kebebasan pers perlu ditegakkan. Bahkan Thomas Jefferson mantan presiden Amerika Serikat pernah mengatakan: "Pada waktu pers dalam keadaan bebas dan setiap orang mampu membaca, segala sesuatunya akan menjadi baik Seandainya saya harus memilih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya -- tidak ragu-ragu lagi -- akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah.". Pernyataan Jefferson itu bukan mimpi seorang anak kecil di siang bolong, tetapi melalui pemikiran yang dalam.
Oleh karena itu, jika ada media massa yang berusaha mengungkap kebobrokan di masyarakat atau di lingkar elite politik kemudian orang yang teruduh tersebut marah-marah lalu merusak kantor koran itu, menyita dan tindakan fisik lainnya sungguh dikatakan melawan hak asasi pers. Artinya, hak asasi tidak hanya milik masyarakat atau pemerintah tetapi pers juga punya hak asasi.
Yang perlu dipahamkan pada masyarakat adalah jika kerugian atau hal lain yang menyangkut pemberitaan sudah merugikan secara pidana atau perdata dipersilakan untuk memprosesnya di pengadilan. Tetapi, kalau hanya sekedar marah-marah, buntutnya merusak itu tidak pada tempatnya. Bagi nara sumber menghindari ketertutupan peliputan justru akan merugikan sendiri. Termasuk di sini kata-kata “no comment”. Di kalangan pers kata-kata ini bisa ditafsirkan persetujuan dan pengakuan. Oleh karena itu, menuntut pers untuk memberitakan secara fair, cover both sides (meliput dua sisi yang bebeda secara seimbang) dan adil dan terus memihak kepentingan rakyat luas adalah harus, tetapi melakukan tindakan anarki dan membungkam kebebasan pers adalah jangan. Maka, memahami kinerja pers juga merupakan suatu keharusan. Jadi, jangan “buruk muka, pers dibelah bukan?”.
Browse » Home »
artikel komunikasi
» "Buruk Muka", Haruskah Pers Dibelah?
Selasa, November 18, 2008
"Buruk Muka", Haruskah Pers Dibelah?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “"Buruk Muka", Haruskah Pers Dibelah?”
Posting Komentar