"Seandainya saya harus memilih antara kehidupan pemerintahan tanpa surat kabar dengan adanya surat kabar tanpa pemerintahan, saya -- tidak ragu-ragu lagi -- akan memilih yang terakhir; ada surat kabar tanpa adanya pemerintah” (Thomas Jefferson).
Beberapa kalangan, termasuk Dewan Pers, menyesalkan aturan pemberitaan media massa dalam UU Pemilu UU nomor 10 tahun 2008 tentang anggota DPR, DPD dan DPRD. UU itu dicurigai akan menghambat kebebasan pers. Sebenarnya, Dewan Pers sudah mengingatkan jauh-jauh hai, tetapi nuansa kepentingan di lingkar anggota dewan lebih kental sehingga usaha menunjunjung tinggi kebebasan pers yang selama ini diatur dalam UU Pokok Pers, bisa terancam begitu saja. Akhirnya, UU nomor 10 tahun 2008 tetap diterbitkan tanpa mengakomodasi usulan Dewan Pers tersebut.
Yang diprotes kalangan Dewan Pers adalah keberadaan Pasal 99 yang mengatur sanksi atau “pembredelan” pers. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa media massa bisa dikenai sanksi antara lain (a) teguran tertulis; (b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah; (c). pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu; (d) denda; (e) pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu; atau (f) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Sementara itu dalam Pasal 100 ditegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU0.
Permasalahan
Berkaitan dengan pers, UU nomor 10 tahun 2008 setidak-tidaknya, mempunyai dua permasalahan pokok. Pertama, ketentuan yang ada dalam UU itu bertentangan dengan UU Pokok Pers nomor 40 tahun 1999. Di dalam Pasal 4 UU Pokok Pers disebutkan (1) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, (2) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan (3) untuk menjamin kemerdekan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Sementara itu, dalam UU nomor 10 tahun 2008 yang dibuat anggota dewan kita menyebutkan bahwa pers bisa dikenakan sanksi pembekuan kegiatan penyiaran informasi. Sanksi tersebut sama dengan pembredelan seperti yang dilakukan pemerintahan Orde Baru (Orba).
Kedua, peraturan yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberitaan, penyiaran, iklan kampanye, dan pemberian sanksi diatur dengan peraturan KPU juga tidak adil. Seharusnya, ketentuan mengenai ini harus dikembalikan pada lembaga yang selama ini berhubungan dengan keberadaan pers kita seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Dewan Pers dengan tetap mengacu pada UU Pokok Pers. Jika diserahkan kepada KPU, nuansa kepentingan dan bias kebijakan jelas akan sangat kelihatan. Sebab, KPU akan mendasarkan diri pada kebijakan yang diambil secara politis (karena menyangkut urusan Pemilu) dan bukan berdasar kepentingan media massa secara lebih besar.
Kekhawatiran Pers
Apa yang diundangkan dalam UU nomor 10 tahun 2008 tersebut di atas jelas membuat miris kalangan pers. Bagaimana tidak, pers bisa sewaktu-waktu terkena pembredelan secara sepihak oleh orang di luar pers atau pengadilan. Bisa jadi pembredelannya hanya berkaitan dengan pemberitaan Pemilu. Tetapi, namanya pembredelan jelas tidak dikehendaki kalangan media, sekecil apapun karena bertentangan dengan UU Pokok Pers.
Pembredelan sebenarnya juga mengembalikan proses “pengelolaan” media seperti zaman Orba. Era Orba, dalam UU Pokok Pers UU Pokok Pers no. 21 tahun 1982 juga disebutkan tidak adanya pembredelan pers, tetapi ada aturan di bawahnya yang bernama Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (Peraturan Menteri Penerangan no. 01/Per/Menpen/1984) yang menyebutkan sanksi pembredelan. Kekhawatiran kita adalah jangan-jangan UU Pemilu yang tidak ada kaitannya dengan pers digunakan untuk mengurusi kebebasan menyiarkan informasi. Beritanya memang menyangkut politik atau Pemilu, tetapi hak menyebarkan informasi berada dalam ranah yang lain. Jadi, kerja pers akan selalu di bawah bayang-bayang pembredelan secara sepihak.
Di sisi lain, meskipun UU Pokok Pers sudah diundangkan, ia belum menjadi lex specialis. Jika terjadi demikian, maka UU Pokok Pers sebenarnya tidak punya fungsi apa-apa. Ia tidak menjadi sebuah undang-undang profesi yang melindungi pekerja pers dalam melakukan kegiatan jurnalistik.
Kenyataan ini juga fakta yang tidak bisa dihindari. Negara Indonesia memang belum menempatkan UU Pokok Pers menjadi acuan setiap kasus-kasus yang menyangkut pers. Kasus-kasus pers masih diselesaikan dengan aturan lain, salah satunya adalah KUHP. Kasus yang menimpa Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo dengan Tommy Winata layak dijadikan contoh kongkrit. Tempo pernah memuat berita berjudul, “Ada Tomy di Tenabang?”. Judul dan isi itu dianggap pencemaran nama baik Tommy Winata. Akhirnya, Tommy Winata menggugat majalah Tempo. Tempo akhirnya kalah karena dasar hukum yang melandasi pengadilan adalah KUHP, dan bukan UU Pokok Pers.
Lepas dari siapa yang dirugikan dan diuntungkan, dan bagaimana pendapat masyarakat, kasus tersebut telah membuka mata banyak pihak adanya kelemahan UU Pokok Pers jika berkaitan dengan kekuasaan. Bahkan pengadilan sendiri juga punya interpretasi untuk menyelesaikan masalah pers dengan KUHP saja.
Terhadap masalah ini, memang jika pers bersalah tetap harus dihukum. Yang terasa janggal adalah penggunaan KUHP sebagai dasar hukumnya. Dalam hal ini perbedaan dasar hukum kasus yang menimpa pers belum tuntas untuk ditentukan. Artinya, mana batas antara kasus yang menyangkut pemberitaan pers dan mana yang bukan dan masuk dalam wilayah KUHP. Kasus di atas jelas meninggalkan trauma kalangan pers terhadap semua bahan pemberitaan yang akan disiarkan.
Menepis Trauma
Lalu apa kaitannya antara UU Pokok Pers dengan UU nomor 10 tahun 2008? Kalangan pers bisa jadi menyimpan trauma jika seandainya semua kasus yang menyangkut pers diselesaikan dengan UU nomor 10 tahun 2008, atau jika akhirnya diselesaikan, dengan KUHP. Ini jelas akan mengancam kebebasan jurnalis menyiarkan informasi. Jurnalis yang takut untuk memberitakan fakta yang sebenarnya terjadi akibat dampak pembredelan, jelas masuk dalam kriteria menghambat kerja jurnalis.
Dengan demikian, kasus yang menimpa pers sebaiknya diselesaikan dengan memakai UU Pokok Pers agar tidak menimbulkan bias kepentingan. Ini tak berarti bahwa pers itu bebas sebebas-bebasanya. Ia tetap harus ada dalam koridor hukum. UU Pokok Pers dan kode etik menjadi landasan utama kinerja pers. Termasuk di sini, lembaga pemutus kebijakan berkaitan dengan masalah pers, harusnya berada di tangan Dewan Pers dan KPI, dan bukan KPU. Jika tidak, ada konflik kepentingan berkepanjangan dalam setiap keputusan yang menyangkut pers.
Sindiran bapak kemerdekaan Amerika yang dikutip pada awal tulisan ini menjadi relevan sekaligus sindiran keras bahwa selama ini kekuasaan selalu berupaya mengekang kebebasan pers.
(Sumber: Harian Joglosemar, 2 Agustus 2008)
Browse » Home »
artikel komunikasi
» UU no 10 tahun 2008 dan Trauma Pers
Kamis, November 20, 2008
UU no 10 tahun 2008 dan Trauma Pers
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 comments to “UU no 10 tahun 2008 dan Trauma Pers”
Posting Komentar