Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) pernah melakukan terobosan baru agar para koruptor ditayangkan di media massa (cetak dan elektronik). Usaha ini perlu disambut dengan gembira meskipun kita tidak perlu mabuk kegembiraan. Sebab, penayangan koruptor akan melibatkan kepentingan kelompok tertentu, dan apa target yang ingin dicapai dibalik motif penayangan tersebut tersebut. Jadi, meskipun baik tetapi menyimpan permasalahan yang perlu kita pikirkan bersama-sama. Kita akan diskusikan maslah tersebut dalam tulisan ini.
Sebenarnya, ide untuk menayangkan wajah koruptor di televisi (khususnya TVRI) sudah pernah dirintis oleh mantan Jaksa Agung (alm) Sukarton Marmosudjono, S.H pada tanggal 14 Desember 1989. Namun begitu, usaha tersebut ibarat “hangat-hangat tahi ayam” yang belum bisa memberikan efek seperti yang diharapkan. Buru-buru menangkap koruptor diluar lingkaran kekuasaan politik, apalagi mereka yang berlindung di balik kekuasaan yang absolut waktu itu.
Sebenarnya, ide penayangan koruptor bisa dikelompokkan menjadi beberapa hal; pertama, penayangan tersangka koruptor dalam usaha melakukan penyidikan untuk mencari dan menemukan tersangka pelaku kejahatan. Dalam hal ini koruptor adalah orang yang dicurigai atau sengaja ditayangkan agar sumber kejahatan utama bisa terlacak. Siapa tahu koruptor yang dimaksud bukan pelaku utamanya. Di sini efek domino sumber pelaku korupsi diharapkan bisa terlacak.
Kedua, penayangan terdakwa koruptor. Ini dilakukan agar proses pemeriksaan di pengadilan sebagai bentuk pemberitahuan kejahatan tertentu (korupsi) pada masyarakat umum. Dalam hal ini koruptor adalah orang yang benar-benar sudah didakwa melakukan kejahatan korupsi, lalu ditayangkan agar diketahui masyarakat umum agar bukti-bukti menjadi lengkap untuk dijadikan tersangka.
Ketiga, penayangan terpidana koruptor sebagai pelaksanaan putusan pengadilan berupa pengumuman putusan hakim. Ini berarti, pengadilan sudah memutuskan bahwa seseorang sudah bersalah dan sudah mendapatkan sanksi hukuman tertentu.
Efek yang Diharapkan
Tentu saja, ide penayangan koruptor di media massa agar efektif perlu berpijak pada efek sebagai berikut; Pertama, diharapkan akan menumbuhkan rasa “malu” pada masyarakat kita karena masyarakat kita sudah semakin kehilangan rasa malu, untuk tak mengatakan kita tidak punya rasa malu lagi. Dengan kata lain, korupsi sudah bukan menjadi rahasia umum yang dilakukan di hampir seluruh bidang dan lembaga di negara ini. Lembaga keagamaan sekalipun ternyata tidak lepas dari kasus korupsi juga. Bahkan korupsi di era sekarang tidak menumpuk di tangan beberapa orang, tetapi sudah dilakukan secara gotong royong. Ini dilakukan agar kejahatan bisa terbagi-bagi dan diharapkan pengusutan kasus korupsi juga mengalami hambatan sedemikian rupa.
Kedua, rasa malu yang sudah tertanam tersebut diharapkan akan membentuk rasa “bersalah” pada koruptor dan masyarakat umumnya. Rasa bersalah ini diharapkan akan mempunyai efek kehati-hatian terhadap apa yang akan dilakukan masyarakat.
Ketiga, diharapkan bisa meningkat ke hal yang lebih prinsip yakni rasa “berdosa” pada diri seseorang yang melakukan korupsi. Apalagi bangsa ini termasuk bangsa yang religius, meskipun agama kadang hanya dijadikan “hiasan” dan label individu saja.. Misalnya, seseorang bergama Islam. Sudah jelas dalam Islam, melakukan suap saja dilarang apalagi korupsi. Namun mengapa ia tetap melakukan korupsi? Di sinilah pemahaman keagamaan seseorang diharapkan semakin meningkat dengan perasaan berdosa. Atau dengan kata lain, ia akan menjadi manusia yang tobat atas segala perbuatan. Saat ini, harapan tersebut belum bisa terwujud karena banyak diantara para pelaku kejahatan justru melakukannya berlaki-kali. Apalagi didukung oleh hukum yang tidak tegak.
Pekerjaan yang Belum Selesai
Yang layak dipertanyakan adalah apakah penayangan koruptor di media massa itu bisa efektif? Ada beberapa permasalahan yang layak mendapatkan perhatian agar terobosan tersebut tidak sia-sia atau hanya sekadar untuk popularitas karena bisa menjadi komoditas politik.
Pertama, meskipun niatnya baik, penayangan koruptor di media massa tidak boleh melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), misalnya soal trial by the press (pers mengadili dengan mengatakan seseorang bersalah sebelum pengadilan memutuskan dia bersalah atau tidak). Ini tentu saja bukan soal menghambat kerja media massa, hanya kita perlu ada dalam jalur yang benar dengan tetap memegang teguh aturan yang berlaku. Termasuk di sini pula, pelanggaran asas pra duga tak bersalah. Sayangnya niat baik pers dan penegakan asas pra duga tak bersalah ini juga sering disalahgunakan oleh mereka yang merasa nama baiknya tercemar.
Kedua, harus ada kesepakatan antara pengadilan dengan media massa, jika media massa dituduh melanggar aturan yang menyangkut peliputan beritanya harus diselesaikan dengan UU Pokok Pers bukan dengan KUHP. Penegak hukum di Indonesia sering kali berbeda pandangan dengan kalangan media massa. Pengadilan seringkali memakai KUHP didalam memutuskan persoalan yang berkaitan dengan masalah yang sebenarnya masuk kasus media massa, sementara pihak media berpandangan bahwa UU Pokok Pers harus dijadikan pedoman. Dua perbedaan pendapat inilah yang seringkali menimbulkan interpretasi berlainan. Akibatnya, media massa seringkali berada di pihak yang dirugikan setiap ada kasus yang menimpa dirinya.
Hal ini bisa dilihat dari kasus yang melibatkan pencemaran nama baik seseorang.. Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 di halaman 31 pernah memuat tulisan berjudul “Ada Tommy di Tenabang?” terkait dengan berita kebakaran di Pasar tanah Abang pada tanggal 19 Februari 2003. Tempo berusaha untuk melihat bahwa kebakaran itu disengaja sebagai salah satu alasan untuk dibuat pasar modern. Tempo mengkaitkan kasus tersebut dengan Tommy Winata, seorang pengusaha dan pemilik Bank Artha Graha. Akibat pemberitaan ini, Tommy melakukan gugatan perdata dan pidana kepada Tempo karena dianggap mencermarkan nama baik. Mulai dari gugatan Tommy itulah masalah kemudian semakin panas.
Masalahnya, Tommy memakai KUHP sebagai dasar gugatan, sementara pihak Tempo memakai UU Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Kalau begini pers yang menjadi pemantik untuk membongkar korupsi tidak mendapat perlindungan.
Ketiga, penayangan koruptor di media massa masih menghadapi prinsip “Siapa yang punya uang dan kekuasaan bisa membeli hukum” yang masih berlaku di Indonesia. Berapa banyak koruptor yang selamat hanya gara-gara dia masih punya kekuasaan, dan berapa diantaranya yang dipenjara karena sudah tidak punya kekuasaan. Kasus pembunuhan (alm) Munir juga bisa dijadikan contoh bahwa ada logika yang tidak pas ketika Pollycarpus yang dijatuhi hukuman seumur hidup, di tingkat MA mentah lagi menjadi 2 tahun.
Keempat, program penayangan koruptor di media massa tentu saja masih menyisakan rasa like and dislike. Jangan sampai, program ini terkesan menjatuhkan kelompok tertentu dan melindungi kelompok yang lain, misalnya karena punya target politik. Jaksa Agung tidak perlu mengikuti perilaku DPR kita. Ketika ada anggotanya yang diduga terlibat kasus seperti kebakaran jenggot, sementara ketika ada kasus yang melibatkan bukan anggotanya seolah berposisi sebagai penegak keadilan dan berjuang demi kepentingan rakyat. Padahal semua itu penuh dengan target politik demi popilaritas kelompok.
Yang jelas, program penayangan koruptor di media massa tidak akan berjalan dengan baik jika dilandasi dengan niat tidak tulus, hanya mau mencari popularitas, dan penuh dengan target politik. Sudah saatnya korupsi yang semakin menggurita bak benang ruwet di Indonesia ini bisa diberantas. Jaksa Agung harus secepatnya mengadakan hubungan baik dengan media massa. Sebab, di tangan media masalah putih-hitamnya koruptor juga ikut ditentukan.
Browse » Home »
artikel komunikasi
» Penayangan Koruptor di Media Massa: Jangan “Hangat-hangat Tahi Ayam”
Kamis, November 20, 2008
Penayangan Koruptor di Media Massa: Jangan “Hangat-hangat Tahi Ayam”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “Penayangan Koruptor di Media Massa: Jangan “Hangat-hangat Tahi Ayam””
Posting Komentar