Seiring dengan dimasukinya masa kampanye partai politik (parpol), mulai bermuncullanlah iklan-iklan parpol di media massa (cetak dan elektronik). Tentunya, parpol yang modalnya besar akan punya kemungkinan memasang iklan besar-besaran dan sesering mungkin pula. Dibalik gencarnya iklan parpol itu, pernahkah kita mengamati bahwa iklan-iklan parpol di media massa tersebut menyesatkan upaya penegakan demokratisasi di masyarakat?
Umumnya, iklan parpol yang ada di media massa kita lebih dititikberatkan pada himbauan atau anjuran agar masyarakat mencoblos tanda gambar saja. Mulai Pemilu 2004 kampanye di Indonesia sangat berbeda dengan Pemilu sebelumnya. Jika dalam Pemilu sebelumnya, parpol punya hak untuk mensosialisasikan ke masyarakat agar hanya mencoblos tanda gambar, tetapi dalam Pemilu tahun ini, anjuran itu tidak saja kurang tepat tetapi juga tidak mendidik masyarakat.
Meskipun cara demikian sah, tetapi tidak ada upaya parpol melakukan pendidikan masyarakat secara serius. Mencoblos tanda gambar saja memang sah sesuai dengan UU nomor 12 tahun 2003. Tetapi bisa dikatakan, anjuran parpol seperti yang terlihat dalam iklan-iklan di media massa tersebut tak lain sebagai upaya manipulasi demokrasi.
Bahkan sangat disayangkan pula ketika Sekretaris Jenderal PDI-P Soetjipto menganjurkan kepada anggota serta simpatisan PDI-P untuk cukup mencoblos tanda gambar. Hal demikian pernah disampaikannya dalam acara pembekalan Calon Legislatif (Caleg) dan Juru Kampanye (Jurkam) PDI-P di Jawa Timur beberapa tahun yang lalu.
Khawatir bahwa suara pilihan masyarakat terhadap parpolnya menurun memang tidak salah, tetapi hanya menganjurkan mencoblos tanda gambar dengan mengingkari pendidikan politik mereka tentu jangan.
Melihat gejala semacam itu, bisa dikatakan bahwa parpol kita memang hanya mementingkan keinginan sesaat. Dengan kata lain, parpol hanya mengupayakan bagaimana agar suara masyarakat masuk dan sah, bukan apakah yang dilakukannya mendidik atau tidak. Memang dalam masyarakat yang tingkat buta hurufnya relatif tinggi dan kebanyakan tinggal di pedesaan sangat mungkin terjadi suara yang tidak sah, misalnya hanya mencoblos nama calon.
Gambar atau Nama Orang?
Yang menjadi persoalan kita kemudian adalah lebih baik mana antara mencoblos tanda gambar dengan mencoblos nama orang? Jika dilihat dari peraturan tentu akan menguntungkan mencoblos tanda gambar sehingga suaranya sah, sedangkan mencoblos nama orang jelas tidak sah dan tidak menguntungkan parpol yang bersangkutan.
Tetapi dasar pemikiran yang kemudian berkembang adalah memilih tanda gambar juga kurang. Alasannya, karena tanda gambar parpol tidak mungkin menjadi anggota legislatif. Tanda gambar hanya sekedar identitas partai saja. Misalnya pohon beringin identitas partai Golkar, matahari identitas PAN, banteng identitas PDI-P, bumi bulat dililit tali identitas PKB. Apakah mungkin, pohon beringin, banteng matahari, dan bumi bulat itu bisa dijadikan wakil rakyat?
Oleh karena itu sebenarnya, mencoblos nama Caleg adalah yang paling ideal. Karena merekalah yang nanti mewakili masyarakat duduk di dewan perwakilan. Merekalah yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat pula. Bagaimana mungkin, mencoblos tanda gambar, tetapi nanti yang keluar adalah nama Caleg?
Oleh karena itu, mencoblos nama Caleg sebenarnya adalah pilihan rasional dan masuk akal untuk dilakukan dengan atau tanpa tanda gambar sekalipun. Jika seandainya kita mencoblos tanda gambar, apakah mereka (tanda gambar itu) nanti akan memperjuangkan nasib kita? Maka, mencoblos nama Caleg sebenarnya lebih penting dari pada mencoblos tanda gambar.
Sebenarnya pula, anjuran hanya mencoblos tanda gambar dalam Pemilu disamping tidak mendidik masyarakat juga tidak ada gunanya. Buat apa masyarakat dinasihati untuk memilih tanda gambar parpol kalau nantinya yang jadi adalah orang (baca: Caleg)?
Pemilu yang berhasil memang pemilu yang jujur dan demokratis. Demokratis di sini punya konsekuensi kemampuan mendidik masyarakat agar lebih cerdas menggunakan hak pilihnya. Pemilu tahun ini memang berbeda, yakni disamping memilih anggota DPR pusat, provinsi, kota/kabupaten, tetapi juga memilih anggota DPD dan presiden. Yang berbeda lagi adalah ukuran kertasnya yang lebih besar tak sebanding dengan bilik suara yang dibuat.
Oleh karena itu, kejujuran ini juga punya konsekuensi memilih orang dari pada tanda gambar parpol. Bukankah dengan memilih tanda gambar parpol sementara nanti yang jadi adalah orang sama saja dengan membohongi masyarakat? Dan bukankah tidak kalah tak demokratisnya?
Parpol sangat mungkin berlindung di balik UU Pemilu yang memang mengatakannya demikian. Coba simak misalnya, “Suara pemilih dinyatakan sah apabila: (a) pemilih telah mencoblos salah satu tanda gambar parpol peserta pemilu dan mencoblos salah satu calon di bawah tanda gambar parpol peserta pemilu dalam surat suara, (b) pemilih telah mencoblos salah satu tanda gambar parpol peserta pemilu, meskipun nama calon tidak dicobloskan, (c) jika pemilih hanya mencoblos nama calon tanpa mencoblos tanda gambar parpol, suara pemilih dinyatakan tidak sah”.
Sebenarnya, jika Pemilu memang untuk mendidik masyarakat poin (c) harus diganti begini, “Suara pemilih tetap dinyatakan sah, meskipun hanya memilih nama Caleg tanpa harus mencoblos tanda gambar”.
Konsekuensinya, biarlah nanti para Caleg yang merasa berkepentingan dan merasa bisa mewakili aspirasi rakyatlah yang melakukan kampanye. Ini berarti, Caleg yang tidak populis dan kredibilitasnya tidak terjamin tak akan terpilih, manakala tak berusaha mendekatkan diri pada masyarakat. Saat ini ada kecenderungan Caleg nomor urut pertama tenang-tenang saja. Sebab, jika seseorang hanya memilih tanda gambar parpol saja, hak suaranya akan masuk ke Caleg nomor urut pertama tadi. Sementara di sisi lain, Caleg yang ragu-ragu akan terpilih sudah berusaha sekuat tenaga dengan uang dan cara lain. Ini pun belum tentu menjamin ia akan terpilih. Ini juga tidak kalah tak demokratisnya dan kurang adil.
Buat Apa Pemilu?
Oleh karena itu, himbauan parpol lewat iklannya yang hanya menganjurkan memilih tanda gambar jelas tidak akan bisa menjamin Pemilu tahun ini benar-benar berkualitas. Bagaimana mungkin berkualitas kalau esensi dasarnya membohongi masyarakat?
Dengan demikian, kita jangan terlalu berharap besar bahwa Pemilu tahun ini benar-benar berkualitas. Yang perlu terus dilakukan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Misalnya, seperti yang dianjurkan oleh alm Nurcholish Madjid (Cak Nur) perlu terus dipupuk semangat membentuk oposisi yang kuat agar pemerintahan nanti bisa tetap terkontrol.
Fenomena muncunya iklan parpol model seperti itu juga bukan semata-mata salah media massa. Media massa hanya melayani kepentingan masyarakat memasang iklan saja. Bohong tidaknya, mendidik tidaknya, jujur tidaknya iklan yang disiarkan sangat tergantung pada parpol yang bersangkutan. Anehnya, perilaku parpol yang tidak mendidik masyarakat itu dilegitimasi oleh UU Pemilu. Yang tak kalah anehnya dan sering kita dengar pemaklumannya adalah karena kita masih dalam masa transisi. Lebih aneh lagi, manakala kita tidak sadar terhadap kekurangan yang telah terjadi dan tak ada usaha memperbaikinya. Kalau begitu, buat apa Pemilu yang menghabiskan dana tidak sedikit itu?
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Manipulasi Iklan Parpol di Media Massa
Selasa, November 18, 2008
Manipulasi Iklan Parpol di Media Massa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Manipulasi Iklan Parpol di Media Massa”
Posting Komentar